Makalah Pernikahan

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Pernikahan ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Pernikahan ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Pernikahan ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Pernikahan ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, April 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menempuh kehidupan, seseorang memerlukan pendamping sebagai tempat mencurahkan suka dan duka. Hidup berpasangan atau nikah adalah kebijaksanaan Allah Swt. terhadap seluruh makhluknya. Nikah merupakan fitrah, karena itu Islam melarang keras hidup melacur, homo, dan lesbian karena bertentangan dengan fitrah manusia. Kendali untuk tidak menuruti hawa nafsu bagi manusia. Semua orang berharap mendapatkan sukses atau kemenangan. Manusia akan hidup dalam dua alam, yaitu dunia dan akhirat, kemenangan di akhirat dan kemenangan di dunia adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, bagaikan dan dua sisi mata uang yang tidak akan bermakna jika salah satu sisinya hilang.

Sukses atau kemenangan bukanlah suatu yang tiba-tiba, melainkan sebuah pencapaian yang perlu perencanaan yang matang. Perencanaan yang matang sangat dipengaruhi oleh sejauh mana ketersediaan informasi dalam memprediksi ke depan, sedangkan masa depan tanpa perencanaan dan rida Allah Swt. adalah sesuatu yang mustahil untuk sukses. Untuk itu, kita perlu mengkaji bagaimana harus mengatur diri agar mencapainya. Sukses berarti kita telah berpindah dari menjauhi Allah Swt. menjadi dekat dengan Allah Swt., berpindah dari kebodohan kepada ilmu pengetahuan, berpindah dari akhlak sayyiah menjadi akhlak mahmudah, dari malas beribadah menjadi giat ibadah dan sebagainya.

Sukses dalam berkeluarga adalah rumah tangga yang diliputi sakinah (ketenteraman jiwa), mawadah (rasa cinta), dan rahmah (kasih sayang), Allah Swt. berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tenteram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan di antaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Q.S. ar-Rµm: 21).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Pernikahan ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa pengertian pernikahan?
  2. Apa tujuan dari pernikahan?
  3. Mengapa dianjurkan untuk menikah?
  4. Apa saja hukum-hukum pernikahan?
  5. Siapa saja orang-orang yang tidak boleh dinikahi?
  6. Apa saja rukun dan syarat pernikahan?
  7. Bagaimana bentuk pernikahan yang tidak sah?
  8. Bagaimana hukum pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia?
  9. Apa saja hak dan kewajiban suami istri?
  10. Apa saja hikmah pernikahan?

C. Tujuan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Pernikahan ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui pengertian pernikahan.
  2. Untuk mengetahui tujuan pernikahan.
  3. Untuk mengetahui anjuran menikah.
  4. Untuk mengetahui hukum pernikahan.
  5. Untuk mengetahui orang-orang yang tidak boleh dinikahi.
  6. Untuk mengetahui rukun dan syarat pernikahan.
  7. Untuk mengetahui pernikahan yang tidak sah.
  8. Untuk mengetahui pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia.
  9. Untuk mengetahui hak dan kewajiban suami istri.
  10. Untuk mengetahui hikmah pernikahan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan

Secara bahasa, arti nikah berarti mengumpulkan, menggabungkan, atau menjodohkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) atau pernikahan. Sedang menurut syariah, nikah berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing. Dalam Undang-undang Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974, definisi atau pengertian perkawinan atau pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan sama artinya dengan perkawinan. Allah Swt. berfirman:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. an-Nisa: 3).

B. Tujuan Pernikahan

Seseorang yang akan menikah harus memiliki tujuan positif dan mulia untuk membina keluarga sakinah dalam rumah tangga, di antaranya sebagai berikut.

1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda: “Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya, kalau tidak kamu akan celaka.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

2. Untuk Mendapatkan Ketenangan Hidup

Allah Swt. berfirman: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah Swt.) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. ar-Rµm: 21).

3. Untuk Membentengi Akhlak

Rasulullah saw. bersabda: “Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (saum), karena saum itu dapat membentengi dirinya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

4. Untuk Meningkatkan Ibadah kepada Allah SWT.

Rasulullah saw. bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!”. Mendengar sabda Rasulullah para sahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa?” Jawab para sahabat, “Ya, benar.” Beliau bersabda lagi, “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (H.R. Muslim).

5. Untuk Mendapatkan Keturunan yang Saleh

Allah Swt. berfirman: “Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (Q.S. an-Nahl: 72).

6. Untuk Menegakkan Rumah Tangga yang Islami

Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya talak (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi mempertahankan keutuhan rumah tangga. Firman Allah Swt.: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. al-Baqarah: 229).

C. Anjuran Menikah

Pernikahan adalah sunatullah yang berlaku umum bagi semua makhluk-Nya. Al-Qur`ān menyebutkan dalam surat adz-Zariyat ayat 49: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” Islam sangat menganjurkan pernikahan, karena dengan pernikahan manusia akan berkembang, sehingga kehidupan umat manusia dapat dilestarikan. Tanpa pernikahan regenerasi akan terhenti, kehidupan manusia akan terputus, dunia pun akan sepi dan tidak berarti, karena itu Allah Swt. mensyariatkan pernikahan sebagaimana difirmankan dalam surat an-Nahl ayat 72: “Allah menjadikan dari kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dan istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah.”

Ayat tersebut menguatkan rangsangan bagi orang yang merasa belum sanggup, agar tidak khawatir karena belum cukup biaya, karena dengan pernikahan yang benar dan ikhlas, Allah Swt. akan melapangkan rezeki yang baik dan halal untuk hidup berumah tangga, sebagaimana dijanjikan Allah Swt. dalam firman-Nya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah Swt. akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Swt. Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” ( Q.S. an-Nµr: 32).

Rasulullah juga banyak menganjurkan kepada para remaja yang sudah mampu untuk segera menikah agar kondisi jiwanya lebih sehat, seperti dalam hadis: “Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kalian yang sudah mampu maka menikahlah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Jika belum mampu maka berpuasalah, karena berpuasa dapat menjadi benteng (dari gejolak nafsu).” (H.R. Bukhari dan Muslim).

D. Hukum Pernikahan

Para ulama menyebutkan bahwa nikah diperintahkan karena dapat mewujudkan maslahat, memelihara diri, kehormatan, mendapatkan pahala dan lain-lain. Oleh karena itu, apabila pernikahan justru membawa mudarat maka nikah pun dilarang. Karena itu hukum asal melakukan pernikahan adalah mubah. Para ahli fikih sependapat bahwa hukum pernikahan tidak sama penerapannya kepada semua mukalaf, melainkan disesuaikan dengan kondisi masing-masing, baik dilihat dari kesiapan ekonomi, fisik, mental ataupun akhlak. Karena itu hukum nikah bisa menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

  1. Wajib bagi orang yang telah mampu baik fisik, mental, ekonomi maupun akhlak untuk melakukan pernikahan, mempunyai keinginan untuk menikah, dan jika tidak menikah, maka dikhawatirkan akan jatuh pada perbuatan maksiat, maka wajib baginya untuk menikah. Karena menjauhi zina baginya adalah wajib dan cara menjauhi zina adalah dengan menikah.
  2. Sunah bagi orang yang telah mempunyai keinginan untuk menikah namun tidak dikhawatirkan dirinya akan jatuh kepada maksiat, sekiranya tidak menikah. Dalam kondisi seperti ini seseorang boleh melakukan dan boleh tidak melakukan pernikahan. Tapi melakukan pernikahan adalah lebih baik daripada mengkhususkan diri untuk beribadah sebagai bentuk sikap taat kepada Allah Swt..
  3. Mubah bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya atau tidak memiliki syahwat sama sekali seperti orang yang impoten atau lanjut usia, atau yang tidak mampu menafkahi, sedangkan wanitanya rela dengan syarat wanita tersebut harus rasyidah (berakal). Juga mubah bagi yang mampu menikah dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang haram.
  4. Haram yaitu bagi orang yang yakin bahwa dirinya tidak akan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban pernikahan, baik kewajiban yang berkaitan dengan hubungan seksual maupun berkaitan dengan kewajiban-kewajiban lainnya. Pernikahan seperti ini mengandung bahaya bagi wanita yang akan dijadikan istri. Sesuatu yang menimbulkan bahaya dilarang dalam Islam. Tentang hal ini Imam al-Qurtubi mengatakan, “Jika suami mengatakan bahwa dirinya tidak mampu menafkahi istri atau memberi mahar, dan memenuhi hak-hak istri yang wajib, atau mempunyai suatu penyakit yang menghalanginya untuk melakukan hubungan seksual, maka dia tidak boleh menikahi wanita itu sampai dia menjelaskannya kepada calon istrinya. Demikian juga wajib bagi calon istri menjelaskan kepada calon suami jika dirinya tidak mampu memberikan hak atau mempunyai suatu penyakit yang menghalanginya untuk melakukan hubungan seksual dengannya”.
  5. Makruh yaitu bagi seseorang yang mampu menikah tetapi dia khawatir akan menyakiti wanita yang akan dinikahinya, atau menzalimi hak-hak istri dan buruknya pergaulan yang dia miliki dalam memenuhi hak-hak manusia, atau tidak minat terhadap wanita dan tidak mengharapkan keturunan.

E. Orang-orang yang Tidak Boleh Dinikahi

Al-Qur’an telah menjelaskan tentang orang-orang yang tidak boleh (haram) dinikahi (Q.S. an-Nisa: 23-24). Wanita yang haram dinikahi disebut juga mahram nikah. Mahram nikah sebenarnya dapat dilihat dari pihak laki-laki dan dapat dilihat dari pihak wanita. Dalam pembahasan secara umum biasanya yang dibicarakan ialah mahram nikah dari pihak wanita, sebab pihak laki-laki yang biasanya mempunyai kemauan terlebih dahulu untuk mencari jodoh dengan wanita pilihannya. Dilihat dari kondisinya mahram terbagi kepada dua; pertama mahram muabbad (wanita diharamkan untuk dinikahi selama-lamanya) seperti: keturunan, satu susuan, mertua perempuan, anak tiri, jika ibunya sudah dicampuri, bekas menantu perempuan, dan bekas ibu tiri. Kedua mahram ghair muabbad adalah mahram sebab menghimpun dua perempuan yang statusnya bersaudara, misalnya saudara sepersusuan kakak dan adiknya. Hal ini boleh dinikahi tetapi setelah yang satu statusnya sudah bercerai atau mati. Yang lain dengan sebab istri orang dan sebab idah.

Berdasarkan ayat tersebut, mahram dapat dibagi menjadi empat kelompok:

1. Keturunan

  1. Ibu dan seterusnya ke atas.
  2. Anak perempuan dan seterusnya ke bawah.
  3. Bibi, baik dari bapak atau ibu.
  4. Anak perempuan dari saudara perempuan atau saudara laki-laki.

2. Pernikahan

  1. Ibu dari istri (mertua).
  2. Anak tiri, bila ibunya sudah dicampuri.
  3. Istri bapak (ibu tiri).
  4. Istri anak (menantu).

3. Persusuan

  1. Ibu yang menyusui.
  2. Saudara perempuan sepersusuan.

4. Dikumpul atau Dimadu

  1. Saudara perempuan dari istri.
  2. Bibi perempuan dari istri.
  3. Keponakan perempuan dari istri.

F. Rukun dan Syarat Pernikahan

Para ahli fikih berbeda pendapat dalam menentukan rukun dan syarat pernikahan. Perbedaan tersebut adalah dalam menempatkan mana yang termasuk syarat dan mana yang termasuk rukun. Jumhur ulama sebagaimana juga mazhab Syafi’i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima seperti di bawah ini.

1. Calon Suami

Calon suami dengan syarat-syaratnya sebagai berikut:

  1. Bukan mahram si wanita, calon suami bukan termasuk yang haram dinikahi karena adanya hubungan nasab atau sepersusuan.
  2. Orang yang dikehendaki, yakni adanya keredaan dari masing-masing pihak. Dasarnya adalah hadis dari Abu Hurairah r.a, yaitu: “Dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta izinnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
  3. Mu’ayyan (beridentitas jelas), harus ada kepastian siapa identitas mempelai laki-laki dengan menyebut nama atau sifatnya yang khusus.

2. Calon Istri

Calon istri dengan syarat-syaratnya sebagai berikut:

  1. Bukan mahram si laki-laki.
  2. Terbebas dari halangan nikah, misalnya, masih dalam masa idah atau berstatus sebagai istri orang.

3. Wali

Wali adalah bapak kandung mempelai wanita, penerima wasiat atau kerabat terdekat, dan seterusnya sesuai dengan urutan ashabah wanita tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita, atau pemimpin setempat, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nikah, kecuali dengan wali.” Umar bin Khattab r.a. berkata, “Wanita tidak boleh dinikahi, kecuali atas izin walinya, atau orang bijak dari keluarganya atau seorang pemimpin.” Syarat wali adalah:

  1. Orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci.
  2. Laki-laki, bukan perempuan atau banci.
  3. Mahram si wanita.
  4. Balig, bukan anak-anak.
  5. Berakal, tidak gila.
  6. Adil, tidak fasik.
  7. Tidak terhalang wali lain.
  8. Tidak buta.
  9. Tidak berbeda agama.
  10. Merdeka, bukan budak.

4. Dua Orang Saksi

Firman Allah Swt.: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian.” (Q.S. at-Țalaq: 2). Syarat saksi adalah:

  1. Berjumlah dua orang, bukan budak, bukan wanita, dan bukan orang fasik.
  2. Tidak boleh merangkap sebagai saksi walaupun memenuhi kualifikasi sebagai saksi.
  3. Sunah dalam keadaan rela dan tidak terpaksa.

5. Ijab Kabul (Sighat)

Ijab kabul atau shighat adalah perkataan dari mempelai laki-laki atau wakilnya ketika akad nikah. Syarat shighat adalah:

  1. Tidak tergantung dengan syarat lain.
  2. Tidak terikat dengan waktu tertentu.
  3. Boleh dengan bahasa asing.
  4. Dengan menggunakan kata tazwij atau nikah, tidak boleh dalam bentuk kinayah (sindiran), karena kinayah membutuhkan niat sedang niat itu sesuatu yang abstrak.
  5. Qabul harus dengan ucapan “qabiltu nikahaha/tazwijaha” dan boleh didahulukan dari ijab.

G. Pernikahan yang Tidak Sah

Di antara pernikahan yang tidak sah dan dilarang oleh Rasulullah saw. adalah sebagai berikut.

  1. Pernikahan mut’ah, yaitu pernikahan yang dibatasi untuk jangka waktu tertentu, baik sebentar ataupun lama. Dasarnya adalah hadis berikut: “Bahwa Rasulullah saw. melarang pernikahan mut’ah serta daging keledai kampung (jinak) pada saat Perang Khaibar.” (H.R. Muslim).
  2. Pernikahan syighar, yaitu pernikahan dengan persyaratan barter tanpa pemberian mahar. Dasarnya adalah hadis berikut: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah syighar. Adapun nikah syighar yaitu seorang bapak menikahkan seseorang dengan putrinya dengan syarat bahwa seseorang itu harus menikahkan dirinya dengan putrinya, tanpa mahar di antara keduanya.” (H.R. Muslim)
  3. Pernikahan muhalil, yaitu pernikahan seorang wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya yang karenanya diharamkan untuk rujuk kepadanya, kemudian wanita itu dinikahi laki-laki lain dengan tujuan untuk menghalalkan dinikahi lagi oleh mantan suaminya. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Rasulullah saw. melaknat muhalil dan muhallal lahu.” (H.R. at-Tirmizi)
  4. Pernikahan orang yang ihram, yaitu pernikahan orang yang sedang melaksanakan ihram haji atau ‘umrah serta belum memasuki waktu tahalul. Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang sedang melakukan ihram tidak boleh menikah dan menikahkan.” (H.R. Muslim)
  5. Pernikahan dalam masa idah, yaitu pernikahan di mana seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang sedang dalam masa idah, baik karena perceraian ataupun karena meninggal dunia. Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis idahnya.” ( Q.S. al-Baqarah: 235)
  6. Pernikahan tanpa wali, yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang wanita tanpa seizin walinya. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
  7. Pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita ahli kitab, berdasarkan firman Allah Swt.: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (Q.S. al-Baqarah: 221)
  8. Menikahi mahram, baik mahram untuk selamanya, mahram karena pernikahan atau karena sepersusuan.

H. Pernikahan Menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia

Di dalam negara RI, segala sesuatu yang bersangkut paut dengan penduduk, harus mendapat legalitas pemerintah dan tercatat secara resmi, seperti halnya kelahiran, kematian, dan perkawinan. Dalam rangka tertib hukum dan tertib administrasi, maka tata cara pelaksanaan pernikahan harus mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Adapun pencatatan Pernikahan sebagaimana termaktub dalam BAB II pasal 2 adalah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berada di wilayah masing-masing.

Karena itu Pegawai Pencatat Nikah mempunyai kedudukan yang amat penting dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, bahkan sampai sekarang PPN adalah satu-satunya pejabat yang berwenang untuk mencatat perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum Islam di wilayahnya. Artinya, siapapun yang ingin melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum Islam, berada di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah PPN.

I. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Dengan berlangsungnya akad pernikahan, maka memberi konsekuensi adanya hak dan kewajiban suami istri, yang mencakup 3 hal, yaitu: kewajiban bersama timbal balik antara suami dan istri, kewajiban suami terhadap istri,dan kewajiban istri terhadap suami.

1. Kewajiban Timbal Balik antara Suami dan Istri

  1. Saling menikmati hubungan fisik antara suami istri, termasuk hubungan seksual di antara mereka.
  2. Timbulnya hubungan mahram di antara mereka berdua, sehingga istri diharamkan menikah dengan ayah suami dan seterusnya hingga garis ke atas, juga dengan anak dari suami dan seterusnya hingga garis ke bawah, walaupun setelah mereka bercerai. Demikian sebaliknya berlaku pula bagi suami.
  3. Berlakunya hukum pewarisan antara keduanya.
  4. Dihubungkannya nasab anak mereka dengan suami (dengan syarat kelahiran paling sedikit 6 bulan sejak berlangsungnya akad nikah dan berhubungan suami istri).
  5. Berlangsungnya hubungan baik antara keduanya dengan berusaha melakukan pergaulan secara bijaksana, rukun, damai dan harmonis;
  6. Menjaga penampilan lahiriah dalam rangka merawat keutuhan cinta dan kasih sayang di antara keduanya.

2. Kewajiban Suami terhadap Istri

  1. Mahar, yaitu memberikan mahar adalah wajib hukumnya, maka mazhab Maliki memasukkan mahar ke dalam rukun nikah, sementara para fukaha lain memasukkan mahar ke dalam syarat sahnya nikah, dengan alasan bahwa pembayaran mahar boleh ditangguhkan.
  2. Nafkah, yaitu pemberian nafkah untuk istri demi memenuhi keperluan berupa makanan, pakaian, perumahan (termasuk perabotnya), pembantu rumah tangga dan sebagainya, sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat sekitar pada umumnya.
  3. Memimpin rumah tangga.
  4. Membimbing dan mendidik.

3. Kewajiban Istri terhadap Suami

  1. Taat kepada suami. Istri yang setia kepada suaminya berarti telah mengimbangi kewajiban suaminya kepadanya. Ketaatan istri kepada suami hanya dalam hal kebaikan. Jika suami meminta istri untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Allah Swt., maka istri harus menolaknya. Tidak ada ketaatan kepada manusia dalam kemaksiatan kepada Allah Swt.
  2. Menjaga diri dan kehormatan keluarga. Menjaga kehormatan diri dan rumah tangga, adalah mereka yang taat kepada Allah Swt. dan suami, dan memelihara kehormatan diri mereka bilamana suami tidak ada di rumah. Istri wajib menjaga harta dan kehormatan suami, karenanya istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami.
  3. Merawat dan mendidik anak. Walaupun hak dan kewajiban merawat dan mendidik anak itu merupakan hak dan kewajiban suami, tetapi istripun mempunyai hak dan kewajiban merawat dan mendidik anak secara bersama. Terlebih istri itu pada umumnya lebih dekat dengan anak, karena dia lebih banyak tinggal di rumah bersama anaknya. Maju mundurnya pendidikan yang diperoleh anak banyak ditentukan oleh perhatian ibu terhadap para putranya.

J. Hikmah Pernikahan

Nikah disyariatkan Allah Swt. melalui al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya, seperti dalam uraian di atas, mengandung hikmah yang sangat besar untuk keberlangsungan hidup manusia, di antaranya sebagai berikut.

  1. Terciptanya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dalam ikatan suci yang halal dan diridai Allah Swt.
  2. Mendapatkan keturunan yang sah dari hasil pernikahan.
  3. Terpeliharanya kehormatan suami istri dari perbuatan zina.
  4. Terjalinnya kerja sama antara suami dan istri dalam mendidik anak dan menjaga kehidupannya.
  5. Terjalinnya silaturahmi antar keluarga besar pihak suami dan pihak istri.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Nikah berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing. Sedangkan menurut Undang-undang Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974 adalah: “Perkawinan atau nikah ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Para ahli fikih sependapat bahwa hukum pernikahan tidak sama di antara orang mukalaf. Dilihat dari kesiapan ekonomi, fisik, mental ataupun akhlak, hukum nikah bisa menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh. Al-Quran telah menjelaskan tentang orang-orang yang tidak boleh (haram) dinikahi (Q.S. an-Nisa: 23-24). Wanita yang haram dinikahi disebut juga mahram nikah.

Jumhur ulama sebagaimana juga mazhab Syafi’i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi, dan shigat (ijab kabul). Di antara pernikahan yang tidak sah dan dilarang oleh Rasulullah saw. adalah pernikahan mut`ah, pernikahan syigar, pernikahan muhallil, pernikahan orang yang ihram, pernikahan dalam masa idah, pernikahan tanpa wali, dan pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita ahli kitab, menikahi mahram.

Pernikahan melahirkan kewajiban atas masing-masing pihak, suami dan istri. Kewajiban tersebut meliputi: a) kewajiban timbal balik antara suami dan istri, seperti hubungan seksual di antara mereka; b) kewajiban suami terhadap istri, seperti mahar dan nafkah; c) kewajiban Istri terhadap suami, seperti taat kepada suami.

B. Saran

Mewujudkan keluarga yang sejahtera, tenteram, dan mendapat rida Allah Swt. adalah dambaan dan cita-cita setiap pasangan suami istri. Melalui pernikahan berarti kita telah melakukan sesuatu yang utama dari agama.

DAFTAR PUSTAKA

Abu, Bakr, Jabir al-Jazairi. 2002. Minhajul Muslim. Beirut: Darul Falah.

Halimah, Iim dkk. 2013. Mandiri Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti. Jakarta: Erlangga.

Haris, Abd., dkk, 2012. Pendalaman Materi Ajar PAI. Jakarta: FITK UIN Jakarta.

Khalid, Amru. 2007. Revolusi Diri: Memaksimalkan Potensi untuk Menjadi yang Terbaik. Jakarta: Qisthi Press.

Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud. 2015. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK/MA Kelas XII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim IMTAQ MGMP PAI. 2010. Modul Bahan Ajar Pendidikan Agama Islam SMA/SMK Kelas X, XI, dan XII. Jakarta: PT. Kirana Cakra Buana.

Download Contoh Makalah Pernikahan.docx