KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Jual Beli dalam Islam ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah PAI yang berjudul Makalah Jual Beli dalam Islam ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Jual Beli dalam Islam ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Jual Beli dalam Islam ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, November 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Atas dasar pemenuhan kebutuhan sehari-hari, maka terjadilah suatu kegiatan yang di namakan jual beli. Jual beli menurut bahasa artinya menukar sesuatu dengan sesuatu, sedang menurut syara’ artinya menukar harta dengan harta menurut cara-cara tertentu (‘aqad). Sedangkan riba yaitu memiliki sejarah yang sangat panjang dan praktiknya sudah dimulai semenjak bangsa Yahudi sampai masa Jahiliyah sebelum Islam dan awal-awal masa ke-Islaman. Padahal semua agama Samawi mengharamkan riba karena tidak ada kemaslahatan sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat. Allah SWT berfirman:فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُواْ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَن سَبِيلِ اللّهِ كَثِيرًا وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُواْ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS an-Nisaa’: 160-161)الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari bermuamalah antara satu dengan yang lainnya. Muamalah sesama manusia senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu aturan Allah yang terdapat dalam Alquran tidak mungkin menjangkau seluruh segi pergaulan yang berubah itu. Itulah sebabnya ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan hal ini hanya bersifat prinsip dalam muamalat dan dalam bentuk umum yang mengatur secara garis besar. Aturan yang lebih khusus datang dari nabi. Hubungan manusia satu dengan manusia berkaitan dengan harta diatur agama Islam salah satunya dalam jual beli. Jual beli yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang seharusnya kita mengerti dan kita pahami. Jual beli seperti apakah yang dibenarkan oleh syara’ dan jual beli manakah yang tidak diperbolehkan.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian jual beli?
- Apa dasar hukum jual beli?
- Apa saja rukun jual beli?
- Apa saja syarat jual beli?
- Ada berapa macam bentuk jual beli?
- Apa yang dimaksud dengan khiyar?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam istilah fikih disebut dengan al’bai yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-bai dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asyi-syira’ (beli). Dengan kata lain al-bai berarti jual tetapi sekaligus juga berarti beli. Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar. Sedangkan menurut pengertian fikih, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan rukun dan syarat tertentu.
Jual beli juga dapat diartikan menukar uang dengan barang yang diinginkan sesuai dengan rukun dan syarat tertentu. Setelah jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual menjadi milik pembeli sedangkan uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga barang, menjadi milik penjual. Secara etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, almubadah, dan at-tijarah. Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
- Menurut ulama Hanafiyah: Jual beli adalah “pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
- Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’: Jual beli adalah “pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
- Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni: Jual beli adalah “pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.” Pengertian lainnya jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).
Akad bai’ ini dapat di buat sebagai sarana untuk memiliki barang atau manfaat dari sebuah barang untuk selama-lamanya.
B. Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli sudah ada sejak dulu, meskipun bentuknya berbeda. Jual beli juga dibenarkan dan berlaku sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW sampai sekarang. Jual beli mengalami perkembangan seiring pemikiran dan pemenuhan kebutuhan manusia. Jual beli yang ada di masyarakat di antaranya adalah:
- Jual beli barter (tukar menukar barang dengan barang).
- Money charger (pertukaran mata uang).
- Jual beli kontan (langsung dibayar tunai).
- Jual beli dengan cara mengangsur (kredit).
- Jual beli dengan cara lelang (ditawarkan kepada masyarakat umum untuk mendapat harga tertinggi).
Berbagai macam bentuk jual beli tersebut harus dilakukan sesuai hukum jual beli dalam agama Islam. Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Allah SWT telah menghalalkan praktik jual beli sesuai ketentuan dan syariat-Nya. Dalam Surah al-Baqarah ayat 275 Allah SWT berfirman:…وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا…Artinya:“… dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Q.S. al-Baqarah: 275)
Riba’ adalah haram dan jual beli adalah halal. Jadi tidak semua akad jual beli adalah haram sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang berdasarkan ayat ini. Jual beli yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat agama Islam. Prinsip jual beli dalam Islam, tidak boleh merugikan salah satu pihak, baik penjual ataupun pembeli. Jual beli harus dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan karena paksaan. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 29:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًاArtinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda “sesungguhnya jual beli itu didasarkan atas saling meridai.” (H.R. Ibnu Maajah).
Hukum jual beli ada 4 macam, yaitu:
- Mubah (boleh), merupakan hukum asal jual beli.
- Wajib, apabila menjual merupakan keharusan, misalnya menjual barang untuk membayar hutang.
- Sunah, misalnya menjual barang kepada sahabat atau orang yang sangat memerlukan barang yang dijual.
- Haram, misalnya menjual barang yang dilarang untuk diperjualbelikan. Menjual barang untuk maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk merusak harga pasar, dan jual beli dengan tujuan merusak ketenteraman masyarakat.
C. Rukun Jual Beli
Dalam menetapkan rukun jail beli, di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat, menurut ulama Hanafiah rukun jual beli adalah ijab dan kabul yang menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Akan tetapi karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak. Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:
- Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).
- Ada Shighat (lafal ijab dan qabul).
- Ada barang yang dibeli.
- Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli. Jual beli dinyatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat jual beli. Rukun jual beli berarti sesuatu yang harus ada dalam jual beli. Apabila salah satu rukun jual beli tidak terpenuhi, maka jual beli tidak dapat dilakukan.
Ijab adalah perkataan penjual dalam menawarkan barang dagangan, misalnya: “Saya jual barang ini seharga Rp5.000,00”. Sedangkan kabul adalah perkataan pembeli dalam menerima jual beli, misalnya: “Saya beli barang itu seharga Rp5.000,00”. Imam Nawawi berpendapat, bahwa ijab dan kabul tidak harus diucapkan, tetapi menurut adat kebiasaan yang sudah berlaku. Hal ini sangat sesuai dengan transaksi jual beli yang terjadi saat ini di pasar swalayan. Pembeli cukup mengambil barang yang diperlukan kemudian dibawa ke kasir untuk dibayar.
D. Syarat Jual Beli
Jual beli dikatakan sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Persyaratan itu untuk menghindari timbulnya perselisihan antara penjual dan pembeli akibat adanya kecurangan dalam jual beli. Bentuk kecurangan dalam jual beli misalnya dengan mengurangi timbangan, mencampur barang yang berkualitas baik dengan barang yang berkualitas lebih rendah kemudian dijual dengan harga barang yang berkualitas baik. Rasulullah Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung unsur tipuan. Oleh karena itu seorang pedagang dituntut untuk berlaku jujur dalam menjual dagangannya. Adapun syarat sah jual beli adalah sebagai berikut:
1. Syarat orang yang berakad
- Berakal.
- Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, tidak sekaligus menjadi penjual atau pembeli.
2. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ijab dan kabul
- Orang yang mengucapkannya telah balig dan berakal.
- Kabul sesuai dengan ijab.
- Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis.
3. Syarat barang yang diperjual belikan
- Barang yang dijual ada atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupan untuk mengadakan barang itu.
- Barang yang di jual memiliki manfaat.
- Barang yang dijual adalah milik penjual atau milik orang lain yang dipercayakan kepadanya untuk dijual.
- Barang yang dijual dapat diserahterimakan sehingga tidak terjadi penipuan dalam jual beli.
- Barang yang dijual dapat diketahui dengan jelas baik ukuran, bentuk, sifat dan bentuknya oleh penjual dan pembeli.
4. Syarat sah nilai tukar (harga barang)
Termasuk unsur terpenting dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang yang di jual (untuk zaman sekarang adalah uang). Ijab adalah pernyataan penjual barang sedangkan Kabul adalah perkataan pembeli barang. Dengan demikian, ijab kabul merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli atas dasar suka sama suka. Ijab dan kabul dikatakan sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
- Kabul harus sesuai dengan ijab.
- Ada kesepakatan antara ijab dengan kabul pada barang yang ditentukan mengenai ukuran dan harganya.
- Akad tidak dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad, misalnya: “Buku ini akan saya jual kepadamu Rp10.000,00 jika saya menemukan uang”.
- Akad tidak boleh berselang lama, karena hal itu masih berupa janji.
E. Bentuk-bentuk Jual Beli
Ulama Hanafiyah membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Jual beli yang sahih
Dikatakan sahih apabila jual beli ini disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, bukan milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi. Jual beli yang diperbolehkan dalam Islam adalah:
- Telah memenuhi rukun dan syarat dalam jual beli.
- Jenis barang yang dijual halal.
- Jenis barangnya suci.
- Barang yang dijual memiliki manfaat.
- Atas dasar suka sama suka bukan karena paksaan.
- Saling menguntungkan.
2. Jual beli yang batal
Dikatakan batal apabila salah satu rukun atau sepenuhnya tidak terpenuhi. Atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak di syariatkan, seperti jual beli yang dilakukan anak-anak, orang gila, atau barang yang di jual itu adalah barang-barang yang diharamkan syara’, seperti babi, bangkai, dan khamer. Adapun bentuk-bentuk jual beli yang terlarang dalam agama Islam karena merugikan masyarakat di antaranya sebagai berikut:
a. Jual beli sesuatu yang tidak ada
Para ulama fikih sepakan menyatakan jual beli ini tidak sah/batil. Misalnya, memperjual belikan buah-buahan yang putiknya pun belum muncul dipohonnya atau anak sapi yang belum ada sekalipun diperut ibunya telah ada. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad Ibnu Hambal, An-Nasai, dan At-Tirmidzi.
Akan tetapi, Ibnu Qayyim al-Zauziyyah (691-751 H/1292-1350 M), pakar fikih Hanbali, mengatakan bahwa jualbeli yang barangnya tidak ada waktu berlangsungnya akad, tetapi diyakini akan ada di masa yang akan datang sesuai dengan kebiasaannya, boleh diperjualbelikan dan hukumnya sah, alasannya karena tidak dijumpai di dalam al-Quran dan as-Sunnah larangan terhadap jual beli seperti ini. Yang ada dan dilarang dalam sunnah Rasulullah SAW., menurutnya adalah jual beli tipuan (ba’I al-gharar). Memperjual belikan sesuatu yang diyakini ada pada masa yang akan datang, menurutnya tidak termasuk jual beli tipuan.
b. Menjual barang yang tidak boleh diserahkan pada pembeli
Seperti menjual barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang di udara. jual beli barang curian. Alasannya adalah Hadis yang diriwayatkan Ahmad ibn Hambal, Muslim, Abu Daud, dan At-Tirmidzi sebagai berikut: jangan kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli seperti ini adalah jual beli tipuan.
c. Jual beli yang mengandung unsur penipuan
Yang pada lahirnya baik tetapi dibalik itu terdapat unsur-unsur tipuan, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah SAW tentang memperjual belikan ikan yang masih ada di dalam air di atas.
d. Jual beli benda-benda najis
Seperti khamer, babi, dan darah, karena semua itu dalam pandangan Islam adalah najis dan tidak mengandung makna harta.
e. Jual beli al-arbun
Jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju maka jual beli sah tetapi jika pembeli tidak setuju, dan barang dikembalikan maka uang telah diberikan kepada penjual menjadi hibah bagi penjual.
f. Memperjual belikan sesuatu yang tidak boleh dimiliki seseorang
Seperti air sungai, air danau, dan air laut. Karena air yang tidak dimiliki seseorang merupakan hak bersama umat manusia, dan tidak boleh diperjual belikan.
3. Jual beli yang fasid
Ulama Hanafiyah yang membedakan jual beli fasid dengan jual beli yang batal. Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang yang dijual belikan, maka hukumnya batal. Seperti memperjual belikan benda-benda yang haram (khamar, babi, dan darah). Apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual beli itu di namakan fasid.
F. Khiyar
Khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan, pembahasan khiyar dikemukakan para ulama fikih dalam masalah yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi yang dimaksud.
Dalam jual beli sering terjadi penyesalan di antara penjual dan pembeli. Penyesalan ini terjadi karena kurang hati-hati, tergesa-gesa atau sebab lainnya. Untuk menghindari penyesalan dalam jual beli, maka Islam memberikan jalan dengan khiyar. Khiyar adalah hak untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya. Maksudnya, baik penjual atau pembeli mempunyai kesempatan untuk mengambil keputusan apakah meneruskan jual beli atau membatalkannya dalam waktu tertentu atau karena sebab tertentu. Khiyar dalam jual beli ada tiga macam yaitu:
1. Khiyar majlis
Khiyar majlis adalah hak bagi penjual dan pembeli yang melakukan akad jual beli untuk membatalkan atau meneruskan akad jual beli selama mereka masih belum berpisah dari tempat akad. Apabila keduanya telah berpisah dari satu majlis, maka hilanglah hak khiyar majlis ini.
2. Khiyar syarat
Khiyar syarat adalah suatu keadaan yang membolehkan salah seorang atau masing-masing orang yang melakukan akad untuk membatalkan atau menetapkan jual belinya setelah mempertimbangkan dalam 1, 2, atau 3 hari. Setelah waktu yang ditentukan tiba, maka jual beli harus segera ditegaskan untuk dilanjutkan atau dibatalkan. Waktu khiyar syarat selama 3 hari 3 malam terhitung waktu akad.
3. Khiyar ‘aibi
Khiyar ‘aibi adalah hak untuk memilih meneruskan atau membatalkan jual beli karena ada cacat atau kerusakan pada barang yang tidak kelihatan pada saat ijab kabul. Pada masa sekarang, untuk memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pembeli, para produsen dan penjual barang biasanya memberikan jaminan produk atau garansi. Pemberian garansi juga dimaksudkan untuk menghindari adanya kekecewaan pembeli terhadap barang yang dibelinya.
Khiyar diperbolehkan oleh Rasulullah Muhammad SAW karena memiliki manfaat. Diantara manfaat khiyar adalah untuk menghindari adanya rasa tidak puas terhadap barang yang dibeli, menghindari penipuan, dan untuk membina ukhuwah antara penjual dan pembeli. Dengan adanya khiyar, penjual dan pembeli merasa puas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jual beli adalah peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’. Hukum melakukan jual beli adalah boleh (جواز) atau (مباح). Rukun jual beli ada tiga yaitu, adanya ‘aqid (penjual dan pembeli), ma’qud ‘alaih (barang yang diperjual belikan), dan sighat (ijab qobul). Syaratnya ‘aqid baligh dan berakal, islam bagi pembeli mushaf, dan tidak terpaksa, syarat bagi ma’qud ‘alaih adalah suci atau mungkin disucikan, bermanfaat, dapat diserah terimakan secara cepat atau lambat, milik sendiri, diketahui/dapat dilihat. Syarat sah shighat adalah tidak ada yang membatasi (memisahkan), tidak diselingi kata-kata lain, tidak dita’likkan (digantungkan) dengan hal lain, dan tidak dibatasi waktu.
Jual beli ada tiga macam yaitu, menjual barang yang bisa dilihat hukumnya boleh/sah, menjual barang yang disifati (memesan barang) hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual sesuai dengan sifatnya (sesuai promo), menjual barang yang tidak kelihatan Hukumnya tidak boleh/tidak sah.
B. Saran
Sebagai umat Islam sebaiknya kita selalu melakukan jual beli sesuai dengan syariat hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Imran, Ali. 2011. Fikih, Taharah, Ibadah, Muamalah. Bandung: CV. Media Perintis.
Moh. Rifa’i. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV. Toha Putra.
Rasyid, Sulaiman. 2010. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Syafe’i, Rachmat. 2006. Fiqih Muamalah untuk Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Yunus, Mahmu. 2011. Fiqih Muamalah. Medan: Ratu Jaya.