Makalah Prinsip-prinsip Preformulasi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Prinsip-prinsip Preformulasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Prinsip-prinsip Preformulasi ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Prinsip-prinsip Preformulasi ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Prinsip-prinsip Preformulasi ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, April 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Preformulasi terdiri dari kata pre yang artinya sebelum dan formulasi yang artinya perumusan atau penyusunan. Dibidang farmasi preformulasi dapat diartikan sebagai langkah awal yang dilakukan ketika akan membuat formula suatu obat. Preformulasi meliputi pengkajian tentang karakteristik atau sifat-sifat dari bahan obat dan bahan tambahan obat yang akan diformulasi. Tujuan preformulasi adalah membuat formula yang tepat sehingga menghasilkan produk akhir berupa sediaan farmasi yang stabil, berkhasiat, aman dan nyaman ketika digunakan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Prinsip-prinsip Preformulasi ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana pertimbangan umum preformulasi?
  2. Apa saja formula beberapa bentuk sediaan obat?
  3. Bagaimana sifat-sifat fisika-kimia bahan obat dan bahan tambahan obat?
  4. Apa saja contoh bahan tambahan obat?
  5. Bagaimana cara pencampuran bahan obat?
  6. Bagaimana pedoman cara mencampur bahan obat?
  7. Apa pengaruh bentuk sediaan terhadap khasiat obat?
  8. Apa saja kelebihan dan kekurangan bentuk sediaan obat?

C. Tujuan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Prinsip-prinsip Preformulasi ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui pertimbangan umum preformulasi.
  2. Untuk mengetahui formula beberapa bentuk sediaan obat.
  3. Untuk mengetahui sifat-sifat fisika-kimia bahan obat dan bahan tambahan obat.
  4. Untuk mengetahui contoh bahan tambahan obat.
  5. Untuk mengetahui cara pencampuran bahan obat.
  6. Untuk mengetahui pedoman cara mencampur bahan obat.
  7. Untuk mengetahui pengaruh bentuk sediaan terhadap khasiat obat.
  8. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan bentuk sediaan obat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Umum Preformulasi

Sebelum membuat formula sediaan obat, beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu:

1. Bentuk Sediaan yang Akan Dibuat

  1. Ada beberapa pilihan bentuk sediaan farmasi yaitu bentuk padat (puyer, tablet, kapsul, suppositoria), bentuk setengah padat (salep, pasta, krim) dan bentuk cair (larutan, suspensi, emulsi).
  2. Pemilihan bentuk sediaan obat tergantung pada:
  • Sifat-sifat fisika-kimia zat aktif yang digunakan, yakni kelarutan, ukuran partikel, sifat higroskopis, reaksi-reaksi kimia dll.
  • Kerja obat yang diinginkan, secara lokal ataukah sistemik. Untuk kerja lokal dipilih sediaan salep, krim, losion, serbuk tabur. Untuk kerja sistemik (diedarkan ke seluruh tubuh oleh darah) dipilih sediaan tablet, kapsul, pulveres atau puyer, dan sirup.
  • Umur si pemakai. Untuk bayi dan anak-anak lebih disukai bentuk pulveres dan sirup. Untuk dewasa umumnya dibuat dalam bentuk tablet, kapsul.

2. Bahan Tambahan Obat yang Akan Digunakan

Bahan tambahan yang digunakan dalam formulasi harus kompatibel (dapat tercampurkan) dengan bahan obat utama (zat aktif) dan bahan tambahan yang lain. Bahan tambahan diperlukan untuk:

  1. Mendapatkan bentuk sediaan yang diinginkan (bentuk tablet, larutan, dll). Sebagai contoh: pada sediaan tablet selain zat aktif, digunakan bahan tambahan berupa bahan pengisi untuk memperbesar volume tablet, bahan pengikat untuk merekatkan serbuk bahan obat, bahan penghancur untuk mempercepat pecahnya tablet di dalam lambung, dan bahan penyalut yang digunakan untuk memperbaiki kestabilan, mengontrol penghancuran dan mempercantik penampilan tablet. Pada sediaan larutan digunakan bahan tambahan berupa pelarut untuk melarutkan bahan obat, dapat juga ditambahkan bahan penstabil untuk mencegah peruraian bahan obat, bahan pengawet untuk mencegah pertumbuhan mikroba, bahan pemberi warna dan rasa untuk memperbaiki rasa dan penampilan produk. Demikian juga untuk sediaan salep, pasta, krim dan lain-lain.
  2. Menjaga kestabilan sediaan obat (misalnya pengawet, pensuspensi, pengemulsi).
  3. Menjaga kestabilan zat aktif (misalnya antioksidan).

3. Kenyamanan Saat Penggunaan

  1. Kenyamanan saat digunakan penting untuk diperhatikan karena akan mempengaruhi kepatuhan si pemakai obat. Jika obat berasa tidak enak maka orang akan enggan mengonsumsinya.
  2. Rasa yang tidak enak dari obat dapat ditutupi dengan penambahan corrigens saporis, bau yang tidak enak ditutupi dengan corrigens odoris, dan warna yang kurang menarik ditutupi dengan corrigens coloris.
  3. Rasa pahit dari obat-obat tertentu misal ampisilin dan amoksisilin dapat diatasi dengan penggunaan bentuk garamnya yaitu ampisilin trihidrat dan amoksisilin trihidrat yang tidak pahit.
  4. Sediaan setengah padat harus memenuhi persyaratan yaitu: halus, mudah dioleskan, tidak terlalu lengket dan tidak meninggalkan bekas noda pada pakaian.

4. Kestabilan Sediaan Obat

  1. Selama penyimpanan, sediaan obat harus tetap dalam keadaan yang stabil, tidak menampakkan tanda-tanda kerusakan. Tanda-tanda kerusakan yang umum ditemui pada sediaan obat misalnya: terjadi perubahan warna, bau, rasa, timbulnya kristal pada permukaan tablet atau kaplet, memisahnya air dan minyak pada sediaan krim atau emulsi.
  2. Untuk menjaga kestabilan sediaan obat perlu dilakukan:
  3. Penambahan bahan tambahan tertentu (misalnya: pengawet).
  4. Pengemasan yang tepat.
  5. Pemberian petunjuk tentang cara penyimpanan yang benar.

5. Khasiat Obat

Untuk menjaga khasiat obat, perlu diperhatikan:

  1. Pemilihan bentuk sediaan. Sebagai contoh, jika zat aktif tidak stabil dalam media air, maka tidak diformulasi dalam bentuk cair.
  2. Bahan-bahan tambahan yang digunakan tidak boleh mengurangi khasiat zat aktifnya.
  3. Pemberian petunjuk cara penggunaan yang benar.

B. Formula Beberapa Bentuk Sediaan Obat

1. Formula Tablet

Bahan obat aktif : 1% – 50%

Bahan tambahan obat : 50% – 90%

Terdiri dari : pengisi, pengikat, penghancur, pelicin, pelumas, pemberi warna, perasa, penyalut.

2. Formula Salep

Bahan obat aktif : 1% – 10%

Bahan tambahan obat : 90% – 99%

Terdiri dari : dasar salep, pengawet, pewarna.

3. Formula Krim

Bahan obat aktif : 1% – 10%

Bahan tambahan obat : 90% – 99%

Terdiri dari : dasar krim, pewangi, pengawet, pewarna.

4. Formula Suspensi

Bahan obat aktif : 1% – 10%

Bahan tambahan obat : 90% – 99%

Terdiri dari : pembawa atau pelarut, pensuspensi, perasa, pengawet.

5. Formula Injeksi

Bahan obat aktif : 1% – 20%

Bahan tambahan obat : 80% – 99%

Terdiri dari : pembawa, pengisotoni, pengawet.

C. Sifat-sifat Fisika-Kimia Bahan Obat dan Bahan Tambahan Obat

Sifat-sifat fisika-kimia dari bahan obat dan bahan tambahan obat yang harus diketahui sebelum formulasi obat adalah:

1. Rasa, Bau, dan Warna Zat

Rasa, bau dan warna zat harus diketahui agar bisa menentukan bahan tambahan obat seperti: corrigens saporis, corrigens odoris, dan corrigens coloris yang dibutuhkan.

2. Kelarutan

  1. Kelarutan bahan obat penting untuk diketahui terutama kelarutan dalam air.
  2. Bahan obat yang mudah larut dalam air akan lebih mudah diabsorpsi sehingga akan lebih cepat memberikan efek terapi. Sehingga untuk zat aktif yang mudah larut dan stabil dalam air, lebih baik bila dibuat dalam bentuk cair.
  3. Bila bahan obat sukar larut air tetapi diinginkan bentuk cair, maka dibuat bentuk suspensi dengan penambahan bahan pensuspensi.
  4. Bahan obat yang relatif tidak larut dalam air, absorpsinya kurang sempurna. Oleh karena itu dilakukan upaya untuk mempertinggi kelarutan obat dengan cara:
  • Mikronisasi (memperkecil ukuran partikel zat supaya mudah larut).
  • Membentuk senyawa kompleks yang larut dalam air (misal pada pembentukan senyawa kompleks Nal2, Kl3).
  • Menggunakan bentuk garamnya (misal: phenobarbital sukar larut dalam air, diganti bentuk garamnya yaitu Phenobarbital Na yang mudah larut air).
  • Menggunakan pelarut campuran (misal: air dan etanol seperti pada sediaan elixir).

3. Ukuran Partikel

Ukuran partikel berpengaruh pada:

  1. Laju disolusi bahan obat (kecepatan melarutnya obat). Makin kecil ukuran partikel bahan obat makin mudah larut sehingga makin mudah diabsorpsi.
  2. Keseragaman isi. Makin homogen ukuran partikel maka makin terjamin keseragaman dosisnya.
  3. Laju pengendapan. Makin besar ukuran partikel akan makin mudah mengendap. Pada sediaan suspensi bisa menyebabkan terjadinya caking. Penambahan bahan pensuspensi akan menghambat lajupengendapan sehingga akan mencegah terbentuknya caking atau endapan yang keras.

4. Kestabilan Bahan Obat

Reaksi-reaksi kimia yang mempengaruhi kestabilan bahan obat:

a. Hidrolisa

Reaksi hidrolisa adalah reaksi peruraian suatu zat oleh air. Contoh bahan obat yang mudah mengalami hidrolisa adalah aspirin dan obat-obat golongan antibiotika (misalnya ampisilin, amoksisilin, tetrasiklin, dll). Terhidrolisanya aspirin ditandai dengan timbulnya bau asam asetat atau cuka. Bahan obat yang mudah terhidrolisa harus dibuat dalam bentuk padat (tablet, kapsul, serbuk), karena dalam suasana lembab atau berair bahan obat tersebut akan terurai sehingga tidak efektif lagi sebagai obat bahkan mungkin bisa membentuk senyawa yang bersifat racun (toksik).

Untuk bahan obat yang mudah terhidrolisa tersebut bila tetap hendak dibuat bentuk cair sebaiknya dipilihkan pelarut non air, misal: etanol, propilenglikol, gliserin atau dibuat sediaan sirup kering atau dry syrup. (keterangan: sirup kering yaitu sirup berisi serbuk obat, yang ketika akan digunakan harus ditambahkan pelarut air suling atau air matang dalam jumlah tertentu. Sirup kering ini setelah dilarutkan tidak boleh digunakan lagi setelah 7 hari, karena bahan obat sudah mengalami hidrolisa).

b. Oksidasi

Pada beberapa bahan obat akan terjadi reaksi oksidasi bila terpapar cahaya terlalu lama, terkena panas atau bila bereaksi dengan gas oksigen. Contohnya iodium, kalium permanganat (PK). Terjadinya reaksi oksidasi ditandai dengan berubahnya warna, bau bahan obat, atau terbentuknya endapan. Untuk menghindari terjadinya reaksi oksidasi perlu ditambahkan bahan antioksidan. Antioksidan untuk sediaan farmasi yang pembawanya berupa air adalah natrium bisulfit dan asam askorbat (vitamin C). Sedang pada sediaan farmasi berupa minyak digunakan antioksidan alfatokoferol (vitamin E).

Sifat fisika-kimia tersebut dapat dilihat pada beberapa sumber yang memuat monografi atau uraian tentang persyaratan kemurnian zat, sifat fisika-kimia zat, cara identifikasi serta ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan obat, di antaranya adalah buku Farmakope Indonesia, Martindale, dan Ekstra Farmakope.

D. Contoh Bahan Tambahan Obat

Di bawah ini adalah contoh beberapa bahan tambahan obat.

  1. Pengisi Tablet

Bahan yang digunakan untuk memperbesar volume massa tablet agar mudah dicetak. Contohnya laktosa, pati, selulosa mikrokristal.

  1. Pengikat Tablet

Bahan yang digunakan untuk mengikat atau melekatkan partikel-partikel serbuk pada sediaan tablet. Contohnya gom, gelatin, metil selulosa.

  1. Pelumas Tablet

Bahan yang digunakan untuk mengurangi gesekan selama proses pengempaan tablet. Contohnya kalsium stearat, magnesium stearat.

  1. Pelicin Tablet

Bahan yang digunakan untuk meningkatkan daya alir serbuk. Contohnya silika koloidal.

  1. Penghancur Tablet

Bahan yang digunakan untuk membantu hancurnya tablet setelah ditelan. Contohnya tepung jagung, natrium alginate.

  1. Penyalut Tablet

Bahan yang digunakan untuk melapisi tablet. Contohnya selulosa asetat, sukrosa.

  1. Dasar Salep

Bahan yang merupakan pembawa sediaan salep, di mana akan dicampurkan bahan obatnya. Contohnya lanolin, vaselin.

  1. Pelembab Salep

Bahan yang digunakan untuk mencegah keringnya sediaan salep dan krim. Contohnya gliserin, propilen glikol.

  1. Pensuspensi

Bahan yang digunakan untuk meningkatkan kekentalan sediaan cair agar laju sedimentasi atau pengendapan serbuk dapat dikurangi. Contohnya metil selulosa.

  1. Pengemulsi

Bahan yang digunakan untuk menjaga dispersi partikel-partikel halus pada sediaan cair yang terdiri dari pembawa yang tidak bercampur (minyak dan air). Contohnya gom, sorbitan, tween, span.

  1. Surfaktan

Bahan yang berfungsi untuk mengurangi tegangan permukaan. Contohnya benzalkonium klorid, natrium lauril sulfat.

  1. Dasar Suppositoria

Bahan yang digunakan sebagai pembawa sediaan padat yang pemakaiannya dimasukkan rektum, di mana akan dicampurkan bahan obatnya. Contohnya oleum cacao, poli etilen glikol.

  1. Pembawa Sediaan Injeksi

Bahan yang digunakan sebagai pembawa untuk bahan obat yang akan diinjeksikan. Contohnya air, minyak.

  1. Pengisotoni Sediaan Injeksi

Bahan yang digunakan untuk membuat larutan injeksi menjadi osmotis dengan cairan tubuh. Contohnya dextrosa, natrium klorida.

  1. Pengawet

Bahan yang digunakan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme ataupun jamur. Contohnya asam benzoat, metil paraben, klorobutanol.

  1. Antioksidan

Bahan yang digunakan untuk menghambat reaksi oksidasi. Contohnya natrium bisulfit, alfatokoferol.

  1. Pewarna

Bahan yang digunakan untuk memberi warna sediaan obat. Contohnya eritrosin (FD & C Red No. 3).

  1. Pemberi Rasa

Bahan yang digunakan untuk memberi rasa pada sediaan obat. Contohnya minyak adas manis, mentol, coklat, minyak permen.

  1. Pengelat

Bahan yang digunakan untuk membentuk senyawa kompleks yang stabil dengan logam berat, karena keberadaan logam berat dapat menurunkan kestabilan sediaan obat. Contohnya dinatrium edetat, EDTA.

  1. Pendapar

Bahan yang digunakan untuk menahan perubahan pH. Contohnya kalium metafosfat.

E. Cara Pencampuran Bahan Obat

Apabila dalam sediaan obat terdapat lebih dari dua bahan, maka pencampuran harus dilakukan sebaik mungkin supaya didapatkan campuran yang homogen. Ada beberapa metode pencampuran, yaitu:

  1. Spatula

Bahan digerus di atas kertas dengan memakai spatula. Metode ini hasilnya kurang maksimal, terlebih bila serbuk yang dicampur jumlahnya banyak.

  1. Triturasi

Triturasi adalah proses penggerusan obat di dalam lumpang untuk menghaluskan atau memperkecil ukuran partikel. Bahan digerus di dalam lumpang porselen atau lumpang kayu, bisa juga lumpang dari kaca. Lebih disukai lumpang porselen yang permukaan dalamnya kasar. Hasil yang diperoleh cukup bagus. Saat ini metode inilah yang paling umum digunakan di apotek dan di laboratorium.

  1. Ayakan

Bahan dicampur dengan cara melewatkannya melalui ayakan. Hasil campuran yang diperoleh biasanya agak halus. Cara ini kurang diyakini homogenitasnya.

  1. Tumbling

Bahan diguling-gulingkan supaya tercampur merata. Metode ini digunakan untuk mencampur serbuk dalam jumlah besar, dengan menggunakan mesin penggiling serbuk yang dirancang khusus.

Selain itu, cara mencampur bahan obat maupun bahan tambahan obat harus sesuai dengan sifat-sifat fisika-kimia masing-masing bahan. Beberapa bahan obat akan menampakkan reaksi yang tidak diinginkan bila dicampur, misalnya terjadi penggumpalan, perubahan warna atau reaksi lain yang akan menyebabkan menurun atau hilangnya khasiat dari bahan obat tersebut.

F. Pedoman Cara Mencampur Bahan Obat

Berikut ini pedoman cara mencampur bahan-bahan obat:

1. Bentuk Sediaan Padat

  1. Bila terjadi reaksi penggumpalan antara bahan-bahan obat, maka sebelum dicampur masing-masing bahan obat dilapisi dulu dengan bahan tambahan. Contohnya asam salisilat dan seng oksida bila dicampur langsung maka lama kelamaan akan mengeras, sehingga sebelum keduanya dicampur, masing-masing dilapisi dulu dengan bahan tambahan.
  2. Bila ada bahan obat bentuk kristal dalam sediaan maka larutkan dulu dengan pelarut yang sesuai. Contohnya asam salisilat, maka harus dilarutkan dulu dengan etanol 95%, kemudian segera dicampur dengan bahan tambahan sampai kering.
  3. Bila ada bahan obat yang bersifat higroskopis (mudah lembab), maka digerus dalam mortir atau lumpang panas untuk menguapkan air yang terkandung pada bahan obat tersebut.
  4. Bila ada bahan obat yang merupakan campuran eutektik yaitu campuran yang titik leburnya menjadi lebih rendah dibanding bila bahan tersebut berdiri sendiri, misalnya camphora dan mentholum, maka biarkan campuran tersebut meleleh terlebih dulu, kemudian dikeringkan dengan bahan tambahan.
  5. Bila ada bahan obat berupa minyak atsiri, maka ditambahkan terakhir supaya tidak ikut digerus terlalu lama karena minyak atsiri sangat mudah menguap.

2. Bentuk Sediaan Setengah Padat

Cara mencampur bahan-bahan obat maupun bahan tambahan obat berpedoman pada 4 ketentuan umum cara pembuatan salep.

3. Bentuk Sediaan Cairan

a. Bentuk Sediaan Larutan

Bahan obat dilarutkan dengan pelarut secukupnya, kemudian ditambah dengan sisa pelarut sampai volume atau berat yang diminta.

b. Bentuk Sediaan Suspensi

Bahan obat yang tidak larut dicampur dengan bahan pensuspensi, kemudian ditambah pelarut dengan volume yang sudah ditentukan sampai terbentuk suspensi, setelah itu dicampur dengan sisa pelarut sampai volume atau berat yang diminta.

c. Bentuk Sediaan Emulsi

Dibuat dulu korpus emulsi, kemudian campur dengan bahan obat dan ditambahkan sisa pelarut sampai volume atau berat yang diminta.

G. Pengaruh Bentuk Sediaan Terhadap Khasiat Obat

Khasiat obat atau efek terapi obat adalah respons yang dialami oleh tubuh setelah penggunaan obat. Hal-hal yang mempengaruhi khasiat obat:

1. Dosis Obat yang Digunakan

Dosis obat (zat aktif) yang digunakan harus mampu menimbulkan efek terapi bagi si pemakai. Dosis tersebut disebut dosis terapi. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa tiap-tiap obat mempunyai dosis terapi masing-masing. Di dunia industri obat-obatan, dosis terapi ini dibuat dalam dosis tertentu yang dikenal dengan istilah dosis lazim. Dosis lazim ini umumnya ditujukan untuk orang dewasa. Untuk bayi, anak-anak, dan orang tua harus dilakukan penyesuaian dosis. Contoh dosis lazim: parasetamol 500 mg/tablet, kloramfenikol 250mg/tablet, ampisilin 500mg/tablet.

2. Absorpsi Obat

Agar suatu obat dapat menghasilkan efek terapi atau khasiat, obat tersebut harus larut, kemudian diabsorpsi atau menembus membran biologis dan dibawa oleh darah ke seluruh jaringan dan organ-organ tubuh. Untuk obat pemakaian oral, absorpsi dipengaruhi oleh kelarutan obat di dalam lambung. Umumnya makin cepat larut dalam lambung makin cepat pula absorpsinya sehingga makin cepat pula efek terapi yang ditimbulkan. Untuk obat pemakaian luar seperti salep, obat tetes mata, obat tetes hidung, suppositoria, absorpsinya dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam selaput lendir yang terdapat pada mata, hidung, telinga, rektum ,dan vagina.

3. Cara Pemberian Obat

Cara pemberian obat akan berpengaruh pada kecepatan absorpsi zat aktif. Cara pemberian obat dikelompokkan dalam:

  1. Secara oral, yaitu penggunaan obat melalui mulut. Obat paling sering digunakan dengan cara oral karena alami, tidak sulit dan aman dalam penggunaan. Tetapi efek terapi obat lebih lambat dibandingkan pemakaian secara parenteral.
  2. Secara topikal, yaitu penggunaan obat melalui permukaan kulit dan menghasilkan efek lokal dan sebagian dapat diabsorpsi ke dalam jaringan di bawah kulit.
  3. Secara rektal, yaitu penggunaan obat melalui anus atau rektum.
  4. Beberapa obat sering diberikan secara rektal untuk memperoleh efek lokal. Tetapi bisa juga untuk efek sistemik, seperti obat-obat analgesik. Obat diabsorpsi melalui rektum, tidak melalui metabolisme di hati. Efek terapi yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan secara oral.
  5. Secara parenteral, yaitu penggunaan obat melalui penyuntikan dengan alat jarum suntik (intravena, intramuscular, subcutan). Efek terapi yang dihasilkan paling cepat dibandingkan dengan bentuk sediaan lain, terutama yang secara intravena karena langsung masuk dalam darah.

4. Bentuk Sediaan Obat

Untuk mengetahui pengaruh bentuk sediaan obat terhadap khasiat obat telah dilakukan penelitian uji klinis berupa pengukuran kadar obat dalam darah setelah pemberian obat . Penelitian tersebut digunakan untuk membandingkan absorpsi obat dari berbagai bentuk sediaan, khususnya sediaan obat untuk pemakaian oral. Pengukuran kadar obat dilakukan beberapa kali, dimulai dari saat obat diminum sampai 12 jam sesudahnya. Hasil pengukuran dirupakan dalam bentuk grafik. Di bawah ini grafik kadar obat dalam darah versus waktu setelah pemberian obat dari berbagai bentuk sediaan untuk zat aktif yang sama.

Konsentrasi efektif minimum adalah kadar minimum obat dalam darah di mana khasiat atau efek terapi mulai dirasakan oleh si pengguna obat. Waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi efektif minimum dari ketiga bentuk sediaan tersebut berbeda. Urutan dari yang paling cepat adalah sediaan cair, sediaan pulveres atau puyer, dan sediaan tablet. Sehingga dapat disimpulkan, dari ketiga bentuk sediaan tersebut sediaan cair paling cepat menghasilkan efek terapi atau khasiat, sediaan berikutnya adalah pulveres, kemudian sediaan tablet. Hal ini disebabkan karena sediaan cair sudah berada dalam bentuk larutan sehingga lebih mudah diabsorpsi dibandingkan sediaan pulveres dan sediaan tablet. Pulveres memerlukan waktu beberapa saat untuk larut dalam cairan lambung sebelum akhirnya diabsorpsi. Sedangkan sediaan tablet memerlukan waktu untuk hancur terlebih dulu, sebelum akhirnya larut dan diabsorpsi.

H. Kelebihan dan Kekurangan Bentuk Sediaan Obat

Dalam memilih bentuk sediaan yang tepat supaya diperoleh khasiat yang optimum, ada hal lain yang harus dipertimbangkan oleh dokter maupun penyusun formula obat yaitu kelebihan dan kekurangan masing-masing bentuk sediaan.

1. Kelebihan dan Kekurangan Bentuk Sediaan Padat

a. Kelebihan Bentuk Sediaan Padat
  • Besar kecilnya dosis dapat ditentukan oleh dokter sesuai dengan keadaan penderita.
  • Sangat sesuai untuk bahan obat yang tidak stabil dalam bentuk cair, misalnya golongan antibiotik (contoh: ampisilin, amoksisilin, chloramphenicol ,dll). Obat golongan antibiotik selalu diproduksi dalam bentuk padat, yaitu tablet, kaplet, kapsul, dan serbuk atau sirup kering.
  • Lebih stabil dibandingkan bentuk sediaan cair.
b. Kekurangan Bentuk Sediaan Padat
  • Selama penyimpanannya kadang-kadang serbuk menjadi lembab atau lengket.
  • Tidak tertutupinya rasa tidak enak dari beberapa bahan obat, misal pahit, sepat (meskipun bisa dikurangi dengan penambahan pemanis).

2. Kelebihan dan Kekurangan Bentuk Sediaan Setengah Padat

a. Kelebihan Bentuk Sediaan Setengah Padat
  • Pilihan utama untuk pengobatan topical (pada kulit).
  • Kontak antara bahan obat dengan kulit lebih lama dibandingkan sediaan serbuk ataupun sediaan cair.
  • Dapat menyerap cairan yang terjadi pada luka atau kelainan dermatologik.
  • Dapat berfungsi sebagai penutup atau pelindung luka.
b. Kekurangan Bentuk Sediaan Setengah Padat
  • Hanya bisa digunakan untuk pengobatan luar.
  • Basis berlemak umumnya menimbulkan rasa tidak nyaman.

3. Kelebihan dan Kekurangan Bentuk Sediaan Cair

a. Kelebihan Bentuk Sediaan Cair

  • Penyerapan atau absorpsi obat lebih cepat dibanding sediaan padat.
  • Keseragaman dosis lebih terjamin dibanding sediaan padat karena dalam bentuk larutan bahan obat terdispersi secara molekuler.
  • Bila akan diencerkan atau dicampur dengan bahan obat lain keseragaman obat tetap terjaga.
  • Lebih disukai oleh penderita yang tidak bisa menelan tablet atau kapsul.
  • Dapat diberi perasa atau pewarna yang menarik sehingga bisa menimbulkan kepatuhan minum obat pada penderita, terutama anak-anak.

b. Kekurangan Bentuk Sediaan Cair

  • Tidak sesuai untuk bahan obat yang tidak stabil/mudah rusak dalam air.
  • Tidak praktis untuk dibawa ke mana-mana.
  • Lebih mudah ditumbuhi jamur atau mikroba lain dibandingkan bentuk padat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dibidang farmasi preformulasi dapat diartikan sebagai langkah awal yang dilakukan ketika akan membuat formula suatu obat. Preformulasi meliputi pengkajian tentang karakteristik atau sifat-sifat dari bahan obat dan bahan tambahan obat yang akan diformulasi. Sebelum membuat formula sediaan obat, beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu bentuk sediaan yang akan dibuat, bahan tambahan obat yang akan digunakan, kenyamanan saat penggunaan, kestabilan sediaan obat, dan khasiat obat. Sifat-sifat fisika-kimia bahan obat dan bahan tambahan obat yaitu rasa, bau dan warna zat, kelarutan, ukuran partikel, dan kestabilan bahan obat.

Bentuk sediaan larutan adalah bahan obat dilarutkan dengan pelarut secukupnya, kemudian ditambah dengan sisa pelarut sampai volume atau berat yang diminta. Bentuk sediaan suspensi adalah bahan obat yang tidak larut dicampur dengan bahan pensuspensi, kemudian ditambah pelarut dengan volume yang sudah ditentukan sampai terbentuk suspensi, setelah itu dicampur dengan sisa pelarut sampai volume atau berat yang diminta. Bentuk sediaan emulsi adalah dibuat dulu korpus emulsi, kemudian campur dengan bahan obat dan ditambahkan sisa pelarut sampai volume atau berat yang diminta.

B. Saran

Menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu, objektif, jujur, teliti, cermat, tekun, hati-hati, bertanggung-jawab, terbuka, kritis, kreatif, inovatif dan peduli lingkungan) dalam setiap tindakan sebagai wujud implementasi sikap dalam melakukan dasar-dasar kefarmasian.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 1984. Ilmu Farmasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Anief, Moh. 1990. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ansel, H.C., 1981. Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms. Philadelphia: Lea & Febiger.

Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Martin. 1970. Physical Pharmacy. Second Edition. Philadelphia: Lea & Febiger.

Download Contoh Makalah Prinsip-prinsip Preformulasi.docx