Makalah Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Pancasila Sebagai Sistem Filsafat ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Pancasila Sebagai Sistem Filsafat ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Pancasila Sebagai Sistem Filsafat ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Pancasila Sebagai Sistem Filsafat ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, April 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara etimologis istilah “Pancasila” berasal dari Sanskerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa Sanskerta perkataan “Pancasila” memiliki dua macam arti secara leksikal yaitu “panca” artinya “lima”, “syila” vokal I pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”, dan “syiila” vokal i pendek artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”. Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “susila “ yang memiliki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara etimologis kata “Pancasila” yang dimaksudkan adalah istilah “Panca Syilla” dengan vokal i pendek yang memiliki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna 5 aturan tingkah laku yang penting.

Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam siding tersebut Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Pembukaan UUD 1945 di mana di dalamnya termuat isi rumusan lima prinsip atau lima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila. Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar negara, yang secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.

Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka, maka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang. Dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat. Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana konsep Pancasila sebagai sistem filsafat?
  2. Apa urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat?
  3. Apa saja landasan Pancasila sebagai sistem filsafat?
  4. Apa saja sumber Pancasila sebagai sistem filsafat?
  5. Bagaimana argumen tentang dinamika dan tantangan Pancasila sebagai sistem filsafat?
  6. Bagaimana esensi Pancasila sebagai sistem filsafat?

C. Tujuan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui konsep Pancasila sebagai sistem filsafat.
  2. Untuk mengetahui urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat.
  3. Untuk mengetahui landasan Pancasila sebagai sistem filsafat.
  4. Untuk mengetahui sumber Pancasila sebagai sistem filsafat.
  5. Untuk mengetahui argumen tentang dinamika dan tantangan Pancasila sebagai sistem filsafat.
  6. Untuk mengetahui esensi Pancasila sebagai sistem filsafat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Titus, Smith, dan Nolan memberikan definisi filsafat berdasarkan watak dan fungsinya. Pertama, filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal). Kedua, filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi (arti formal). Ketiga, filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan (arti komprehensif). Keempat, filsafat adalah analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep (arti analisis linguistik). Kelima, filsafat adalah sekumpulan problematik yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat (arti aktual-fundamental).

Beberapa alasan Pancasila dikatakan sebagai sistem filsafat. Pertama, dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, Soekarno memberi judul pidatonya dengan nama Philosofische Grondslag daripada Indonesia Merdeka. Adapun pidatonya sebagai berikut: “Paduka Tuan Ketua yang mulia, saya mengerti apa yang Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta Philosofische Grondslag, atau jika kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua yang mulia minta suatu Weltanschauung, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu”.

Kedua, menurut Noor Bakry, Pancasila adalah hasil permenungan mendalam para tokoh kenegaraan Indonesia, melalui suatu diskusi dan dialog panjang dalam sidang BPUPKI hingga pengesahan PPKI. Hasil permenungan itu sesuai dengan ciri-ciri pemikiran filsafat, yakni koheren, logis, inklusif, mendasar, dan spekulatif.

Ketiga, menurut Sastrapratedja, Pancasila menjadi ideologi negara. Pancasila adalah dasar politik yang mengatur dan mengarahkan segala kegiatan yang berkaitan dengan hidup kenegaraan, seperti perundang-undangan, pemerintahan, perekonomian nasional, hidup berbangsa, hubungan warga negara dengan negara, dan hubungan antar sesama warga negara, serta usaha-usaha untuk menciptakan kesejahteraan bersama.

Driyarkara membedakan antara filsafat dan Weltanschauung. Filsafat lebih bersifat teoritis dan abstrak, yaitu cara berpikir dan memandang realitas dengan sedalam-dalamnya untuk memperoleh kebenaran. Weltanschauung lebih mengacu pada pandangan hidup yang bersifat praktis. Driyarkara menegaskan bahwa Weltanschauung belum tentu didahului oleh filsafat karena pada masyarakat primitif terdapat pandangan hidup (Weltanschauung) yang tidak didahului rumusan filsafat. Filsafat berada dalam lingkup ilmu, sedangkan Weltanshauung berada di dalam lingkungan hidup manusia, bahkan banyak pula bagian dari filsafat (seperti: sejarah filsafat, teori-teori tentang alam) yang tidak langsung terkait dengan sikap hidup.

Nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam sila-sila Pancasila mendasari seluruh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Pancasila sebagai Weltanschauung, artinya nilai-nilai Pancasila itu merupakan sesuatu yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian disepakati sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag).

B. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Manusia memerlukan filsafat dengan beberapa alasan. Pertama, manusia telah memperoleh kekuatan baru yang besar dalam sains dan teknologi, telah mengembangkan bermacam-macam teknik untuk memperoleh ketenteraman (security) dan kenikmatan (comfort). Kedua, filsafat melalui kerja sama dengan disiplin ilmu lain memainkan peran yang sangat penting untuk membimbing manusia kepada keinginan-keinginan dan aspirasi mereka. Beberapa faedah filsafat yang perlu diketahui dan dipahami. Pertama, faedah terbesar dari filsafat adalah untuk menjaga kemungkinan terjadinya pemecahan-pemecahan terhadap problem kehidupan manusia. Kedua, filsafat adalah suatu bagian dari keyakinan-keyakinan yang menjadi dasar perbuatan manusia. Ide-ide filsafat membentuk pengalaman-pengalaman manusia pada waktu sekarang. Ketiga, filsafat adalah kemampuan untuk memperluas bidang-bidang kesadaran manusia agar dapat menjadi lebih hidup, lebih dapat membedakan, lebih kritis, dan lebih pandai.

Urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat atau filsafat Pancasila, artinya refleksi filosofis mengenai Pancasila sebagai dasar negara. Sastrapratedja menjelaskan makna filsafat Pancasila sebagai berikut. Pertama, agar dapat diberikan pertanggungjawaban rasional dan mendasar mengenai sila-sila dalam Pancasila sebagai prinsip-prinsip politik. Kedua, agar dapat dijabarkan lebih lanjut sehingga menjadi operasional dalam bidang-bidang yang menyangkut hidup bernegara. Ketiga, agar dapat membuka dialog dengan berbagai perspektif baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, agar dapat menjadi kerangka evaluasi terhadap segala kegiatan yang bersangkut paut dengan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, serta memberikan perspektif pemecahan terhadap permasalahan nasional.

C. Landasan Pancasila sebagai Sistem Filsafat

1. Filsafat Pancasila sebagai Genetivus Objectivus dan Subjectivus

Pancasila sebagai genetivus-objektivus, artinya nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai objek yang dicari landasan filosofisnya berdasarkan sistem-sistem dan cabang-cabang filsafat yang berkembang di Barat. Pancasila sebagai genetivus-subjectivus, artinya nilai-nilai Pancasila dipergunakan untuk mengkritisi berbagai aliran filsafat yang berkembang, baik untuk menemukan hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila maupun untuk melihat nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Selain itu, nilai-nilai Pancasila tidak hanya dipakai dasar bagi pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi juga nilai-nilai Pancasila harus mampu menjadi orientasi pelaksanaan sistem politik dan dasar bagi pembangunan nasional.

Sastrapratedja mengatakan bahwa Pancasila adalah dasar politik, yaitu prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Soerjanto mengatakan bahwa fungsi Pancasila untuk memberikan orientasi ke depan mengharuskan bangsa Indonesia selalu menyadari situasi kehidupan yang sedang dihadapinya.

2. Landasan Ontologis Filsafat Pancasila

Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat segala yang ada secara umum sehingga dapat dibedakan dengan disiplin ilmu-ilmu yang membahas sesuatu secara khusus. Ontologi membahas tentang hakikat yang paling dalam dari sesuatu yang ada, yaitu unsur yang paling umum dan bersifat abstrak, disebut juga dengan istilah substansi. Inti persoalan ontologi adalah menganalisis tentang substansi. Substansi berasal dari bahasa Latin “substare” artinya serentak ada, bertahan, ada dalam kenyataan. Substantialitas artinya sesuatu yang berdiri sendiri, hal berada, wujud, hal wujud.

Menurut Bakker, ontologi adalah ilmu yang paling universal karena objeknya meliputi segala-galanya menurut segala bagiannya (ekstensif) dan menurut segala aspeknya (intensif). Bakker mengaitkan dimensi ontologi ke dalam Pancasila dalam uraian berikut. Manusia adalah makhluk individu sekaligus sosial (monodualisme), yang secara universal berlaku pula bagi substansi infrahuman, manusia, dan Tuhan. Kelima sila Pancasila menurut Bakker menunjukkan dan mengandaikan kemandirian masing-masing, tetapi dengan menekankan kesatuannya yang mendasar dan keterikatan dalam relasi-relasi. Dalam kebersamaan itu, sila-sila Pancasila merupakan suatu hierarki teratur yang berhubungan satu sama lain, khususnya pada Tuhan. Bakker menegaskan bahwa baik manusia maupun substansi infrahuman bersama dengan otonominya ditandai oleh ketergantungan pada Tuhan Sang Pencipta. Ia menyimpulkan bahwa segala jenis dan taraf substansi berbeda secara esensial, tetapi tetap ada keserupaan mendasar.

Stephen W. Littlejohn dan Karen A Foss dalam Theories of Human Communication menegaskan bahwa ontologi merupakan sebuah filosofi yang berhadapan dengan sifat makhluk hidup. Ada empat masalah mendasar dalam asumsi ontologis ketika dikaitkan dengan masalah sosial:

  1. Pada tingkatan apa manusia membuat pilihan-pilihan yang nyata?
  2. Apakah perilaku manusia sebaiknya dipahami dalam bentuk keadaan atau sifat?
  3. Apakah pengalaman manusia semata-mata individual atau sosial?
  4. Pada tingkatan apakah komunikasi sosial menjadi kontekstual?

Littlejohn dan Fossterkait mengemukakan bahwa, masalah ontologis ini dapat diterapkan ke dalam Pancasila sebagai sistem filsafat. Pertama, determinisme menyatakan bahwa perilaku manusia disebabkan oleh banyak kondisi sebelumnya sehingga manusia pada dasarnya bersifat reaktif dan pasif. Pancasila sebagai sistem filsafat lahir sebagai reaksi atas penjajahan yang melanggar Hak Asasi Manusia, sebagaimana amanat yang tercantum dalam alinea I Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.

Kedua, pragmatisme menyatakan bahwa manusia merencanakan perilakunya untuk mencapai tujuan masa depan sehingga manusia merupakan makhluk yang aktif dan dapat mengambil keputusan yang memengaruhi nasib mereka. Sifat aktif yang memunculkan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan termuat dalam alinea II Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

Ketiga, kompromisme menyatakan bahwa manusia yang membuat pilihan dalam jangkauan yang terbatas atau bahwa perilaku telah ditentukan, sedangkan perilaku yang lain dilakukan secara bebas. Ketergantungan di satu pihak dan kebebasan di pihak lain tercermin dalam alinea III Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Ketergantungan dalam hal ini adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, sedangkan kebebasan bangsa Indonesia mengacu pada keinginan luhur untuk bebas merdeka.

Persoalan kedua, dipertanyakan apakah perilaku manusia sebaiknya dipahami dalam bentuk keadaan atau sifat? Keadaan mencerminkan kedinamisan manusia, sedangkan sifat mengacu pada karakteristik yang konsisten sepanjang waktu. Keadaan dan sifat membentuk perilaku bangsa Indonesia dari masa ke masa, berupa solidaritas, rasa kebersamaan, gotong-royong, bahu-membahu untuk mengatasi kesulitan demi menyongsong masa depan yang lebih baik. Persoalan ketiga, dipertanyakan apakah pengalaman manusia semata-mata individual ataukah sosial? Para pahlawan (Diponegoro, Imam Bonjol, Pattimura, dan seterusnya) dan tokoh-tokoh pergerakan nasional (Soekarno, M. Hatta, A.A. Maramis, Agus Salim, dan seterusnya) berjuang bersama untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia.

Landasan ontologis Pancasila artinya sebuah pemikiran filosofis atas hakikat dan nilai-nilai sila Pancasila sebagai dasar filosofis negara Indonesia. Sastrapratedja menjabarkan prinsip-prinsip Pancasila sebagai berikut.

  1. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan pengakuan atas kebebasan beragama, saling menghormati dan bersifat toleran, serta menciptakan kondisi agar hak kebebasan beragama itu dapat dilaksanakan oleh masing-masing pemeluk agama.
  2. Prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, mengakui bahwa setiap orang memiliki martabat yang sama, setiap orang harus diperlakukan adil sebagai manusia yang menjadi dasar bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia.
  3. Prinsip Persatuan Indonesia, mengandung konsep nasionalisme politik yang menyatakan bahwa perbedaan budaya, etnis, bahasa, dan agama tidak menghambat atau mengurangi partisipasi perwujudannya sebagai warga negara kebangsaan. Wacana tentang bangsa dan kebangsaan dengan berbagai cara pada akhirnya bertujuan menciptakan identitas diri bangsa Indonesia.
  4. Prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengandung makna bahwa sistem demokrasi diusahakan ditempuh melalui proses musyawarah demi tercapainya mufakat untuk menghindari dikotomi mayoritas dan minoritas.
  5. Prinsip Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sebagaimana yang dikemukakan Soekarno, yaitu didasarkan pada prinsip tidak adanya kemiskinan dalam Negara Indonesia merdeka, hidup dalam kesejahteraan (welfare state).

3. Landasan Epistemologis Filsafat Pancasila

Epistemologi adalah cabang filsafat pengetahuan yang membahas tentang sifat dasar pengetahuan, kemungkinan, lingkup, dan dasar umum pengetahuan. Epistemologi terkait dengan sesuatu yang paling sederhana dan paling mendasar. Littlejohn dan Foss menyatakan bahwa epistemologi merupakan cabang filosofi yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang-orang dapat mengetahui tentang sesuatu atau apa-apa yang mereka ketahui. Mereka mengemukakan beberapa persoalan paling umum dalam epistemologi sebagai berikut. Pertama, pada tingkatan apa pengetahuan dapat muncul sebelum pengalaman? Kedua, pada tingkatan apa pengetahuan dapat menjadi sesuatu yang pasti?

Pada problem yang pertama, terdapat dua aliran sumber pengetahuan manusia, yakni rasionalisme dan empirisme. Kaum Rasionalis berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah akal budi. Unsur a priori sangat ditekankan. Kaum empiris berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman. Unsur a posteriori sangat ditekankan. Bila dikaitkan dengan Pancasila, sebagaimana menurut Soekarno, merupakan pengetahuan yang sudah tertanam dalam pengalaman rakyat Indonesia. Soekarno menggabungkan kedua paham rasionalis dan empiris. Menurut Soekarno Pancasila menghargai pluralitas etnis, religi dan budaya.

Pada problem yang kedua, dibedakan dua bentuk tingkat pengetahuan yakni mutlak dan relatif. Pancasila dikatakan sebagai pengetahuan yang mutlak karena sifat universal yang terkandung dalam hakikat sila-silanya, yaitu Tuhan, manusia, satu (solidaritas, nasionalisme), rakyat, dan adil dapat berlaku di mana saja dan bagi siapa saja. Notonagoro menamakannya dengan istilah Pancasila abstrak-umum universal. Pancasila dikatakan sebagai pengetahuan yang relatif karena Pancasila dapat dipahami secara beragam, namun semangatnya bersifat umum.

Landasan epistemologi Pancasila digali dari pengalaman dan dipadukan menjadi suatu pandangan menyeluruh kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila secara epistemologis dapat diuraikan sebagai berikut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa digali dari pengalaman kehidupan beragama bangsa Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab digali dari pengalaman atas kesadaran masyarakat yang ditindas oleh penjajahan selama berabad-abad. Oleh karena itu, dalam alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa penjajahan itu tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan.

Sila Persatuan Indonesia digali dari pengalaman atas kesadaran bahwa keterpecahbelahan yang dilakukan penjajah kolonialisme Belanda melalui politik Devide et Impera menimbulkan konflik antar masyarakat Indonesia. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan digali dari budaya bangsa Indonesia yang sudah mengenal secara turun temurun pengambilan keputusan berdasarkan semangat musyawarah untuk mufakat. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia digali dari prinsip-prinsip yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yang tercermin dalam sikap gotong royong.

4. Landasan Aksiologis Pancasila

Littlejohn dan Foss mendefinisikan aksiologi sebagai cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai. Masalah utama dalam aksiologi adalah bisakah teori bebas dari nilai?. Positivisme meyakini bahwa teori dan ilmu harus bebas dari nilai sehingga unsur ilmiah terjaga. Padahal tidak semua aspek kehidupan manusia dapat diukur secara ilmiah. Pancasila tidak mengikuti positivisme. Pancasila adalah sumber nilai bagi bangsa Indonesia seperti nilai spiritualitas, kemanusiaan, solidaritas, musyawarah, dan keadilan. Landasan aksiologis Pancasila artinya nilai atau kualitas yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Sila pertama mengandung kualitas monoteis, spiritual, kekudusan, dan sakral. Sila kemanusiaan mengandung nilai martabat, harga diri, kebebasan, dan tanggung jawab. Sila persatuan mengandung nilai solidaritas dan kesetiakawanan. Sila keempat mengandung nilai demokrasi, musyawarah, mufakat, dan berjiwa besar. Sila keadilan mengandung nilai kepedulian dan gotong royong.

D. Sumber Pancasila sebagai Sistem Filsafat

1. Sumber Historis

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, yaitu sekitar 14 abad pengaruh Hindu dan Buddha, 7 abad pengaruh Islam, dan 4 abad pengaruh Kristen. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih berlangsungnya sistem penyembahan dari berbagai kepercayaan dalam agama-agama yang hidup di Indonesia. Pada semua sistem religi-politik tradisional di muka bumi, termasuk di Indonesia, agama memiliki peranan sentral dalam pendefinisian institusi-institusi sosial.

Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Bangsa Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Soekarno menyebutnya dengan istilah Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Sila kedua ini dibuktikan melalui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial serta pada pemuliaan hak-hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsaan Indonesia.

Sila Persatuan Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk sosial, kultural, dan teritorial. Bangsa Indonesia dapat menyatu dalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan peradaban Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi.

Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya. Tan Malaka mengatakan bahwa paham kedaulatan rakyat sebenarnya telah tumbuh di alam kebudayaan Minangkabau, kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Kemudian, Hatta menambahkan ada dua anasir tradisi demokrasi di Nusantara, yaitu; hak untuk mengadakan protes terhadap peraturan raja yang tidak adil dan hak untuk menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak disenangi.

Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagiaan yang telah berkobar ratusan tahun lamanya dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. Impian kebahagiaan itu terpahat dalam ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Demi impian masyarakat yang adil dan makmur itu, para pejuang bangsa telah mengorbankan dirinya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia dahulunya adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran, keadaan ini kemudian dirampas oleh kolonialisme.

2. Sumber Sosiologis

Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama, Kelompok pertama masyarakat awam yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat yang terdapat dalam agama, adat istiadat, dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia. Kelompok kedua, masyarakat ilmiah-akademis yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat dengan teori-teori yang bersifat akademis. Menurut Notonagoro, Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Artinya, sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan utuh yang saling terkait dan saling berhubungan secara koheren. Notonagoro menggambarkan kesatuan dan hubungan sila-sila Pancasila itu dalam bentuk kesatuan dan hubungan hierarkis piramidal dan kesatuan hubungan yang saling mengisi atau saling mengkualifikasi.

3. Sumber Politis

Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama, meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada siding BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun 1958 dan 1959, tentang pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis. Kelompok kedua, mencakup berbagai argumen politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat yang disuarakan kembali di era reformasi dalam pidato politik Habibie 1 Juni 2011.

E. Argumen Tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

1. Dinamika Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Pada era pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai sistem filsafat dikenal dengan istilah “Philosofische Grondslag”. Soekarno memikirkan perihal kemerdekaan bangsa Indonesia. Ide tersebut disambut baik oleh berbagai kalangan, terutama dalam sidang BPUPKI pertama 1 Juni 1945. Akan tetapi, ide tentang Philosofische Grondslag belum diuraikan secara rinci atau masih bersifat teoritis. Pada masa itu, Soekarno lebih menekankan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari akulturasi budaya bangsa Indonesia.

Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat bergema dalam wacana akademik, termasuk kritik dan renungan yang dilontarkan oleh Habibie dalam pidato 1 Juni 2011. Habibie menyatakan bahwa “Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tidak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa Indonesia. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik”.

2. Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Ada dua tantangan Pancasila sebagai sistem filsafat, yakni kapitalisme dan komunisme. Pertama, kapitalisme menekankan kebebasan pemilik modal untuk mengembangkan usahanya dalam rangka meraih keuntungan sebesar-besarnya, sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif , seperti monopoli, gaya hidup konsumerisme, dan lain-lain. Kedua, komunisme yang sangat menekankan dominasi negara sebagai pemilik modal, sehingga menghilangkan peran rakyat dalam kehidupan bernegara.

F. Esensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki esensi, antara lain:

  1. Hakikat Sila Ketuhanan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan adalah prinsip utama dalam kehidupan semua makhluk. Setiap orang memiliki kebebasan yang bertanggungjawab.
  2. Hakikat Sila Kemanusiaan terletak pada manusia monopluralis, yang terdiri dari susunan kodrat (jiwa, raga), sifat kodrat (makhluk individu, sosial), dan kedudukan kodrat (makhluk pribadi yang otonom dan makhluk Tuhan).
  3. Hakikat Sila Persatuan terletak pada semangat kebangsaan. Rasa kebangsaan terwujud dalam bentuk cinta tanah air, yang dibedakan ke dalam 3 jenis, yaitu tanah air real, tanah air formal, dan tanah air mental. Tanah air real adalah bumi tempat orang dilahirkan dan dibesarkan, bersuka, dan berduka, yang dialami secara fisik sehari-hari. Tanah air formal adalah Negara bangsa yang berundang-undang dasar, yang Anda, manusia Indonesia, menjadi salah seorang warganya, yang membuat undang-undang, menggariskan hukum dan peraturan, menata, mengatur dan memberikan hak serta kewajiban, mengesahkan atau membatalkan, memberikan perlindungan, dan menghukum, memberikan paspor atau surat pengenal lainnya. Tanah air mental bukan bersifat teritorial karena tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, melainkan imajinasi yang dibentuk dan dibina oleh ideologi atau seperangkat gagasan vital.
  4. Hakikat Sila Kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah. Artinya, keputusan yang diambil lebih didasarkan atas semangat musyawarah untuk mufakat, bukan membenarkan begitu saja pendapat mayoritas tanpa peduli pendapat minoritas.
  5. Hakikat Sila Keadilan terwujud dalam tiga aspek, yaitu keadilan distributif, legal, dan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan bersifat membagi dari negara kepada warga negara. Keadilan legal adalah kewajiban warga negara terhadap negara atau dinamakan keadilan bertaat. Keadilan komutatif adalah keadilan antara sesama warga negara.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila. Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding father kita, yang dituangkan dalam suatu sistem (Ruslan Abdul Gani). Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat dari Pancasila (Notonagoro).

Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sedangkan Pancasila sebagai sistem filsafat adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama antara sila yang satu dengan sila yang lain untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh yang mempunyai beberapa inti sila, nilai dan landasan yang mendasar.

B. Saran

Supaya seluruh masyarakat mengetahui seberapa penting Pancasila dan dapat mengamalkan nilai-nilai sila dari Pancasila dengan baik dan benar, serta tidak melecehkan arti penting Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, Anton. 1992. Ontologi atau Metafisika Umum Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius.

Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss. 2016. Theories of Human Communication. Illinois: Waveland Press, Inc.

Sastrapratedja, M. 2013. Lima Gagasan yang Dapat Mengubah Indonesia. Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila.

Soerjanto. 1993. Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta: BP-7 Pusat.

Download Contoh Makalah Pancasila Sebagai Sistem Filsafat.docx