Makalah Mawaris (Warisan)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Mawaris (Warisan) ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Mawaris (Warisan) ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Mawaris (Warisan) ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Mawaris (Warisan) ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, April 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Apabila terjadi sengketa waris di antara ahli waris karena tidak ada kesepakatan, maka langkah yang harus dilakukan adalah membicarakan pilihan hukum (choice of law). Hukum positif di Indonesia masih membuka ruang bagi para pihak yang bersangkutan memilih dasar hukum yang akan dipakai dalam penyelesaian pembagian harta warisan. Hal ini nantinya memberikan konsekuensi terhadap pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili sengketa tersebut. Pilihan hukum di sini maksudnya sengketa tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Negeri bila penyelesaiannya tunduk pada Hukum Adat atau KUH Perdata (civil law) atau dapat diajukan ke Pengadilan Agama bila penyelesaiannya tunduk pada Hukum Islam. Hal ini disebabkan Indonesia masih menganut sistem pluralisme hukum.

Bagi pewaris yang beragama Islam, dasar hukum utama yang menjadi pegangan adalah UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Penjelasan Umum UU tersebut dinyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus”. Secara eksplisit, Hukum Islamlah yang harusnya menjadi pilihan hukum bagi mereka yang beragama Islam. Namun, ketentuan ini tidak mengikat karena UU Peradilan Agama ini tidak secara tegas mengatur persoalan penyelesaian pembagian harta waris bagi pewaris yang beragama Islam (personalitas keislaman pewaris) atau non-Islam.

Di dalam praktik, pilihan hukum ini dapat menimbulkan berbagai masalah, karena ahli waris dapat saling gugat di berbagai pengadilan. Permintaan fatwa kepada Mahkamah Agung dan atau mengajukan upaya hukum kasasi untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang memutus adalah konsekuensi yang harus dibayar oleh para pihak ahli waris bila tidak bersepakat dalam menentukan mau tunduk terhadap hukum yang mana dalam penyelesaian sengketa waris.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Mawaris (Warisan) ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa pengertian mawaris atau kewarisan?
  2. Apa saja dasar-dasar hukum waris?
  3. Bagaimana ketentuan mawaris dalam Islam?
  4. Bagaimana ketentuan pembagian harta warisan?
  5. Apa manfaat hukum waris Islam?

C.    Tujuan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Mawaris (Warisan) ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui pengertian mawaris atau kewarisan.
  2. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum waris.
  3. Untuk mengetahui ketentuan mawaris dalam Islam.
  4. Untuk mengetahui ketentuan pembagian harta warisan.
  5. Untuk mengetahui manfaat hukum waris Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mawaris atau Kewarisan

Ilmu mawaris adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah Swt. sebagai ilmu yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah Swt. dalam firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa tentang hukum mawaris, terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al- muqaddarah). Warisan dalam bahasa Arab disebut al-miras merupakan bentuk masdar (infinitif) dari kata warisayarisuirsanmirasan yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Warisan berdasarkan pengertian di atas tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang non harta benda. Ayat al-Qur’an yang menyatakan demikian di antaranya terdapat dalam Q.S. an-Naml ayat 16: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud”. Demikian juga dalam hadis Nabi disebutkan yang artinya: “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi”. Adapun menurut istilah, warisan adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.

Definisi lain menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan. Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu faraidh, yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan harta warisan, yang mencakup masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan, bagian masing-masing dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ketiga masalah tersebut.

Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah-masalah ibadah kepada Allah Swt.. Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk masalah kewarisan. Nabi Muhammad saw., membawa hukum waris Islam untuk mengubah hukum waris jahiliah yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan yang menurut Islam tidak adil. Dalam hukum waris Islam, setiap pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan, berhak memiliki harta benda dari harta peninggalan.

Mawaris merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup. Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur, yaitu:

  1. Orang mati, yang disebut pewaris atau yang mewariskan.
  2. Harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta waris.
  3. Satu atau beberapa orang hidup sebagai keluarga dari orang yang mati, yang disebut sebagai ahli waris.

B.    Dasar-dasar Hukum Waris

Sumber hukum ilmu mawaris yang paling utama adalah al-Qur’an, kemudian as-sunnah atau hadis dan setelah itu ijmak para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid.

1. Al-Qur’an

Dalam Islam saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib berdasarkan al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw. Banyak ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang ketentuan pembagian harta warisan ini. Di antaranya firman Allah Swt. dalam surat an-Nisa ayat 7:

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا

Artinya:

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

Ayat-ayat lain tentang mawaris terdapat dalam berbagai surat, seperti dalam surat an-Nisa ayat 7 sampai dengan 12 dan ayat 176, surat an-Nahl ayat 75 dan surat al-Ahzb ayat 4, sedangkan permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh as-sunnah, dan sebagian sebagai hasil ijmak dan ijtihad.

2. As-Sunnah

a. Hadis dari Ibnu Mas’ud

Rasulullah saw. bersabda: “Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkanlah ia kepada manusia, dan pelajarilah faraid dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang memberitahukan pemecahan masalahnya kepada mereka”. (H.R. Ahmad).

b. Hadis dari Abdullah bin ‘Amr

Rasulullah saw. bersabda: “Ilmu itu ada tiga macam dan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat muhkamat, sunah yang datang dari nabi dan faraid yang adil”. (H.R. Abu Daµd dan Ibnu Majah).

Berdasarkan kedua hadis di atas, maka mempelajari ilmu faraid adalah fardu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraid dengan segala kesungguhan.

3. Posisi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta warisan dan ahli waris. Kompilasi Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Yang masih menjadi perdebatan hangat adalah keberadaan pasal 185 tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur dalam fikih Islam.

C.     Ketentuan Mawaris dalam Islam

1. Ahli Waris

Jumlah ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia ada 25 orang, yaitu 15 orang dari ahli waris pihak laki-laki yang biasa disebut ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furud) dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan yang biasa disebut ahli waris zawil furud (yang bagiannya telah ditentukan).

2. Syarat-syarat Mendapatkan Warisan

Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.
  2. Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia.
  3. Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.

3. Sebab-sebab Menerima Harta Warisan

Seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa sebab sebagai berikut:

  1. Nasab (keturunan), yakni kerabat yaitu ahli waris yang terdiri dari bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur ke sampingnya saudara-saudara beserta anak-anak mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta anak-anak mereka. Allah Swt. berfirman dalam surat an-Nisa ayat 33: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya….”.
  2. Pernikahan, yaitu akad yang sah yang menghalalkan berhubungan suami istri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya. Allah Swt. berfirman dalam suratan-Nisa ayat 12: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak raj’i selama dalam masa idah dan ba’in, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia karena sakitnya tersebut.
  3. Wala’, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu. Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: “Wala’ itu milik orang yang memerdekakannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

4. Sebab-sebab Tidak Mendapatkan Harta Warisan

Sebab-sebab yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut.

  1. Kekafiran, yaitu kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya: “Orang kafir tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
  2. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw.: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (H.R. Ibnu Abdil Bar)
  3. Perbudakan, yaitu seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw., yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.
  4. Perzinaan, yaitu seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya, berdasarkan hadis Rasulullah saw.: “Anak itu dinisbahkan kepada si empunya tempat tidur, dan penzina terhalang (dari hubungan nasab.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
  5. Li’an, yaitu Anak suami istri yang melakukan li’an tidak dapat mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini dikiaskan dengan anak dari hasil perzinaan.

D.     Ketentuan Pembagian Harta Warisan

Pembagian harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia merupakan hal yang terakhir dilakukan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang harus terlebih dahulu ditunaikan. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan setelah penunaian wasiat dan utang si mayit, seperti yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 11.

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya:

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.”

Ahli waris dalam pembagian harta warisan terbagi dua macam yaitu ahli waris zawil furud (yang bagiannya telah ditentukan) dan ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furud).

1. Ahli Waris Zawil Furud

Ahli waris yang memperoleh kadar pembagian harta warisan telah diatur oleh Allah Swt. dalam surat an-Nisa dengan pembagian terdiri dari enam kelompok, penjelasan sebagaimana di bawah ini.

a. Mendapat Bagian Setengah
  • Suami, jika istri yang meninggal tidak ada anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
  • Anak perempuan, jika tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan.
  • Cucu perempuan, jika sendirian; tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki
  • Saudara perempuan sekandung jika sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada bapak, tidak ada anak atau tidak ada cucu dari anak laki-laki.
  • Saudara perempuan sebapak sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada bapak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
b. Mendapat Bagian Seperempat
  • Suami, jika istri yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
  • Istri, jika suami yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
c. Mendapat Bagian Seperdelapan

Yang berhak mendapatkan bagian 1/8 adalah istri, jika suami memiliki anak atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki. Jika suami memiliki istri lebih dari satu, maka 1/8 itu dibagi rata di antara semua istri.

d. Mendapat Bagian Dua Pertiga
  • Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
  • Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung.
  • Dua saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sebapak atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
  • Dua saudara perempuan sebapak atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sekandung, atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
e. Mendapat Bagian Sepertiga
  • Ibu, jika yang meninggal dunia tidak memiliki anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki, tidak memiliki dua saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan.
  • Dua saudara seibu atau lebih, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
  • Kakek, jika bersama dua orang saudara kandung laki-laki, atau empat saudara kandung perempuan, atau seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.
f. Mendapat Bagian Seperenam
  • Ibu, jika yang meninggal dunia memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan lebih dari dua yang sekandung atau sebapak atau seibu.
  • Nenek, jika yang meninggal tidak memiliki ibu dan hanya ia yang mewarisinya. Jika neneknya lebih dari satu, maka bagiannya dibagi rata.
  • Bapak secara mutlak mendapat 1/6, baik orang yang meninggal memiliki anak atau tidak.
  • Kakek, jika tidak ada bapak.
  • Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal dunia tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
  • Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan tunggal; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada anak laki-laki paman dari bapak.
  • Saudara perempuan sebapak, jika ada satu saudara perempuan sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak, tidak ada ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki.

2. Ahli Waris Asabah

Ahli waris asabah adalah perolehan bagian dari harta warisan yang tidak ditetapkan bagiannya dalam furµd yang enam (1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8), tetapi mengambil sisa warisan setelah ashabul furµd mengambil bagiannya. Ahli waris ashabah bisa mendapatkan seluruh harta warisan jika ia sendirian, atau mendapatkan sisa warisan jika ada ahli waris lainnya, atau tidak mendapatkan apa-apa jika harta warisan tidak tersisa, berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

“Berikanlah warisan itu kepada yang berhak menerimanya, sedang sisanya berikan kepada (ahli waris) laki-laki yang lebih berhak (menerimanya).” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Bila salah seorang di antara ahli waris didapati seorang diri, maka berhak mendapatkan semua harta warisan, namun bila bersama ashabul furµd, ia menerima sisa bagian dari mereka. Dan bila harta warisan habis terbagi oleh ashabul furµd, maka ia tidak mendapatkan apa-apa dari harta warisan tersebut. Ahli waris ashabah terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Asabah Binnasab (Hubungan Nasab)

Asabah binnasab (hubungan nasab), terbagi menjadi 3 bagian yaitu:

1) Asabah bin Nafsi

Asabah bin nafsi yaitu semua ahli waris laki-laki (kecuali suami, saudara laki-laki seibu, dan mu’tiq yang memerdekakan budak), mereka adalah:

  • Anak laki-laki.
  • Putra dari anak laki-laki seterusnya ke bawah.
  • Kakek ke atas.
  • Saudara laki-laki sekandung.
  • Saudara laki-laki seayah.
  • Anak saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah.
  • Anak saudara laki-laki seayah.
  • Paman sekandung.
  • Paman seayah.
  • Anak laki-laki paman sekandung dan seterusnya ke bawah.
  • Anak laki-laki paman seayah dan seterusnya ke bawah.

Untuk lebih memahami derajat kekuatan hak waris asabah bin nafsi, maka kedua belas ahli waris di atas dapat dikelompokkan menjadi empat arah yaitu:

  • Arah anak, mencakup seluruh anak laki-laki keturunan anak laki-laki, mulai cucu, cicit dan seterusnya.
  • Arah bapak, mencakup ayah, kakek dan seterusnya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakek, dan seterusnya.
  • Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki seibu tidak termasuk, karena termasuk ashabul furud.
  • Arah paman, mencakup paman kandung dan paman seayah, termasuk keturunan mereka dan seterusnya.

Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris asabah bin nafsi, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dari yang lain. Jika anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan laki-laki dan seterusnya. Apabila dalam pembagian harta warisan terdapat beberapa ahli waris asabah bin nafsi, sedangkan mereka berada dalam satu arah, maka pengunggulannya dilihat dari derajat kedekatannya kepada pewaris, misalnya seseorang wafat meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Maka hak waris secara asabah diberikan kepada anak, sementara cucu tidak mendapatkan bagian apapun dari warisan tersebut.

Adapun dasar hukum didahulukannya anak dari pada ibu bapak adalah firman Allah Swt. dalam surat an-Nisa ayat 11, yaitu: “Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.”

2) Asabah bil Ghair

Ahli waris asabah bil ghair ada empat, semuanya dari kelompok wanita. Dinamakan asabah bil ghair adalah karena hak asabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, tetapi karena adanya asabah lain (asabah bin nafsi). Adapun ahli waris asabah bil ghair yaitu:

  • Anak perempuan bisa menjadi asabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya.
  • Cucu perempuan keturunan anak laki-laki bisa menjadi asabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya (cucu laki-laki dari anak laki-laki), baik yang sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
  • Saudara kandung perempuan akan menjadi asabah bila bersama dengan saudara kandung laki-laki.
  • Saudara perempuan seayah akan menjadi asabah bila bersama dengan saudara laki-laki.

Dalam kondisi seperti ini bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Mereka mendapatkan bagian sisa harta yang telah dibagi, jika harta telah habis terbagi, maka gugurlah hak waris bagi mereka.

3) Asabah Ma’al Ghair

Orang yang termasuk asabah ma’al ghair ada dua, yaitu seperti berikut ini.

  • Saudara perempuan sekandung satu orang atau lebih berada bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.
  • Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih bersama dengan anak perempuan satu atau lebih atau bersama putri dari anak laki-laki satu atau lebih atau bersama dengan keduanya.

Adapun landasan hukum adanya asabah ma’al ghair adalah hadis Rasulullah saw. bahwa Abu Musa al-Asy’ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan sekandung atau seayah. Abu Musa menjawab: “Bagian anak perempuan separo dan saudara perempuan separo.” (H.R. Al-Bukhari).

b. Asabah Bissabab (Karena Sebab)

Yang termasuk asabah bissabab (karena sebab) adalah orang-orang yang membebaskan budak, baik laki-laki atau perempuan. Dari penjelasan tentang pembagian harta warisan di atas, jika semua ahli waris itu ada atau berkumpul, maka ada tiga kondisi yang harus diperhatikan, seperti berikut ini.

  • Jika semua ahli waris laki-laki berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanyalah 3 orang yaitu: ayah, anak-laki-laki dan suami, dengan pembagian ayah 1/6, suami 1/4 dan sisanya adalah anak laki-laki (asabah).
  • Jika semua ahli waris perempuan berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah 5 orang yaitu: istri 1/8, ibu 1/6, anak perempuan ½, dan sisanya saudara perempuan sekandung sebagai asabah.
  • Jika terkumpul semua ahli waris laki-laki dan perempuan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah lima orang yaitu: ibu, bapak, anak laki-laki, anak perempuan, suami atau istri dengan pembagian sebagai berikut:
  • Jika pada ahli waris tersebut terdapat istri, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, istri 1/8, dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai asabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.
  • Jika pada ahli waris tersebut terdapat suami, maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, suami ¼ dan sisanya anak laki-laki dan perempuan sebagai asabah dengan ketentuan anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan.

E.    Manfaat Hukum Waris Islam

Hukum waris Islam ini memberi jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris. Berikut ini, beberapa manfaat yang dapat dirasakan, yaitu:

  1. Terciptanya ketenteraman hidup dan suasana kekeluargaan yang harmonis. Syariah adalah sumber hukum tertinggi yang harus ditaati. Orang yang paling durhaka adalah orang yang menantang hukum syariah. Syariah itu sendiri diturunkan untuk kebaikan umat Islam dan memberi jalan keluar yang paling sesuai dengan karakter dan watak dari masing-masing manusia. Syariah menjadi hukum tertinggi yang harus ditaati, dan diterima dengan ikhlas.
  2. Menciptakan keadilan dan mencegah konflik pertikaian. Keadilan yang telah diterapkan, mencegah munculnya berbagai konflik dalam keluarga yang dapat berujung pada tragedi pertumpahan darah. Meski dalam praktiknya, selalu saja muncul penentangan yang bersumber dari akal pikiran.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Meyakini bahwa hukum waris merupakan ketetapan Allah Swt. yang paling lengkap dijelaskan oleh al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw. 2. Hukum untuk mempelajari ilmu waris adalah fardzu kifayah, karena itu setiap muslim harus ada yang mempelajarinya. Meninggalkan keturunan dalam keadaan berkecukupan lebih baik dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin, karena Islam memerintahkannya. Seseorang sebelum meninggal sebaiknya berwasiat, yaitu pesan seseorang ketika masih hidup agar hartanya disampaikan kepada orang tertentu atau tujuan lain, yang harus dilaksanakan setelah orang yang berwasiat itu meninggal.

Ayat-ayat al-Qur’an dalam menjelaskan pembagian harta kepada ahli waris menempatkan urutan kewarisan secara sistematis didasarkan atas jauh dekatnya seseorang kepada si mayit yang meninggalkan harta warisan. Oleh karena itu, dalam menentukan ahli waris harus sesuai ketetapan hukum waris yaitu dimulai dari anak-anak yang dikategorikan sebagai keturunan langsung, kemudian kedua orang tua mayit (leluhur) dan terakhir kepada saudara-saudara yang dikelompokkan sisi dan ditambah dengan suami atau istri dari yang meninggal. Berhukum dengan hukum waris Islam merupakan suatu kewajiban, karena setiap pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan dari ahli waris, berhak memiliki harta benda hasil peninggalan sesuai ketentuan syariat Islam secara adil.

Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk juga masalah kewarisan. Keberadaan warisan menjadi bukti bahwa orang tua harus bertanggung jawab terhadap keluarga, anak, dan keturunannya. Dasar hukum waris yang paling utama adalah surat an-Nisa ayat 7-12 dan 176, surat an-Nahl ayat 75, surat al-Ahzab ayat 4, serta beberapa hadis Nabi saw. Posisi hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991.

Ketentuan-ketentuan tentang warisan adalah yang paling lengkap diuraikan secara rinci dalam al-Qur’an terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (furudul muqaddarah). Hal ini menunjukkan bahwa persoalan ilmu mawaris dan hukum mempelajarinya perlu mendapat perhatian yang serius dari kaum muslimin. Orang yang memperoleh harta warisan dari orang yang meninggal dunia karena empat sebab, yaitu; sebab nasab hakiki, sebab nasab hukmi, sebab pernikahan dan sebab hubungan agama. Hal-hal yang perlu diselesaikan sebelum dilakukan pembagian waris.

B.     Saran

Hal-hal yang perlu diselesaikan sebelum harta waris dibagi adalah biaya mengurus jenazah, zakat bila mencapai nisab, membayar hutang bila ada, dan melaksanakan amanah dan nazar bila ada.

DAFTAR PUSTAKA

Glasse, Cyril. 1999. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Grafido Pcrsada.

Halimah, Iim dkk. 2013. Mandiri Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti. Jakarta: Erlangga.

Haris, Abd., dkk, 2012. Pendalaman Materi Ajar PAI. Jakarta: FITK UIN Jakarta.

Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud. 2015. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK/MA Kelas XII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim IMTAQ MGMP PAI. 2010. Modul Bahan Ajar Pendidikan Agama Islam SMA/SMK Kelas X, XI, dan XII. Jakarta: PT. Kirana Cakra Buana.

Download Contoh Makalah Mawaris (Warisan).docx