KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Ruang Lingkup Antropologi ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah Antropologi yang berjudul Makalah Ruang Lingkup Antropologi ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Ruang Lingkup Antropologi ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Ruang Lingkup Antropologi ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, Oktober 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ruang lingkup antropologi menurut Koentjaraningrat sama halnya dengan ilmu-ilmu bagian dari antropologi (Koentjaraningrat, 2009). Bagi Koentjaraningrat ada lima ilmu-ilmu bagian antropologi yakni: paleoantropologi, antropologi fisik atau ragawi, etnolinguistik, prehistori, dan etnologi. Di Amerika Serikat, pendidikan ilmu antropologi mencakup empat bidang yaitu bioantropologi, etnologi, arkeologi, dan antropologi budaya. Ilmu antropologi memiliki dua cabang ilmu utama, yaitu antropologi ragawi dan antropologi budaya. Antropologi ragawi berfokus mempelajari manusia dan primata sebagai organisme biologis dengan penekanan pada evolusi manusia dan variasi-variasi biologis dalam spesies manusia.
Sedangkan, antropologi budaya lebih memusatkan perhatian pada upaya mempelajari bagaimana kebudayaan memengaruhi pengalaman seseorang dan kelompok, serta cara orang-orang dalam memahami dunia mereka. Termasuk di dalam antropologi kebudayaan yang dikaji yaitu pengetahuan, adat istiadat, dan pranata masyarakat. Antropologi memiliki ruang lingkup yang masing-masing dapat digunakan untuk mengkaji keberagaman manusia dengan fokus kajian yang berbeda-beda, mulai dari bentuk fisik, bahasa, hingga peninggalan hasil kebudayaan manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Ruang Lingkup Antropologi ini adalah sebagai berikut:
- Apa yang dimaksud dengan antropologi ragawi?
- Apa pengertian arkeologi dalam cabang dalam ilmu antropologi?
- Bagaimana penerapan etnologi dalam mengkaji keberagaman?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Ruang Lingkup Antropologi ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui antropologi ragawi.
- Untuk mengetahui arkeologi dalam cabang dalam ilmu antropologi.
- Untuk mengetahui penerapan etnologi dalam mengkaji keberagaman.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Antropologi Ragawi
1. Antropologi Ragawi (Antara Genetika dan Evolusi)
Pada dasarnya antropologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kemanusiaan (humanity). Antropologi adalah disiplin ilmu yang luas didedikasikan untuk studi perbandingan manusia sebagai kelompok atau komunitas, dari penampilan pertamanya di bumi hingga tahap perkembangan sekarang (Doda, 2005). Lebih lanjut Doda (2005) menekankan bahwa antropologi berfokus tentang:
- Asal usul manusia, mengenai dari mana ia lahir, dan berkembang hingga sekarang.
- Evolusi perkembangan manusia atau perubahan secara perlahan yang terjadi di masa lampau dan di masa sekarang dalam menyesuaikan zaman yang ada.
- Variasi fisik, biokimia, dan budaya manusia, yang bisa dilihat dari warna kulit, bentuk wajah, bentuk rambut, dan sebagainya yang menjadi ciri khas mereka.
- Materi harta benda dan warisan budaya manusia yang berasal dari nilai kebudayaan, kepercayaan, bahasa, atau artefak mereka.
Berdasarkan paparan tersebut sangat mencirikan pengertian dari apa itu antropologi ragawi atau antropologi fisik. Menurut Koentjaraningrat antropologi fisik dalam artian khusus adalah bagian dari ilmu antropologi yang mencoba mencapai suatu pengertian tentang sejarah terjadinya beragam manusia dipandang dari sudut tubuhnya (Koentjaraningrat, 2009). Sejalan dengan pengertian tersebut, Barnard dan Spencer (2002) memberi pengertian antropologi ragawi yakni cabang antropologi yang mempelajari perbedaan fisik baik dalam populasi yang hidup maupun melalui evolusi manusia. Sebagai catatan, istilah antropologi fisik cenderung tidak lagi digunakan dalam beberapa tahun terakhir serta digantikan dengan istilah “antropologi biologi”.
Selain teori evolusi, banyak penjelasan dan teori mengenai asal mula manusia. Misalnya karya James Prichard (1786-1848) yang menjelaskan asal usul semua bangsa melalui difusi dan migrasi dari populasi asli yang sama (Winthrop, 1991). Kasus difusi, migrasi maupun evolusi orang Indonesia sangat menarik untuk dicermati dan dipelajari. Banyak kajian mengenai hal ini, salah satunya kajian yang dilakukan Glinka dan Koesbardiati (2012). Dalam kajiannya, Glinka dan Koesbardiati (2012) melacak asal-usul manusia Indonesia melalui sejarah penghunian Indonesia sebagai pembentuk karakteristik morfologi. Kajian tersebut menunjukkan adanya tiga morfotipe orang Indonesia yaitu Protomalayid, Deuteromalayid, dan Dayakid. Berbeda dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, mereka menyatakan Dayakid adalah unsur ketiga selain Protomalayid (Austromelanesoid) dan Deuteromalayid (Mongoloid). Dayakid diduga adalah gelombang migrasi terdahulu yang kemudian terdesak ke pedalaman Kalimantan dan berkembang secara terisolasi sehingga memiliki karakteristik morfologi tersendiri.
2. Keanekaragaman Manusia (Salah Paham Konsep Ras)
Ras adalah kerangka kerja yang membagi populasi manusia berdasarkan ciri fisik. Ras dikembangkan oleh orang Eropa Barat setelah ekspansi global mereka yang dimulai pada abad ke-15, yakni pada era merkantilisme (Barnard & Spencer, 2002). Berbeda dengan etnosentris atau yang menekankan perbedaan antara “mereka” dan “kita”. Ras ini bersifat global, diterapkan pada seluruh spesies manusia. Pembedaan ciri fisik menghasilkan rasisme, formasi budaya, dan ideologi yang membentuk persepsi dan evaluasi terhadap diri dan orang lain menurut identitas ras. Hal ini kemudian dilembagakan baik dalam tatanan sosial antar pribadi maupun perilaku dalam skala yang lebih besar (Barnard & Spencer, 2002).
Dalam sejarah bangsa-bangsa, konsepsi mengenai perbedaan ciri fisik ini menyebabkan berbagai macam kesedihan dan kesengsaraan (Koentjaraningrat, 2009). Menurut Koentjaraningrat (2009), hal ini merupakan salah satu bentuk kesalahpahaman besar dalam memahami ras. Terlebih lagi, konsep ras dipahami hanya mengacu pada ciri khas fisik semata, sehingga menghasilkan persepsi yang rasis. Misalnya, ada anggapan bahwa ras caucasoid atau ras kulit putih lebih kuat dan hebat dibandingkan dengan ras-ras lain di muka bumi. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat keberagaman dalam menjaga kebhinekaan.
3. Antropologi Biologi (Manusia dan Sistem Biologinya)
Pada pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa istilah antropologi biologi lebih sering digunakan dibanding dengan antropologi ragawi atau fisik, khususnya di Amerika Utara. Banyak di antara kita menyamakan antropologi ragawi dengan antropologi biologi. Pada dasarnya antropologi biologi terdiri dari lima sub disiplin umum yakni: evolusi manusia, primatologi, genetika manusia, studi tentang pertumbuhan fisik manusia, dan ekologi manusia (Barnard & Spencer, 2002). Dua sub disiplin pertama (evolusi manusia dan primatologi) kadang-kadang disebut “antropologi fisik” berbeda dengan tiga sub disiplin yang lain. Pengertian dari antropologi biologi adalah studi tentang biologi manusia dan spesies primata lainnya dari perspektif evolusioner dan komparatif (Barnard & Spencer, 2002). Hal ini berkaitan dengan sifat proses (evolusioner) dan dengan cara-cara adaptasi terhadap lingkungan. Pernyataan ini diperkuat oleh Geoffrey Pope, yang mendefinisikan antropologi biologi yaitu usaha mempelajari evolusi manusia biologis, tingkah laku, dan sejarah humanoid ditinjau dari sudut seleksi alam dan penyesuaian diri (Pope, 1984.).
4. Antropologi Forensik
Secara umum antropologi forensik adalah pemeriksaan sisa-sisa kerangka manusia yang membantu lembaga penegak hukum untuk pemulihan sisa-sisa manusia, menentukan identitas sisa-sisa manusia tak dikenal, menafsirkan trauma, dan memperkirakan waktu sejak kematian (Marcus, 2012). Antropolog forensik biasanya digambarkan di media sebagai ilmuwan forensik dan atau teknisi TKP, tetapi gambaran ini tidak sepenuhnya tepat. Selama abad terakhir, antropolog forensik telah mengembangkan metode untuk mengevaluasi tulang dalam memahami orang yang hidup di masa lalu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mencakup: apakah individu ini laki-laki atau perempuan? Berapa umur mereka ketika mereka meninggal? Berapa tinggi mereka? Apakah orang-orang dalam kesehatan umum yang baik atau buruk?
Antropologi forensik melibatkan penerapan metode yang sama untuk kasus modern dari sisa-sisa manusia tak dikenal. Melalui metode yang telah ditetapkan, seorang antropolog forensik dapat membantu penegakan hukum dalam menetapkan profil dari sisa-sisa tak dikenal. Profil tersebut mencakup jenis kelamin, usia, keturunan, tinggi, lama waktu sejak kematian, dan terkadang evaluasi trauma yang diamati pada tulang. Dalam banyak kasus setelah identitas individu dibuat, antropolog forensik dipanggil untuk bersaksi di pengadilan mengenai identitas jenazah dan atau trauma atau luka yang ada pada jenazah.
B. Arkeologi (Cabang dalam Ilmu Antropologi)
1. Pengertian Arkeologi
Arkeologi dapat didefinisikan secara luas sebagai penyelidikan budaya dan masyarakat manusia masa lalu melalui pemulihan dan interpretasi dari sisa-sisa material kuno budaya dan bagaimana budaya material mereka telah dilestarikan secara turun temurun (Barnard & Spencer, 2002). Arkeologi menggunakan jejak kehidupan bendawi ataupun ragawi masa lalu sebagai cara untuk menemukan identitas. Hal yang diharapkan dari tujuan pembelajaran ini adalah menggali nilai-nilai luhur dari peninggalan masa lampau di Indonesia. Kemudian tujuan lainnya adalah meningkatkan pengetahuan manusia dan memupuk kebanggaan nasional dalam jati diri sebagai bangsa Indonesia. Arkeologi secara harfiah berarti, “studi tentang masa lalu”, yakni budaya material (Barnard & Spencer, 2002). Arkeologi mencakup dua bidang utama yaitu arkeologi prasejarah, yang menyangkut masa lalu manusia sebelum mengenal tulisan; dan arkeologi sejarah, yang berhubungan dengan masa lalu manusia yang sudah mengenal tulisan.
Arkeologi prasejarah tidak memiliki akses langsung menuju informasi tentang perilaku manusia karena keterbatasan data yang disebabkan belum mengenal adanya tulisan atau dokumen terkait. Berbeda dengan arkeologi sejarah yang sudah mengenal adanya tulisan dan ada sumber dokumen yang terkait. Seorang arkeolog dituntut terus memperluas penemuan mereka dalam menyusuri sebuah sejarah kehidupan budaya material manusia (Barnard & Spencer, 2002). Sering kali sejarah tertulis tidak lengkap atau hanya berisi beberapa aspek masyarakat yang tengah diteliti. Dalam konteks inilah kajian arkeologi dibutuhkan. Posisi arkeologi dalam antropologi adalah mengisi aspek-aspek yang tidak lengkap tersebut dengan menemukan dan menggali sisa-sisa fisik budaya m asa l alu untuk memahami dan merekonstruksi kebudayaan suatu kelompok manusia dan bagaimana cara mereka hidup di masa lalu.
2. Hasil Keragaman Data Arkeologi
Teknik pengumpulan data melalui arkeologi (Puslit Arkenas, 1999: 14) yakni:
- Penjajakan, yang mana memeriksa kembali data arkeologi yang tersedia apakah sudah mampu menjawab pertanyaan untuk penelitian lebih lanjut.
- Survei, yang mana tahapannya bisa melalui pengukuran permukaan tanah, bawah air, potret udara serta melakukan ekskavasi uji lubang galian dan wawancara terhadap masyarakat sekitar. Kemudian, teknik pengumpulan data yang lain adalah ekskavasi yakni teknik pengumpulan data dengan menggali di bawah tanah atau di bawah air untuk mendapatkan hasil data tentang ekofak, artefak atau fitur yang mengerucut pada situs.
Dengan teknik pengumpulan data dari arkeologi yakni utamanya ekskavasi ataupun dengan penyelidikan studi literatur dari museum (penjajakan), maka data tersebut dapat menyingkap penggambaran kehidupan manusia di zaman dahulu yang menjadi identitas budaya mereka. Data arkeologis juga dapat mengungkap dinamika kebudayaan yang terjadi di masa lampau bahkan zaman sebelum mengenal tulisan. Kajian antropologi jelas memerlukan data arkeologi dalam mendukung temuan mereka tentang fenomena budaya yang terjadi. Hasil data ini ada 4 jenis yakni artefak (artifact), ekofak (ekofact), fitur, dan situs. Pembahasan pada bagian ini berfokus pada 4 hal tersebut.
a. Artefak
Artefak adalah bentuk kebudayaan yang bersifat material yang diproduksi oleh masyarakat sebagai suatu kebudayaan (Puslit Arkenas, 1999: 39). Artefak juga dapat menunjukkan bagaimana kecerdasan manusia saat itu dalam menciptakan suatu alat dan membantunya dalam mengatasi keadaan di masa lampau. Sehingga artefak adalah bentuk peninggalan manusia untuk menyelidiki fenomena budaya yang terjadi di masa lampau (Bikic, 2007: 9). Beberapa contoh artefak adalah senjata, wadah, pakaian, perhiasan, alat transportasi, patung, relief, prasasti, mata uang, dan alat musik.
b. Ekofak
Ekofak mengacu pada benda alam yang tidak dibuat tetapi diduga telah dimanfaatkan oleh manusia (Puslit Arkenas, 1999: 4). Benda alam tersebut dianggap mempunyai hubungan dengan kehidupan manusia seperti: tulang hewan, biji-bijian, mata air, sungai, tanah, dan lain sebagainya. Kajian arkeologi ini cukup luas karena mencakup beberapa ilmu lain seperti geologi, biologi, kimia, metalurgi bahkan paleoantropologi (analisis sisa-sisa manusia yang terdapat dalam ragawi/fisik).
c. Fitur
Fitur merupakan peninggalan sejarah yang tidak dapat diangkat dari tempat kedudukannya (Puslit Arkenas, 1999: 4). Selain tidak mungkin untuk dipindahkan karena berat, dikhawatirkan akan merusak peninggalan sejarah tersebut. Fitur juga merupakan sebuah peninggalan sejarah yang masih terjaga keasliannya di lokasi penemuannya.
d. Situs
Situs merupakan tempat ditemukannya artefak, fitur, dan ekofak baik yang berada di daratan (terrestrial archaeology) dan yang di bawah permukaan air (underwater archaeology). Situs dapat dianggap pula sebagai bentuk peninggalan arkeologi, terutama ketika kita mengkaji sekumpulan tinggalan dalam suatu kawasan tertentu (Puslit Arkenas, 1999: 14). Situs dianggap sebagai miniatur kehidupan karena mencakup artefak, ekofak, dan fitur di dalamnya. Salah satu contohnya situs Trowulan yang menggambarkan bagaimana kehidupan kerajaan Majapahit di Trowulan. Hal ini bisa dilihat dari prasasti Canggu, candi, dan gapura di sana.
3. Manfaat Arkeologi
- Meningkatkan pengetahuan tentang peninggalan sejarah yang ada di Indonesia serta bagaimana masyarakat tersebut bertahan hidup.
- Mengetahui perkembangan sejarah dari budaya-budaya material peninggalan nenek moyang.
- Memupuk rasa solidaritas dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia di mata dunia melalui temuan arkeologis sebagai identitas bersama.
- Melestarikan dan memelihara peninggalan budaya tersebut agar tidak punah dan dapat diwariskan kepada generasi mendatang.
- Mengetahui nilai-nilai kebudayaan yang ada.
- saat itu sebagai refleksi ke masa depan.
- Membangun rasa kesadaran dalam mencintai lingkungan alamnya.
C. Penerapan Etnologi (Bahasa) dalam Mengkaji Keberagaman
Bangsa Indonesia merupakan bangsa multi-kultural, yang terdiri atas beragam etnis, suku bangsa, agama, aliran kepercayaan, tradisi, adat istiadat, budaya, dan bahasa. Salah satu keberagaman sosial yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah keberagaman bahasa. Penggunaan bahasa daerah masyarakat di suatu daerah mungkin memiliki arti yang berbeda dengan makna kata, susunan kata, dan penggunaan kata pada bahasa daerah masyarakat di wilayah lain.
1. Konsep Dasar Bahasa
Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa memiliki kebutuhan untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Dalam berinteraksi dengan sesama, manusia menggunakan alat untuk berkomunikasi yang disebut dengan bahasa. Bahasa memudahkan individu untuk memahami dan menangkap maksud, makna, atau pesan yang disampaikan oleh individu lainnya. Bahasa dapat dipahami sebagai sistem bunyi yang apabila digabungkan menurut aturan tertentu dapat menimbulkan arti yang dapat dipahami dan ditangkap oleh pengguna bahasa atau orang yang berbicara dengan bahasa tersebut.
Menurut Crystal (1971, 1992) dalam Mahadi (2012), istilah bahasa merujuk pada penggunaan suara, tanda, atau simbol tertulis yang sistematis dan konvensional dalam masyarakat manusia untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri. Bahasa sebagai pembawa makna atau sistem makna simbolik, yang digunakan untuk mengkomunikasikan makna dari satu pikiran ke pikiran yang lain. Satu kata dalam beberapa bahasa dapat diinterpretasikan secara berbeda, tergantung pada konteks sosial budaya yang menyertainya. Konteks budaya tersebut berkaitan dengan status sosial, aktivitas, usia, lokasi geografis maupun gender dapat memengaruhi variasi bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa.
2. Ragam Bahasa di Indonesia
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat di dunia sangat beragam, yang kemudian dapat dikelompokkan ke dalam satu rumpun bahasa yang memiliki asal-usul leluhur yang sama. Terdapat beberapa sub rumpun bahasa di dunia, yang terdiri atas rumpun bahasa Indo-Eropa, rumpun Sino-Tibetan, rumpun Niger-Kongo, rumpun Austronesia, rumpun Dravida, rumpun Afro-Asiatik, rumpun Chari-Nul, rumpun Fino-Ugris, rumpun Altai, rumpun Amerindia, dan masih banyak lagi. Bahasa-bahasa yang ada di dunia ini bersifat divergensive atau dengan cepat memecah dan menyebar menjadi bahasa baru yang lebih banyak atau terus berkembang, namun sebaliknya bahasa juga dapat mengalami kepunahan karena tidak lagi digunakan oleh penuturnya yang beralih menggunakan bahasa lain (Dyastiningrum, 2009).
Apabila ditinjau berdasarkan perspektif sejarah atau historisnya, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, yang masih berada pada satu rumpun bahasa yang sama, yaitu rumpun Austronesia. Bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu yang telah digunakan sebagai lingua franca di kawasan nusantara bahkan di Asia Tenggara selama beberapa abad sebelumnya. Hal itu dibuktikan dengan penemuan prasasti-prasasti pada beberapa kerajaan besar di nusantara yang ditulis menggunakan bahasa Melayu kuno, seperti prasasti Kedukan Bukit, prasasti Talang Tuo, prasasti Kota Kapur, dan prasasti Karang Berahi. Bukti tertulis tersebut menunjukkan bahwa bahasa Melayu telah digunakan di berbagai wilayah nusantara, khususnya di wilayah Sumatera dan beberapa kerajaan besar pada saat ini, seperti kerajaan Sriwijaya. Pada zaman penjajahan Belanda, penggunaan Bahasa Melayu berkembang pesat di Indonesia dan digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan dan komunikasi dalam surat kabar. Kemudian bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia melalui Kongres
3. Hubungan Antara Bahasa dan Budaya
Keragaman bahasa dan penggunaan bahasa di berbagai daerah membawa implikasi berupa perbedaan pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan akan dunianya. Sedangkan pengetahuan masyarakat mengenai dunianya sangat berkaitan dengan konteks sosial dan budaya yang melingkupinya. Dengan demikian, perlu untuk mengetahui hubungan antara bahasa dan budaya dalam memahami fenomena maupun nilai budaya dalam masyarakat.
Bahasa merupakan salah satu unsur dari tujuh unsur kebudayaan masyarakat (Koentjaraningrat, 1990). Menurut Koentjaraningrat (1990), kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, maupun hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang diperoleh dengan belajar. Budaya memungkinkan orang untuk melekatkan makna pada tindakan manusia, yang menjadi semacam pedoman bagi perilaku manusia dengan menyediakan seperangkat aturan. Bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan budaya, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1991). Bahasa juga menjadi kekayaan sebagai ciri khas suatu kebudayaan, yang dapat membedakan kebudayaan di satu daerah dengan daerah lainnya. Bahasa menjadi sarana bagi masyarakat untuk saling berbagi pengalaman, keyakinan, dan pengetahuan yang dikomunikasikan dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam arti, suatu kelompok masyarakat mentransmisikan kebudayaan melalui bahasa.
4. Etno Linguistik
Etnolinguistik merupakan penggabungan dari pendekatan etnologi (antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik atau bahasa, dalam mengkaji kebudayaan masyarakat berdasarkan bahasa dan penggunaan bahasa. Etnologi adalah ilmu yang menjelaskan kesamaan dan perbedaan di antara kebudayaan-kebudayaan kelompok-kelompok etnis di dunia. Sedangkan, etnologi bahasa secara sederhana dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari bahasa dalam kaitannya untuk memahami budaya kelompok etnis. Etnologi bahasa atau etnolinguistik adalah ilmu yang mengkaji mengenai hubungan ragam pemakaian bahasa dengan pola kebudayaan dalam kelompok masyarakat tertentu atau ilmu yang berusaha untuk mencari hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa, dan kebudayaan.
Etnolinguistik sering disebut juga dengan istilah antropologi linguistik (Duranti, 1997). Istilah etnolinguistik lebih banyak digunakan oleh para antropolog di Eropa, sedangkan istilah antropologi linguistik lebih banyak digunakan oleh antropolog di Amerika Serikat. Kajian antropologi linguistik sendiri cenderung berfokus mengenai bahasa sebagai suatu sumber budaya dan tuturan sebagai kebiasaan dan praktik budaya (Sugianto, 2017).
Kajian etnologi linguistik atau antropologi linguistik sering kali dikaitkan dengan studi linguistik dan sosiolinguistik. Meskipun ketiganya berkaitan dengan studi kebahasaan sebagai bagian dari kebudayaan dan kelompok tertentu, namun masing-masing studi memiliki fokus kajian yang berbeda. Sosiolinguistik lebih berfokus pada kajian keragaman bahasa dan pemakaiannya dengan keragaman penuturnya, ilmu linguistik lebih memfokuskan perhatian pada prinsip-prinsip universal yang melandasi semua bahasa, sedangkan antropolinguistik atau etnolinguistik lebih memfokuskan kajian pada pola-pola komunikasi perilaku berbahasa dengan budaya dari penutur bahasa bersangkutan (Sugianto, 2017).
5. Folklor Indonesia
Kata folklor berasal dari Bahasa Inggris folklore yang merupakan kata majemuk dari kata folk dan lore. Kata folk sama artinya dengan kata kolektif. Secara sederhana, folklor ini merupakan bentuk tradisi lisan yang diwariskan turun temurun pada satu kebudayaan atau komunitas. Tentunya Indonesia memiliki kekayaan folklor yang menarik untuk dikaji. Menurut Alan Dundes (Dananjaya, 1991: 1), merupakan sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan Jan Harold Brunvand (Dananjaya, 1991) mendefinisikan folklor adalah sebagai kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun aktivitas contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Antropologi ragawi merupakan cabang antropologi dari sekian banyak cabang-cabang keilmuan antropologi. Antropologi ragawi mencakup studi tentang perbedaan fisik baik dalam populasi yang hidup maupun melalui evolusi manusia. Antropologi ragawi disebut juga antropologi biologi, salah satu cabangnya antropologi forensik yang sangat bermanfaat dalam pengungkapan sebuah kasus hukum.
Kajian arkeologi dalam antropologi berpotensi untuk menemukan dan menggali sisa-sisa fisik budaya masa lalu untuk memahami dan merekonstruksi kebudayaan di masa lalu. Kajian antropologi memerlukan data ilmu arkeologi dalam mendukung data mereka tentang fenomena budaya yang terjadi. Hasil data ini ada 4 yakni artefak (artifact), ekofak (ekofact), fitur, dan situs.
Bahasa merupakan sebuah sistem simbol, baik berupa suaram tandam atau simbol tertulis, yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Keragaman bahasa dan penggunaan bahasa di berbagai daerah membawa implikasi berupa perbedaan pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan akan dunianya.
B. Saran
Antropologi yang dibahas dalam makalah ini ini tidak hanya berupa sekumpulan pengetahuan, tetapi lebih aplikatif dalam kehidupan di masyarakat. Selain itu, kita dapat mempelajari bagian pengayaan dan pojok antropolog untuk memperkaya pengetahuan dalam belajar antropologi.
DAFTAR PUSTAKA
Barnard, A., & Spencer, J. (2002). Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology. New York: Routledge.
Bikic, V. (2007). Archaeology. Belgrade: Kreativni Centar.
Dananjaya, James. (1991). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Doda, Z. (2005). Lecture Notes Introduction to Sociocultural Anthropology. Ethiopia: Public Health Training Initiative.
Duranti, A. (1997). Linguistic Anthropology. New York: Cambridge University Press.
Dyastiningrum. (2009). Antropologi Kelas XI. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Mahadi, T.S.T. (2012). Language and Culture. International Journal of Humanities and Social Science, 2(17), 230–235.
Nababan, P.W. (1991). Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Pope, G. (n.d.). Antropologi Biologi. Jakarta: CV Rajawali.
Sugianto, A. (2017). Etnolinguistik: Teori Dan Praktik. Ponorogo: CV Nata Karya.