KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Pengerahan dan Penindasan Versus Perlawanan ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah Sejarah Indonesia yang berjudul Makalah Pengerahan dan Penindasan Versus Perlawanan ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Pengerahan dan Penindasan Versus Perlawanan ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Pengerahan dan Penindasan Versus Perlawanan ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, November 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di balik senyum manis dan propaganda yang menjanjikan, ternyata Jepang bertindak kejam. Jepang telah mengerahkan semua potensi dan kekuatan yang ada untuk menopang perang yang sedang mereka hadapi untuk melawan Sekutu. Jepang juga menguras aset kekayaan yang dimiliki Indonesia untuk memenangkan perang dan melanjutkan industri di negerinya.
Pada saat berkobarnya PD II, Indonesia benar-benar menjadi sasaran perluasan pengaruh kekuasaan Jepang. Bahkan, Indonesia kemudian menjadi salah satu benteng pertahanan Jepang untuk membendung gerak laju kekuatan tentara Serikat dan melawan kekuatan Belanda. Setelah berhasil menguasai Indonesia, Jepang mengambil kebijakan dalam bidang ekonomi yang sering disebut self help. Hasil perekonomian di Indonesia dijadikan modal untuk mencukupi kebutuhan pemerintahan Jepang yang sedang berkuasa di Indonesia.
Kebijakan Jepang itu juga sering disebut dengan Ekonomi Perang. Untuk lebih jelasnya perlu dilihat bagaimana tindakan-tindakan Jepang dalam bidang ekonomi di Indonesia. Ekonomi uang yang pernah dikembangkan masa pemerintahan Belanda tidak lagi populer.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Pengerahan dan Penindasan Versus Perlawanan ini adalah sebagai berikut:
- Apa yang dimaksud dengan ekonomi perang?
- Bagaimana pengendalian di bidang pendidikan dan kebudayaan oleh Jepang?
- Bagaimana upaya pengerahan romusa yang dilakukan oleh Jepang?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Pengerahan dan Penindasan Versus Perlawanan ini adalah sebagai berikut:
- Untuk menganalisis ekonomi perang pada masa penjajahan Jepang.
- Untuk menganalisis pengendalian di bidang pendidikan dan kebudayaan oleh Jepang.
- Untuk menganalisis upaya pengerahan romusa yang dilakukan oleh Jepang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ekonomi Perang
Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, diterapkan konsep “Ekonomi perang”. Artinya, semua kekuatan ekonomi di Indonesia digali untuk menopang kegiatan perang. Perlu dipahami bahwa sebelum memasuki Perang Dunia II, Jepang sudah berkembang menjadi negara industri dan sekaligus menjadi kelompok negara imperialis di Asia. Oleh karena itu, Jepang melakukan berbagai upaya untuk memperluas wilayahnya. Sasaran utamanya antara lain Korea dan Indonesia. Dalam bidang ekonomi, Indonesia sangat menarik bagi Jepang. Sebab Indonesia merupakan kepulauan yang begitu kaya akan berbagai hasil bumi, pertanian, tambang, dan lain-lainnya. Kekayaan Indonesia tersebut sangat cocok untuk kepentingan industri Jepang. Indonesia juga dirancang sebagai tempat penjualan produk-produk industrinya. Meletusnya PD II pada hakikatnya merupakan wujud konkret dari ambisi dan semangat imperialisme masing-masing negara untuk memperluas daerah kekuasaannya.
Sementara itu, bidang perkebunan di masa Jepang mengalami kemunduran. Hal ini berkaitan dengan kebijakan Jepang yang memutuskan hubungan dengan Eropa (yang merupakan pusat perdagangan dunia). Karena tidak perlu memperdagangkan hasil perkebunan yang laku di pasaran dunia, seperti tebu (gula), tembakau, teh, dan kopi, maka Jepang tidak lagi mengembangkan jenis tanaman tersebut. Bahkan tanah-tanah perkebunan diganti menjadi tanah pertanian sesuai dengan kebutuhan Jepang. Tanah-tanah itu diganti dengan tanaman padi untuk menghasilkan bahan makanan dan bahan-bahan lain yang sangat dibutuhkan, misalnya jarak. Tanaman jarak waktu itu sangat dibutuhkan karena dapat digunakan sebagai minyak pelumas mesin-mesin, termasuk mesin pesawat terbang. Tanaman kina juga sangat dibutuhkan, yaitu untuk membuat obat antimalaria, sebab penyakit malaria sangat mengganggu dan melemahkan kemampuan tempur para prajurit.
Pabrik obat yang sudah ada di Bandung sejak zaman Belanda terus dihidupkan. Tanaman tebu di Jawa juga mulai dikurangi. Pabrik-pabrik gula sebagian besar mulai ditutup. Penderesan getah karet di Sumatera mulai dihentikan. Tanaman-tanaman tembakau, teh, dan kopi di berbagai tempat dikurangi. Oleh karena itu, pada masa Jepang ini, hasil-hasil perkebunan sangat menurun. Produksi karet juga turun menjadi seperlimanya produksi tahun 1941. Pada tahun 1943 produksi teh turun menjadi sepertiganya dari zaman Hindia Belanda. Beberapa pabrik tekstil juga mulai ditutup karena pengadaan kapas dan benang begitu sulit. Dalam bidang transportasi, Jepang merasakan kekurangan kapal-kapal. Oleh karena itu, Jepang terpaksa mengadakan industri kapal angkut dari kayu. Jepang juga membuka pabrik mesin, paku, kawat, dan baja pelapis granat, tetapi semua usaha itu tidak berkembang lancar karena kekurangan suku cadang.
Kebutuhan pangan untuk menopang perang semakin meningkat, sehingga kegiatan penanaman untuk menghasilkan bahan pangan terus ditingkatkan. Dalam hal ini, organisasi Jawa Hokokai giat melakukan kampanye untuk meningkatkan usaha pengadaan pangan terutama beras dan jagung. Tanah pertanian baru, bekas perkebunan dibuka untuk menambah produksi beras. Di Sumatra Timur, daerah bekas perkebunan yang luasnya ribuan hektar ditanami kembali sehingga menjadi daerah pertanian baru. Di tanah Karo juga dibuka lahan pertanian baru dengan menggunakan tenaga para tawanan.
Di Kalimantan dan Sulawesi juga dibuka tanah pertanian baru untuk menambah hasil beras. Untuk kepentingan penambahan lahan pertanian ini, Jepang melakukan penebangan hutan secara liar dan besar-besaran. Di Pulau Jawa dilakukan penebangan hutan secara liar sekitar 500.000 hektar. Penebangan hutan secara liar dan berlebihan tersebut mengakibatkan hutan menjadi gundul, sehingga timbullah erosi dan banjir pada musim penghujan. Penebangan hutan secara liar tersebut juga berdampak pada berkurangnya sumber mata air. Dengan demikian, sekalipun tanah pertanian semakin luas, tetapi kebutuhan pangan tetap tidak tercukupi.
1. Kebijakan di Bidang Pertanian
Pemerintahan Jepang juga membuat berbagai kebijakan dalam bidang pertanian. Kebijakan itu di antaranya yaitu kebijakan untuk “wajib serah padi”. Kebijakan ini menjadikan Jawa sebagai “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Kebijakan ini melibatkan seluruh Asia Tenggara serta Asia Timur. Juga kebijakan dalam penanaman jenis-jenis tanaman baru, seperti kapas, yute-rosela, rami, dan jarak. Keadaan ini semakin menambah beban bagi pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia. Untuk mengatasi keadaan ini kemudian pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa ketentuan yang sangat ketat yang terkait dengan produksi padi.
- Padi berada langsung di bawah pengawasan pemerintah Jepang. Hanya pemerintah Jepang yang berhak mengatur untuk produksi, pungutan dan penyaluran padi serta menentukan harganya. Dalam kaitan ini Jepang telah membentuk badan yang diberi nama Shokuryo Konri Zimusyo (Kantor Pengelolaan Pangan).
- Penggiling dan pedagang padi tidak boleh beroperasi sendiri, harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan.
- Para petani harus menjual hasil produksi padinya kepada pemerintah sesuai dengan kuota yang telah ditentukan dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah Jepang. Begitu juga padi harus diserahkan ke penggilingan padi yang sudah ditunjuk pemerintah Jepang. Dalam hal ini, berlaku ketentuan hasil keseluruhan produksi, petani berhak 40%, kemudian 30% disetor kepada pemerintah melalui penggilingan yang telah ditunjuk, dan 30% sisanya untuk persiapan bibit dengan disetor ke lumbung desa.
Selama pendudukan Tirani Jepang kehidupan petani semakin merosot. Mereka tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya sebagai petani. Karena hasil pertaniannya harus dijual dengan harga yang sudah ditentukan Jepang (boleh dikatakan diserahkan kepada penguasa Jepang), sehingga kehidupannya menjadi semakin menderita. Sebelum panen petani harus melaporkan kepada kucho (kepala desa). Kucho inilah yang menjadi ujung tombak pengumpulan hasil panen dari petani. Hasil panen itu ditimbang dengan ukuran “kintalan” (atau kuintal yang sama dengan 100 kg), pada hal sebelumnya menggunakan ukuran dacin ( satu dacin kira-kira 65 kg) (Her Suganda, Rengasdengklok, 2009).
2. Kebijakan di Bidang Ekonomi
Dalam rangka mengendalikan kebijakan di bidang ekonomi, maka semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai oleh Jepang dan di bawah pengawasan yang sangat ketat. Pemerintah Jepang juga mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian di bidang perkebunan. Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Jepang. Banyak perkebunan yang dirusak dan diganti dengan tanaman yang sesuai untuk keperluan biaya perang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah Meiji Seito Kaisya. Akibat kebijakan Jepang ini, tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia terus merosot.
Dengan diterapkannya kebijakan ekonomi perang itu, ekonomi uang yang pernah dikembangkan masa pemerintahan Hindia Belanda tidak begitu populer. Bahkan bank-bank yang pernah dikembangkan pemerintah Hindia Belanda dilikuidasi. Semua aset bank disita. Selanjutnya, pada bulan April 1942, diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina. Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.
Fungsi dan tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa, Javache Bank dilikuidasi dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden. Uang Belanda kemudian digantikan oleh uang Jepang.
B. Pengendalian di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Pemerintah Jepang mulai membatasi kegiatan pendidikan. Jumlah sekolah juga dikurangi secara drastis. Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan menurun dari 850 menjadi 20 buah. Kegiatan perguruan tinggi boleh dikatakan macet. Jumlah murid sekolah dasar menurun 30% dan jumlah siswa sekolah lanjutan merosot sampai 90%. Begitu juga tenaga pengajarnya mengalami penurunan secara signifikan. Muatan kurikulum yang diajarkan juga dibatasi. Mata pelajaran bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran utama, sekaligus sebagai bahasa pengantar. Kemudian, bahasa Jepang menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.
Para pelajar harus menghormati budaya dan adat istiadat Jepang. Mereka juga harus melakukan kegiatan kerja bakti (kinrohosyi). Kegiatan kerja bakti itu meliputi, pengumpulan bahan-bahan untuk perang, penanaman bahan makanan, penanaman pohon jarak, perbaikan jalan, dan pembersihan asrama. Para pelajar juga harus mengikuti kegiatan latihan jasmani dan kemiliteran. Mereka harus benar-benar menjalankan semangat Jepang (Nippon Seishin). Para pelajar juga harus menyanyikan lagu Kimigayo, menghormati bendera Hinomaru dan melakukan gerak badan (taiso) serta seikerei.
Akibat keputusan pemerintah Jepang tersebut, membuat angka buta huruf menjadi meningkat. Oleh karena itu, pemuda Indonesia mengadakan program pemberantasan buta huruf yang dipelopori oleh Putera. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang mengalami kemunduran. Kemunduran pendidikan itu juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang lebih berorientasi pada kemiliteran untuk kepentingan pertahanan Indonesia dibandingkan pendidikan. Banyak anak usia sekolah yang harus masuk organisasi semimiliter sehingga banyak anak yang meninggalkan bangku sekolah. Bagi Jepang, pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Indonesia bukan untuk membuat pandai, tetapi dalam rangka untuk pembentukan kader-kader yang memelopori program Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Oleh karena itu, sekolah selalu menjadi tempat indoktrinasi kejepangan.
C. Pengerahan Romusa
Berbagai kebijakan dan tindakan Jepang seperti disebutkan di atas telah membuat penderitaan rakyat. Rakyat petani tidak dapat berbuat banyak kecuali harus tunduk kepada praktik-praktik tirani Jepang. Penderitaan rakyat ini semakin dirasakan dengan adanya kebijakan untuk pengerahan tenaga romusa. Perlu diketahui bahwa untuk menopang Perang Asia Timur Raya, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja dari Indonesia. Tenaga kerja inilah yang kemudian kita kenal dengan romusa. Mereka diperkerjakan di lingkungan terbuka, misalnya di lingkungan pembangunan kubu-kubu pertahanan, jalan raya, lapangan udara. Pada awalnya, tenaga kerja dikerahkan di Pulau Jawa yang padat penduduknya, kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Desa-desa diwajibkan untuk menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan tersebut disebut Romukyokai, yang ada di setiap daerah.
Rakyat yang dijadikan romusa pada umumnya adalah rakyat yang bertenaga kasar. Pada awalnya, rakyat Indonesia melakukan tugas romusa secara sukarela, sehingga Jepang tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh tenaga. Sebab, rakyat sangat tertarik dengan propaganda tentara Jepang sehingga rakyat rela membantu untuk bekerja apa saja tanpa digaji. Oleh karena itu, di beberapa kota pernah terdapat beberapa romusa yang sifatnya sementara dan sukarela. Romusa sukarela terdiri atas para pegawai yang bekerja (tidak digaji) selama satu minggu di suatu tempat yang penting. Salah satu contoh ada rombongan dari Jakarta dipimpin oleh Sukarno. Para pekerja sukarela ini bekerja dalam suasana yang disebut “Pekan Perjuangan Mati-Matian”.
Akan tetapi, lama-kelamaan karena kebutuhan yang terus meningkat di seluruh kawasan Asia Tenggara, pengerahan tenaga yang bersifat sukarela ini oleh pemerintah Jepang diubah menjadi sebuah keharusan dan paksaan. Rakyat Indonesia yang menjadi romusa itu diperlakukan dengan tidak senonoh, tanpa mengenal perikemanusiaan. Mereka dipaksa bekerja sejak pagi hari sampai petang, tanpa makan dan pelayanan yang cukup. Padahal mereka melakukan pekerjaan kasar yang sangat memerlukan banyak asupan makanan dan istirahat. Mereka hanya dapat beristirahat pada malam hari. Kesehatan mereka tidak terurus. Tidak jarang di antara mereka jatuh sakit bahkan mati kelaparan.
Untuk menutupi kekejamannya dan agar rakyat merasa tidak dirugikan, sejak tahun 1943, Jepang melancarkan kampanye dan propaganda untuk menarik rakyat agar mau berangkat bekerja sebagai romusa. Untuk mengambil hati rakyat, Jepang memberi julukan mereka yang menjadi romusa itu sebagai “Pejuang Ekonomi” atau “Pahlawan Pekerja”. Para romusa itu diibaratkan sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugas sucinya untuk memenangkan perang dalam Perang Asia Timur Raya. Pada periode itu sudah sekitar 300.000 tenaga romusa dikirim ke luar Jawa. Bahkan sampai ke luar negeri seperti ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya. Sebagian besar dari mereka ada yang kembali ke daerah asal, ada yang tetap tinggal di tempat kerja, tetapi kebanyakan mereka mati di tempat kerja.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada waktu Jepang mendarat di Indonesia pada tahun 1942, ternyata tentara Hindia Belanda telah membumihanguskan objek-objek vital yang ada di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar Jepang mengalami kesulitan dalam upaya menguasai Indonesia. Akibat dari pembumihangusan itu, keadaan perekonomian di Indonesia menjadi lumpuh pada awal pendudukan Jepang. Sehubungan dengan keadaan tersebut, langkah pertama yang diambil Jepang adalah melakukan pengawasan dan perbaikan prasarana ekonomi. Beberapa prasarana seperti jembatan, alat transportasi, telekomunikasi, dan bangunan-bangunan diperbaiki. Kemudian beberapa peraturan yang mendukung program pengawasan kegiatan ekonomi dikeluarkan termasuk ditetapkannya peraturan pengendalian kenaikan harga. Bagi mereka yang melanggar, akan dijatuhi hukuman berat.
Penderitaan rakyat tidak berkurang tetapi justru semakin bertambah. Kehidupan rakyat benar-benar menyedihkan. Bahan makanan sulit didapatkan karena banyak petani yang menjadi pekerja romusa. Gelandangan di kota-kota besar makin tumbuh subur, seperti di kota Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Semarang. Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalanan atau di bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Pasar gelap tumbuh di kota-kota besar. Akibatnya, barang-barang keperluan sulit didapatkan dan semakin sedikit jumlahnya. Masyarakat hidup dalam kesulitan. Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada jaminannya, bahkan mengalami inflasi yang parah. Bahan-bahan pakaian sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit didapatkan. Penderitaan rakyat Indonesia semakin tidak tertahankan.
B. Saran
Belajar sejarah Indonesia Pengerahan dan Penindasan Versus Perlawanan ini sangat penting karena di samping mendapatkan pemahaman tentang berbagai perubahan seperti dalam tata pemerintahan dan kemiliteran, tetapi juga mendapatkan pelajaran tentang nilai-nilai keuletan dan kerja keras dari para pejuang, pengorbanan, dan keteguhan untuk mempertahankan kebenaran dan hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, dan A.B. Lapian. 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid 6 (Perang dan Revolusi). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Benda, Harry J., 1983. The Crescent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under The Japanese Occupation 1942–1945. Holland/USA: Faris Publications.
Boomgaard, Peter dan Janneke van Dijk. 2001. Het Indie Boek. Zwolle: Waanders Drukkers.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2007. Wisata Sejarah. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Elson, R. E. 2009. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Kahin, George Mc.Turnan. 2013. Nasionalisme & Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Margana, Sri dan Widya Fitrianingsih (ed.). 2010. Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global. Yogyakarta: Ombak.
Notosusanto, Nugroho. 1979. Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan.