KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Konflik Sosial ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah Sosiologi yang berjudul Makalah Konflik Sosial ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Konflik Sosial ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Konflik Sosial ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, November 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah sistem sosial, masyarakat adalah merupakan sejumlah orang yang hubungan timbal-balik bersifat konstan. Sistem sosial itu bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya, ia diciptakan oleh manusia, dipertahankan, malah diubahnya pun oleh manusia juga. Sebagai contoh, dalam kehidupan keluarga orang tua dan anak akan mengembangkan kegiatan-kegiatan yang membuat mereka untuk saling mencintai, saling mengasihi sehingga merasa bersatu dan hubungan keluarga menjadi erat. Apabila terjadi perselisihan maka akan timbul konflik atau pertentangan.
Konflik merupakan bagian dari suatu kehidupan di dunia yang kadang tidak dapat dihindari. Konflik umumnya bersifat negatif, karena ada kecenderungan antara pihak-pihak yang terlibat konflik saling bertentangan dan berusaha untuk saling meniadakan atau melenyapkan. Dalam hal ini yang bertentangan dianggap sebagai lawan atau musuh. Di sinilah letak perbedaan konflik dengan rivalitas atau persaingan. Meskipun dalam rivalitas terdapat kecenderungan untuk mengalahkan, namun tidak mengarah pada saling meniadakan saingan atau kompetitor. Saingan atau tidak dianggap musuh yang harus dilenyapkan.
Sebagai makhluk sosial manusia selalu menjalin hubungan (interaksi) antara yang satu dengan yang lainnya. Jalinan hubungan (interaksi) tersebut meliputi seluruh dimensi kehidupan, seperti ekonomi, politik, kebudayaan, agama, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Jika hubungan (interaksi) tersebut dilaksanakan secara serasi, selaras, dan seimbang berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku, maka akan tercipta sebuah keteraturan sosial sehingga kehidupan akan terasa aman dan tenteram.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Konflik Sosial ini adalah sebagai berikut:
- Apa pengertian konflik sosial?
- Apa perbedaan konflik dengan kekerasan?
- Apa saja faktor penyebab konflik sosial?
- Apa saja macam-macam konflik sosial?
- Bagaimana tanda-tanda adanya konflik sosial?
- Bagaimana akibat konflik sosial?
- Bagaimana penyelesaian konflik?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Konflik Sosial ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui pengertian konflik sosial.
- Untuk mengetahui perbedaan konflik dengan kekerasan.
- Untuk mengetahui faktor penyebab konflik sosial.
- Untuk mengetahui macam-macam konflik sosial.
- Untuk mengetahui tanda-tanda adanya konflik sosial.
- Untuk mengetahui akibat konflik sosial.
- Untuk mengetahui penyelesaian konflik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konflik Sosial
Konflik adalah merupakan bagian dari dinamika masyarakat sebagai konsekuensi dari interaksi sosial dan perubahan sosial. Berdasarkan pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan, konflik sosial adalah pertentangan antar anggota masyarakat yang tersifat menyeluruh dalam kehidupan. Konflik tidak hanya bersifat lahiriah tapi dapat terjadi dalam batin yaitu konflik batin. Konflik batin adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua atau lebih gagasan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku.
Menurut Minnery, mendefinisikan konflik sebagai interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan di mana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut menyadari perbedaan tersebut dan melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut (Minnery, 1985: 35). Dalam sosiologi konflik disebut juga pertikaian atau pertentangan. Pertikaian adalah bentuk persaingan yang berkembang secara negatif. Hal ini berarti satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau berusaha menyingkirkan pihak lainnya. Dengan kata lain, pertikaian merupakan usaha penghapusan keberadaan pihak lain. Pengertian ini senada dengan pendapat Soedjono. Menurut Soedjono (2002: 158), pertikaian adalah suatu bentuk interaksi sosial di mana pihak yang satu berusaha menjatuhkan pihak yang lain atau berusaha mengenyah-kan rivalnya. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto (1989: 86), pertentangan atau pertikaian atau konflik adalah suatu proses yang dilakukan orang atau kelompok manusia guna memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. Oleh karena itu, konflik diidentikkan dengan tindak kekerasan.
Konflik dapat pula diartikan sebagai suatu perjuangan memperoleh hal-hal yang langka, seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan sebagainya guna memperoleh keuntungan. Oleh karena itu, setiap pihak yang berkonflik berusaha menundukkan saingannya dengan menggunakan segala kemampuan yang dimiliki agar dapat memenang-kan konflik tersebut. Tindak kekerasan dianggap tindakan yang tepat dalam mendukung individu mencapai tujuannya. Dalam arti mudah, konflik didefinisikan sebagai perbedaan pendapat, kepentingan, atau tujuan antara dua atau lebih pihak yang mempunyai objek yang sama dan membawa pada perpecahan.
Menurut teori konflik, masyarakat memang bersifat pluralistik dan di dalamnya terjadi ketidakseimbangan distribusi kekuasaan (authority), artinya dalam suatu masyarakat senantiasa terdapat kelompok-kelompok sosial yang saling bersaing dan berebut pengaruh. Dari persaingan dan perebutan pengaruh itulah, kemudian muncul kelompok yang paling berkuasa dan kelompok-kelompok lain yang berkedudukan sebagai pihak yang dikuasai. Kelompok yang paling berkuasa dan berpengaruh ini biasanya bersifat elite. Mereka memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan-peraturan yang tujuannya untuk membela kepentingan kelompok mereka sendiri. Peraturan-peraturan itu dapat berupa hukum yang mengikat kelompok sosial lain agar tetap patuh. Persaingan yang terjadi di antara kedua jenis kelompok sosial itulah yang menyebabkan terjadinya konflik sosial.
B. Perbedaan Konflik dengan Kekerasan
Keberadaan konflik di masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Artinya, konflik akan selalu ada dan pasti terjadi dalam masyarakat. Lebih-lebih kalau kita memahaminya dari sudut pandang teori konflik klasik (Karl Marx). Berdasarkan pemahaman teori ini, konflik sosial ternyata mengandung manfaat positif, yakni sebagai bagian dari proses perubahan sosial. Namun, konflik sosial juga dapat bersifat negatif, karena konflik menempatkan warga masyarakat dalam posisi saling bermusuhan. Hal ini berbeda dengan kompetisi. Dalam kompetisi, interaksi yang terjadi bersifat disasosiatif, namun berlangsung dalam suasana damai. Hal ini tentu saja berbeda dengan konflik, karena konflik adalah interaksi sosial yang berlangsung dengan melibatkan individu-individu atau kelompok-kelompok yang saling menentang dengan ancaman kekerasan.
Konflik sosial yang didasari oleh alasan untuk sekadar mempertahankan diri memang tidak begitu mengarah pada kekerasan, karena konflik sosial seperti ini hanya bersifat defensif saja. Akan tetapi, ada konflik sosial yang terang-terangan bertujuan untuk membinasakan pihak lain yang dipandang sebagai lawan. Konflik sosial jenis kedua inilah yang akan mengarah pada kekerasan, seperti konflik sosial yang merebak di Sampit, Kalimantan yang melibatkan suku Dayak dengan kaum pendatang dari Madura. Konflik sepeti ini bersifat merusak (negatif) karena menimbulkan kerusakan harta benda dan bahkan nyawa manusia. Dalam sejarah internasional, konflik yang mengarah pada kekerasan banyak terjadi, seperti perang etnis di Bosnia-Herzegovina menyusul pecahnya Uni Soviet menjadi negara-negara kecil. Begitu pula yang terjadi antara bangsa Palestina dengan Israel di Timur Tengah.
Perbedaan antara konflik dan kekerasan sangatlah tipis. Konflik sangat potensial memicu lahirnya kekerasan. Sebaliknya, kekerasan sering terjadi sebagai akibat konflik sosial. Walaupun keduanya berjarak sangat tipis, antara konflik dengan kekerasan memiliki perbedaan yang jelas.
C. Faktor Penyebab Konflik Sosial
Menurut Soerjono Soekanto, terdapat beberapa faktor penyebab konflik yaitu:
1. Perbedaan antar Individu
Sebagai makhluk individu, manusia memiliki karakter yang khas menurut corak kepribadiannya. Setiap individu berkembang sejalan dengan ciri-ciri khasnya, walaupun berada dalam lingkungan yang sama. Pada saat interaksi berlangsung individu akan mengalami proses adaptasi dan pertentangan dengan individu lainnya. Apabila terdapat ketidaksesuaian maka akan terjadi konflik. Contoh, Arie anak yang baru berusia 5 tahun meminta ayahnya untuk membelikannya handphone. Ayahnya belum mau membeli-kan Arie handphone karena Arie masih kecil dan belum begitu membutuh-kan alat tersebut. Akhirnya Arie marah dan melakukan mogok belajar.
2. Perbedaan Kebudayaan
Kebudayaan sering kali dianggap sebagai sebuah ideologi, sehingga memicu terjadinya konflik. Anggapan yang berlebihan terhadap kebudayaan yang dimiliki oleh sebuah kelompok menempatkan kebudayaan sebagai sebuah tingkatan sosial. Sehingga kebudayaan miliki sendiri dianggap lebih tinggi daripada kebudayaan lain. Dalam catatan sejarah umat manusia konsep suku dan kebudayaannya telah memainkan peranan yang sangat penting dan sekaligus dramatis dalam percaturan masyarakat.
3. Perbedaan Kepentingan
Manusia memang membutuhkan proses pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan batiniah dan lahiriah untuk membentuk dirinya, karena itulah terjadi hubungan timbal balik sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia akan berbeda-beda kebutuhannya, perbedaan kebutuhan ini akan berubah menjadi kepentingan yang berbeda-beda.
4. Perubahan Sosial
Kecenderungan terjadinya perubahan sosial merupakan gejala wajar sebagai akibat dari interelasi sosial dalam pergaulan hidup antar manusia. Perubahan sosial dapat pula terjadi karena adanya perubahan-perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat. Pada masyarakat yang tidak dapat menerima perubahan sosial akan timbul konflik sebagai proses pertentangan nilai dan norma yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat.
D. Macam-macam Konflik Sosial
Konflik sebagai bentuk interaksi sosial memiliki ragam yang bermacam-macam. Menurut Soerjono Soekanto (1989: 90), konflik mempunyai beberapa bentuk khusus, yaitu:
1. Konflik Pribadi
Konflik terjadi dalam diri seseorang terhadap orang lain. Umumnya konflik pribadi diawali perasaan tidak suka terhadap orang lain, yang pada akhirnya melahirkan perasaan benci yang mendalam. Perasaan ini mendorong tersebut untuk memaki, menghina, bahkan memusnahkan pihak lawan. Pada dasarnya konflik pribadi sering terjadi dalam masyarakat.
2. Konflik Rasial
Konflik rasial umumnya terjadi di suatu negara yang memiliki keragaman suku dan ras. Lantas, apa yang dimaksud dengan ras? Ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri biologisnya, seperti bentuk muka, bentuk hidung, warna kulit, dan warna rambut. Secara umum ras di dunia dikelompokkan menjadi lima ras, yaitu Australoid, Mongoloid, Kaukasoid, Negroid, dan ras-ras khusus. Hal ini berarti kehidupan dunia berpotensi munculnya konflik juga jika perbedaan antarras dipertajam.
3. Konflik Antarkelas Sosial
Terjadinya kelas-kelas di masyarakat karena adanya sesuatu yang dihargai, seperti kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan. Kesemua itu menjadi dasar penempatan seseorang dalam kelas-kelas sosial, yaitu kelas sosial atas, menengah, dan bawah. Seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan yang besar menempati posisi atas, sedangkan orang yang tidak memiliki kekayaan dan kekuasaan berada pada posisi bawah. Dari setiap kelas mengandung hak dan kewajiban serta kepentingan yang berbeda-beda. Jika perbedaan ini tidak dapat terjembatani, maka situasi kondisi tersebut mampu memicu munculnya konflik rasial.
4. Konflik Politik
Dunia perpolitikan pun tidak lepas dari munculnya konflik sosial. Politik adalah cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Konflik politik terjadi karena setiap golongan di masyarakat melakukan politik yang berbeda-beda pada saat menghadapi suatu masalah yang sama. Karena perbedaan inilah, maka peluang terjadinya konflik antargolongan terbuka lebar. Contoh rencana undang-undang pornoaksi dan pornografi sedang diulas, masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua pemikiran, sehingga terjadi pertentangan antara kelompok masyarakat yang setuju dengan kelompok yang tidak menyetujuinya.
5. Konflik Bersifat Internasional
Konflik internasional biasanya terjadi karena perbedaan-perbedaan kepentingan di mana menyangkut kedaulatan negara yang saling berkonflik. Karena mencakup suatu negara, maka akibat konflik ini dirasakan oleh seluruh rakyat dalam suatu negara. Apabila kita mau merenungkan sejenak, pada umumnya konflik internasional selalu berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan pada akhirnya menimbulkan perang antarbangsa.
E. Tanda-tanda Adanya Konflik Sosial
Keempat faktor di atas sering secara bersama-sama atau sendiri-sendiri memicu lahirnya konflik sosial. Untuk mengetahui apakah di masyarakat sedang terjadi konflik atau tidak, Anda dapat mengamati lewat beberapa indikator yang diberikan oleh Charles Lewis Taylor dan Michael C. Hudson (1972) berikut ini.
1. Demonstrasi (A Protest Demonstration)
Demonstrasi mengandung arti adanya sejumlah orang yang tanpa menggunakan kekerasan mengorganisasikan diri untuk melakukan protes. Protes dilakukan terhadap suatu kesatuan sosial tertentu yang menguasainya. Pihak yang sering menjadi sasaran demonstrasi adalah pemerintah, pengusaha, pimpinan, atau kelompok sosial lain. Demonstrasi juga dapat berupa protes terhadap ideologi, kebijakan, rencana kebijakan, ketidakadilan, atau pelaksanaan suatu kebijakan tertentu.
2. Kerusuhan (Riot)
Dalam hal maksud dan tujuannya, kerusuhan hampir sama dengan demonstrasi. Hanya saja dalam kerusuhan disertai dengan kekerasan fisik, perusakan barang-barang, dan tindakan anarkis. Tindakan-tindakan tersebut terkadang memicu para aparat keamanan untuk melakukan tindakan-tindakan keras untuk meredakan suasana. Perbedaan antara kerusuhan dan demonstrasi terletak pada sifatnya yang spontan dan dipicu oleh suatu insiden atau perilaku kelompok yang kacau.
3. Serangan Bersenjata (Armed Attack)
Serangan bersenjata dapat dilakukan oleh kelompok sosial mana pun, baik oleh pihak pemerintah atau aparat keamanan maupun oleh pihak nonpemerintah, dengan tujuan untuk melemahkan atau menghancurkan kelompok lain. Serangan fisik selalu melibatkan kekerasan fisik, pertumpahan darah, atau perusakan barang-barang. Perbedaan serangan bersenjata dengan kerusuhan terletak pada sifatnya yang terorganisir dan biasanya untuk kepentingan politik.
4. Korban Jiwa Akibat Kekerasan Politik
Setiap konflik yang terjadi di masyarakat pasti menimbulkan korban dan kerugian. Korban dan kerugian tidak hanya diderita oleh pihak yang berkonflik, akan tetapi juga masyarakat sekitarnya. Semakin banyak korban jiwa baik akibat demonstrasi, kerusuhan, maupun serangan bersenjata, berarti semakin besar konflik yang terjadi.
F. Akibat Konflik Sosial
Terjadinya konflik sosial tentunya membawa dampak tersendiri bagi kehidupan warganya. Setiap konflik sosial yang terjadi baik konflik vertikal maupun horizontal cenderung berupa negatif yang umumnya membawa penderitaan rakyat. Lihat konflik Aceh, Papua, Poso, dan konflik keluarga, konflik antarpartai kesemuanya membawa trauma tersendiri bagi pihak yang bertikai. Menurut Soerjono Soekanto (1989: 90), akibat negatif yang timbul dari sebuah konflik sosial sebagai berikut.
1. Bertambahnya Solidaritas Anggota Kelompok yang Berkonflik
Jika suatu kelompok terlibat konflik dengan kelompok lain, maka solidaritas antarwarga kelompok tersebut akan meningkat dan bertambah berat. Bahkan, setiap anggota bersedia berkorban demi keutuhan kelompok dalam menghadapi tantangan dari luar.
2. Keretakan dan Keguncangan dalam Kelompok
Visi dan misi dalam kelompok menjadi tidak dipandang lagi sebagai dasar penyatuan. Setiap anggota berusaha menjatuhkan anggota lain dalam kelompok yang sama, sehingga dapat dipastikan kelompok tersebut tidak akan bertahan dalam waktu yang lama.
3. Berubahnya Kepribadian Individu
Dalam konflik sosial biasanya membentuk opini yang berbeda, misalnya orang yang setuju dan mendukung konflik, ada pula yang menaruh simpati kepada kedua belah pihak, ada pribadi-pribadi yang tahan menghadapi situasi konflik, akan tetapi ada yang merasa tertekan, sehingga menimbulkan penderitaan pada batinnya dan merupakan suatu penyiksaan mental. Keadaan ini dialami oleh orang-orang yang lama tinggal di Amerika Serikat. Sewaktu Amerika Serikat diserang mendadak oleh Jepang dalam Perang Dunia II, orang-orang Jepang yang lahir di Amerika Serikat atau yang telah lama tinggal di sana sehingga mengambil kewarganegaraan Amerika Serikat, merasakan tekanan-tekanan tersebut. Kondisi ini mereka alami karena kebudayaan Jepang masih merupakan bagian dari hidupnya dan banyak pula saudaranya yang tinggal di Jepang, sehingga mereka pada umumnya tidak dapat membenci Kerajaan Jepang seratus persen seperti orang-orang Amerika asli.
4. Hancurnya Harta Benda dan Jatuhnya Korban Jiwa
Setiap konflik yang terjadi umumnya membawa kehancuran dan kerusakan bagi lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan masing-masing pihak yang berkonflik mengerahkan segala kekuatan untuk memenangkan pertikaian. Oleh karenanya, tidak urung segala sesuatu yang ada di sekitar menjadi bahan amukan. Peristiwa ini menyebabkan penderitaan yang berat bagi pihak-pihak yang bertikai. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban jiwa wujud nyata akibat konflik.
5. Akomodasi, Dominasi, dan Takluknya Salah Satu Pihak
Jika setiap pihak yang berkonflik mempunyai kekuatan seimbang, maka muncullah proses akomodasi. Akomodasi menunjuk pada proses penyesuaian antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok guna mengurangi, mencegah, atau mengatasi ketegangan dan kekacauan. Ketidakseimbangan antara kekuatan-kekuatan pihak yang mengalami konflik menyebabkan dominasi terhadap lawannya. Kedudukan pihak yang didominasi sebagai pihak yang takluk terhadap kekuasaan lawannya.
Dari keterangan-keterangan di atas dapat dilihat akibat konflik sebagai bentuk interaksi disosiatif. Walaupun begitu tidak selamanya akibat konflik bersifat negatif. Sebagai contohnya, konflik dalam bentuk lunak biasanya digunakan dalam seminar-seminar dan diskusi-diskusi sebagai media penajaman konsep-konsep atau persoalan ilmiah. Selain itu, konflik dijadikan sebagai sarana untuk mencapai suatu keseimbangan antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, dapat pula menghasilkan suatu kerja sama di mana masing-masing pihak melakukan introspeksi yang kemudian melakukan perbaikan-perbaikan dan konflik dapat memberi batas-batas yang lebih tegas, sehingga masing-masing pihak yang bertikai sadar akan kedudukannya dalam masyarakat.
G. Penyelesaian Konflik
Secara umum terdapat beberapa macam cara yang sering dilakukan dalam manajemen atau resolusi konflik, yaitu:
1. Konsiliasi (Consiliation)
Konsiliasi merupakan pengendalian konflik melalui lembaga-lembaga tertentu untuk memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang bertikai mengenai persoalan yang mereka pertentangkan. Tidak semua konsiliasi dapat dilakukan pada semua konflik yang terjadi. Proses konsiliasi dapat berhasil sebagai pengendali konflik jika setiap pihak menyadari perlunya pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak, terorganisasinya berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan, dan setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu.
2. Perwasitan (Arbitration)
Dalam arbitration diperlukan pihak ketiga yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang lebih tinggi daripada pihak-pihak yang bertikai. Oleh karena kekuasaan dan kewenangan itu, pihak ketiga mampu memaksakan keputusan kepada pihak-pihak yang bertikai. Biasanya pihak yang bertikai akan menerima apa yang menjadi keputusan wasit. Wasit umumnya dilakukan oleh lembaga pengadilan.
3. Mediasi (Mediation)
Dalam proses pengendalian konflik mediasi, pihak-pihak yang bertikai sepakat menunjuk pihak ketiga sebagai penengah. Berbeda dengan perwasitan, dalam mediasi pihak ketiga tidak mempunyai kekuasaan dan wewenang. Status yang dimiliki pihak penengah sama dengan pihak-pihak yang bertikai. Oleh karena statusnya sama, berarti pihak ketiga atau mediator tidak mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk melaksanakan keputusan. Dalam hal ini tugas seorang mediator adalah memberi nasihat. Umumnya nasihat-nasihat tersebut tidak mengikat pihak-pihak yang berkonflik. Melalui proses ini, pihak-pihak yang bertentangan mempunyai kemungkinan untuk menarik diri dari pertikaian tersebut tanpa harus menurunkan harga diri.
4. Paksaan (Coersion)
Paksaan merupakan salah satu bentuk penyelesaian konflik dengan cara paksaan baik secara fisik maupun psikologis. Umumnya proses ini terjadi jika salah satu pihak berada pada posisi yang lemah dan satu pihak di posisi yang kuat. Paksaan fisik biasa digunakan untuk menarik diri dari pertikaian tersebut tanpa harus menurunkan harga diri.
5. Detente
Dalam hal ini detente adalah mengurangi ketegangan hubungan antara dua pihak yang bertikai. Cara ini biasanya digunakan sebagai usaha pendekatan dalam mencapai perdamaian. Oleh karena itu, pada proses ini belum ada penyelesaian konflik secara pasti yang tentunya belum ada pihak yang dinyatakan kalah atau memang. Detente hanya upaya pendekatan untuk menentukan cara tepat penyelesaian konflik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik sosial merupakan fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan pada awal pembahasan sebelumnya bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah konflik memiliki kecenderungan untuk saling meniadakan atau melenyapkan. Karenanya, sebuah konflik erat dengan tindakan kekerasan. Dalam konflik, individu yang terlibat lebih menggunakan perasaan benci dan amarah. Perasaan ini mendorong individu melukai dan menyerang pihak lawan yang cenderung menggunakan tindak kekerasan. Oleh karena itu, konflik diidentikkan dengan tindak kekerasan. Lihat saja konflik yang terjadi di Indonesia. Setiap individu atau kelompok yang bertikai tidak segan-segan menghancurkan rumah, tempat ibadah, harta benda, bahkan diri pihak lawan.
Kondisi Indonesia yang penuh dengan keragaman menjadikannya rawan konflik. Karenanya, tidak mengherankan jika di Indonesia sering terjadi konflik sosial baik personal maupun impersonal. Indonesia merupakan negeri yang sarat dengan konflik yang disertai kekerasan. Lihat saja di berbagai media massa. Ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah diutarakan dalam bentuk kekerasan fisik, seperti amuk massa, perusakan, dan konflik komunal yang tentunya berdampak negatif bagi keduanya. Selain itu, konflik pun dapat terjadi pada sesama anggota masyarakat manakala kepentingan antar satu anggota masyarakat bertentangan dengan anggota masyarakat yang lain.
Jika kita merenungkan sebentar, betapa mengerikan akibat dari konflik itu. Di media massa tampak jelas, fakta-fakta tragis akibat konflik diungkapkan, seperti harta benda menjadi hancur, kekalutan dan ketakutan melanda seluruh warga, jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit, dan adanya trauma yang mendalam pada diri anak-anak. Kondisi ini menyadarkan kita betapa penting dan indahnya sebuah kedamaian. Oleh karena itu, penanganan suatu konflik perlu dilakukan. Dalam sosiologi upaya-upaya penanganan konflik dikenal dengan manajemen/resolusi konflik. Manajemen/resolusi konflik dipahami sebagai upaya untuk mengurangi dampak kerusakan yang terjadi akibat konflik. Selain itu, resolusi konflik dipahami pula sebagai upaya dalam menyelesaikan dan mengakhiri konflik
B. Saran
Konflik sosial merupakan salah satu permasalahan sosial yang sulit untuk dihindari. Konflik sosial selalu ada selama terdapat perbedaan yang tidak diimbangi dengan toleransi. Oleh karena itu, pemahaman mengenai penyebab, jenis, dan dampak yang ditimbulkan konflik sosial perlu dikaji secara mendalam. Konflik yang tidak diselesaikan secara bijak dapat berujung pada tindak kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Elisanti & Tintin Rostini. Sosiologi 2: Untuk SMA/MA Kelas XI IPS. Jakarta: CV. Indradjaja.
Laning, Vina Dwi. 2009. Sosiologi: Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta: PT Cempaka Putih.
Soekanto, Soerjono. 1989. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta: Radjawali Press.
Suhardi & Sri Sunarti. 2009. Sosiologi 2: Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Bandung: Habsa Jaya.
Widianti, Wida. 2009. Sosiologi 2: Untuk SMA dan MA Kelas XI IPS. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.