KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Cingcowong ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah Seni Budaya yang berjudul Makalah Cingcowong ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Cingcowong ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Cingcowong ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, November 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyaknya suku bangsa, telah menjadikan budaya dan Seni di Kabupaten Kuningan begitu beraneka, unik dan menarik. Semua anugerah ini milik kita bangsa Indonesia, yang dapat kita jadikan sebagai sumber untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta sebagai aset untuk menyejahterakan bangsa dan negara.
Agar kita dapat merasakan dan mensyukuri nikmat Tuhan yang telah diberikan serta dapat memanfaatkan aset yang kita miliki seoptimal mungkin, kita sebagai bangsa Indonesia perlu mengenal apa yang kita miliki, kita akan menjadi lebih bangga sebagai bangsa Indonesia. Informasi tentang keindahan dan daya tarik seni dan budaya yang tersebar di Kabupaten Kuningan dicoba disajikan pada makalah ini, yang baru memuat sebagian informasi tentang seni dan budaya yang ada di Kabupaten Kuningan dan secara bertahap kami akan melengkapi informasi tersebut.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian dari cingcowong?
- Bagaimana sejarah cingcowong yang ada di kabupaten kuningan?
- Alat apa saja yang digunakan pada upacara ritual cingcowong?
- Bagaimana tata cara pertunjukan ritual cingcowong?
- Bagaimana perkembangan upacara cingcowong?
C. Tujuan
Melihat rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
- Dapat mengerti dan memahami pengertian cingcowong.
- Dapat mengerti dan memahami sejarah cingcowong.
- Dapat mengetahui alat-alat yang digunakan pada upacara ritual cingcowong.
- Dapat mengetahui dan memahami perkembangan upacara cingcowong yang ada pada daerah tersebut.
D. Manfaat
Dengan mempelajari seni dan budaya kita dapat mengetahui dan memperoleh pemahaman tentang seni dan budaya yang ada di suatu daerah tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Cingcowong
Cingcowong adalah salah satu upacara ritual untuk meminta hujan. Kata cingcowong sendiri menurut etimologis atau bahasa terbagi menjadi dua yaitu cing dan cowong. Cingcowong berasal dari kata cing dan cowong. Kata cing dalam kamus bahasa Indonesia-Sunda, Sunda-Indonesia, memiliki arti yang sama dengan kata cik, yang berarti coba dalam bahasa Indonesia. Kata cowong dalam bahasa Indonesia berarti biasa berbicara keras. Jadi dari segi bahasa cingcowong memiliki arti coba (biasa) berbicara keras atau biasa dilakukan dengan bicara yang keras. Sementara menurut beberapa pengertian di antaranya menyebutkan bahwa cingcowong adalah cing yang berarti meminta atau memohon dan cowong adalah orang-orangan. Cingcowong adalah nama orang-orangan atau sejenis boneka yang dijadikan media dalam upacara ritual meminta hujan.
B. Sejarah Cingcowong
Kabupaten Kuningan bila dilihat dari kehidupan masyarakatnya ternyata tidak terlepas dari adat istiadat atau budaya di sekitar, di Dusun Wage Desa Luragunglandeuh Kecamatan Luragung Kabupaten Kuningan sudah menjadi kebiasaan jika daerah tersebut dilanda kemarau berkepanjangan, maka dilakukan upacara ritual meminta hujan yang dinamakan cingcowong. Masyarakatnya pun percaya bahwa setelah melakukan upacara ritual tersebut hujan akan segera turun. Upacara ritual cingcowong ini diperkirakan sudah ada ± 632 tahun.
Pada awalnya masyarakat yang berada di Dusun Wage Desa Luragunglandeuh Kecamatan Luragung Kabupaten Kuningan mengalami kekeringan terhadap mata pencaharian mereka, segala upaya sudah dilakukan akan tetapi masih saja tidak ada hasilnya. Pada situasi tersebut, Rantasih yang merupakan leluhur Nawita mengajak pada masyarakat sekitar untuk berusaha mengatasi keadaan yang dialami. Rantasih mengajak masyarakat untuk berusaha mengatasi keadaan yang dialami. Ia kemudian mengajak masyarakat untuk mencari sumber mata air, tetapi usahanya gaga! karena masyarakat yang sudah terlanjur putus asa ajakannya. Dalam keadaan demikian Rantasih tidak berputus asa ia mempunyai keyakinan bahwa hujan akan segera turun.
Pada saat Rantasih kesulitan mengumpulkan masyarakat untuk bersama-sama berdoa muncul gagasan untuk memukul ceneng berulang kali sehingga masyarakat berkumpul. Upaya tersebut ternyata cukup berhasil, ia kemudian menyampaikan petunjuk yang datang pada saat tirakat, yaitu dengan cara tidak makan, tidak minum dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam, bahwa cara meminta hujan adalah dengan cara melakukan upacara ritual melalui media cingcowong.
Ritual ini terwujud dalam bentuk upacara melalui kekuatan gaib yang dipercaya penduduk setempat dapat mendatangkan berkah berupa hujan. Pelaksanaan ritual ini menggunakan medium berupa boneka yang terbuat dari tempurung kelapa dan alat penangkap ikan yang disebut bubu. Upacara ini merupakan ritual yang bergantung pada seorang punduh untuk melakukannya. Punduh adalah orang yang memiliki kemampuan khusus di bidang agama atau kepercayaan setempat yang diperoleh karena inisiatif sendiri dan dianggap memiliki kecakapan khusus untuk berhubungan dengan makhluk astral dengan kekuatan supranatural. Karena pada saat itu masyarakat tersebut kepercayaannya masih kepada animisme dan dinamisme. Berdasarkan kenyataan yang ada, upacara ini diturunkan dari satu generasi yang lain, dari punduh ke punduh berikutnya. Setiap generasi hanya memiliki satu orang punduh.
Punduh ini berasal dari keluarga yang sama dari punduh sebelumnya, dan selalu diturunkan pada perempuan. Upacara cingcowong mengalami proses regenerasi (pewarisan) secara alamiah, artinya tidak ada unsur pemaksaan terhadap generasi penerusnya, yang panting pewarisnya harus dari satu keturunan yang mempunyai ikatan darah. Punduh pertama tidak diketahui namanya, namun punduh yang pertama kali dikenal bernama Rantasih, ia kemudian mewariskannya kepada putrinya yang bernama Rasih yang mengelola upacara ini sampai tahun 1930 dan meninggal dalam usia 90 tahun sebagai generasi kedua pengelola upacara cingcowong. Tahun 1930 sampai tahun 1980, upacara cingcowong dikelola oleh Suki yang merupakan cucu dari Rantasih. Suki meninggal dalam umur 70 tahun sebagai generasi ketiga sebagai pengelola upacara cingcowong. Sejak tahun 1981 sampai sekarang, upacara cingcowong dikelola Nawita, cucu dari Rasih dan merupakan generasi keempat.
Sosok Nawita tidak bisa dipisahkan dari tradisi upacara cingcowong, karena saat ini ia merupakan satu-satunya punduh (kuncen) Cingcowong yang berusaha untuk mempertahankan tradisi upacara masyarakat kampung Wage, Cesa Luragunglandeuh, Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan. Nawita merupakan penerus/pewaris upacara ritual cingcowong. Menurutnya, upacara cingcowong merupakan tradisi yang diturunkan secara turun temurun dari leluhurnya yang memiliki hubungan dara kepada ahli waris keturunannya. Nawita merupakan generasi penerus keempat. Menurutnya ia diwarisi tradisi ini ketika berumur 30 tahun dari saudara perempuan ayahnya (mungkin bibinya) yang bernama Rasih yang meninggal di usia 70 tahun. Ketika dalam keadaan sakit ia berpesan agar Nawita tetap meneruskan kebiasaan upacara ini. Nawita mengungkapkan bahwa bila ia meninggal kelak
maka generasi penerus selanjutnya adalah cucunya yang bernama Nining.
Menurutnya regenerasi pada cucunya ini pun sudah disetujui oleh boneka yang dianggapnya sebagai bidadari titisan empat puluh bidadari. Menurut Nawita jika orang lain yang melakukan ritual, yang tidak memiliki ikatan darah dengan leluhurnya maka boneka cingcowong tidak akan mau bergerak sebagai pertanda tidak ada persetujuan. Menurut Nawita, seorang punduh dipilih bukan karena kedekatan atau telah direncanakan terlebih dahulu tetapi berdasarkan panggilan batinnya atau atas dasar bisikan gaib. Kemudian calon punduh yang terpilih akan diwariskan mantra pemanggil hujan serta tata cara pemanggilan hujan. Calon punduh tersebut juga diwajibkan terlebih dahulu melakukan puasa sebelum ia di bekali kemampuan menjalankan tradisi Cingcowong sebagai punduh.
Adapun cara mewariskan penyelenggaraan ritual ini menurut Nawita adalah pertama dengan selalu melibatkan calon pewarisnya untuk ikut serta dalam pergelaran ritual dengan tugas untuk memegangi “raga” atau boneka ketika dilaksanakannya ritual ini, apabila si calon pewaris mampu menguasai boneka ketika boneka kerasukan jin dan tidak tertawa, itu pertanda bahwa calon diterima atau disetujui oleh si boneka, kemudian tahap berikutnya si calon harus menjalani puasa dan tidak boleh tidur di malam hari selama tiga hari, dan selanjutnya apabila akan melakukan pagelaran atau ritual harus melakukan puasa terlebih dahulu minimal satu hari, tetapi sebaiknya tiga hari. Seizin itu tentu saja ada mantra-mantra yang harus dibaca ketika akan melakukan upacara tersebut.
Fungsi upacara cingcowong di Desa Luragunglandeuh adalah sebagai ritual yang dipercayai oleh masyarakat setempat dapat menurunkan hujan, dengan kata lain merupakan kepercayaan leluhur mereka di zaman dahulu, tetapi dengan semakin berkembangnya pengetahuan masyarakat tentang Agama Islam, kepercayaan ini semakin luntur, sehingga sekarang hanya dianggap sebagai budaya atau kebiasaan saja meskipun menurut masyarakat apabila ritual ini diselenggarakan hujan memang turun.
C. Pertunjukan Acara Ritual Cingcowong
Kita sudah mengetahui bahwa setiap upacara ritual pasti membutuhkan alat-alat sebagai syarat berjalannya sebuah ritual, begitu pula cingcowong mempunyai beberapa alat sebagai media juga syarat di antaranya:
1. Alat-alat upacara cingcowong
- Satu buah taraje adalah sebagai jalan untuk menyambut turunnya arwah lelembut atau dari peribahasa menyambut turunnya bidadari dari kayangan.
- Satu buah samak/tikar adalah sebagai alas tempat duduk pagelaran tersebut.
- Boneka cingcowong yang terbuat dari batok kelapa yang dilukis menyerupai putri cantik dengan badan terbuat dari rangkaian bambu yang diberi baju-baju dan sampur (selendang) serta dibelit kalung yang terbuat dari bunga kemboja.
- Sisir dipergunakan untuk menata rambut boneka cingcowong pada saat upacara berlangsung. Punduh berpura-pura menyisir rambut boneka agar terlihat rapi dan cantik.
- Carmin sebagai memperlihatkan bentuk raut wajah boneka cingcowong kepada para bidadari yang akan merasuki tubuh boneka cingcowong.
2. Waditra yang digunakan saat prosesi upacara ritual cingcowong
- Bokor sebagai waditra saat pelaksanaan ritual cingcowong.
- Kipas yang terbuat dari bambu yang dianyam (hihid) sebagai alat pukul buyung agar menghasilkan suara yang dapat mengiringi mantra dari sang punduh dan sinden.
- Buyung sebagai alat pengiring punduh pembaca mantra dan sinden.
- Dua buah ruas kayu sepanjang 40 cm sebagai alat pukul bokor.
3. Pemain cingcowong
- Satu orang punduh (pemandu).
- Dua orang pemegang sampur ketika digerakkan (gerak mirip jalangkung).
- Dua orang pemain /penabuh buyung yang dipukul oleh kipas/hihid dan satu orangnya lagi memainkan alat musik ceneng yang terbuat dari bahan kuningan, properti pendukung lainnya yaitu: berupa sesajen seperti menyan, kaca, sisir, dan ember.
D. Tata Cara Pertunjukan Upacara Ritual Cingcowong
Sebelum melaksanakan upacara ini syaratnya adalah boneka cingcowong, seorang punduh dari beberapa orang sebagai pembantu punduh dan sesaji. Persiapan khusus bagi seorang punduh yaitu harus puasa selama 2 (dua) hari sebelum hari pelaksanaan upacara ritual cingcowong. agar ritualnya berjalan lancar tidak mendapat hambatan. Persiapan yang harus dilakukan seorang punduh yaitu:
- Mempersiapkan boneka dengan cara mendandani boneka cingcowong dan memakaikan aksesoris bunga kemboja sebagai kalungnya yang diambil dari pemakaman yang dipercaya pusat dari sisi gaib di daerah tersebut, dan aksesoris lainnya seperti anting dan sabuk dari kain katun warna putih.
- Mempersiapkan sesajen di antaranya: telur asin, tumpeng kecil atau congcot, cerutu, gula batu, aneka panganan kue, kembang tujuh rupa.
- Membawa boneka dan beraneka ragam sesajen ke parit (comberan) terdekat dan menyimpannya di tepi comberan tersebut selama satu malam. Konon roh-roh yang akan membantu punduh itu bertempat di tempat-tempat kotor.
- Mempersiapkan peralatan yang nanti bakal dipakai dalam upacara. Seperti: Taraje, tikar, ember berisi air bunga tujuh rupa, cermin kecil, sisir, dan kemenyan serta anglo untuk membakar kemenyan tersebut.
- Ibu Narwita selaku punduhnya harus melakukan puasa selama tiga hari atau minimal satu hari sebelum upacara cingcowong.
- Tahap pelaksanaan upacara cingcowong yaitu: membawa seluruh peralatan yang akan dipakai pada saat upacara cingcowong tersebut. Lirik atau mantra cingcowong adalah:
Cingcowong, cingcowong, cingcowong
Bil guna bil lembayung
Sa la la la leunggut
Leunggut angge dani
Aya panganten anyar aya panganten anyar
Li li li li pring
Denok simpering ngalilirong
Mas brojol gedog
Mas brojol gedog
Li li li guling
Gulingna sukma katon
Gelang gelang layoni
Layoni putra maukun
Maukun mangundang dewa aning dewa
Aning sukma bidadari lagi teka
Jak rujak, rujak ranting
Kami junjang kami loko
Pajulo julo
Temu miring mana liko
Setelah bait terakhir kemudian kembali ke bait pertama sampai selesai selama tiga kali.
E. Perkembangan Upacara Cingcowong
Seiring berjalannya waktu kebiasaan masyarakat ini pun menjadi sebuah tradisi yang menjadi sebuah bahan untuk penelitian kehidupan masyarakat zaman dahulu (kuno) banyak dari masyarakat sekarang yang mengembangkan tradisi ini menjadi sebuah pertunjukan seni yang berguna untuk pelestarian budaya lokal. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan mencoba membuat satu tarian cingcowong dan tarian ini merupakan salah satu usaha agar seni tradisi tidak menjadi punah. Pertunjukan tari cingcowong tidak lagi sebagai seni ritual tetapi sudah dikembangkan dan diangkat menjadi seni pertunjukan yang disesuaikan dengan perkembangan jaman sehingga sekarang seni tari cingcowong berkembang dan sering ditampilkan pada acara-acara seremonial baik kebutuhan menyambut tamu Pemerintah dan acara hiburan lainnya oleh seniman-seniman di Kabupaten Kuningan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seni dan budaya adalah kata yang berbeda. Seni adalah sesuatu yang diciptakan manusia yang mengundang unsur keindahan. Budaya merupakan asal dari bahasa sansakerta yaitu budaya, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal.
Dari pengertian di atas jelas bahwa seni adalah segala hal yang diciptakan manusia dengan pancaindra yang mengandung unsur keindahan dengan berbagai macam bentuk kesenian, dan kebudayaan adalah segala sesuatu yang tertanam dalam diri manusia yang dipengaruhi oleh akal.
Secara umum, pengertian seni budaya adalah segala sesuatu yang diciptakan manusia mengenai cara hidup berkembang secara bersama pada suatu kelompok yang mengandung unsur keindahan (estetika) secara turun temurun dari generasi ke generasi.
B. Saran
Agar masyarakat untuk lebih mengenal dan mencintai seni dan budaya, sekaligus sebagai upaya menumbuhkan minat untuk lebih mengenal seni dan budaya di Kabupaten Kuningan khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Kabupaten Kuningan. 2013. Profil Seni dan Budaya Kabupaten Kuningan. Kuningan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Cingcowong – Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat
Seni Budaya Cingcowong – Disporapar Kabupaten Kuningan
Cingcowong – Wikipedia Bahasa Indonesia