Makalah Pengantar Antropologi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Pengantar Antropologi ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Pengantar Antropologi ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Pengantar Antropologi ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Pengantar Antropologi ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, April 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia, adalah makhluk dengan beragam ide mengenai dirinya. Ia adalah makhluk sosial, makhluk ciptaan sekaligus mencipta, makhluk berakal budi, juga makhluk dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Manusia berusaha memahami apa yang ada di luar dirinya, dan di saat yang sama berusaha memahami dirinya sendiri. Dalam rentang ruang dan waktu, manusia terus menerus memunculkan pertanyaan-pertanyaan dan sebaliknya berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Salah satu cara manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya dan hakikat kehidupannya adalah melalui ilmu antropologi. Sebagaimana halnya ilmu-ilmu lain yang telah berdiri untuk belajar memahami manusia dengan perspektifnya masing-masing, seperti misalnya biologi, psikologi, geografi, ekonomi, dan sosiologi, maka antropologi juga memiliki karakteristik tersendiri dalam sudut pandangnya mengenai manusia. Kekhasan perspektif atau sudut pandang itu menjadi penting dalam ilmu antropologi. Kunci untuk dapat mempelajari ilmu antropologi dengan baik adalah kita harus terlebih dahulu mengenal dan memahami perspektif atau sudut pandang khas dari antropologi terhadap manusia.

Indonesia memiliki tingkat keragaman budaya yang tinggi dibandingkan dengan negara lain. Negara ini disebut negara multikultur yakni terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan antar golongan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Perbedaan-perbedaan tersebut umumnya diikat dalam sebuah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan tersebut merupakan identitas nasional kita yang harus dijunjung tinggi nilainya dalam menyikapi berbagai perbedaan yang ada di Indonesia. Perbedaan itu justru menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Keragaman dalam semangat persatuan merupakan warisan leluhur pendiri bangsa yang perlu kita rawat dengan menjaga spirit tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Pengantar Antropologi ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa pengertian antropologi?
  2. Bagaimanakah sejarah perkembangan antropologi?
  3. Apa saja miskonsepsi ilmu antropologi?
  4. Apa pokok bahasan utama ilmu antropologi?
  5. Bagaimanakah karakteristik ilmu antropologi?
  6. Apa saja prinsip dasar antropologi?

C. Tujuan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Pengantar Antropologi ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui pengertian antropologi.
  2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan antropologi.
  3. Untuk mengetahui miskonsepsi ilmu antropologi.
  4. Untuk mengetahui pokok bahasan utama ilmu antropologi.
  5. Untuk mengetahui karakteristik ilmu antropologi.
  6. Untuk mengetahui prinsip dasar antropologi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Antropologi

1. Pengertian Antropologi Secara Etimologi

Secara etimologi atau asal-usul kata, antropologi berasal dari dua kata dari bahasa Yunani anthropos, yang memiliki makna “manusia” dan logos, artinya “ilmu.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “manusia” adalah makhluk yang berakal budi sehingga mampu menguasai makhluk lain. Sedangkan “ilmu” menurut KBBI adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di suatu bidang tersebut. Sehingga secara etimologi, antropologi adalah ilmu yang memiliki metode-metode dalam mempelajari, menjelaskan, atau menerangkan gejala yang terjadi terhadap manusia yakni tentang sifat mereka yang membedakan dengan makhluk lain (berakal budi). Melalui spesialisasi keilmuannya, antropologi membuka cakrawala kita tentang cara hidup masyarakat manusia dalam melintasi ruang dan waktu.

Ilmu antropologi kemudian mengalami perkembangan dalam mengkaji sifat manusia. Dalam perkembangannya, antropologi diartikan sebagai ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang manusia secara utuh dengan mempelajari ragam warna kulit (ras), bentuk fisik, identitas masyarakat, serta kebudayaannya. Secara umum, antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mencoba menelaah sifat-sifat manusia dan menempatkan manusia yang unik dalam sebuah lingkungan secara bermartabat.

2. Pengertian Antropologi Menurut Para Ahli

a. Pengertian Antropologi Menurut Franz Boas (1858-1942)

Franz Boas adalah salah seorang peletak dasar antropologi modern. Boas terkenal dengan teorinya tentang relativisme budaya. Bertentangan dengan pandangan dominan pada zamannya, Boas meyakini bahwa semua masyarakat pada dasarnya setara. Bagi Boas semua budaya pada dasarnya harus dipahami dalam konteks budaya mereka sendiri. Boas menolak anggapan bahwa ada pemilahan antara masyarakat yang dianggap beradab dan biadab atau primitif. Sejalan dengan itu, Boas mengkritik keras keyakinan bahwa ras atau etnis tertentu lebih unggul dibandingkan yang lain. Boas menolak rasisme ilmiah yang digerakkan teori evolusionisme Darwin. Aliran pemikiran yang dominan pada era itu menyatakan bahwa ras adalah konsep biologis, bukan budaya. Gagasan tersebut juga menyatakan perbedaan ras dapat dikaitkan dengan biologi yang mendasarinya. Ide-ide itu ditentang oleh Boas. Membandingkan dua budaya sama saja dengan membandingkan dua hal yang sama sekali berbeda. Mereka pada dasarnya berbeda dan harus didekati sesuai konteks budaya masing-masing.

Dalam konteks antropologi sebagai disiplin ilmu pengetahuan, Boas mengenalkan sebuah model penelitian antropologi yang digerakkan semangat mendapatkan fakta di lapangan tanpa prasangka, mencatatnya, dan melaporkannya seobjektif mungkin. Bagi Boas, bekerja dengan hipotesis yang telah disusun dan ditetapkan terlebih dahulu adalah asing baginya. Dengan demikian, menurut Boas penelitian di lapangan adalah pengaplikasian ilmu antropologi. Penelitian juga tidak harus dari rumusan permasalahan yang sudah ditentukan dari jauh hari tetapi juga bisa dilakukan kapan saja atau tanpa persiapan (fleksibilitas). Selain itu antropologi menurutnya juga harus memuat statistika atau data angka yang dapat memperkuat argumentasi ketika menjelaskan hubungan di masa lampau. Oleh karena itu, antropologi bisa juga dimasukkan dalam ilmu alam atau ilmu sosial tergantung fokus penelitiannya. Boas juga menyepakati apa yang kemudian dikenal sebagai pendekatan empat bidang. Antropologi, bagi Boas, adalah studi holistik tentang budaya dan pengalaman, yang mengintegrasikan antropologi budaya, arkeologi, antropologi linguistik, dan antropologi fisik.

Dikenal sebagai bapak antropologi Amerika, Boas berperan melatih generasi pertama antropolog di Amerika. Beberapa antropolog seperti Margaret Mead dan Ruth Benedict adalah mahasiswa penerus Boas. Selain itu, beberapa mahasiswa Boas kemudian mendirikan beberapa departemen antropologi pertama di seluruh Amerika. Diakuinya antropologi sebagai disiplin akademis di Amerika, sangat terkait erat dengan warisan Boas melalui mahasiswanya.

b. Pengertian Antropologi Menurut Bronislaw Malinowski (1884-1942)

Bronislaw Malinowski adalah salah seorang bapak pendiri disiplin antropologi. Ia merumuskan penelitian dan penulisan etnografi, yang menjadi dasar dari ilmu antropologi sekaligus membedakannya dengan sosiologi. Selain itu, ia juga menjadi pencetus teori fungsionalisme dalam kebudayaan. Malinowski lahir di Polandia dari ayah seorang guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik. Studi awalnya sebenarnya adalah ilmu pasti dan alam, tetapi kegemarannya membaca tentang folklor dan dongeng membuatnya mencintai antropologi. Salah satu buku yang ia baca adalah The Golden Bough karya F.G. Frazer, seorang etnolog terkemuka. Buku ini memberikannya suatu perhatian baru, yaitu etnologi.

Ketika ia studi lanjut di London Economic Schools, ia mengambil jurusan “Ilmu sosiologi empiris. Saat itu belum ada jurusan antropologi. Pada tahun 1916 ia meraih gelar doktor dengan menulis disertasi tentang masyarakat Aborigin dan Mailu berdasarkan sumber-sumber tertulis. Tetapi ia ingin mendapatkan informasi dan pengetahuan bukan dari bahan-bahan tertulis. Ia ingin memperolehnya dengan langsung dari melihat, menyaksikan, dan mewawancarai masyarakat tersebut. Pada tahun 1914, ia berangkat ke Kepulauan Trobriand, bagian utara kepulauan Masim, sebelah Tenggara Papua Nugini. Ia berada di masyarakat Trobriand tersebut kurang lebih selama dua tahun. Hasil riset lapangannya itu ia tulis dalam buku Argonauts of the Western Pacific (1922).

Buku Argonauts of the Western Pacific ini kemudian menjadi model dari apa yang disebut sebagai etnografi, metode penting dalam antropologi. Menurut Malinowski, seseorang yang melakukan riset harus berdiam lama di tempat masyarakat yang diteliti untuk melihat dan mengamati kehidupan masyarakat sehari-hari dengan cermat. Tidak sekadar mengamati, si peneliti juga bisa terlibat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut. Untuk itu penting juga buat seorang peneliti antropologi menguasai bahasa setempat. Hasil dari catatan pengamatan, keterlibatan, serta wawancara-wawancara dengan masyarakat ini kemudian dituliskan secara mendalam. Itulah yang disebut etnografi. Apa yang dilakukan Malinowski ini kemudian menjadi model baku penelitian dan penulisan etnografi hingga sekarang ini.

Dari penelitian lapangannya ini pula Malinowski mengembangkan teori fungsionalisme. Menurutnya, masyarakat terintegrasi karena hubungan fungsional antar unit-unit sosialnya satu sama lain, meski acap kali hubungan fungsional tersebut tidak tampak terlihat. Analisis fungsional mendudukkan unsur sosial dan kultural manusia dalam konteks yang luas, serta menekankan pada hubungan saling memengaruhi. Dengan demikian, tugas utama antropologi adalah merumuskan kontribusi pada kehidupan sosial dan kultural manusia, serta menelaah fenomena sosial untuk memahami hakikat keberadaannya.

c. Pengertian Antropologi Menurut Ruth Benedict (1887-1948)

Menurut Franz Boas, ilmu antropologi memerlukan ahli-ahli antropologi perempuan untuk meneliti aspek perempuan dalam suatu kebudayaan. Tanpa itu, ilmu antropologi hanya akan mengetahui sektor laki-laki saja. Untuk keperluan itu, Franz Boas juga banyak mendidik para antropolog perempuan. Salah seorang di antaranya adalah Ruth Benedict. Ia terkenal karena mengembangkan apa yang disebut sebagai etos kebudayaan dan kepribadian nasional. Selepas dari belajar di Universitas Vassar, Benedict menjadi pengajar di sekolah-sekolah perempuan. Terdorong oleh niat untuk memahami konflik-konflik antarnegara, ia kemudian belajar antropologi dan melanjutkan studi di Universitas Columbia, di bawah asuhan Franz Boas. Di Columbia, Benedict melakukan penelitian lapangan di kalangan beberapa suku, seperti di kalangan suku Indian Serrano (1922), Zuni Pueblo (1924), Apache (1931), dan Blackfoot India (1939).

Namun, karyanya yang terkenal adalah Patterns of Culture (1934) di mana ia mengembangkan mengenai etos kebudayaan. Ia meneliti dan membandingkan kebudayaan yang saling berjauhan, yakni Indian Pueblo Zuni di negara bagian Colorado di Amerika Serikat Barat Daya, kebudayaan Dobu di Kepulauan d’Entre-Casteaux di sebelah Barat Papua Nugini dan kebudayaan Indian di Kwakiutl di kepulauan dekat Pantai Kanada. Dari penelitiannya itu, ia merumuskan tiga pola kebudayaan, yaitu pertama, “apollonian”, yaitu kepribadian yang selalu mencari etos keselarasan. Yang kedua, yaitu “schizophrenian” yaitu kebudayaan yang selalu bersifat curiga, takut kepada sesamanya, tidak suka menolong, dan saling bergotong royong. Yang ketiga, “dionysian” yaitu kebudayaan dengan kepribadian yang dinamis, agresif, suka bersaing, suka berkelahi, congkak, gemar membual, dan sering mabuk-mabukan, baik kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara.

Menurut Benedict, seorang ahli antropologi bisa mendeskripsikan etos dari suatu kebudayaan dengan menganalisis sifat-sifat dari berbagai unsur dalam suatu kebudayaan. Unsur-unsur itu bisa bersifat fisik, seperti bentuk, gaya seni rupa, warna-warna yang disukai oleh masyarakat, unsur-unsur rohaniahnya seperti tema-tema yang ada dalam cerita-cerita atau kesusastraan, upacara yang digemari oleh warga, dan sebagainya.

Pemikiran Ruth ini kemudian menjadi model bagi banyak negara yang melibatkan para antropolog untuk merumuskan dan menggambarkan kepribadian nasional mereka dalam rangka character building. Pemikiran ini juga menjadi landasan untuk memahami kebudayaan orang lain. Ruth sendiri kemudian melakukan penelitian lagi tentang kebudayaan masyarakat Jepang, The Chrysanthemum and the Sword (1946), atas permintaan militer.

d. Pengertian Antropologi Menurut Koentjaraningrat

Bapak antropologi Indonesia, Koentjaraningrat, menyatakan bahwa mata pelajaran antropologi memusatkan perhatian pada lima masalah mengenai makhluk manusia, yaitu:

  • Pertama, masalah sejarah terjadinya manusia sebagai makhluk biologis yang bermakna manusia merupakan makhluk yang memiliki raga. Dengan demikian manusia melakukan aktivitas fisik, bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berkembang biak untuk memperbanyak keturunan.
  • Kedua, masalah sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia, dipandang dari sudut ciri-ciri fisik tubuhnya. Dalam hal ini, ciri fisik manusia tersebut dipahami sebagai kodrat yang tidak bisa diubah dan harus diterima sebagai kewajaran dalam menyikapi perbedaan yang ada.
  • Ketiga, masalah persebaran dan terjadinya ragam bahasa yang diucapkan oleh manusia di seluruh dunia. Manusia melakukan aktivitas komunikasi berbeda-beda di berbagai daerah yang membentuk tatanan pada masing-masing bahasa daerah. Bahasa merupakan inti dalam pembentukan kebudayaan.
  • Keempat, masalah perkembangan, persebaran dan terjadinya aneka ragam kebudayaan manusia di seluruh dunia. Hal ini dapat terjadi karena adanya pertukaran budaya. Pada zaman dahulu, pertukaran dan persebaran budaya bekerja melalui aktivitas perdagangan antarbangsa. Melalui aktivitas tersebut, kemudian terjadi pertukaran budaya dalam bentuk asimilasi maupun akulturasi.
  • Kelima, masalah dasar-dasar serta aneka warna kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dan suku-suku bangsa yang tersebar di seluruh bumi pada masa kini. Suku terbentuk dari etnis yang mendiami suatu daerah dalam rentang waktu cukup panjang dalam bertahan hidup serta menyesuaikan dengan perkembangan zamannya. Meski demikian, ada pula suku yang mempertahankan cara hidup mereka sehingga tergolong tradisional.

B. Sejarah Perkembangan Antropologi

1. Fase Pertama (Sebelum Abad Ke-18)

Pada fase pertama, kelahiran antropologi sebagai ilmu tidak langsung dirumuskan menjadi satu disiplin keilmuan tersendiri. Sejarah kelahiran antropologi tidak terlepas dari keberadaan catatan-catatan etnografi bangsa-bangsa Eropa dimulai sejak era “merkantilisme” pada abad ke-14. Dimulai dari kedatangan bangsa Eropa Barat ke benua Asia, Afrika, Oseania, dan Amerika selama empat abad yang banyak dilakukan oleh para pedagang, musafir, pelaut, pendeta Nasrani, dan pegawai pemerintah kolonial. Mereka mengumpulkan laporan, kisah perjalanan dan pengetahuan berupa deskripsi tentang adat istiadat, susunan masyarakat, dan ciri-ciri fisik penduduk pribumi (Gunsu, Rodliyah, and Hapsari 2019). Bahan deskripsi itu disebut etnografi yang berasal dari gabungan kata ethnos yang bermakna ‘bangsa’ dan graphy yang berarti ‘penggambaran’ (Koentjaraningrat, 2009). Namun, beberapa laporan etnografis yang memuat pandangan orang Eropa terhadap masyarakat pribumi tersebut acap kali mengandung bias. Bias tersebut ditandai dengan laporan yang kabur, tidak teliti, dan hanya memperhatikan hal-hal yang dianggap menarik bagi orang Eropa.

Ada beberapa kontroversi catatan etnografis yang dibuat oleh orang-orang Eropa Barat terhadap bangsa-bangsa di Afrika, Asia, Oseania, dan orang-orang Indian di Amerika. Pertama, adanya pendapat bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa bukan manusia sebenarnya, melainkan manusia liar kemudian dikenal istilah savages primitives. Kedua, adanya pandangan bahwa masyarakat di luar Eropa kala itu masih murni belum mengenal kejahatan. Ketiga, adanya kumpulan-kumpulan adat istiadat dan benda-benda aneh yang diperolehnya dari bangsa-bangsa Afrika, Asia, Oseania, dan Amerika, sehingga dikumpulkan menjadi koleksi museum-museum di Eropa (Koentjaraningrat, 2009).

2. Fase Kedua (Pertengahan Abad ke-19)

Pada fase ini tumbuh subur penganut Darwinisme dengan teori evolusinya. Evolusi merupakan cara berpikir yang melihat manusia berevolusi dengan sangat lambat yakni dalam jangka waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat yang rendah, melalui beberapa tingkat, sampai ke tingkat yang paling tinggi. Teori evolusi ini berkembang di Eropa pada pertengahan abad ke-19, dan segera meraih pengaruh berbagai pemikiran, tidak terkecuali antropologi. Tulisan-tulisan etnografi kala itu juga tumbuh subur dengan semangat evolusionismenya. Cara berpikir semacam ini, menurut Koentjaraningrat (2009), melihat masyarakat dan kebudayaan lahir, bertahan dan berkembang melalui proses evolusi. Cara pandang ini memiliki konsekuensi adanya cara pandang bahwa perbedaan manusia ditentukan seberapa jauh manusia telah melintasi tahap-tahap evolusinya, sehingga ada ras manusia yang dianggap unggul dan ada pula manusia yang masih dinilai primitif. Pada tahap ini antropologi sudah mulai ke ranah akademik. Sudah banyak bermunculan jurusan-jurusan antropologi di beberapa universitas di dunia.

3. Fase Ketiga (Permulaan Abad ke-20)

Pada fase ini antropologi dijadikan ilmu praktis yang melayani kepentingan kolonialisme Eropa untuk mengukuhkan kekuasaan di daerah-daerah jajahannya di luar Eropa. Antropologi sebagai satu ilmu yang mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa semakin penting kedudukannya. Di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Banyak sarjana antropologi mengabdikan hasil penelitian etnografinya pada pemerintah penjajah seperti Christiaan Snouck Hurgronje di Aceh. Menurut Koentjaraningrat (2009), pada fase ini antropologi mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa untuk kepentingan pemerintah kolonial guna mendapatkan suatu pengertian masyarakat setempat yang kian kompleks (Koentjaraningrat, 2009).

4. Fase Keempat (Sesudah Tahun 1930-an)

Pada fase ini ilmu antropologi berkembang sangat pesat, baik bertambahnya bahan pengetahuan yang lebih teliti maupun bertambahnya metode-metode ilmiah (Koentjaraningrat, 2009). Hal ini didorong oleh spirit anti kolonialisme dalam rentang waktu Perang Dunia ke-2 dan hilangnya bangsa-bangsa primitif di luar Eropa. Dari segi tujuan, perkembangan ilmu antropologi pada fase keempat ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis. Tujuan akademik antropologi adalah mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari keragaman bentuk fisiknya, masyarakat serta kebudayaannya. Sedangkan tujuan praktisnya adalah mempelajari manusia dalam keragaman masyarakat suku bangsa guna membangun bangsa tersebut (Gunsu, et.al. 2019).

5. Fase Kelima (Antropologi Masa Kini)

Perkembangan terkini, antropologi telah memasuki fase kelima. Kajian tentang perkotaan, politik, kebencanaan, hingga perkembangan masyarakat digital menjadi arena kajian para antropolog pula. Antropologi bahkan tampil sebagai disiplin ilmu yang merespons perkembangan dan tantangan zamannya. Kajian-kajian antropologi misalnya merespons isu ancaman perubahan iklim yang berdampak besar bagi lingkungan dan keberlanjutan kehidupan manusia. Antropologi juga menaruh perhatian terhadap Revolusi Industri 4.0 yang memunculkan fenomena disrupsi pada segala bidang. Pada gilirannya, studi-studi antropologi merambah pada beragam arena yang terhubung dengan kompleksitas manusia, masyarakat, kebudayaan, dan lingkungannya di zaman serba rentan dan beresiko.

C. Miskonsepsi Ilmu Antropologi

Acapkali ilmu antropologi masih banyak disalahartikan. Bahkan, masyarakat awam susah membedakan antropologi dengan sosiologi, atau astronomi. Secara substansial, menurut Doda (2005) ada beberapa kesalahpahaman dalam mengartikan ilmu antropologi, yakni:

  1. Antropologi terbatas pada studi tentang masyarakat “primitif”. Memang, sebagian besar karya antropologi periode awal terfokus pada masyarakat terisolasi yang kemudian diberi label masyarakat “primitif”. Namun, saat ini para antropolog juga mengikuti perkembangan zaman dengan mempelajari masyarakat yang semakin maju dan kompleks.
  2. Kesalahpahaman lain adalah bahwa hanya para antropolog mempelajari masyarakat pedesaan. Sebagian penelitian antropologi memang dilakukan terfokus pada daerah perdesaan. Namun, hari ini, para antropolog juga mengarahkan fokus penelitiannya pada masyarakat urban atau perkotaan.
  3. Adanya klaim bahwa para antropolog hanya tertarik pada studi tentang komunitas eksotik yang terpencil dan hidup terisolasi dari pengaruh modernisasi. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, meski terdapat fakta sebagian besar antropolog melakukan kerja lapangan pada komunitas terisolasi di sudut yang jauh. Para antropolog juga menaruh minat mereka pada fenomena kehidupan masyarakat modern karena pengaruh globalisasi.
  4. Ada pula anggapan bahwa tujuan antropologi adalah belajar menjaga dan melestarikan hal kuno. Para antropolog mempelajari apa yang dilakukan orang dari sudut pandang para pelaku budayanya. Mereka membangun dan memberi makna pada tindakan yang dianggap kuno dalam bertahan hidup agar dapat menjelaskan pada dunia luar. Sehingga apa yang dianggap “aneh” karena kuno dapat dipahami oleh orang lain di luar komunitas pelaku budayanya.

D. Pokok Bahasan Utama Ilmu Antropologi

Subjek pembahasan antropologi mencakup semua aspek cara hidup manusia dan budaya, karena manusia hidup dalam hubungan kelompok sosial. Istilah manusia atau kemanusiaan adalah istilah yang sangat sulit untuk didefinisikan. Namun, demikian, menemukan makna, sifat, asal usul, dan takdir kemanusiaan memang menjadi misi utama antropologi. Oleh karena itu ilmu antropologi tertarik pada masalah tentang manusia yang tertuang dalam beberapa pertanyaan berikut ini:

  1. Dari mana spesies manusia atau asal usul manusia berasal?
  2. Dalam hal apa manusia berbeda dari makhluk lainnya?
  3. Bagaimana manusia dapat bertahan hidup sampai pada tahap saat ini melalui perkembangan biologis, intelektual, dan budaya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian menggiring kita pada kebutuhan untuk mengungkap dari mana kita berasal, siapakah leluhur dan nenek moyang kita, mengapa kita harus melakukan budaya yang diwariskan dan apa dampak positifnya? Pada titik inilah kebutuhan tersebut menemukan relevansinya dengan keberadaan antropologi sebagai disiplin pengetahuan. Bahkan ilmu antropologi juga bisa masuk dalam cabang ilmu lain seperti ilmu hukum, ilmu agama, ilmu budaya, dan ilmu sosial lainnya. Semua bidang ilmu sosial yang menitikberatkan pada penelitian lapangan, secara metodologis meminjam pendekatan ilmu antropologi. Dengan demikian, cakupan ilmu antropologi itu sangat luas.

E. Karakteristik Ilmu Antropologi

1. Obyek Kajian

Objek antropologi adalah manusia dengan segala permasalahan yang dihadapi manusia dan kelompoknya. Para antropolog tertarik pada semua fenomena manusia, baik manusia itu hidup atau mati, tradisional atau modern. Antropologi juga memberikan minat pada perbedaan aspek yang melekat pada manusia, termasuk warna kulit, kehidupan keluarga, pernikahan, sistem politik, alat, jenis kepribadian, dan bahasa. Sehingga manusia itu bisa dipelajari secara luas dan tidak ada batasannya. Apa yang membuat antropolog tertarik mengambil penelitian lapangan adalah karena keunikan fenomena yang terjadi. Keunikan tersebut berupa keberadaan manusia dalam kondisi alamiahnya beserta kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Studi mereka lebih cenderung menjalin keakraban masyarakat secara lebih dekat dan di lapangan.

2. Pendekatan atau Prinsip Dasar

a. Holistik

Antropologi bersifat holistik artinya mempelajari salah satu aspek dari cara hidup sekelompok orang dan menghubungkannya dengan aspek kehidupan lainnya yang kompleks dan saling terkait.

b. Relativisme Budaya

Antropologi mencoba untuk mempelajari dan menjelaskan keyakinan, praktik, atau institusi sekelompok orang dalam konteksnya sendiri. Dia tidak membangun penilaian terhadap praktik kebudayaan yang dijalankan oleh para penganutnya dengan menyatakan bahwa praktik tersebut benar atau salah, baik atau buruk. Pada dasarnya sebuah kebudayaan tidak dapat dinilai secara baik atau buruk dari kaca mata orang luar.

3. Penekanan Terhadap Pandangan Informan

Antropolog fokus pada bagaimana orang-orang yang ditelitinya memahami tentang dunia mereka sendiri, bagaimana sekelompok orang tertentu menjelaskan tentang arti atau makna kehidupan mereka. Inilah yang disebut sebagai perspektif emik atau native point of view yakni menggali pemahaman tentang laku kebudayaan dari sudut pandang para pelaku budaya itu sendiri.

4. Fokus Kajian

Antropologi berfokus pada masyarakat atau komunitas kecil. Jenis-jenisnya meliputi kelompok sosial terbatas, baik mereka berada di dunia tradisional maupun modern, termasuk struktur ekonomi dan politik, serta cenderung homogen dalam karakter mereka secara keseluruhan.

5. Metode Penelitian

Ciri-ciri antropologi lain adalah metode penelitian utamanya yaitu etnografi. Penelitian etnografi cenderung kualitatif seperti kerja lapangan. Etnografi memadukan beberapa teknik penelitian seperti diskusi kelompok, observasi partisipan, wawancara mendalam dengan informan kunci. Meskipun metode ini sekarang dipraktikkan dalam ilmu lainnya juga, tetapi tidak ada disiplin ilmu lain yang mampu mengikat dan menggunakan metode ini secara utuh seperti antropologi.

F. Prinsip Dasar Antropologi

1. Pendekatan Holistik dalam Antropologi

Sebagai ilmu yang mengkaji manusia dan kebudayaan, antropologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang bersifat holistik (Saifuddin, 2005). Antropologi bersifat holistik karena antropologi mengkaji pengalaman manusia secara menyeluruh. Dalam arti, antropolog melihat keterkaitan antara faktor kehidupan manusia dan mempelajari hubungan di dalamnya. Para antropolog tertarik pada seluruh fenomena manusia dan pada bagaimana berbagai aspek kehidupan manusia berinteraksi.

Pendekatan holistik dapat dipahami sebagai cara berpikir bahwa suatu fenomena terhubung dengan fenomena lain dan menciptakan semacam entitas berdasarkan keterkaitan dan pengaruh timbal balik antara berbagai elemennya. Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman utuh tentang fenomena sosial budaya dengan menggali dari berbagai aspek kehidupan manusia yang memengaruhinya. Seseorang tidak dapat sepenuhnya memahami suatu kebudayaan dengan mempelajari hanya satu aspek saja dari sejarah, bahasa, tubuh, atau masyarakat kita yang kompleks. Dengan menggunakan pendekatan holistik, para antropolog mengungkap kompleksitas fenomena biologis, sosial, atau budaya. Ringkasnya, pendekatan holistik memeriksa bagaimana berbagai aspek kehidupan manusia saling memengaruhi (Brown, et.al., 2020). Pendekatan holistik merupakan bagian sentral dalam perspektif antropologi (Otto & Bubandt, 2010).

Pendekatan holistik merupakan karakteristik khas dari ilmu antropologi, yang membedakan antropologi dengan disiplin ilmu lain. Disiplin ilmu lainnya hanya berfokus pada satu faktor-biologi, psikologi, fisiologi, atau masyarakat dalam menjelaskan perilaku manusia (Otto & Bubandt, 2010). Pemahaman holistik sebagai pendekatan komprehensif terhadap kondisi manusia ini berkaitan erat dengan pandangan antropolog Amerika tentang antropologi yang terdiri dari empat sub-bidang, di antaranya antropologi budaya, antropologi fisik, linguistik, dan arkeologi, yang secara bersama-sama membentuk pemahaman menyeluruh tentang kemanusiaan (Brown, et.al., 2020; Otto & Bubandt, 2010). Sementara antropolog sering memfokuskan kajian pada satu sub-bidang antropologi yang spesifik, penelitian spesifik mereka berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas tentang kondisi manusia, yang terdiri dari budaya, bahasa, adaptasi biologis dan sosial, serta asal usul dan evolusi manusia (Brown, et.al., 2020).

Pendekatan holistik berkaitan erat dengan teknik observasi partisipan. Observasi partisipan sendiri merupakan teknik melakukan penelitian atau praktik kerja lapangan etnografi di mana para antropolog tinggal bersama dan mengambil bagian dalam kehidupan informan mereka untuk mendapatkan data hasil pengamatan yang lebih baik. Dengan melakukan observasi partisipan, para antropolog lebih mampu melihat integrasi antara bidang kehidupan yang dipandang terpisah dalam masyarakat yang lebih kompleks (seperti, kaitan antara kekerabatan, agama, politik, dan ekonomi). Observasi partisipan juga memampukan kita melihat lingkup atau bidang yang terpisah sebagai bagian dari keseluruhan sosial, sehingga mampu menerapkan pendekatan holistik (Otto & Bubandt, 2010). Ringkasnya, observasi partisipan menjadi kunci dalam pendekatan holistik untuk memahami dan menjelaskan suatu fenomena sosial budaya secara menyeluruh.

2. Perspektif Emik dan Etik

Masyarakat sering kali memahami suatu kebudayaan dari kaca mata kebudayaannya sendiri dalam menggambarkan dan mengkaji kebudayaan lain. Hal itu juga menimpa para antropolog. Para antropolog dihadapkan pada dilema apakah berangkat dari perspektif kebudayaan masyarakat yang diteliti atau mewakili cara pandangnya sebagai ilmuan. Dalam disiplin ilmu antropologi, kedua hal yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan dan melukiskan suatu kebudayaan tersebut disebut dengan perspektif emik dan etik.

Perspektif ini mengemuka sekira awal abad ke-20, di mana para antropolog kemudian berupaya menerapkan pembedaan perspektif etik dan emik (ethic and emic distinction) untuk mengatasi masalah tersebut (Saifuddin, 2006). Istilah emik dan etik sebetulnya meminjam konsep kajian antropologi linguistik yaitu pembedaan kata “fonemik” dan “fonetik”. Emik dan etik merupakan dua sudut pandang atau perspektif dasar dari mana seorang pengamat dapat menggambarkan perilaku manusia atau kebudayaan. Dengan menggunakan istilah tersebut, antropologi membedakan perspektif emik dan etik sebagai berikut:

a. Emik

Istilah emik berasal dari istilah linguistik, yaitu ‘fonemik’ (phonemic). Secara sederhana, emik mengacu pada sudut pandang masyarakat yang diteliti atau native’s point of view (Saifuddin, 2005). Emik dapat dipahami sebagai cara untuk memahami dan melukiskan suatu kebudayaan dengan mengacu pada sudut pandang atau perspektif masyarakat pemilik kebudayaan yang dikaji. Apabila mengkaji suatu kebudayaan menggunakan perspektif emik, temuan yang dihasilkan akan bersifat khas-budaya (culture-specific) atau akan menghasilkan temuan yang berbeda pada konteks budaya yang berbeda.

b. Etik

Istilah etik dalam antropologi berasal dari istilah fonetik (phonetic) pada ilmu linguistik. Etik merupakan pendekatan atau cara untuk memahami dan melukiskan suatu kebudayaan dengan mengacu pada sudut pandang peneliti (scientist’s point of view). Cara pandang etik merupakan penjelasan, deskripsi dan analisis yang mewakili cara pandang pengamat sendiri sebagai orang di luar masyarakat yang ditelitinya. Apabila mengkaji suatu kebudayaan secara etik, temuan yang dihasilkan cenderung sama pada berbagai konteks budaya, atau lebih bersifat universal.

3. Relativisme Kebudayaan

Keberagaman dan perbedaan budaya dalam masyarakat dapat mendorong munculnya suatu sikap yang disebut dengan etnosentrisme. Etnosentrisme adalah sebuah sikap yang memandang bahwa budayanya sendiri lebih baik dibandingkan dengan budaya lain. Sikap ini dapat mendorong terjadinya konflik sosial dalam masyarakat karena cenderung menggunakan standar nilai dari kebudayaannya sendiri untuk memandang kebudayaan orang lain. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu sikap dan pandangan yang dapat mengatasi tumbuhnya sikap tersebut, terutama dalam kajian antropologi menggambarkan kebudayaan masyarakat.

Dalam ilmu antropologi budaya, terdapat istilah relativisme budaya yang menjadi salah satu prinsip antropologi. Prinsip ini digunakan dalam melihat suatu nilai, perilaku, dan budaya yang ada dalam suatu kelompok masyarakat sesuai budaya masyarakat yang dikaji itu sendiri. Relativisme budaya merupakan suatu pandangan bahwa setiap masyarakat, nilai, kebudayaan, kebiasaan, kepercayaan, dan aktivitas harus dipahami dari cara atau sudut pandang budaya itu sendiri (Erikson, 2004). Prinsip ini diperkenalkan oleh antropolog Franz Boas, pada abad ke-20, yang mengemukakan gagasannya bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang absolut melainkan relatif. Namun, istilah relativisme budaya baru dikembangkan oleh murid-murid Boas yang pertama kali digunakan oleh Alain Cocke pada tahun 1924.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Antropologi berasal dari dua akar kata Yunani anthropos, artinya “orang” atau “manusia”; dan logos, artinya “ilmu/nalar”. Menurut kamus athropology dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik, kepribadian, masyarakat, serta kebudayaannya. Dari analisis usul asal kata, disimpulkan bahwa antropologi merupakan ilmu pengetahuan tentang manusia. Dalam refleksi yang lebih bebas, antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mencoba menelaah sifat-sifat manusia secara umum dan menempatkan manusia yang unik dalam sebuah lingkungan hidup yang lebih bermartabat.

Pemahaman antropologi dalam kerangka perbandingan ini bersifat komprehensif, dalam arti elemen-elemen yang diambil untuk dibuat perbandingan sungguh memberi satu pemahaman yang menyeluruh berkenaan dengan kehidupan manusia, baik pribadi maupun kelompok. Dengan demikian, kajian perbandingan antropologi merangkumi manusia, karya dan seluruh keberadaannya, seperti terlihat secara struktural dalam uraian mengenai dua elemen dasar kehidupan manusia sebagai satu entitas pribadi dan makhluk sosial.

B. Saran

Kajian mengenai pengantar antropologi membantu dalam memahami dan mempelajari berbagai masalah yang ada dalam kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bisa juga dijadikan kunci untuk masuk ke dunia kajian antropologi yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Doda, Z. (2005). Lecture Notes Introduction to Sociocultural Anthropology. Ethiopia: Public Health Training Initiative.

Dyastiningrum. (2009). Antropologi Kelas XI. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Ember, C. R., & Ember, M. (2013). Perkenalan dengan Antropologi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Erikson, Thomas Hylland. (2004). What Is Anthropology. London: Pluto Press.

Haviland, W. A. (1985). Antropologi (I). Erlangga.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Lestyasari, Siany Indria dan Atik Catur Budiati. (2014). Antropologi untuk Kelas XI SMA dan MA. Surakarta: Tiga Serangkai.

Nurcahyono, Okta Hadi. (2021). Antropologi untuk Kelas SMA XI. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Nurmansyah, et.al. (2019). Pengantar Antropologi: Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi. Bandar Lampung: Aura Creative.

Saifuddin, Achmad Fedyani. (2005). Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media.

Supriyanto. (2007). Antropologi Kontekstual XI. Surakarta: Mediatama.

Download Contoh Makalah Pengantar Antropologi.docx