Makalah Fungsi Kriminalistik dalam Proses Penegakan Tindak Pidana Narkoba oleh Satuan Reserse Narkoba

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Fungsi Kriminalistik dalam Proses Penegakan Tindak Pidana Narkoba oleh Satuan Reserse Narkoba ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Fungsi Kriminalistik dalam Proses Penegakan Tindak Pidana Narkoba oleh Satuan Reserse Narkoba ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Fungsi Kriminalistik dalam Proses Penegakan Tindak Pidana Narkoba oleh Satuan Reserse Narkoba ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Fungsi Kriminalistik dalam Proses Penegakan Tindak Pidana Narkoba oleh Satuan Reserse Narkoba ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, Maret 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia hingga saat ini masih adanya perubahan- perubahan dalam proses penyidikan terutama dalam ilmu kriminalistik. “Di Indonesia perkembangan ilmu kriminalistik belum mencapai tarap yang mantap. Masih banyak kelemahan-kelemahannya, di mana hubungan antara penyidikan dan ilmu kriminalistik belum saling ketergantungan, untuk menemukan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, perlu adanya hubungan antara ilmu kriminalistik dengan proses penyidikan. “Pengertian kriminalistik adalah suatu pengetahuan yang mengajarkan tentang teknik dan taktik kejahatan dan penyidikan terhadap penjahatnya dengan mempergunakan ilmu pengetahuan yang seluas-luasnya (R. Soesilo, 1976).

Kriminalistik atau ilmu penyidikan kejahatan itu merupakan suatu pengetahuan pengalaman yang mengumpulkan data dari segala macam peristiwa atau kejadian, cara-cara yang digunakan oleh para penjahat, adat kebiasaan dan motif-motifnya dalam melakukan kejahatan. Tidak hanya menentukan, kriminalistik berperan dalam menjawab sebuah tindakan yang dilakukan oleh pelaku, di sinilah penyidik menggunakan ilmu kriminalistik dalam penyidikan. selain itu penyidikan telah diatur dalam undang-undang, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Dari undang-undang tersebut penegak hukum dapat berpedoman dalam melakukan penyidikannya (Hartono, 2010). Oleh karena itu, penyidikan dilakukan untuk menentukan suatu perbuatan, suatu tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya, di sinilah tugas dari penegak hukum menentukan kejahatan tersebut. Penyidikan dilakukan oleh penegak hukum yang telah di beri wewenang dalam melakukan tugas dan fungsinya sebagai penyidik.

Betapa pentingnya penyidikan perkara dalam pelaksanaan hukum yang adil, dapat kita lihat dalam hubungannya dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan mengenai dasar-dasar hukum tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan perkara Setelah pengolahan pada tempat kejadian perkara, dapat di tentukan lagi dalam pengolahan berkas-berkas, yang terdiri dari identifikasi atau pengenalan, barang-barang, orang yang dicari, perlakuan terhadap berkas-berkas bukti yang dikemukakan di tempat kejadian perkara, saksi hidup, berkas-berkas (bukti-bukti).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa definisi ilmu kriminalistik?
  2. Apa definisi tindak pidana?
  3. Apa definisi narkoba?
  4. Bagaimana fungsi ilmu kriminalistik dalam penyidikan tindak pidana narkoba?
  5. Bagaimana ilmu kriminalistik menjawab kasus narkoba dalam penyidikan?

C. Tujuan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui definisi ilmu kriminalistik.
  2. Untuk mengetahui definisi tindak pidana.
  3. Untuk mengetahui definisi narkoba.
  4. Untuk mengetahui fungsi ilmu kriminalistik dalam penyidikan tindak pidana narkoba.
  5. Untuk mengetahui ilmu kriminalistik menjawab kasus narkoba dalam penyidikan.

BAB II 
PEMBAHASAN

A. Kriminalistik

1. Pengertian Kriminalistik

Menurut R. Soeparmono (2002: 14), kriminalistik merupakan sarana ilmu yang secara praktis dan teknis, fungsi membantu dalam tugas-tugas penyidikan dan penuntutan serta membantu dalam penyajian kelengkapan pemenuhan data atau bukti. Sedangkan menurut R. Soesilo (1987: 7) adalah ilmu pengetahuan untuk menentukan terjadinya kejahatan dan menyidik pembuatnya dengan mempergunakan cara ilmu pengetahuan alam, dengan mengesampingkan cara-cara lainnya yang dipergunakan oleh ilmu kedokteran kehakiman (sekarang ilmu kedokteran forensik), ilmu racun kehakiman (sekarang toksikologi forensik) dan ilmu penyakit jiwa kehakiman (ilmu psikologi forensik).

Kemudian pada buku tangan kriminalistik dan buku dasar-dasar pokok kejahatan yang digunakan di kalangan Polri, kriminalistik adalah:

  1. Pengetahuan dalam menyelidiki kejahatan dengan menggunakan pengetahuan fisik seperti ilmu alam, ilmu kimia, ilmu hitung.
  2. Ilmu pengetahuan yang menentukan terjadinya atau tidak terjadinya suatu kejahatan dengan mencari (menyidik) pelakunya dengan menggunakan ilmu alam, kimia, ilmu racun, penyakit jiwa dan lain-lain. (A. Gumilang, 1993: 1)

Dari beberapa pengertian di atas sangatlah jelas bahwasanya terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian kriminalistik. Perbedaan pendapat mengenai pengertian tersebut terjadi karena beberapa faktor misalnya perbedaan latar belakang kehidupan dan pendidikan; kriminalistik ilmu yang masih muda.

Ilmu kriminalistik sangat penting bagi tugas Kepolisian, khususnya dalam penegakan hukum secara profesional, dalam hal membantu proses penyidikan bagi fungsi teknis reserse atau kepolisian, yang mempunyai tujuan membuat suatu perkara menjadi jelas dan terang, yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran meteriil yang selengkap-lengkapnya, tentang suatu perbuatan atau tindak pidana yang telah terjadi, yang dapat dibuktikan secara ilmiah, sehingga tujuan penegakan hukum untuk kepastian hukum dan keadilan tercapai (R. Soesilo dan M. Karjadi, 1989: 18).

2. Ruang Lingkup Kriminalistik

Ruang lingkup kriminalistik itu sendiri dapat menjadi dua bagian, yaitu:

a. Teknik Kriminal

Teknik kriminal mengajarkan tentang menjawab pertanyaan dalam bidang pengusutan perkara kejahatan. Dasar-dasar penyidikan teknis yaitu: pengetahuan hukum, ilmu pengetahuan undang-undang, ilmu bukti, ilmu penyidikan, ilmu kepolisian, ilmu jiwa, dan pengetahuan bahasa (Sudjono, 1976: 34).

b. Taktik Kriminal

Taktik kriminal adalah pengetahuan yang mempelajari problema-problema taktis dalam bidang penyidikan perkara pidana. Langkah-langkah awal yang harus diperhatikan oleh petugas penyidik bila seorang petugas penyidik mendengar ada terjadi peristiwa kejahatan di suatu tempat tertentu, maka langkah-langkah yang harus diambil adalah:

  • Penyiapan peralatan untuk penyidikan kejahatan.
  • Pengamatan berkas-berkas.
  • Berkas-berkas psycologis atau psychis, yaitu berupa penampungan kesan-kesan yang didapat oleh panca indera dari pihak-pihak yang bersangkutan dalam peristiwa, seperti misalnya penglihatan para saksi, ingatan si korban bila tidak meninggal, penglihatan yang dihubungkan dengan teori oleh para ahli dan lain-lain. (bukti-bukti ini bisa diawetkan dengan tape recorder, foto, dilukis, dan sebagainya).
  • Berkas-berkas kebendaan atau meteriil, atau juga dikenal dengan saksi mati, yaitu misalnya mayat, bagian-bagian tubuh, luka- luka pada korban atau orang lain, bercak-bercak darah, senjata atau alat yang dipergunakan, dan lain-lain.
  • Pemberitahuan peristiwa.
  • Mengadakan penutupan dan penjagaan di tempat kejahatan.
  • Mengadakan pemeriksaan di tempat peristiwa.
  • Memahami petunjuk untuk mendapatkan tanda-tanda berkas secara teratur.
  • Mengenai ringkasan tindakan petugas penyidik setelah berada di tempat peristiwa. (Sudjono, 1976: 34)

3. Tujuan dan Manfaat Ilmu Kriminalistik

a. Tujuan Ilmu Kriminalistik

Tujuan ilmu kriminalistik adalah untuk membuat terang suatu peristiwa yang terjadi apakah perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau tidak. Apabila merupakan kejahatan, maka dapat ditemukan pelakunya, alat bukti, dan dapat dilakukan rekonstruksi. (R. Soeparmono, 2002:16).

b. Manfaat Ilmu Kriminalistik

Manfaat ilmu kriminalistik adalah untuk menemukan kebenaran meteriil yang selengkap-lengkapnya tentang suatu perbuatan atau tindak pidana yang telah terjadi, membuat jelas dan terang suatu perkara. (R. Soeparmono, 2002:16).

4. Peran Ilmu Kriminalistik dalam Peradilan

Peran ilmu kriminalistik adalah membantu peradilan dalam usaha menegakkan kebenaran dan keadilan sejati, dalam memenuhi tuntutan masyarakat “hukumlah yang bersalah dan bebaskan serta lindungi yang tidak bersalah. Mengingat bahwa perkembangan masyarakat yang semakin maju maka perkembangan kejahatan akan makin bervariasi maka metode yang digunakan dalam kriminalistik dalam crime detection seyogyanya dapat selalu mengatasi teknik yang digunakan dalam setiap pola kejahatan (R. Soesilo dan M.Karjadi, 1989: 20).

B. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wvs Belanda maupun berdasarkan asas konkordasi istilah tersebut juga berlaku pada WvS Hindia Belanda (KUHP). Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan istilah itu, namun hingga saat ini belum ada keseragaman pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit. (Adami Chazawi, 2007: 67).

Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam beberapa literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit setidaknya ada 7 (tujuh) istilah, yakni:

  1. Tindak pidana dapat dikatakan sebagai istilah resmi dalam perundang-undangan pidana Indonesia. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini salah satunya adalah Wirjono Prodjodikoro.
  2. Peristiwa pidana digunakan beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R. Tresna dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Pidana, A. Zainal Abidin dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Pembentuk Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 pada Pasal 14 ayat (1).
  3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit.
  4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M. H. Tirtaamidjaja.
  5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan Mr. Karni dalam bukunya yang berjudul Ringkasan Tentang Hukum Pidana. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya yang berjudul Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia.
  6. Perbuatan yang dapat dihukum digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam Undang- Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
  7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-asas Hukum Pidana. (Adami Chazawi, 2007: 67)

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Menurut Lamintang, tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur- unsurnya menjadi 2 (dua) macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan pada diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan- keadaan mana tindakan dari si pembuat itu harus dilakukan.

a. Unsur Subjektif

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:

  • Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa dan dolus).
  • Maksud dan voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
  • Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
  • Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti misalnya dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
  • Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana pembuangan bayi menurut Pasal 308 KUHP.
b. Unsur Objektif

Sedangkan unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah:

  • Sifat melanggar hukum.
  • Kualitas si pelaku.
  • Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

C. Narkoba

1. Pengertian Narkoba

Menurut Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Bab I Pasal I, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkoba merupakan akronim dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza), secara umum Narkoba adalah zat-zat kimiawi yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh baik secara oral (diminum, dihisap, dihirup, dan disedot) maupun disuntik, dapat memengaruhi pikiran, suasana hati, perasaan dan perilaku seseorang.

Hal ini dapat menimbulkan gangguan keadaan sosial yang ditandai dengan indikasi negatif, waktu pemakaian yang panjang dan pemakaian yang berlebihan. Menurut farmakologi medis bahwa Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah visceral dan dapat menimbulkan efek stupor (bingung, masih sadar dan masih harus digertak) serta adiksi. (Wijaya A.W., 1985: 145). Disebabkan bahaya ketergantungan, penggunaan, dan peredaran narkoba diatur Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika. Karena itu, menurut Undang-Undang, narkotika dibagi ke dalam narkotika dan psikotropika.

2. Faktor-faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkoba

Adapun beberapa faktor yang menjadi penyebab penyalahgunaan Narkotika pada seseorang terdiri dari:

a. Faktor Individu

Tiap individu memiliki perbedaan tingkat resiko untuk menyalahgunakan Narkoba. Faktor yang memengaruhi individu terdiri dari faktor kepribadian dan faktor konstitusi.

b. Coba-coba

Merasa tertarik dengan efek yang ditimbulkan oleh suatu zat yang dilarang, seseorang dapat memiliki rasa ingin tahu yang kuat untuk mencoba zat terlarang tersebut. Tanpa disadari oleh pengguna yang awalnya coba-coba itu dia akan menjadi ketagihan dan akan melakukannya lagi berulang-ulang tanpa bisa berhenti.

c. Ikut-ikutan

Orang yang sudah menjadi korban mungkin akan berusaha mengajak orang lain yang belum terkontaminasi narkoba agar ikut merasakan penderitaan yang dirasakannya. Pengedar dan pemakai biasanya pertama akan memberikan secara gratis barang haram itu. seseorang yang melihat orang lain lagi asyik memakai zat terlarang bisa jadi akan mencoba mengikuti gaya pemakai tersebut termasuk menyalahgunakan tempat umum untuk menikmati zat terlarang tersebut.

d. Untuk Melupakan Masalah

Orang yang dirundung banyak masalah dan ingin lari dari masalah dapat terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba, mereka berniat lari dari masalah meskipun cuma sesaat. Zat terlarang dapat membantu seseorang untuk melupakan masalah dan mengejar kenikmatan dengan jalan menggunakan narkoba yang menyebabkan halusinasi atau khayalan yang menyenangkan.

e. Gaya Hidup

Zat terlarang jenis tertentu dapat membuat pemakainya lebih berani, keren, percaya diri, kreatif, santai dan sebagainya. Jelas bagi orang yang ingin disebut gaul oleh golongan atau kelompok dia harus memakai zat tersebut.

D. Fungsi Ilmu Kriminalistik dalam Penyidikan Tindak Pidana Narkoba

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam tahap ini yang dapat melakukan penyidikan adalah dikhususkan bagi pejabat Kepolisian R.I (M. Muhtarom, 1997). Suatu tindakan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik pada Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) dalam melaksanakan tugasnya dalam penegakan Tindak pidana Narkoba berpedoman pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tidak hanya itu dalam melakukan fungsinya penyidik berpedoman juga pada Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2002 yaitu: untuk penyuluhan terhadap bahaya narkoba, pembinaan, dan penindakan terhadap tersangka tindak pidana narkoba.

 Rencana penyidikan bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik adalah dapat digambarkan sebagai berikut:

  1. Diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana.
  2. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian.
  3. Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi.
  4. Melakukan upaya paksa yang diperlukan.
  5. Pembuatan berita acara penyidikan (Rusli, 2011).

Penyidik Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) yang dibantu oleh penyidik pembantu dalam melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana narkoba, dimulai dari adanya tindak pidana narkoba, pengolahan yang dilakukan pada tempat kejadian perkara, pemeriksaan tersangka tindak pidana kurang lebih 3 x 24 jam selama proses penyidikan, dalam hal ini penyidik yang di bantu penyidik pembantu mencari keterangan sedetail mungkin terhadap tindak pidana narkoba yang dilakukan oleh pelaku, dan yang terakhir pembuatan Berita Acara Pemeriksaan.

Petunjuk sebagai “alat bukti yang sah” diatur oleh Pasal 188 KUHAP yang pada ayat (1) memuat ketentuan sebagai berikut: “petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Dalam tindak pidana narkoba, penyidik maupun penyidik pembantu mengetahui berdasarkan jawaban dari tersangka tindak pidana narkoba, dalam hal ini tindak pidana narkoba memiliki hierarki atau struktur yang dilakukan tersangkanya.

Sikap Penyidik terhadap terdakwa, sebelum ada keputusan hakim yang tetap, maka seorang terdakwa masih harus dianggap sebagai orang yang tidak salah. Oleh karena itu sesuai dengan sifat accusatoir dari Hukum Acara Pidana kita, penyidik harus berlaku obyektif, baik dalam pemeriksaan pendahuluan, maupun dalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Setiap penyidikan yang dilakukan terhadap tersangka tindak pidana narkoba dilihat dari sikap penyidik terhadap terdakwa atau tersangka yaitu:

  1. Dalam melakukan penyidikan terpenting memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
  2. Aktif terhadap keterangan yang diberikan oleh tersangka.
  3. Bertanya sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan.
  4. Mencari keterangan sedetail mungkin terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka.
  5. Serta mengedepankan asas praduga tak bersalah.
  6. Memeriksa secara langsung terhadap tersangka.
  7. Berhadapan serta tanya jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan.
  8. Sikap terbuka terhadap tersangka.
  9. Mengedepankan praduga tak bersalah.

Masalah yang sering timbul dalam proses penyidikan menyusun kalimat dalam berita acara pemeriksaan yang masih belum sesuai dengan kehendak KUHAP sebagai hukum formilnya; Meskipun dengan biaya yang sangat tidak mencukupi, tetapi barang produksi itu harus jadi dan harus siap jual terhadap “pasaran umum” yaitu kejaksaan, pengadilan, dan bahkan terhadap penasihat hukum tersangka atau terdakwa sekalipun bila perlu.

E. Ilmu Kriminalistik Menjawab Kasus Narkoba dalam Penyidikan

Penyidik dalam melakukan penyidikan dalam tindak pidana narkoba sering kali menggunakan teknik dan taktik untuk mengungkap kasus tindak pidana narkoba, selain itu dalam menguji barang bukti mengandung zat narkoba penyidik dalam hal ini mengirimkan kepada Laboratorium Forensik untuk mengecek barang bukti yang di temukan mengandung zat narkoba atau tidak. Identifikasi atau pengenalan Untuk mengenal suatu barang atau orang, atau untuk membedakan sesuatu barang atau orang dengan barang atau orang yang lain dipakai rupa-rupa jalan:

  1. Mengenai barang-barang.
  2. Mengenai orang yang dicari.
  3. Tentang sidik jari.
  4. Tentang perlakuan terhadap berkas-berkas dan bukti yang dikemukakan di tempat kejadian perkara.
  5. Apa yang harus dikirimkan untuk memeriksa candu atau obat bius lain-lain.
  6. Apa yang harus dikirimkan untuk pemeriksaan obat-obatan keras.
  7. Tentang pemakaian alat-alat yang rendah dalam penyidikan.
  8. Taktik dalam mendengarkan keterangan terdakwa.

Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) dalam mengidentifikasi barang bukti yang di curigai sebagai narkoba, dalam hal tersebut akan di ajukan kepada bagian Labfor (laboratorium Forensik) untuk membuktikan barang bukti yang ditemukan berupa narkoba ataupun sejenis narkotika atau zat adiktif. Proses awal untuk di ujikan pada Labfor yaitu:

  1. Mengajukan surat kepada Laboratorium forensik, untuk mengecek barang tersebut mengandung zat narkoba atau tidak. Dalam hal ini untuk menguji kebenaran barang bukti yang di temukan mengandung zat adiktif atau narkoba,
  2. Setelah surat masuk pada Laboratorium forensik, barang bukti di ujikan menggunakan alat yaitu tes kit atau biasa disebut rapid test, dimana alat ataupun cairan kimia tersebut untuk menguji barang bukti berupa narkoba, dalam pembuktian yang dilakukan laboratoris kriminalistik dapat disimpulkan bahwa serbuk yang ditemukan mengandung metamfetamina,
  3. Selain serbuk atau barang bukti yang di temukan, penyidik juga melakukan pemeriksaan terhadap urin tersangka, dalam hal ini penyidik melakukan pemeriksaan pada poliklinik untuk diperiksa secara kualitatif dengan menggunakan alat atau bahan seperti marijuana tetrahydrocannabinol (ganja), opiates, morpine, heroin, cocain/benzoyleogonine, amphetamin, benzodiazepine, methamphetamine, dan MDMA.
  4. Setelah hasil keluar, maka dibuat Berita Acara Pemeriksaan dan di serahkan kepada penyidik namun tidak memiliki kekuatan hukum tetap, hanya sebagai petunjuk sementara bahwa barang bukti tersebut mengandung narkoba atau zat adiktif. Selain itu penyidik juga memberitahukan secara lisan terhadap tersangka bahwa barang bukti yang di periksa mengandung zat adiktif atau Narkoba.

Penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dimensi yang luas, baik dari sudut medik, psikiater, kesehatan jiwa, maupun psikososial. Jenis-jenis narkoba yang sering disalah gunakan menurut Hawari (1998), Sarason (1993), dan Holonen dan Santroks (1999), adalah narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, atau zat yang dapat menimbulkan kecanduan dan ketergantungan.

Hawari (1998) menyebutkan ada tiga kelompok besar penyalah guna narkoba beserta resiko yang dialami yaitu kelompok ketergantungan primer, kelompok ketergantungan simtomatis, dan kelompok ketergantungan reaktif. Para ahli membagi usaha prevensi atau pencegahan terhadap penyalahgunaan narkoba ini ke dalam tiga tingkatan, sebagaimana telah disinggung di muka, yakni prevensi primer, skunder, dan tersier. Dalam upaya pencegahan yang dilakukan Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) terdapat beberapa upaya seperti sosialisasi tentang bahaya suatu narkoba terhadap masyarakat, pemasangan spanduk pada tempat-tempat yang terlihat pada masyarakat umum, dan penempelan stiker anti narkoba.

BAB III 
PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahwa dalam melaksanakan penegakan hukum terkait tindak pidana Narkoba penyidik pada Satuan Reserse Narkoba, menggunakan ilmu-ilmu tentang kriminalistik yang berfungsi untuk mendapatkan keterangan, supaya dapat mencegah serta mengurangi penyalahgunaan peredaran Narkoba. Bahwa dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Satuan Resere Narkoba, ilmu kriminalistik sebagai ilmu bantu yang menjawab suatu tindak pidana Narkoba sudah sesuai dengan fungsi dan prosesnya, seperti: menggunakan teknik dan taktik, menggunakan ilmu kimia, serta ilmu lainya dalam mengungkap suatu barang bukti yang ditemukan berupa Narkoba.

Dalam proses identifikasi atau pengenalan terhadap barang bukti, penyidik Satuan Reserse Narkoba sudah sesuai dengan prosedur dan ilmu kriminalistik, dalam hal identifikasi penyidik dibantu oleh laboratorium forensik untuk mengidentifikasikan barang bukti yang di temukan dengan menggunakan alat tes kit atau rapid test untuk menentukan jenis, golongan yang ada di dalam barang bukti tersebut. Tidak hanya itu dampak serta bahaya yang ditimbulkan oleh narkoba setelah diselidiki yang dibantu ilmu kriminalistik juga sesuai dalam penerapannya.

Penyidik Satuan Reserse Narkoba dalam menentukan tersangka penyalahgunaan Narkoba menggunakan ilmu kriminalistik sudah sesuai. Selain itu dalam menentukan kelompok penyalahgunaan narkoba penyidik Satuan Reserse Narkoba menggunakan ilmu kriminalistik berupa pendekatan, pengamatan, dan interogasi. Dalam tindakan prevensi penyidik Satuan Reserse Narkoba tidak menggunakan ilmu kriminalistik melainkan bekerja sama dengan P4GN (pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkoba).

B. Saran

Dalam melaksanakan penegakkan hukum, yang dilakukan oleh penyidik Satuan Reserse Narkoba harus sesuai dengan prosedur, baik dalam segi penangkapan, serta pemeriksaan terhadap tersangka.

DAFTAR PUSTAKA

Afiatin, Tina. (2008.) Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba dengan Program Aji. Yogyakarta: Gajah Mada University Pers.

Bawengan, Gerson W. (1977). Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi. Jakarta: PT. Pradnya

Gumilang, A. (1993). Kriminalistik Pengetahuan tentang Teknik dan Taktik Penyidikan. Bandung: Angkasa.

Harahap, M. Yahya. (2000). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Hartono. (2010). Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

Marpaung, Laden. (2008). Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyidikan dan Penyelidikan). Jakarta: Sinar Grafika

Muhtarom, M. (1997). Hukum Acara Pidana. Surakarta: Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Prasetyo, Teguh. (2010). Kriminalisasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusa Media.

 Rusli, Muhammad. (2011). Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Soeparmono, R. (2002). Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.

Soesilo, R. (1976). Kriminalistik (Ilmu Penyidikan Kejahatan). Bogor: Karya Nusantara.

Soesilo, R. dan M. Karjadi. (1989). Kriminalistik Ilmu Penyidikan Kejahatan. Bogor: Politeia.

Sunggono, Bambang. (2012). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo.

Download Contoh Makalah Fungsi Kriminalistik dalam Proses Penegakan Tindak Pidana Narkoba oleh Satuan Reserse Narkoba.docx