Makalah Kartel

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Kartel ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Kartel ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Kartel ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Kartel ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, Maret 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kartel merupakan perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pesaingnya dengan tujuan untuk mendapat keuntungan secara berlebihan. Menurut ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, perjanjian tersebut dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Setidak-tidaknya ada tiga unsur yang harus dibuktikan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dengan pelanggaran Pasal 11.

Pertama adalah keberadaan perjanjian yang dilakukan oleh para pelaku usaha tersebut berkolusi yang merupakan bukti utama atau direct evidence di mana para pelaku usaha saling berkoordinasi untuk mempengaruhi pemasaran barang dan/atau jasa. Kedua, konspirasi antara pelaku usaha untuk mempengaruhi pemasaran produksi barang dan/atau jasa. Pada kondisi normal, jika direct evidence diperoleh maka tidak akan sulit pembuktiannya. Akan tetapi, menjadi sulit jika tidak ditemukan perjanjian ataupun dokumen yang menunjukkan adanya kesepakatan yang dibuat oleh para pelaku usaha.

Kartel dapat menimbulkan dampak berupa terjadinya praktik monopoli dan tercederainya persaingan usaha sehat. Dampak ini tentunya akan merugikan konsumen, pemerintah, juga pelaku usaha sendiri. Ada beberapa isu terkait kartel, antara lain sulitnya pembuktian tentang adanya perjanjian kartel. Walaupun perilaku kartel sudah disinyalir keberadaannya, tetapi cukup sulit bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk dapat menemukan alat bukti adanya perjanjian kartel itu. Hal ini dikarenakan, pada perkembangannya pelaku usaha dengan pesaingnya mengadakan kesepakatan di antara mereka (cartellist) secara tidak tertulis, sehingga KPPU mendapatkan kendala dalam menemukan alat bukti telah dilakukannya perjanjian.

Isu lain adalah tentang penilaian terhadap kartel yang tidak semudah kata-kata yang tertuang dalam ketentuan hukum yang mengaturnya. Di dalam praktik, fakta yang secara normatif yuridis sudah termasuk kategori kartel sering kali secara praktis ekonomis belum merupakan kartel. Begitu pun sebaliknya, perilaku yang terkesan legal menurut hukum (de jure), ternyata secara fakta (de facto) sudah merupakan perilaku kartel. Fenomena di atas memerlukan pembahasan lebih lanjut, terutama terkait pembuktian unsur-unsur kartel dalam rangka penegakan hukum kartel, penilaian terhadap eksistensi kartel dalam praktik, sekaligus penilaian dampak kartel terhadap saingan usaha.

B. Rumusan Masalah

  1. Apa pengertian kartel?
  2. Bagaimana syarat terbentuknya kartel?
  3. Apa saja karakteristik kartel?
  4. Apa saja jenis-jenis kartel?
  5. Bagaimana bentuk-bentuk kartel?
  6. Bagaimana praktik kartel di Indonesia?
  7. Apa contoh kasus-kasus kartel yang pernah terjadi di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kartel

Dalam kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, “Cartel is a group of separate business firms wich work together to increase profits by not competing with each other”. Artinya, kartel adalah sebuah kelompok (grup) dari berbagai badan hukum usaha yang berlainan yang bekerja sama untuk menaikkan keuntungan masing-masing tanpa melalui persaingan usaha dengan pelaku usaha lainnya. Mereka adalah sekelompok produsen atau pemilik usaha yang membuat kesepakatan untuk melakukan penetapan harga, pengaturan distribusi dan wilayah distribusi, termasuk membatasi suplai.

Dalam buku Black’s Law Dictionary (kamus hukum dasar yang berlaku di Amerika Serikat), praktik kartel (cartel) didefinisikan, “A combination of producer of any product joined together to control its productions its productions, sale and price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in any particular industry or commodity”. Artinya, kartel merupakan kombinasi di antara berbagai kalangan produsen yang bergabung bersama-sama untuk mengendalikan produksinya, harga penjualan, setidaknya mewujudkan perilaku monopoli, dan membatasi adanya persaingan di berbagai kelompok industri. Dari definisi tersebut, praktik kartel bisa dilakukan oleh kalangan produsen mana pun atau untuk produk apa pun, mulai dari kebutuhan pokok (primer) hingga barang kebutuhan tersier.

Pengertian kartel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan kartel memiliki dua ciri yang menyatu, yaitu:

  1. Organisasi perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi barang-barang sejenis.
  2. Persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditi tertentu.

Poin penting dalam definisi tersebut, bahwa kelompok-kelompok di dalam suatu kartel terdiri atas kumpulan perusahaan-perusahaan besar yang menghasilkan barang-barang yang sejenis. Dijelaskan pula, tujuan utamanya berfokus pada pengendalian harga, sehingga harga yang terbentuk adalah bukan harga persaingan. Definisi ini telah menyentuh pada aspek perilaku monopoli.

Samuelson dan Nordhaus (2001: 186) dalam buku “Economics” menuliskan pengertian kartel, “Cartel is an organization of independent firms, producing similar products, that work together to raise prices and restrict outputs”. Artinya, kartel adalah sebuah organisasi yang terbentuk dari sekumpulan perusahaan-perusahaan independen yang memproduksi produk-produk sejenis, serta bekerja sama untuk menaikkan harga dan membatasi output (produksi). Poin penting pada definisi tersebut terletak pada tujuannya, yaitu menaikkan harga dan membatasi output.

Seorang pakar hukum legal dan ekonom, Richard Postner dalam bukunya “Economic Analysis of Law” (2007: 279) menuliskan pengertian kartel, “A contract among competing seller to fix the price of product they sell (or, what is the small thing, to limit their out put) is likely any other contract in the sense that the parties would not sign it unless they expected it to make them all better off”. Artinya, kartel menyatakan suatu kontrak atau kesepakatan persaingan di antara para penjual untuk mengatur harga penjualan yang bisa diartikan sebagai menaikkan harga ataupun membatasi produknya yang setidaknya mirip dengan kontrak pada umumnya di mana anggota-anggotanya tidak menginginkannya, kecuali mereka mengharapkan sesuatu yang lebih baik.

Definisi kartel oleh Postner lebih menekankan pada aspek moralitas di mana praktik kartel sesungguhnya bukan sesuatu yang diinginkan oleh setiap anggotanya, kecuali mereka hendak mengharapkan bisa mendapatkan sesuatu yang lebih dari kesepakatan (kontrak) tersebut.

Praktik kartel atau kartel disebutkan pula dalam Pasal 11, Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Usaha yang dituliskan, “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Praktik kartel di Indonesia adalah suatu bentuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum, karena akan membentuk suatu perilaku monopoli ataupun bentuk perilaku persaingan usaha yang tidak sehat.

Memahami kartel perlu pula memahami prinsip dasar atau pengertian dasar dari perilaku monopoli. Pengertian monopoli dalam bukan lagi menitikberatkan pada jumlah pelaku usaha atau produsen, melainkan pada perilakunya untuk mengendalikan harga dan distribusi output atau kapasitas output. Jadi bisa saja perilaku monopoli tadi ditemukan pada struktur persaingan yang terdiri atas beberapa perusahaan, biasanya sekitar 2-5 perusahaan besar atau ditemukan pada struktur pasar persaingan oligopoli. Pasar persaingan yang memiliki cukup besar konsumen, tetapi hanya memiliki beberapa produsen akan cukup kuat mengindikasikan adanya praktik monopoli. Munculnya praktik kartel ataupun trust tidak lain adalah untuk mewujudkan kekuatan (perilaku) monopoli.

B. Syarat Terbentuknya Kartel

Praktik kartel biasanya diwujudkan ke dalam sebuah kongsi dagang tertentu yang memiliki jenis badan hukum tertentu pula. Semacam perserikatan ini pula memiliki aturan atau ketentuan yang disepakati oleh anggota-anggotanya. Untuk bisa terjadi praktik kartel harus memiliki perjanjian atau kolusi di antara pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi yang mengindikasikan terjadinya praktik kartel, yaitu:

1. Kolusi Eksplisit

Para anggota-anggotanya mengkomunikasikan kesepakatan mereka secara yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan tertulis, data penjualan, dan data lainnya. Bentuk kolusi eksplisit tidak selalu harus diwujudkan dalam asosiasi kecil, komunitas terbatas, paguyuban, dan lain sebagainya. Ini berbeda dengan trust, karena pada trust diwujudkan ke dalam asosiasi atau organisasi yang memiliki badan hukum yang cukup jelas.

2. Kolusi Diam-diam (Implisit)

Para pelaku atau anggota-anggotanya tidak berkomunikasi secara langsung atau tidak melakukan pertemuan terbuka (diliput oleh media). Tetapi mereka para anggota kartel melakukan pertemuan secara tertutup, biasanya dilakukan secara rahasia. Mereka ini pun terkadang menggunakan organisasi berupa asosiasi yang fungsinya sebagai kedok atau kamuflase. Dalam asosiasi tercantum mendukung persaingan usaha yang sehat, tetapi dibalik semua itu hanya sebagai pengalihan. Menurut KPPU, jenis kartel dengan kolusi implisit ini lebih sulit untuk dideteksi. Dari semua kasus kartel di dunia, sekitar 30% di antaranya melibatkan asosiasi. Mengenai larangan melakukan perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Usaha.

C. Karakteristik Kartel

Perlu digarisbawahi, bahwa tidak semuanya jenis kolusi bisnis selalu berkonotasi negatif terhadap persaingan usaha. Terdapat pula kolusi yang positif, seperti kolusi dalam menggalang dana bantuan untuk anak-anak miskin, bencana alam dan sebagainya, atau bentuk kolusi yang sama sekali tidak berkaitan dengan bisnis dan persaingan. Itu sebabnya, kartel secara umum haruslah memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Terdapat konspirasi (persekongkolan) di antara pelaku usaha.
  2. Melibatkan peran dari senior perusahaan atau jabatan eksekutif perusahaan.
  3. Biasanya menggunakan asosiasi untuk menutupi persekongkolan tadi.
  4. Melakukan price fixing atau tindakan untuk melakukan penetapan harga, termasuk pula penetapan kuota produksi.
  5. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota-anggotanya yang melanggar kesepakatan atau perjanjian.
  6. Adanya distribusi informasi ke seluruh anggota kartel. Informasi yang dimaksudkan berupa laporan keuangan, laporan penjualan, ataupun laporan produksi.
  7. Adanya mekanisme kompensasi bagi mereka para anggota yang memiliki produksi lebih besar atau melebihi kuota yang telah ditetapkan bersama. Kompensasi tersebut dapat berupa uang, saham, pembagian bunga deviden yang lebih besar, ataupun bentuk kemitraan lain.

D. Jenis-jenis Kartel

Setelah mengetahui dan memahami bentuk perilaku dan praktik kartel, perlu diketahui pula jenis-jenis kartel. Dalam hal ini, praktik kartel dapat diidentifikasi atau dideteksi berdasarkan jenis-jenisnya sebagai berikut:

1. Kartel Daerah

Cakupan kartel ini biasanya menggunakan indikator regional atau wilayah. Ada beragam bentuk dan polanya. Misalnya, kartel yang membagi wilayah pemasarannya berdasarkan regional tertentu. Perusahaan A menguasai Pulau Jawa, kemudian perusahaan B menguasai wilayah di Kalimantan dan Sulawesi atau mungkin dibagi berdasarkan distrik ataupun provinsi. Perusahaan A boleh memasukkan produknya ke wilayah perusahaan B, tetapi tidak boleh melakukan pemasaran dengan agresif seperti melakukan promo khusus regional.

2. Kartel Produksi

Model kartel yang memiliki bentuk kesepakatan untuk menetapkan kuota produksi bagi anggota-anggotanya.

3. Kartel Harga

Model kartel yang dilakukan dengan melakukan kesepakatan untuk menetapkan harga (price fixing) untuk meniadakan persaingan harga. Modus praktik atau polanya bisa bervariasi. Mereka bisa menetapkan harga terendah, termasuk kesepakatan harga untuk musim penjualan (banting harga). Antara kartel harga dan kartel produksi biasanya tidak saling terpisahkan atau biasanya menjadi satu kesepakatan.

4. Kartel Kondisi

Kesepakatan atau perjanjian bisnis yang mereka lakukan melalui praktik kartel berdasarkan kondisi tertentu dalam perjanjian bisnis. Misalnya, pembuatan sistem administrasi (prosedur) dalam pengambilan kredit kendaraan bermotor, penyusunan mekanisme dalam penjualan tunai, prosedur dalam pemberian diskon (potongan harga), bonus, dan sebagainya.

5. Kartel Pembagian Laba

Model kartel yang dalam perjanjiannya berorientasi untuk melakukan kesepakatan atas pembagian laba. Biasanya, pembagian laba diberikan ke pihak (anggota) sebagai bentuk kompensasi atas kesepakatan yang telah mereka setujui. Tujuannya tidak lain untuk semakin memperkuat loyalitas di antara para anggota pelaku kartel.

Dalam dunia nyata, praktik kartel biasanya tidak hanya terbatas untuk satu jenis kartel seperti yang disebutkan di atas. Tidak jarang pelaku kartel dengan asosiasinya justru menggunakan keseluruhan kesepakatan dalam 5 jenis kartel. Tujuannya tidak lain untuk semakin mempersempit adanya persaingan dan tentunya membatasi peluang masuknya pendatang baru. Jika aturan atau kesepakatan kartel ingin dihormati atau dipatuhi anggota-anggotanya, tentu mereka bukan semata melakukan praktik kartel harga maupun produksi, tetapi akan melakukan pula praktik kartel pembagian laba.

E. Bentuk-bentuk Kartel

Jenis perjanjian horizontal yang paling dianggap paling merugikan atau bahkan dapat berakibat mematikan persaingan adalah kartel. Terdapat banyak bentuk kartel yang memungkinkan usaha yang bersaing membatasi persaingan melalui kontrak di antaranya yaitu:

1. Kartel Harga Pokok (prijskartel)

Di dalam kartel harga pokok, anggota-anggota menciptakan peraturan di antara mereka untuk perhitungan kalkulasi harga pokok dan besarnya laba. Pada kartel jenis ini ditetapkan harga penjualan bagi para anggota kartel. Benih dari persaingan kerap kali juga datang dari perhitungan laba yang akan diperoleh suatu badan usaha. Dengan menyeragamkan tingginya laba, maka persaingan di antara mereka dapat dihindarkan.

2. Kartel Harga

Dalam kartel ini ditetapkan harga minimum untuk penjualan barang-barang yang mereka produksi atau perdagangkan. Setiap anggota tidak diperkenankan untuk menjual barang-barangnya dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah ditetapkan itu. Pada dasarnya anggota-anggota itu diperbolehkan menjual di atas tanggung jawab sendiri.

3. Kartel Kontingentering

Di dalam jenis kartel ini, masing-masing anggota kartel diberikan jatah dalam banyaknya produksi yang diperbolehkan. Biasanya perusahaan yang memproduksi lebih sedikit daripada jatah yang sisanya menurut ketentuan, akan diberi premi hadiah, namun jika melakukan yang sebaliknya maka akan di denda. Maksud dari pengaturan ini adalah untuk mengadakan restriksi yang ketat terhadap banyaknya persediaan barang, sehingga harga barang-barang yang mereka jual dapat dinaikkan. Ambisi kartel kontingentering biasanya untuk mempermainkan jumlah persediaan barang dengan cara menahan dan mengatur ketersediaan barang tetap dalam kekuasaannya.

4. Kartel Kuota

Kartel kuota adalah pembagian volume pasar di antara para pesaing usaha. Di sini ditetapkan volume produksi dan atau penjualan tertentu atau ditentukan batas maksimal untuk volume produksi dan/atau penjualan yang diperbolehkan, dan kuota tersebut biasanya dijamin oleh pengaturan pasokan atau pembayaran pengimbangan dalam hal volume produksi atau pemasaran yang telah ditetapkan dilewati. Kartel kuota bertujuan untuk menaikkan tingkat harga.

5. Kartel Standar atau Kartel Tipe

Kartel standar dan kartel tipe adalah perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha mengenai standar, tipe, jenis atau ukuran tertentu yang harus ditaati. Perjanjian tersebut mengakibatkan pembatasan produksi karena pelaku usaha dihalangi untuk menggunakan standar dan tipe lain. Perjanjian tersebut dengan cara yang khas tidak hanya menghambat persaingan kualitas, melainkan secara tidak langsung mempengaruhi persaingan harga di antara para anggota kartel.

6. Kartel Kondisi

Kartel kondisi adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha mengenai standarisasi ketentuan perjanjian, yang tidak berkaitan langsung dengan harga, tetapi berkaitan dengan unsur lain dalam perjanjian bersangkutan. Perjanjian tersebut bertujuan untuk menghambat penjualan, oleh karena anggota kartel tidak dimungkinkan untuk membuat perjanjian lain dengan mitra kontrak individu. Setiap kondisi kurang lebih mempengaruhi harga hal mana dapat terjadi melalui mekanisme pasar, atau dengan memperhatikan pembagian risiko dari segi kalkulasi (tanggung jawab dan jaminan) serta melalui kondisi tambahan yang harus dipenuhi (pengemasan, pengiriman, pelayanan).

7. Kartel Syarat

Dalam kartel ini memerlukan penetapan-penetapan di dalam syarat-syarat penjualan misalnya kartel yang menetapkan standar kualitas barang yang dihasilkan atau dijual, dan/atau menetapkan syarat-syarat pengiriman, apakah ditetapkan loco gudang, Fob, C&F, Cif, embalase atau pembungkusan dan syarat-syarat pengiriman lainnya. Tujuan yang dimaksud oleh para anggota adalah keseragaman di antara anggota kartel. Keseragaman itu perlu di dalam kebijakan harga, sehingga tidak akan terjadi persaingan di antara mereka.

8. Kartel Laba atau Pool

Di dalam kartel laba dan kartel pool ini, anggota kartel biasanya menemukan peraturan yang berhubungan dengan laba yang mereka peroleh. Misalnya bahwa laba kotor harus disentralisasikan pada suatu kas umum kartel, kemudian laba bersih kartel akan dibagikan di antara mereka dengan perbandingan tertentu pula.

9. Kartel Rayon

Kartel rayon atau kadang-kadang juga disebut kartel wilayah pemasaran untuk mereka. Penetapan wilayah ini kemudian diikuti oleh penetapan harga untuk masing-masing daerah. Kartel rayon juga menentukan suatu peraturan bahwa setiap anggota tidak diperkenankan menjual barang-barangnya di daerah lain. Dengan ini dapat dicegah persaingan di antara anggota, yang mungkin harga-harga barangnya berlainan.

10. Kartel Penjualan atau Sindikat Penjualan atau Kantor Sentral Penjualan

Di dalam kartel penjualan ditentukan bahwa penjualan hasil produksi dari anggota harus melewati sebuah badan tunggal ialah kantor penjualan pusat. Melalui pemusatan penjualan seperti ini, maka persaingan di antara mereka akan dapat dihindarkan.

F. Praktik Kartel di Indonesia

Prinsip dasar dari perilaku kartel adalah bentuk monopoli dan perilaku monopoli. Dua kondisi tersebut sudah ada sejak berdirinya republik ini. Praktik kartel tersebut merupakan warisan dari kongsi-kongsi perkebunan dan dagang di era pemerintahan Hindia Belanda. Praktik monopoli ini pun sesungguhnya telah tercantum di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 berupa penguasaan sumber-sumber perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sementara itu, negara NKRI terbentuk dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya wacana dan studi tentang persaingan dan monopoli di dunia. Di Amerika Serikat sendiri, praktik kartel, trust, dan monopoli barulah mulai disoroti sekitar dekade 1960-an. Mengingat di masa setelah kemerdekaan hingga 1960-an belum banyak perusahaan-perusahaan swasta, praktis perilaku kartel, trust, dan monopoli belum terlihat.

Perkembangan perilaku monopoli baru mulai terlihat setelah memasuki era Orde Baru. Di awal dekade 1970-an, pemerintah mulai memberikan perhatian kepada pihak swasta untuk didorong agar dapat memenuhi target pencapaian substitusi impor. Dengan melibatkan modal asing ataupun investor asing, pencapaian substitusi impor tidak terlalu lama bisa diwujudkan. Praktik kartel dan monopoli di kalangan swasta semakin mulai terlihat pada dekade 1980-an. Diduga praktik kartel dan monopoli tersebut merupakan bentuk kesepakatan di antara pemerintah dan kalangan investor (produsen), terutama kalangan investor asing yang melibatkan kalangan produsen di dalam negeri. Apalagi sektor ekonomi yang digarap oleh kalangan swasta tersebut membutuhkan biaya investasi yang cukup besar. Pemerintah hanya bisa memberikan insentif atau perlakuan khusus kepada hanya beberapa produsen di dalam negeri.

Salah satu praktik kartel yang paling dominan di masa itu adalah kartel di antara produsen otomotif. Sebelum masa reformasi 1998, terdapat pengaturan industri yang menetapkan segmen teknologi untuk pasar kendaraan bermotor roda dua. Honda diberikan penguasaan untuk memproduksi dan merakit kendaraan bermotor dengan teknologi 4 tak. Sementara untuk Yamaha dan Suzuki diberikan penguasaan untuk motor terteknologi 2 tak. Dalam hal ini, Honda tidak diperkenankan masuk (merakit dan memproduksi) motor roda dua berteknologi 2 tak, kecuali diperbolehkan masuk melalui impor yang berarti akan dikenakan PPn Bea Masuk yang cukup mahal. Pada kelompok sedan, Toyota melalui ATPM-nya, yaitu Toyota Astra Motor (TAM) mendapatkan kewenangan untuk bermitra dengan pemerintah dalam menyediakan kendaraan-kendaraan dinas untuk pemerintah. Sekalipun demikian, pihak TAM tidak diperkenankan untuk bermitra dengan kalangan swasta dalam penyediaan kendaraan perkantoran, kecuali dengan kesepakatan tertentu. Praktik kartel semacam ini masih terus berlangsung hingga saat ini. Di kelompok sedan, mereka memiliki asosiasi sendiri yang bernama Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo.

Pada tahun 2009 lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berhasil membongkar praktik kartel dalam penetapan tarif layanan pesan pendek atau short message service (SMS). Kartel tersebut melibatkan nama-nama perusahaan operator seluler seperti PT Excelcomindo Pratama, Tbk., PT Telkomsel, Tbk., PT Telkom (Persero), PT Bakrie Telecom, Tbk., PT Mobile-8 Telecom, Tbk., dan PT Smart Telecom. Praktik kartel tersebut teridentifikasi dilakukan selama periode dari tahun 2004-2008, serta merugikan konsumen sebesar Rp 2,83 triliun.

Praktik kartel dalam industri telepon seluler sesungguhnya sudah terendus cukup lama, bukan semata pada layanan SMS, melainkan pula pada penetapan tarif panggilan (call). Sekalipun pihak KPPU berhasil mengeksekusi kasus tersebut, tetapi denda yang dikenakan untuk masing-masing perusahaan tidaklah seberapa apabila dibandingkan dengan kerugian konsumen yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Praktik kartel oleh para operator telepon seluler ini pun semakin meluas, bahkan semakin nyata membatasi masuknya pendatang baru. Kasus yang hampir terungkap adalah kasus operator seluler asal Malaysia, yaitu Axis yang diduga sempat mengalami tekanan industri (politik), akibat tidak mengikuti aturan main dalam persaingan operator telepon seluler.

Pada tahun 2005, KPPU berhasil membongkar praktik kartel dalam produksi garam di dalam negeri. Kesepakatan tertutup yang dilakukan oleh sejumlah produsen tersebut mengatur pasokan garam yang disuplai dari Sumatera Utara. Garam ternyata bukan hanya bermanfaat di rumah tangga, melainkan bahan baku vital bagi sektor industri tertentu. Tidak main-main, sektor industri yang sering membutuhkan pasokan garam adalah industri perminyakan. Sektor-sektor lainnya yang cukup penting membutuhkan pasokan garam seperti industri minuman, industri kimia, industri farmasi, industri kertas, dan lain sebagainya. Begitu besar manfaatnya, tetapi bertolak belakang apabila melihat nasib kesejahteraan para petani garam.

Pada tahun 2010, KPPU berhasil membongkar modus praktik kartel dalam industri minyak goreng kemasan maupun minyak goreng curah. Minyak goreng merupakan salah satu dari bahan kebutuhan pokok masyarakat yang kedudukannya sejajar dengan kebutuhan pokok pangan. Praktik kartel tersebut diketahui telah berlangsung selama periode April-Desember 2008 dengan modus price pararelism untuk jenis minyak goreng kemasan maupun jenis minyak goreng curah. Kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp 1,27 triliun untuk jenis minyak goreng kemasan (bermerek) dan sebesar Rp 374,3 miliar untuk jenis minyak goreng curah. Sekalipun demikian, kasus ini kandas melalui kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA) atas pengajuan banding oleh sebanyak 20 produsen minyak goreng lokal.

Praktik kartel ini pun ternyata merambah ke industri farmasi. Sekali lagi, KPPU berhasil membongkar adanya kartel di dalam penyediaan obat-obatan hipertensi jenis amplodipine besylate yang melibatkan PT. Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica. Bentuk kartel yang dilakukan adalah jenis kartel harga. Ini barulah praktik kartel untuk satu jenis obat-obatan yang berhasil dibongkar. Diduga kuat, praktik kartel terjadi pula untuk obat-obatan lainnya. Masalah kartel dalam industri farmasi di dalam negeri pernah disinggung oleh mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadila yang mengeluhkan tentang tata niaga perdagangan obat yang membuat harga obat-obatan menjadi mahal.

KPPU sempat pula membongkar dan mengeksekusi praktik kartel di kalangan operator transportasi udara di dalam negeri. Bentuk praktik kartel yang dibongkar berupa praktik kartel dalam penetapan harga tiket dan tarif fuel surcharge (avtur). Industri penerbangan di dalam negeri mulai tumbuh dan berkembang sejak tahun 2005 dengan kemunculan nama-nama baru dalam maskapai penerbangan nasional. Tidak disangka, kemunculan yang begitu cepat tersebut justru semakin memperkuat jalinan komunikasi bisnis yang berujung pada praktik kartel. Atas kasus tersebut, KPPU memberikan sanksi kepada PT Sriwijaya, PT Metro Batavia, PT Lion Mentari Airlines, PT Wing Abadi Airlines, PT Merpati Nusantara Airline (Persero), PT Travel Express Aviation Services, dan PT Mandala Airlines. Akibat praktik kartel tersebut, konsumen penerbangan mengalami kerugian dengan taksiran mencapai Rp 13,8 triliun selama periode dari tahun 2006-2008. Sekalipun sempat mengajukan banding ke tingkat MA, tetapi pihak MA menolak gugatan tersebut.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sama halnya dengan upaya untuk melakukan pemberantasan korupsi, untuk memberantas praktik kartel maupun trust membutuhkan kemauan politik (political will) dari pemerintah. Dibandingkan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), lembaga komisioner seperti KPPU relatif kurang populer di kalangan masyarakat. Padahal, isu kartel sesungguhnya cukup dekat, bahkan berdampingan maupun beriringan dengan kepentingan politik di dalam isu-isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menghadapi praktik kartel. Pada tahun 2001, sejumlah konsumen pengguna telepon seluler di Surabaya sempat melakukan ancaman pemboikotan regional terhadap sejumlah operator seluler. Aksi serupa terjadi lagi di tahun 2012 atas indikasi mafia (kartel) di dalam penyediaan layanan spam. Sejumlah kalangan konsumen menggalang kampanye mengajak masyarakat untuk memboikot penggunaan layanan telepon seluler. Sayangnya, persatuan sikap konsumen seperti ini tidaklah selalu ada dalam setiap kasus kartel atas komoditi tertentu. Di sinilah titik kekuatan para pelaku kartel maupun trust, yaitu posisi tawar di antara produsen dan konsumen. Lembaga perlindungan konsumen tidak selalu dapat menjamin, karena sikap ataupun keputusan dari lembaga perlindungan konsumen tidak selalu mendapatkan dukungan politik dari penyelenggara negara.

B. Saran

Dalam mengungkap perkara karel ini, mengingat dampak yang signifikan yang ditimbulkan atas kartel baik terhadap pesaing maupun konsumen, maka diperlukan penguatan kewenangan KPPU untuk menggeledah maupun menyita dokumen.

DAFTAR PUSTAKA

Hukum Persaingan Usaha: Mendeteksi Praktik Kartel, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 30 No. 2 Tahun 2011.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kartel

http://www.hukumonline.com/berita/baca/1t4c56cf0541b26/alat-bukti-kartel-dipersoalkan.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/1t4c64259449ebf/1t4c64259449ebf/kppu-pertahankan-ketentuan-minimal-satu-alat- bukti-dalam-kasus-kartel.

Download Contoh Makalah Kartel.docx