Makalah Demokrasi Konstitusional (Demokrasi Liberal)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Demokrasi Konstitusional (Demokrasi Liberal) ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Demokrasi Konstitusional (Demokrasi Liberal) ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Demokrasi Konstitusional (Demokrasi Liberal) ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Demokrasi Konstitusional (Demokrasi Liberal) ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, Maret 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demokrasi konstitusional di Indonesia adalah dikarenakan semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia menyebutkan dengan tegas bahwa demokrasi merupakan salah satu asas negaranya yang paling fundamental. Tetapi di dalam kenyataannya, tidak semua konstitusi melahirkan sistem yang demokratis. Bahkan konstitusi yang sama bisa melahirkan sistem politik yang berbeda (demokratis dan otoriter) pada waktu atau periode yang berbeda. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan UUDS 1950 serta UUD 1945 pada awal Orde Baru dapat melahirkan konfigurasi politik yang sama, yakni demokratis. Tetapi UUD 1945 yang berlaku pada periode-periode yang berbeda ternyata melahirkan konfigurasi politik yang berbeda-beda pula.

Sepanjang pemerintahan Orde Lama yang berdasarkan UUD 1945 dengan Demokrasi Terpimpin yang lahir adalah pemerintahan yang otoriter. Orde Baru yang juga menggunakan UUD 1945 pada awalnya menampilkan langgam politik yang demokratis, tetapi kemudian berubah menjadi otoriter dengan berbagai alasan pembenarannya yang manipulatif. Berdasarkan pengalaman sejarah, UUD 1945 lebih banyak melahirkan pemerintahan yang otoriter. Pengalaman demokratis di bawah UUD 1945 pada awal Orde Baru hanyalah strategi awal yang digunakan untuk melakukan konsolidasi saja. Sistem politik demokratis yang mulai muncul pada tanggal 9 bulan Oktober 1945 justru didahului dengan penidakberlakuan atas UUD 1945 melalui Maklumat No. X Tahun 1945. Oleh sebab itu, segera setelah Orde Baru runtuh, gerakan reformasi mengumandangkan perlunya reformasi konstitusi dalam apa yang disebut amandemen, bahkan penggantian atas UUD 1945.

Amandemen di sini diartikan secara umum sebagai perubahan yang dalam praktiknya dapat mengubah redaksi, menyisipi kata-kata, atau menambah kalimat yang baru. Jadi bukan amandemen dalam arti khusus membuat lampiran tersendiri bagi setiap pasal yang diubah. Amandemen di sini juga tidak diartikan sebagai penggantian total. Para pengusul amandemen ini mengatakan bahwa Indonesia tidak pernah demokratis jika masih memakai UUD 1945, sebab UUD tersebut memuat sejumlah kelemahan yang menjadi pintu bagi tampilnya pemerintahan yang otoriter. Sebagai konstitusi, ternyata UUD 1945 tidak mengelaborasi konstitusionalisme secara ketat, baik dalam hal perlindungan hak asasi manusia (HAM) maupun dalam hal pemencaran kekuasaan di dalam negara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

  1. Apa definisi demokrasi konstitusional?
  2. Bagaimana pelaksanaan demokrasi konstitusional di Indonesia?
  3. Apa saja kelemahan pelaksanaan demokrasi konstitusional di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Demokrasi Konstitusional

Demokrasi konstitusional atau demokrasi liberal adalah sistem politik yang menganut kebebasan individu. Secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi konstitusional , keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.

Demokrasi konstitusional pertama kali dikemukakan pada Abad Pencerahan oleh penggagas teori kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau. Semasa Perang Dingin, istilah demokrasi konstitusional bertolak belakang dengan komunisme ala Republik Rakyat. Pada zaman sekarang demokrasi konstitusional umumnya dibanding-bandingkan dengan demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi.

Demokrasi konstitusional dipakai untuk menjelaskan sistem politik dan demokrasi barat di Amerika Serikat, Britania Raya, Kanada. Konstitusi yang dipakai dapat berupa republik (Amerika Serikat, India, Perancis) atau monarki konstitusional (Britania Raya, Spanyol). Demokrasi konstitusional dipakai oleh negara yang menganut sistem presidensial (Amerika Serikat), sistem parlementer (sistem Westminster: Britania Raya dan Negara-Negara Persemakmuran) atau sistem semipresidensial (Perancis).

Demokrasi konstitusional yang ditandai oleh adanya pembatasan yuridis pada masa itu mengandung prinsip-prinsip dan pelaksanaan yang kaku (rigid) bukan hanya di bidang politik melainkan pula dalam bidang ekonomi. Sejumlah syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law, sebagai berikut:

  1. Perlindungan konstitusional.
  2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
  3. Pemilihan umum yang bebas.
  4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
  5. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi.
  6. Pendidikan kewarganegaraan.

B. Pelaksanaan Demokrasi Konstitusional di Indonesia

1. Masa Orde Lama

Sepanjang perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ternyata pelaksanaan demokrasi konstitusional mengalami tarik menarik antara langgam demokrasi dan langgam otoritarian dalam sistem politik. Keduanya muncul secara bergantian dengan kecenderungan linear pada otoriterisme. Setidaknya hal itu didasari oleh adanya kenyataan bahwa pada awal kemerdekaan, secara formal konstitusional, berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, kekuasaan bertumpu pada Presiden. Pasal IV Aturan Peralihan itu menentukan bahwa sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) terbentuk, maka Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional (kemudian lebih dikenal dengan Komite Nasional Indonesia Pusat/KNIP) melakukan kekuasaan pada lembaga-lembaga tersebut. Hal ini berarti bahwa kekuasaan hanya bertumpu pada satu pihak (Presiden), dan secara faktual tidak sejalan dengan paham demokrasi.

Sistem demokrasi baru muncul ketika pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat No. X Tahun 1945 yang mengubah kedudukan KNIP menjadi lembaga legislatif yang sejajar dengan Presiden dan bukan lagi sebagai pembantu Presiden. Maklumat itu juga memuat pembentukan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang berfungsi sebagai pelaksana sehari-hari tugas KNIP. BP-KNIP inilah yang kemudian mengusulkan diubahnya sistem kabinet presidensial menjadi sistem kabinet parlementer yang disetujui oleh pemerintah melalui maklumat tanggal 14 November 1945 tanpa melakukan perubahan atas UUD 1945. Jadi, berlakunya sistem parlementer ini berlangsung hingga tahun 1959 yang di dalamnya pernah terjadi perubahan UUD sampai dua kali, yakni Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Pada kurun waktu itulah, tercatat bahwa langgam politik di Indonesia bersifat demokratis dengan konfigurasi yang demokratis pula.

Namun langgam demokratis tersebut terhenti dan berubah menjadi otoriter sejak tahun 1959 ketika Presiden Soekarno secara sepihak membubarkan Konstituante, mencabut berlakunya UUDS tahun 1950, dan memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekret Presiden tanggal 5 Juli 1959.20 Keabsahan dekret itu sendiri secara hukum semula menjadi persoalan. Sebab berdasarkan konstitusi, Presiden tidak berwenang membubarkan Konstituante. Itulah sebabnya seorang tokoh seperti Moh. Hatta mempersoalkan dekret tersebut dan mengatakannya sebagai kudeta. Namun Soekarno mempunyai pendukung dari kalangan ahli hukum yang mengatakan bahwa dekret itu sah berdasarkan hukum negara dalam keadaan darurat. Dalil yang dipakai adalah “salus popli suprema lex” yang berarti “keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi”.

Dengan kata lain, jika rakyat dalam bahaya, maka presiden bisa melakukan tindakan penyelamatan, meskipun harus melanggar konstitusi. Keabsahan dekret itu kemudian harus diterima, karena Soekarno berhasil menggalang dukungan dan mampu mengkonsolidasikan kekuasaan pemerintahannya. Di bawah konsepsi Demokrasi Terpimpin selama kira-kira tujuh tahun tersebut, Soekarno mengendalikan negara ini dengan langgam otoritarian dan dengan konfigurasi politik yang otoriter. Otoriterisme pemerintahan Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya akhirnya runtuh ketika Angkatan Darat (AD) berhasil mengambil alih kekuasaan setelah berkutat dalam melawan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Soekarno.

Tampilnya AD sebagai aktor politik utama di Indonesia diperoleh setelah peristiwa 30 September 1965 yang menurut sejarah merupakan peristiwa pengkhianatan PKI terhadap bangsa dan negara Indonesia. Terlepas dari kontroversi tentang fakta-fakta dan sejarah peristiwa tersebut, yang pasti sejak itu AD menguasai panggung politik di Indonesia. Pemerintahan yang menggantikan Soekarno ini kemudian menamakan diri sebagai pemerintahan Orde Baru yang berdasarkan Demokrasi Pancasila sambil menyebut pemerintahan yang digantikannya sebagai pemerintahan Orde Lama.

2. Masa Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru juga menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi yang harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Semula rezim Orde Baru menampilkan langgam politik yang demokratis. Tetapi setelah itu, sejak tahun 1969 dan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, rezim ini pun menjadi otoriter dengan selalu mengatakan dirinya bersikap konstitusional berdasarkan UUD 1945. Rezim ini akhirnya diruntuhkan oleh gerakan rakyat (yang dimotori oleh mahasiswa) dalam apa yang disebut dengan Gerakan Reformasi dan mencapai puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998 ketika Soeharto tidak dapat mengelak dari tuntutan untuk berhenti dari jabatannya sebagai Presiden.

Bahwa UUD 1945 tidak pernah menghadirkan pemerintahan yang demokratis, juga dapat dilihat dari sejarah berlakunya UUD 1945 yang secara garis besar dibagi atas tiga periode, yaitu periode 1945-1949, periode 1959-1966, dan periode 1966-1998. Sejarah perjalanan bangsa ini mencatat bahwa periode 1945-1959 adalah periode sistem politik yang demokratis. Namun harus diingat bahwa pembentukan pemerintahan yang demokratis ketika itu justru didahului dengan penidakberlakuan UUD 1945 melalui apa yang dikenal dengan Maklumat No. X yang ditanda tangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Maklumat tersebut berisi perubahan kedudukan KNIP dari yang semula sebagai pembantu Presiden menjadi lembaga legislatif yang sejajar dengan Presiden untuk kemudian komite inilah yang mengusulkan perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer.

Dari sinilah kemudian terbangun sistem politik yang demokratis, sesuatu yang dengan mudah dapat memberi kesimpulan bahwa untuk membangun pemerintahan yang demokratis ketika itu justru dilakukan melalui praktik ketatanegaraan yang keluar dari UUD 1945, meskipun UUD itu sendiri tidak secara resmi diubah. Perlu dicatat pula bahwa ketika UUD 1945 diberlakukan kembali secara paksa melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang kemudian muncul adalah pemerintahan yang sangat otoriter di bawah kepemimpinan Soekarno yang menjadi sewenang-wenang dengan konsepsi Demokrasi Terpimpinnya. Dan akhirnya baru saja diruntuhkan rezim otoriter, yaitu Orde Baru, yang juga berlindung di bawah UUD 1945.

Fakta-fakta sejarah tersebut memang membawa pada kesimpulan bahwa UUD 1945 haruslah dipersoalkan kembali karena di samping tidak pernah melahirkan pemerintahan yang demokratis, UUD ini telah turut memberi kontribusi atas terjungkalnya dua orang Presiden yang terdahulu. Orang boleh berkata bahwa UUD 1945 tidak dapat disalahkan, sebab UUD itu sendiri memang mengatakan bahwa kebaikan pemerintahan itu tidak tergantung pada bunyi UUD, melainkan tergantung juga pada semangat penyelenggara atau orangnya.

Tetapi harus diingat bahwa gagasan UUD itu lahir dengan kecurigaan bahwa penguasa itu akan diincar oleh penyakit korup (power tends to corrupt). Penyelenggara secara personal boleh saja baik, tetapi jika sistem yang mengaturnya tidak baik, maka penyakit korup akan menjerumuskannya ke dalam kesewenang-wenangan. Jadi, orang dan sistem sama pentingnya, bahkan sistem harus diatur sedemikian rupa agar mampu menjaring orang-orang yang baik dan mengawalnya dari penyakit-penyakit korup.

Kalimat-kalimat konstitusi sebenarnya tidak lebih dari manifestasi yuridis yang tidak dengan sendirinya dapat menggambarkan makna kultural bangsa yang menggunakannya. Makna konstitusi secara mendalam ada di dalam “konstitusionalisme” yang kemunculannya sebagai istilah di abad ke-18 dimaksudkan untuk menegaskan doktrin Amerika tentang supremasi UUD sebagai konstitusi tertulis di atas UU yang hanya dibuat oleh lembaga legislatif. Meskipun istilah ini baru muncul pada abad ke-18, tetapi sebagai gagasan dan praksis kehidupan kenegaraan modern, konstitusionalisme ini telah jauh berkembang lebih lama dari itu.

Gagasan pembatasan kekuasaan penguasa di dalam sebuah konstitusi sebenarnya telah ada sejak berkembangnya negara teritorial di bawah kekuasaan raja-raja dan di dalam kehidupan negara kota-negara kota (polis) di Eropa Barat pada abad ke-11 dan abad ke-12. Itulah sebabnya dalam kemunculannya sebagai istilah di abad ke-18 konstitusionalisme hanya dipahami sebagai penegasan doktrin tentang supremasi konstitusi yang sebenarnya telah berkembang sejak abad ke-11 dan abad ke-12.

Gagasan konstitusi sebagai alat pembatasan kekuasaan itu sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari gagasan tentang hak asasi manusia, demokrasi, dan negara hukum yang harus dimuat di dalam sebuah aturan dasar kegiatan politik yang kemudian disebut konstitusi. Ia merupakan kristalisasi normatif atas tugas negara dalam memberikan perlindungan HAM dan melaksanakan pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat disertai batas-batas kekuasaan secara hukum.

C. Kelemahan Pelaksanaan Demokrasi Konstitusional di Indonesia

Dari berbagai studi tentang UUD 1945, tercatat kelemahan-kelemahan muatan yang menyebabkannya tidak mampu melahirkan pemerintahan yang demokratis-konstitusional, yaitu:

1. Tidak Ada Mekanisme (Check and Balance)

Sering dikatakan bahwa sistem politik yang diformat oleh UUD 1945 adalah sistem politik yang executive heavy, di mana kekuasaan Presiden sangat dominan. Presiden menjadi pusat kekuasaan dengan berbagai hak prerogatif. Selain menguasai bidang eksekutif, Presiden memiliki setengah dari kekuasaan legislatif yang dalam praktiknya Presiden juga menjadi ketua legislatif. Sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) yang telah disetujui oleh DPR, jika tidak disetujui oleh Presiden, maka tidak dapat diajukan lagi.

Tetapi sebaliknya, jika sebuah RUU tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tidak disetujui oleh DPR, maka yang dipakai adalah APBN tahun sebelumnya, yakni yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden. Selain harus memberikan persetujuan atas setiap RUU, Presiden juga mempunyai hak untuk mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan (Perpu) jika keadaan “genting dan memaksa” tanpa adanya kriteria pokok yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “kegentingan yang memaksa”.

2. Terlalu Banyaknya Atribusi Kewenangan

UUD 1945 juga terlalu banyak memberi atribusi kewenangan kepada legislatif (yang praktis di dominasi Presiden) untuk mengatur masalah-masalah penting dalam UU seperti tentang lembaga-lembaga negara, tentang HAM, tentang kekuasaan kehakiman, tentang pemerintahan daerah, dan sebagainya. Jika sebuah UUD mengatribusikan kewenangan kepada legislatif untuk mengatur beberapa hal dengan UU, tentu saja tidak menjadi masalah dan wajar.

Tetapi UUD 1945 terlalu longgar menyerahkan hal-hal yang sangat penting kepada lembaga legislatif untuk diatur dengan UU. Dan dari penyerahan yang longgar dan tanpa penegasan batas yang tidak boleh dilampaui itulah, pemerintah seringkali melakukan manipulasi dan mengambil pembenaran formal. Tentang susunan MPR yang kedudukannya lebih tinggi dari legislatif saja misalnya, diatur dengan UU. Begitu juga tentang kekuasaan kehakiman yang dalam muatan undang-undangnya membuka pintu bagi pemerintah untuk melakukan intervensi.

Jika diamati apa yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru misalnya, jelas sekali pemerintah (Presiden) telah mengakumulasikan kekuasaannya secara besar-besaran melalui penggunaan atribusi kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga menjadi rezim yang sangat otoriter tetapi selalu mempunyai alasan “formal” sebagai pembenaran. Mula-mula Presiden melakukan adu kekuatan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada tahun 1967–1969 untuk membentuk format politik baru yang membuka pintu bagi hadirnya wakil-wakil pemerintah secara dominan di DPR dan MPR dengan undang-undang bidang politik.

Setelah berhasil melahirkan UU bidang politik yang memberi peluang baginya untuk mendominasi lembaga perwakilan dan permusyawaratan, maka dengan mudahnya Presiden menggunakan kekuatan politiknya untuk meluncurkan berbagai UU yang melemahkan kekuatan-kekuatan politik yang ada di luar dirinya, seperti: Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bahkan MPR dan DPR sendiri. Semua keinginan Presiden diwadahi dengan UU, sehingga lembaga eksekutif menjadi sangat steril dari sentuhan-sentuhan di luar dirinya.

Jika sebuah UU tidak terlalu mudah menampung keinginan Presiden, maka jalan yang ditempuh adalah menyerahkan pengaturan masalah kepada Presiden untuk mengaturnya dengan Peraturan Pemerintah (PP) berdasarkan delegasi kewenangan. Banyak ketentuan-ketentuan penting yang kemudian tenggelam di dalam timbunan berbagai PP, Keputusan Presiden (Kepres), Peraturan Menteri (Permen), dan sebagainya. Semua keinginan dan tindakan Presiden kemudian dapat dicarikan baju hukum, bukan hanya pada level UU ke bawah, bahkan juga banyak yang berhasil dipaksakan secara halus untuk dijadikan ketetapan MPR. Itulah sebabnya produk hukum selama era Orde Baru berwatak sangat konservatif, elitis, dan menjadi instrumen pembenar atas kehendak-kehendak pemerintah.

3. Adanya Pasal-pasal yang Multitafsir

UUD 1945 juga memuat beberapa pasal penting yang memiliki banyak arti (multi interpretable), tetapi tafsir yang harus diterima sebagai kebenaran adalah tafsir yang dikeluarkan oleh Presiden. Hal ini merupakan konsekuensi dari kuatnya pengaruh Presiden sebagai sentral kekuasaan (executive heavy). Ketentuan Pasal 7 tentang Masa Jabatan Presiden (dipilih untuk masa jabatan lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali) misalnya, dari sudut bahasa memang bisa melahirkan tafsir yang beragam yakni bisa dipilih satu kali saja setelah masa jabatannya yang pertama atau bisa dipilih berkali-kali asalkan dilakukan setiap lima tahun.

Berdasarkan pemahaman atas esensi konstitusionalisme secara akademis, umumnya dikemukakan bahwa tafsir yang tepat atas Pasal 7 tersebut adalah dua kali masa jabatan Presiden. Tetapi karena Presiden menganut pendapat bahwa jabatannya dapat diduduki selamanya asalkan dipilih secara “formal” setiap lima tahun, maka pendapat Presiden-lah yang harus diterima. Padahal Presiden pula yang mendominasi pembuatan UU yang mengatur orang-orang yang dapat duduk di MPR untuk memilih Presiden.

4. Terlalu Percaya pada Semangat Orang (Penyelenggara)

Tiga kelemahan di atas, menurut Mahfud MD, disertai pula oleh terlalu percayanya UUD 1945 terhadap semangat atau itikad baik orang yang menjadi penyelenggara negara. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Penjelasan UUD 1945 yang “terlalu polos” menyatakan bahwa “yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat para penyelenggara negara …..”. Kepercayaan yang seperti ini tentu tidak salah, tetapi menjadi tidak wajar jika semangat orang itu tidak dikawal dengan sistem yang juga ketat. Berdasarkan kalimat inilah, ada yang mengatakan bahwa otoriterisme dan korupsi politik yang terjadi selama ini disebabkan oleh orangnya, bukan oleh UUD-nya.

Tetapi sebenarnya yang juga sangat penting adalah sistemnya. Sebab orang baik dan bersemangat demokratis, sekalipun jika telah berkuasa, tetap akan diintai oleh penyakit korup. Jika secara pribadi penguasa itu mempunyai semangat yang demokratis, jujur, dan adil, tidak ada jaminan bahwa pemerintahannya juga akan demokratis, jujur, dan adil, jika sistemnya tidak memaksa untuk membangun sistem yang seperti itu. Sebab kekuasaan sebagai konstituen yang terdiri dari banyak orang dan elemen memiliki watak untuk korup.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Demokrasi konstitusional adalah sistem politik yang menganut kebebasan individu. Secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi konstitusional , keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.

Sepanjang perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ternyata pelaksanaan demokrasi konstitusional mengalami tarik menarik antara langgam demokrasi dan langgam otoritarian dalam sistem politik. Keduanya muncul secara bergantian dengan kecenderungan linear pada otoriterisme. Dari berbagai studi tentang UUD 1945, tercatat kelemahan-kelemahan muatan yang menyebabkannya tidak mampu melahirkan pemerintahan yang demokratis-konstitusional.

B. Saran

Setelah membaca atau mendengarkan makalah ini diharapkan kepada pembaca mampu memahami pelaksanaan demokrasi yang ada di Indonesia. Sehingga mampu menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

https://id.wikipedia.org/wiki/Konstitusional

http://coretanghaffaar.blogspot.co.id/2013/09/ciri-khas-demokrasi-konstitusional_3945.html

http://gurupintar.com/threads/jelaskan-ciri-khas-pemerintahan-demokrasi-konstitusional.1166

http://www.kata-bijak.web.id/2015/01/pengertian-konsep-demokrasi.html

http://www.makalahskripsi.com/2014/02/konsep-demokrasi-konstitusional.html

http://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/26-mediaindonesia/622-konstitusi-konstitusionalisme-dan-demokrasi-konstitusional.html

Download Contoh Makalah Demokrasi Konstitusional (Demokrasi Liberal).docx