Makalah Suku Anak Dalam Sumatra

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Suku Anak Dalam Sumatra ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Suku Anak Dalam Sumatra ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Suku Anak Dalam Sumatra ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Suku Anak Dalam Sumatra ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, Maret 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suku Anak Dalam termasuk salah satu suku asli yang ada di Provinsi Jambi. Suku Anak Dalam atau sering disebut juga dengan Orang Rimbo merupakan suatu kelompok masyarakat yang masih hidup dengan cara tradisional dan hidup secara nomaden atau berpindah-pindah di hutan yang terdapat di Provinsi Jambi. Seperti halnya suku-suku lain yang ada di masyarakat Suku Anak Dalam juga memiliki suatu mata pencaharian hidup yang khas, yang disesuaikan dengan letak geografis dan pola kehidupannya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam setiap suku memiliki aturan dan norma yang berlaku di segala kegiatan dalam kehidupan masyarakatnya begitu juga Suku Anak Dalam, Termasuk di dalamnya adalah aturan-aturan dalam mencari kebutuhan hidup.

Mata pencaharian Suku Anak Dalam tentu tidak jauh berbeda dengan suku- suku terasing lainnya yang ada di dunia, seperti berburu, meramu, dan bercocok tanam. Mereka tinggal dan beradaptasi di hutan dengan pencaharian utama yang sangat bergantung pada sumber daya hutan, hutan merupakan sumber penghidupan sehingga Suku Anak Dalam sangat menghargai hutan. Hutan adalah tempat Suku Anak Dalam berinteraksi dengan alam, saling memberi, saling memelihara, dan menghidupi. Hutan juga menjadi sumber norma-norma, nilai- nilai, dan pandangan hidup Suku Anak Dalam.

Hidup di hutan dalam jangka waktu yang panjang mengartikan Suku Anak Dalam mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Dengan kehidupan yang bergantung kepada hutan sudah seharusnya Suku Anak Dalam menjaga dan melestarikan hutan tempat tinggal mereka, agar sumber penghidupan tersebut tidak habis. Meski Suku Anak Dalam hidup bersumber pada hutan namun mereka tidak memeras dan merusak hutan, mereka memiliki hukum adat yang dikenal dengan Seloko adat yang merupakan aturan dalam hidup dan bergaul baik dengan sesama anggota maupun dengan alam tempat tinggal.

Seloko adat jika digunakan terus menerus dapat membentuk kearifan lokal pada Suku Anak Dalam. Kearifan tersebut diteruskan secara turun-temurun untuk melindungi hutan tempat tinggal mereka dan menjaga keseimbangan segala kehidupan yang ada di dalamnya. Suku Anak dalam sangat takut jika hutan habis dan rusak, sehingga para dewa-dewa yang mereka percayai akan marah dan menjadi bencana. Karena apabila hutan rusak dan kehilangan hutan bagi mereka sama artinya dengan kehilangan kehidupan, dan tidak akan ada yang dapat diwariskan kepada generasi penerus selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa pengertian suku anak dalam?
  2. Bagaimana sejarah suku anak dalam?
  3. Apa saja ciri-ciri dan kultur suku anak dalam?
  4. Bagaimana keadaan masyarakat suku anak dalam?
  5. Bagaimana hubungan suku anak dalam dengan pemerintah dan masyarakat Jambi?
  6. Bagaimana respons masyarakat Jambi atas keberadaan suku anak dalam?

C. Tujuan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui pengertian suku anak dalam.
  2. Untuk mengetahui sejarah suku anak dalam.
  3. Untuk mengetahui ciri-ciri dan kultur suku anak dalam.
  4. Untuk mengetahui keadaan masyarakat suku anak dalam.
  5. Untuk mengetahui hubungan suku anak dalam dengan pemerintah dan masyarakat Jambi.
  6. Untuk mengetahui respons masyarakat Jambi atas keberadaan suku anak dalam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Suku Anak Dalam

Sebelum membahas lebih jauh mengenai Suku Anak Dalam, terlebih dahulu kita pahami apa itu Suku Anak Dalam. Ada tiga suku kata yang populer dalam penyebutan Suku Anak Dalam. Yang pertama “KUBU”; penyebutan kubu sering digunakan oleh suku Melayu yang mengandung makna, primitif, kotor, dan bodoh. Kedua “SUKU ANAK DALAM”. Penyebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial, yang memiliki makna; sekelompok orang yang terbelakang dan tinggal di pedalaman. Yang ketiga “ORANG RIMBA”. Penyebutan ini digunakan oleh sebagian kecil dari kelompok mereka sendiri. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan.

Namun ketiga nama di atas tidaklah menjadi nama yang mereka sukai ketika disapa. untuk sapaan yang mereka senangi antara lain Anak Dalam, Sanak, dan dulur. jika sudah sering bertemu dengan mereka maka panggilan akrab ialah nco yang berarti kawan atau teman dekat.

Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 3.198 orang.

Orang Rimba memiliki gaya hidup dan kepercayaan yang unik dan berbeda dari kehidupan masyarakat modern. Mereka memandang hutan sebagai tempat tinggal mereka. Mereka adalah bagian penting dari hutan itu sendiri. Orang Rimba sangat menggantungkan hidupnya pada hutan. Oleh karena itu, mereka sangat menjaga kelestarian hutan. Mereka mempunyai persepsi bahwa hutan adalah milik bersama, sehingga siapapun boleh memanfaatkannya. Orang Rimba tidak ingin hutan musnah karena hutan itu sendiri adalah rumah mereka. Sementara itu, karena faktor ekonomi dan desakan kebutuhan akan lading dan kayu, tidak sedikit kalangan yang terus-menerus merusak hutan dengan cara menebang pohon dan membuka ladang. Kegiatan seperti itu tentu sangat mengancam keberadaan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas di Kabupaten Sarolangun, di mana Orang Rimba tinggal. Orang Rimba memiliki kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dari masyarakat Melayu pada umumnya. Orang Rimba mengenal istilah budaya yang menurut orang dari suku lain terasa aneh dan tertinggal. Tidak heran jika Orang Rimba dipandang sebelah mata oleh orang terang (Melayu). Mereka dianggap masih memiliki budaya yang sangat primitif. Akan tetapi, jika disimak secara seksama, sebenarnya kandungan nilai dari budaya Orang Rimba ini banyak sekali. Bahkan di beberapa sisi Orang Rimba memiliki pemikiran yang cukup maju, terutama dalam menjaga kelestarian alam.

B. Sejarah Suku Anak Dalam

Mengenai asal muasal keberadaan Suku Anak Dalam ini, terdapat berbagai cerita dan versi yang dikisahkan oleh orang-orang terdahulu. Pada versi pertama yang diambil dari cerita tutur dari beberapa kelompok tentang Orang Rimba Sungai Mekekal misalnya, mengaku bernenek moyang yang sama dengan orang Melayu di Tanah Garo, yaitu berasal dari buah gelumpang. Orang Rimba Air Hitam mengatakan sebagai keturunan orang-orang desa yang lari ke dalam hutan. Sementara itu Orang Rimba yang berada di barat Provinsi Jambi mengaku berasal dari Orang Rimba di Sumatera Selatan (Musi Rawas) yang mempunyai sejarah asal-usul sama dengan orang Melayu yang melarikan diri ke dalam hutan karena penjajahan. Adapun Orang Rimba yang berada di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh mengatakan mereka berasal dari Orang Rimba Kuamang Kuning dan Rimbo Bujang, daerah Jambi yang berbatasan dengan Sumatera Barat.

Lalu versi berikutnya menjelaskan bahwa Suku Anak Dalam terbagi ke dalam dua asal usul. Versi pertama: ketika Raja Jambi, Ratu Putri Selaras Pinang Masak berkuasa, terjadilah pertempuran dengan orang Kayo Hitam, raja yang menguasai lautan sampai Muara Sabak. Ratu Jambi yang berasal dari Minangkabau atau keturunan dari raja Pagaruyung meminta bantuan ke tempat asalnya. Raja Pagaruyung mengirimkan bala bantuan ke Jambi. Para pasukan yang dikirim itu menyusuri hutan belantara dan melewati beberapa sungai besar dan kecil. Pada waktu pasukan di pertengahan jalan, di sekitar daerah perbatasan di antara tiga kabupaten Batanghari, Sarolangun Bangko (SarKo), dan Bungo Tebo (sekarang) perbekalan mereka habis, sedangkan daerah yang akan dituju masih sangat jauh, dan memutuskan untuk pulang kembali pun juga sangat jauh.

Mereka kemudian bersumpah bersama, dengan mengucapkan “ke mudik dikutuk Raja Minangkabau, ke ilir dikutuk Raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan kumbang, ditimpo kayu punggur”; artinya mereka tidak berani pulang ke Minangkabau karena pasti dihukum oleh Raja, namun ingin melanjutkan perjalanan ke Jambi perbekalan mereka habis. Kesimpulannya mereka sepakat untuk tetap tinggal di tempat mereka tersesat tersebut, siapa yang melanggar kesepakatan itu, kembali ke Minangkabau dikutuk Raja Pagaruyung dan yang akan ke Jambi juga dikutuk Raja Jambi. Akan tetapi memutuskan untuk tetap berada di tempat tersesat juga sulit karena perbekalan sudah habis, seperti kayu yang dimakan kumbang dan orang yang tertimpa kayu yang tidak dapat diperkirakan robohnya, namun masih bebas tidak takut dikutuk Raja.

Mereka juga tidak mau tunduk kepada siapapun, baik kepada Raja Minangkabau maupun Raja Jambi. Dan menetap di hulu sungai Makekal dianggap aman karena banyak benteng pertahanan alami, yaitu pegunungan terjal berbatu dan sulit diketahui oleh musuh. Para tentara kerajaan Pagaruyung yang tersesat yang juga membawa istri itulah yang menjadi cikal bakal orang Rimba sekarang.

Lalu versi kedua: ada seorang yang gagah berani bernama Bujang Perantau. Pada suatu hari memperoleh buah gelumpang dan dibawa ke rumahnya. Suatu malam ia bermimpi agar buah gelumpang itu dibungkus dengan kain putih yang nanti akan terjadi keajaiban, yang berubah menjadi seorang putri yang cantik. Lalu Putri itu mengajak Bujang Perantau untuk menikah, namun Bujang Perantau berkata bahwa tidak ada orang yang akan menikahkan kita. Putri tersebut berkata: “potonglah sebatang kayu bayur dan kupas kulitnyo kemudian lintangkan di sungai, kamu bajalan daghi pangkal awak daghi ujung. Kalau kito dapat beghadu kening di atay kayu tersebut beaghti kito lah kawin”. Permintaan itu dipenuhi oleh Bujang Perantau dan terpenuhi seluruh syarat yang telah diminta putri tersebut, kemudian keduanya menjadi suami-istri. Dari hasil perkawinan itu lahirlah empat orang anak, yaitu Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, dan Putri Salero Pinang Masak.

Bujang Malapangi, anak tertua yang bertindak sebagai pangkal waris dan Putri Salero Pinang Masak sebagai anak bungsu atau disebut ujung waris keluar dari hutan untuk pergi membuat kampung dan masuk Islam; keduanya menjadi orang terang (penyebutan untuk orang dalam/Rimba yang sudah masuk Islam). Putri Salero Pinang Masak menetap di Seregam Tembesi, sedangkan Bujang Malapangi membuat kampung, pertama di sekitar Sungai Makekal pertamo di kembang Bungo, kedua di Empang Tilan, ketiga di Cempedak Emas, keempat di Perumah Buruk, kelima di Limau Sundai, dan kampung terakhir di Tanah Garo sekarang.

Hal inilah yang membuat orang Rimba menjadikan tokoh keturunan Bujang Malapangi sebagai Jenang. Jenang yang paling berpengaruh dijadikan Raja, dan segala urusan orang Rimba dengan orang luar harus melibatkan Jenang mereka dan Rajanya.

Bujang Dewo dan Putri Gading tetap tinggal di hutan Gunung Sekembang, salah satu gunung di deretan Pegunungan Dua Belas, dengan tetap memakai kancut.10 Di sinilah mereka saling bersumpah, antar satu kepada yang lainnya. Adapun sumpah Bujang Malapangi yang ditujukan kepada Bujang Dewo, bahwa:

  1. Yang tidak menyambut arah perintah dari waris dusun.
  2. Bilo waris menemui di rimbo dilancungkan dengan makanan seperti babi, biawak, tenuk, dan ular.

Selanjutnya Bujang Malapangi mengucapkan sumpah, bahwa: “keno kutuk ayam pertuanan, keno sumpah seluruh Jambi”. Dewo Tunggal menjawab uuuuu…, terus membalas bahwa orang yang berkampung itu adalah: (1). Berkampung, berpadang pinang, berpadang kelapa; (2) diislamkan; (3) rapat di luar rencong di dalam, bersuruk budi bertanam akal; (4) berdacing duo, bercupak duo, dan (5) bergantung duo.

Bujang Dewo mengucapkan sumpah kepada Bujang Malapangi sebagai berikut: “di air ditangkap harimau kumbang, di darat ditangkap harimau kumbang, ditimpo punggur, ke atas dikutuk pisau kawi, ke bawah keno masrum kalimah Allah, di arak kebangiyang, ditimpo langit berbelang, ke atas tidak berpucuk ke bawah tidak berurutan”. Uuuuuu… jawab Bujang Malapangi. Kemudian setiap orang memberi tanda; yaitu bagi yang berakampung, memegang pangkal ubi dan memegang ekor kerbau. Sedangkan bagi yang di rimbo, memegang pangkal gadung dan memegang ekor biawak, ini dianggap sebagai tanda yang dapat membedakan mereka.

Mereka yang berkampung mengikuti jejak orang tua laki-laki (ayah), yaitu Bujang Perantau yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau); sedangkan mereka yang tetap di hutan mengikuti jejak ibunya (Putri Buah Gelumpang) yang berasal dari hutan di Pegunungan Duabelas. Mereka yang di hutan mulai dari Bujang Perantau bergelar Tamenggung Merah Mato, kemudian anaknya Bujang Dewo bergelar Mayang Balur Dada, Mayang Sigayur, Mayang Tungkul, dan setelah itu berganti dengan sebutan depati bagi raja yang memerintah di hutan. Depati-depati yang pernah berkuasa itu ialah depati Payung Alam, Payung Agung, Payung Alam II, Payung Bungo, Payung Bulan, Depati Singo, Pemuncak, dan Depati Pagar Alam.

Semenjak raja Jambi dijabat oleh Sultan Taha Syaifuddin ( sekitar tahun 1885-1905 M) pangkat tertinggi yang diberikan kepada orang Rimba adalah Tamenggung. Para pemimpin tertinggi itu adalah Tamenggung Besar Singo Jayo, Kerti Singo Jayo, Berdinding Besi, dan Tamenggung Pelindung Alam.

Menanggapi beberapa versi yang telah dipaparkan di atas secara umum mungkin belum bisa mengidentifikasi secara pasti mengenai asal usul mereka, namun peneliti memberikan kesimpulan bahwa keberadaan Suku Anak Dalam ini merupakan perpaduan dari suku Minangkabau dan Suku Melayu. Hal ini dipertegas dengan pendapat yang diperoleh dari mantan Tamenggung mereka yang sudah menjadi muallaf.

C. Ciri-ciri dan Kultur Suku Anak Dalam

  1. Ciri Fisik

Ciri-ciri fisik orang Rimba pada umumnya kaki dan tangan tampak kokoh. Telapak kaki agak rata dan tebal, jari jemari kaki besar dan pendek, serta tumitnya tinggi dan tebal, perawakan rata- rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, dan gigi mereka berwarna kecokelatan.

  1. Pakaian

Pakaian laki-laki adalah kancut dan badan bagian atas tidak berbaju, pakaian wanita adalah kain panjang sampai batas pusat dan badan bagian atas terbuka. Model pakaian wanita dan pria dianggap sesuai dengan alam sekitar mereka yang memerlukan gerak cepat bila ada ancaman atau memburu binatang di hutan.

  1. Bahasa

Bahasa Orang Rimba sama dengan bahasa Melayu, seperti halnya bahasa masyarakat di Makekal, Kejasung, dan Air Hitam. Dalam pengucapannya sebagian besar diakhir kata, orang Rimba menggunakan huruf o, dan ketidakjelasan dalam penyebutan huruf r, dalam hal ini sama dengan dialek orang Melayu Jambi pada umumnya. Seperti contoh “iko idak ado masalah dengan apo yang ditebangnyo” (ini tidak ada masalah dengan apa yang telah ia tebang). Contoh lainnya “daghi mano bae kawan ko nco” (dari mana saja teman).

  1. Kultur/Budaya

Kebiasaan yang dilakukan Orang Rimba ketika mengadakan suatu acara yang dianggap sakral, beberapa ritual ditampilkan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan roh-roh nenek moyang mereka yang telah tiada. Mereka mempercayai adanya dewa sebagai penggerak dari tiap-tiap permasalahan yang terjadi, sehingga kebudayaan yang sejatinya telah dipraktekkan oleh nenek moyang mereka terus dilestarikan untuk meminta doa agar dimudahkan dan diberkahi dalam setiap kehidupan mereka. Kebudayaan tersebut antara lain:

  • Budaya Pemberian Nama Tamenggung dan Jenang

Dalam pengangkatan pemimpin atau kepala suku, biasanya mereka terlebih dahulu memberikan beberapa ujian, di antaranya menguji kekuatan batin atau ilmu kanuragan, kemudian adu panco antar calon pemimpin tersebut. Salah satu dari yang menang akan diangkat menjadi pemimpin. Ritual terakhir adalah pemberian nama. Sebagai seorang pemimpin tentunya harus lebih hebat dari rakyat yang dipimpin. Setelah semua pengujian selesai, barulah kepala suku tersebut diberi nama Tamenggung.

  • Budaya Melangun

Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Adanya melangun apabila dari salah satu keluarga ada yang meninggal. Di zaman dahulu melangun dilakukan selama 3 tahun, baru kemudian pulang kembali ke tempat sebelumnya. Namun tidak d tempat keluarganya yang sudah meninggal. Sekarang tradisi melangun hanya dilakukan selama 3 bulan saja. Tujuannya agar bisa menghilangkan rasa kesedihan terhadap mendiang yang sudah meninggal.

  • Seloko dan Mantera

Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam.

  • Besale

Yaitu ritual pemanggilan Dewa untuk mengesahkan pernikahan, memberi pertolongan, menyembuhkan penyakit dan untuk menyelesaikan masalah-masalah lainnya.

  • Hompongan

Hompongan adalah semacam pagar atau tanda yang ditancapkan di wilayah kekuasaan mereka. Hal ini bertujuan untuk melindungi hutan dari cengkeraman orang lain yang bukan dari kelompok mereka. Kemudian wilayah tersebut ditanami pohon karet, sayur-sayuran, dan berbagai macam tanaman untuk membantu kebutuhan hidup mereka.

  • Tanah Peranakan

Orang pintar atau dukun merupakan salah seorang yang dipercaya dalam menyelenggarakan ritual untuk menentukan tanah yang dijadikan tempat perempuan yang hendak melahirkan. Sebelum digunakan untuk proses persalinan terlebih dahulu dukun memagari dan membersihkan tempat tersebut dari gangguan makhluk halus.

  • Tanah Badewa-dewa

Maksud dari tanah badewa-dewa ialah tanah yang diyakini adanya dewa-dewa di dalamnya. Kemudian tanah tersebut dijadikan sebagai tempat pemujaan untuk meminta rezeki, dan meminta kemudahan dari segala macam permasalahan yang dihadapi.

  • Bento Benuaran

Bento benuaran adalah penamaan dari tanah pusaka peninggalan nenek moyang yang telah tiada. Keberadaan Tanah pusaka tersebut umumnya di hutan belantara, dan biasanya tanah pusaka tersebut ditanami pohon durian, duku, rambutan, cempedak, dan jenis pohon buah-buahan lainnya.

  • Pohon Sialang

Untuk memperoleh madu, biasanya orang-orang mencari ke mall, swalayan, dan toko-toko. Namun bagi Orang Rimba hal tersebut tentu bukanlah kebiasaan yang diajarkan leluhur mereka. Salah satu penyebabnya karena akses mereka yang jauh dari wilayah perkampungan maupun perkotaan, sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan madu secara instan. Pohon sialang menjadi solusi bagi mereka yang ingin mengambil madu baik untuk dijadikan obat-obatan tradisional, maupun untuk dikonsumsi lainnya.

  • Pohon Setubung

Pohon setubung adalah satu pohon yang diambil kayu cabangnya untuk membuat pagar ari-ari bayi yang baru lahir. Pohon setubung ini hanya dapat diperoleh di dalam hutan belantara, terkadang orang-orang perkampungan sering menebang pohon-pohon yang ada di hutan lepas, tak terkecuali pohon setubung, sehingga mereka sulit untuk mencari keberadaan pohon tersebut.

  • Pohon Tenggeris

Pohon tenggeris adalah pohon yang digunakan untuk ritual pemberian nama anak. Cara penggunaannya diambil sedikit kulit kayu tenggeris tersebut, kemudian dihancurkan, lalu diletakkan di bagian dahi si bayi sambil memberikan nama kepada bayi tersebut.

Rumah Godong

Rumah godong adalah rumah adat bagi Orang Rimba. Rumah godong ini terletak di ladang. Desain rumah tersebut tertata rapi seperti bangunan rumah pada umumnya. Hanya saja berdirinya rumah godong ini untuk mengadakan perkumpulan, acara besar, rapat dan musyawarah mufakat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi pada suku mereka.

  1. Alat-alat Produksi

Berladang merupakan salah satu pencarian pokok bagi orang Rimba, di dalamnya ditanami pohon karet, ubi kayu, ubi jalar, dan segala macam buah-buahan. Untuk membersihkan hutan agar bisa ditanami tumbuh- tumbuhan, alat yang mereka gunakan antara lain: beliung, parang, suluh, dan tembilang. Beliung digunakan untuk menebang pohon-pohon besar, seperti halnya kampak. Parang digunakan untuk memotong pohon- pohon kecil dan rerumputan. Dan tembilang digunakan untuk menggali lubang agar dapat menanami tumbuhan yang hendak ditanam. Selain tembilang ada juga yang menggunakan tugal, dan tugal ini dibuat dengan cara tradisional yaitu dengan kayu yang keras dan kuat, besarnya sebesar tangan dapat memegang.

  1. Senjata

Adapun senjata yang sering digunakan orang Rimba, antara lain, senapang kacepet, parang, culup, dan tombak. Senapang kacepet biasa digunakan orang rimba untuk menembak hewan buruan liar, seperti harimau, babi dan lainnya. Parang biasa digunakan untuk menjaga diri dan memotong benda. Culup digunakan untuk memburu benda yang berjarak dekat, agar tidak ketahuan karena bunyi culup yang tidak bersuara. Dan tombak biasa digunakan orang Rimba untuk mencari biawak, kura-kura, dan ular. Dan binatang ini nantinya untuk disantap dan dijual.

D. Keadaan Masyarakat Suku Anak Dalam

Kondisi sosial dan budaya Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi telah banyak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan kondisinya pada awal Orde Baru memerintah. Perubahan yang melanda di sekitar kehidupan Suku Anak Dalam adalah merupakan suatu dampak dari program pembangunan pemerintah. Dengan kata lain pengaruh dunia luar telah mempengaruhi kondisi sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi, khususnya di daerah Bukit Suban, Kutai, Sungai Senamo Kecik Air Hitam Sarolangun.

Secara teori setiap kelompok masyarakat selalu mengalami perubahan karena masyarakat itu tidak stabil melainkan selalu berubah. Begitu pula halnya dengan kelompok masyarakat yang tinggal di dalam hutan yakni Suku Anak Dalam akan mengalami perubahan itu. Namun laju perubahannya agak lambat bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya seperti Orang Terang. Hal ini karena kehidupan sosial Suku Anak Dalam masih tertutup dan terisolir dari kelompok masyarakat lainnya. Faktor yang mempengaruhi timbulnya perubahan pada Suku Anak Dalam antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Perubahan lingkungan fisik alam hutan Jambi.
  2. Kontak budaya dengan Orang Terang.
  3. Kontak budaya dengan orang HPH.
  4. Perubahan fungsi tanah adat.
  5. Program pembangunan.

Perubahan lingkungan fisik alam hutan Jambi yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan HPH telah menyebabkan komunitas adat terpencil (KAT) Suku Anak Dalam menghadapi proses peminggiran etnis secara pelan tapi pasti. Sesungguhnya kehadiran HPH yang menebang kayu secara hukum adat adalah ilegal karena hutan-hutan tersebut adalah hak ulayat masyarakat adat Suku Anak Dalam. Penebangan pohon kayu bernilai ekonomis oleh perusahaan HPH telah menyebabkan Suku Anak Dalam menghadapi 2 kenyataan hidup.

  1. Kehilangan sumber mata    pencaharian     tradisionalnya  berupa musnahnya berbagai jenis spesies hewan burunan, spesies buah-buahan, spesies ubi-ubian, spesies umbut-umbutan, spesies unggas, dan musnahnya spesies ikan sungai.
  2. Kerusakan tatanan nilai budaya karena hilangnya wilayah melangun sebagai tempat mempertahankan tradisi leluhur.

Kehadiran perusahaan HPH juga memberikan dampak perubahan pada Suku Anak Dalam. Di dalam hutan ini orang HPH yakni para pekerja harus bergaul dengan Suku Anak Dalam agar mereka merasa aman di dalam hutan. Interaksi sosial antara orang HPH dengan Suku Anak Dalam telah menimbulkan aneka ragam dampaknya, antara lain sebagai berikut.

  1. Masuknya pendatang baru menguasai lahan luas di dalam tanah adat (ulayat) Suku Anak Dalam.
  2. Tersingkirnya warga Suku Anak Dalam ke luar tanah adatnya.

Walaupun Suku Anak Dalam hidupnya di dalam hutan dan bersifat tertutup namun mereka mempunya saluran budaya untuk melakukan kontak budaya dan interaksi sosial dengan Orang Terang. Melalui peran Jenang atau induk Induk Semanglah berbagai informasi dari dunia luar diterima oleh Suku Anak Dalam. Kepada induk semang inilah mereka menjual hasil hutannya seperti rotan, damar, getah jelutung, getah balam merah, jernang, obat-obatan, dan lain-lain. Dan sebaliknya berawal dari institusi ini pula maka mereka mengenal dan memperoleh barang kebutuhan sehari- hari seperti beras, garam, gula, minyak, rokok, kopi, sabun, ikan asin, kampak, parang, golok, pacul, tombak, pakaian, dan barang- barang kebutuhan lainnya. Berbagai bentuk kegiatan dan program pembangunan pemerintah dengan segala kelebihan dan kelemahannya telah menimbulkan perubahan sosial pada Suku Anak Dalam di Dusun Sungai Senamo Kecik, desa Kutai Bukit Suban, kec. Air Hitam, Sarolangun, Jambi.

Menurut Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, Pemprov Jambi pada tahun 2001, jumlah masyarakat Suku Anak Dalam di Air Hitam mencapai 228 jiwa atau sebanyak 57 KK. Sedangkan di Bukit Duabelas mencapai angka 270 jiwa atau 63 KK. Semantara itu secara keseluruhan jumlah Suku Anak Dalam di Kab. Sarolangun menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sarolangun 2010, laki-laki berjumlah 537 jiwa dan perempuan berjumlah 558 jiwa, total 1.095 jiwa. Sebagian besar dari mereka telah direlokasikan, diberikan rumah dan kehidupan yang layak.

  1. Kehidupan Keagamaan Suku Anak Dalam

Kegiatan keagamaan berasal dari kepercayaan akan adanya kekuatan gaib luar biasa yang menjadi penyebab dari gejala-gejala yang tidak dapat dilakukan manusia biasa. Ada beberapa faktor yang menyebabkan manusia beragama, yaitu: manusia tidak mampu mengatasi bencana alam dengan kemampuannya sendiri, manusia tidak mampu melestarikan sumber daya manusia dan keharmonian alam, dan manusia tidak mampu mengatur tindakannya untuk hidup damai satu sama lainnya.

Menelusuri kehidupan beragama, ada beberapa aspek kehidupan beragama yang harus menjadi perhatian yaitu : keyakinan, hukum dan moral, serta unsur penghayatan ruhiyah. Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Keyakinan, dalam pandangan Taylor dan Frazer, adalah kepercayaan kepada makhluk spiritual berupa roh yang memiliki kekuatan. Alam tempat gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa itu berasal dianggap oleh manusia terdahulu sebagai tempat adanya kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan manusia disebut dengan kekuatan Supernatural. Koentjaraningrat menyatakan ada lima komponen dalam kehidupan beragama yaitu: emosi keagamaan, sistem keyakinan, ritus dan upacara peralatan, ritus upacara, umat beragama.

Beragama sebagai gejala universal masyarakat manusia juga diakui oleh Begrson, seorang pemikir Prancis. Menurut Begrson kita dapat menemukan manusia hidup tanpa sains, seni, dan filsafat, tetapi tidak pernah ada masyarakat tanpa agama. Walaupun Bergson tidak menyebut contoh masyarakat tanpa seni dan filsafat itu, namun ungkapannya ini menekankan universalnya fenomena beragama dalam kehidupan masyarakat manusia. Apapun, kehidupan beragama tidak hanya ada pada masyarakat perkotaan atau masyarakat pedesaan, tetapi kehidupan beragama juga bisa dilihat pada masyarakat suku terasing seperti Suku Anak Dalam (SAD).

Sebagian besar Suku Anak Dalam yang termasuk kategori menetap sudah mengalami perpindahan agama, dari animisme dan dinamisme berpindah memeluk atau meyakini agama Islam, seperti Suku Anak Dalam di desa Nyogan, Markanding, Bunut, Nagosari dan Mestong di kabupaten Muaro Jambi; juga di desa Air Hitam kabupaten Sarolangun; serta di kawasan Jebak, Batu Hampar, Singkawang Baru dan Mersam untuk kabupaten Batang Hari. Perpindahan agama yang telah terjadi ini tidak merangkumi seluruh SAD. bagi SAD dengan tipe nomaden yang terdapat di beberapa daerah di Propinsi Jambi seperti Pauh, Pemenang, Sungai Anyut, Sungai Telisak, Sikampir, Tanah Garo dan lain-lain, mereka masih menganut kepercayaan polytheisme.

  1. Sistem Pendidikan Suku Anak Dalam

Menurut dari hasil penelitian lapangan Penulis Di dusun Singosari, bahwa Suku Anak Dalam memiliki sekolah khusus bagi Orang Rimba. Jadwal ke sekolah mereka berbeda. Mereka masuk ke sekolah pada sore hari. Anak Rimba sangat bersemangat untuk sekolah, tapi tidak bisa lama-lama. Sekolah mood-moodan, kadang mau terkadang juga tidak. Guru tidak bisa memaksa kehendaknya, karena jika dipaksa ia akan marah dan mengancam untuk tidak masuk sekolah. Bagi anak rimba tidak ada tahun ajaran baru, jadi mereka masuk sekolah sesuka hati mereka saja. Anak-anak juga kadang-kadang menitipkan uangnya ke pihak sekolah untuk keperluan sekolah anaknya, dan kadangkala juga diambil lagi untuk keperluan belanja orang tuanya. Watak anak-anak muallaf agak keras, karena sudah terbiasa dengan dunia bebas di rimba. Misalnya seperi Abdullah yang sudah berusia 15 tahun masih duduk di kelas V SD. Tidak bisa dipaksa, karena dia bisa saja sekolah sambil tidur-tiduran di lantai.

Melihat dari keterangan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pendidikan Suku Anak Dalam di Air Hitam sudah mulai berkembang dengan baik. Anak-anak Rimba sudah mengenal pendidikan, bahkan ada yang sudah merasakan belajar di tingkat SMP dan SMA seperti Susi Susanti anak dari Tamenggung Pasiring (alm).

Keberadaan budaya Suku Anak Dalam di Dusun Sungai Senamo Kecik tentunya dapat membangun rasa peduli dan prihatin dari kalangan masyarakat melayu (Orang Terang). Keadaan mereka yang serba kekurangan akan hal pendidikan. Melihat dari pola pikir mereka yang masih primitif, karena kurangnya sosialisasi dari lingkungan luar.

Dilihat dari konteks kebudayaan, tidak semua budaya Suku Anak Dalam bertentangan dengan nilai-nilai Pendidikan Islam, karena setiap kegiatan budaya mereka, selalu terkait dengan lingkungan alam. Contohnya antara lain budaya besale dan hompongan. Budaya besale yaitu pemanggilan dewa untuk menghadiri pernikahan, menyembuhkan penyakit, dan untuk menyelesaikan problem lainnya. Dalam ritual pemanggilan dewa, mereka menggunakan bunga rimba sebagai alat untuk mengundang kehadiran dewa. Selanjutnya adalah budaya hompongan. Hompongan adalah pagar atau tanda tanah yang ada di hutan bahwa tanah tersebut adalah milik mereka. Tujuan dibuatnya hompongan selain untuk menanam pohon karet dan buah-buahan, juga untuk menjaga alam agar tidak terjadi bencana. Oleh karena itu mereka sangat marah dan sangat menentang jika hutan dirusak, dan dibakar oleh masyarakat luar.

Namun jika dilihat dari konteks agama, budaya Suku Anak Dalam memang sedikit bertentangan dengan aqidah Islam. Seperti kepercayaan mereka terhadap (bahola) dewa sebagai penolong. Walaupun mereka menganggap bahwa dewa bukanlah Tuhan atau sesembahan mereka. Menurut Suku Anak Dalam Tuhan adalah Allah SWT. Hanya cara penyembahan saja yang berbeda. Karena mereka tidak paham dengan Ilmu Syariat Islam.

  1. Mata Pencaharian Suku Anak Dalam

Sebelum adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit mata pencaharian Suku Anak Dalam berburu, meramu dan mengumpulkan hasil hutan berupa rotan dan sebagainya, yang bisa dimanfaatkan oleh mereka dan hasilnya mereka pergunakan sendiri tanpa dikomersialkan. Setelah adanya transmigrasi dan pembukaan hutan untuk lahan pertanian seperti perkebunan kelapa sawit, karet, hasil buruan dan rotan tidak lagi mereka pergunakan untuk keperluan pribadi, namun mereka jual ke pengepul. Transmigrasi terjadi sejak masa kolonial Belanda, yaitu pada tahun 1905 dengan istilah kolonisasi. Daerah tujuan pertama kolonisasi ini adalah di Gedong Tataan di Keresidenan Lampung.

Gagasan ini diambil sebagai satu solusi untuk mengurangi kelebihan penduduk agar dapat mengatasi penurunan kemakmuran di pulau Jawa serta mempersiapkan penyediaan buruh murah pada perusahaan-perusahaan perkebunan dan industri kapitalis yang akan dibangun di luar Pulau Jawa melalui pengerahan tenaga kerja secara kasar. Proses perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke berbagai daerah terus berlangsung hingga pada masa pemerintahan Orde Baru, sehingga transmigrasi menjadi contoh khas dan strategis dalam pengembangan wilayah “original” Indonesia untuk menjadi sumber pembelajaran berharga dalam pengembangan potensi wilayah.

Dengan masuknya transmigran dari pulau Jawa ke daerah Bukit Suban, mereka mulai menggarap hutan lepas menjadi lahan pertanian. Sebagian dari para transmigran ini mengembangkan pertanian karet dan sawit. Tak ketinggalan kelompok yang sudah lebih dahulu berdiam di daerah Bukit Suban yaitu Suku Anak Dalam telah lebih awal membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Namun pada awalnya Suku Anak Dalam memanfaatkan lahan hanya untuk menanam jenis sayur-sayuran dan umbi-umbian, namun setelah adanya masyarakat transmigran yang menanam karet dan sawit, membuat kelompok Suku Anak Dalam beralih ke perkebunan sawit dan karet, yang dianggap lebih menghidupkan mereka. Dengan sistem perkebunan kelapa sawit dan karet membuat mereka menjadi peladang tetap. sehingga mereka tidak lagi berpindah-pindah dalam sistem berladang.

Seiring berjalannya waktu luas hutan di Kecamatan Air Hitam semakin menipis disebabkan banyaknya masyarakat yang membuka lahan. Sehingga hal ini membuat semakin sulitnya Suku Anak Dalam untuk mencari sumber makanan di dalam hutan. Dengan alasan tersebut lah Suku Anak Dalam mulai membuka lahan berhektar-hektar untuk ditanami kelapa sawit dan karet untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dahulu sebelum adanya transmigrasi, Suku Anak Dalam membuka lahan untuk berladang hanya sekitar sepuluh meter, tetapi setelah adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit mereka mulai membuka hutan berhektar hektar untuk ditanami karet dan kelapa sawit. Dengan adanya perkebunan kelapa sawit membuat nilai lahan menjadi tinggi, sehingga banyak Suku Anak Dalam yang membuka lahan hutan dan dijual kepada orang luar. Tanpa disadari dengan adanya perkebunan kelapa sawit yang membuat nilai lahan tinggi telah mempengaruhi Suku Anak Dalam untuk membuka lahan hutan dan menambah laju konversi hutan.

Penggunaan teknologi baru dalam sistem berladang juga sangat mempengaruhi dalam pola pembukaan lahan yang dilakukan Suku Anak Dalam. Seperti yang telah disebutkan, dahulu Suku Anak Dalam hanya menggunakan beliung untuk membuka lahan, dan lahan yang dibuka pun tidak terlalu luas. Tetapi setelah menggunakan alat chinsaw mereka dapat membuka lahan sampai berhektar-hektar luasnya. Tidak hanya itu saja, penggunaan uang dan sifat konsumtif yang menyebabkan mereka ingin cepat dan menghasilkan uang banyak inilah yang menyebabkan maraknya pembukaan lahan hutan. Lahan yang sudah dibuka tidak diolah sendiri oleh mereka tetapi mereka jual kepada orang luar untuk mendapatkan uang banyak untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

E. Hubungan Suku Anak Dalam dengan Masyarakat Jambi

Suku Anak Dalam atau Orang Rimba yang berada di Bukit Suban merupakan Suku terasing dan minoritas. Kebiasaan mereka yang senang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah untuk merelokasi mereka ke tempat yang lebih layak. Beberapa waktu lalu tepatnya pada hari Jumat 30 Oktober 2015 Presiden Joko Widodo berkunjung ke desa Bukit Suban, Air Hitam, Sarolangun, Jambi. Kunjungan presiden tersebut bertujuan untuk meninjau keberadaan Suku Anak Dalam di desa Bukit Suban. Presiden dan Ibu negara beserta rombongan berangkat dari Bandara udara Sultan Thaha Syaifudddin Jambi dengan menumpang helikopter Superpuma didampingi 2 helikopter Bell dan tiba di lapangan di desa tersebut sekitar pukul 15.30 WIB. Dalam pertemuan tersebut presiden dan beberapa perwakilan dari Suku Anak Dalam memperbincangkan beberapa permasalahan yang mereka hadapi, antara lain masalah kesenjangan ekonomi, tempat tinggal, dan masalah sosial. Pada kesempatan itu presiden bertanya kepada mereka apakah ingin dibuatkan rumah, mereka menjawab “iya”. Dan Orang Rimba tersebut menambahkan, “jika nanti rumah sudah terbangun mereka juga menginginkan lahan, baik itu karet ataupun sawit yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka. Kemudian mereka meminta agar rumah mereka tidak terlalu dekat dengan perkampungan warga (orang terang). Sebelum kunjungan presiden ke desa Bukit Suban, sebenarnya mereka telah diberikan beberapa unit rumah, namun sebagian dari mereka menolak karena kebiasaan mereka yang suka berpindah-pindah. Dengan disediakannya tempat tinggal membuat ruang gerak mereka menjadi tidak bebas.

Pada bulan Agustus 2016 yang lalu, terjadi kabut asap di sebagian besar wilayah Sumatra. Ketika provinsi Jambi diterpa kabut asap, banyak dari masyarakat yang terjangkit penyakit ISPA. Bahkan pembakaran hutan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menyebabkan Orang Rimba banyak yang mengungsi dan pindah ke daerah lain. Bagi mereka yang masih bertahan di sana, banyak yang terkena penyakit ISPA. Mereka mengeluh dengan kejadian tersebut, mengingat kebutuhan dan keperluan mereka banyak terdapat di dalam hutan. Namun peran pemerintah dengan merealisasikan Undang- Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Karhutla yang tercantum pada pasal 50 ayat 3, pasal 78 ayat 3-4, dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 69 ayat 1 dan pasal 108 telah membantu Suku Anak Dalam untuk mencapai kehidupan yang lebih sehat dan nyaman.

Sebenarnya kebijakan pemerintah pusat telah mengatur tentang Suku Anak Dalam. Namun pemerintah daerah belum sepenuhnya menjalankan kebijakan tersebut. Masalah yang paling kompleks yang dihadapi Suku Anak Dalam adalah masalah ekonomi, hubungan sosial, pendidikan, dan keagamaan. Keempat permasalahan ini telah lama dihadapi oleh Suku Anak Dalam yang turun temurun sampai dengan saat ini.

  1. Masalah Ekonomi

Penetapan hutan bebas yang dijadikan pemerintah sebagai Hutan Lindung Taman Nasional Bukit Duabelas dapat menyulitkan Suku Anak Dalam untuk menggarap hasil hutan menjadi lahan produktif. Hal ini disampaikan oleh Idris yang dikutip dari Merdeka.com, ia menyampaikan bahwa permasalahan Suku Anak Dalam karena tidak memiliki lahan atau ruang untuk bercocok tanam, karena lahan mereka sudah dijadikan Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi. Karena menyandang status taman nasional, sehingga pemanfaatan lahan ini dibatasi.

Pemanfaatan hutan yang sebelumnya mereka jadikan ladang untuk menghasilkan padi, menanam karet, dan menanam singkong, telah dibatasi oleh pemerintah. Padahal hasil tersebut dapat membuka ruang kesejahteraan bagi mereka untuk menafkahi keluarga, namun dengan adanya peraturan mengenai pelarangan terhadap pemberdayaan hutan lindung, mereka menjadi kekurangan mata pencaharian. Efek yang ditimbulkan dari penghasilan mereka yang cenderung menipis, memberikan inisiatif kepada mereka untuk melakukan tindakan kriminal. Seperti yang mereka lakukan pada lahan sawit yang dimiliki oleh PT. J.A.W yang sekarang berganti nama menjadi PT. Sinar Mas Di desa Pematang Kabau.38 Untuk menambah penghasilan, Setiap sore harinya mereka pulang pergi dari lahan sawit PT. Sinar Mas tersebut untuk mencuri buah hasil panen sawit dan dijual ke penadah-penadah gelap. Hal ini berlangsung hingga saat ini, bahkan tidak hanya sawit milik PT saja, namun sawit milik warga pemukiman setempatpun mereka curi hasil panennya. Sebelumnya Kapolsek Air Hitam telah menyelidiki kasus tersebut, namun belum ada tindak lanjut. Tentu tindakan kriminal seperti ini sangat memprihatinkan bagi warga negara Indonesia yang kekurangan sumber daya alam.

  1. Hubungan Sosial

Selanjutnya masalah sosial, juga menjadi masalah yang sangat penting bagi Suku Anak Dalam, karena kehidupan mereka yang masih mempertahankan kebudayaan nenek moyang mereka dengan menetap di hutan, menjadi problem tersendiri bagi mereka untuk berinteraksi secara baik dengan masyarakat perkampungan di daerah tersebut. Keberadaan mereka yang dianggap asing menjadi penyebab jauhnya mereka dari perhatian masyarakat. Padahal jika ditelusuri asal muasal munculnya Suku Anak Dalam adalah satu rumpun masyarakat Melayu. Hanya karena mereka yang terbiasa hidup di hutan sehingga masyarakat perkampungan menganggap mereka sebagai Suku terasing.

Bagi Suku anak Dalam yang sudah menjadi Terang (sudah bergabung menjadi masyarakat kampung), mereka hidup layaknya masyarakat pada umumnya, berpangku tangan dengan warga perkampungan setempat. Bahkan ada dari mereka yang telah menikah dengan warga perkampungan tersebut. Namun bagi mereka yang masih berada di pedalaman, tetap memberikan jarak hubungan sosial terhadap warga kampung tersebut. Pendekatan sosial yang dilakukan oleh pemuka adat Melayu terhadap Suku Anak Dalam, belum memberikan perubahan sikap terhadap Suku Anak Dalam. Mereka masih dimarginalkan oleh sebagian kelompok masyarakat. Walaupun ada di antara warga setempat yang berhubungan baik dengan Suku Anak Dalam. Seperti hubungan kekerabatan antara Haramaini (warga perkampungan) dengan Mapo (Suku Anak Dalam). Haramaini sering dibantu oleh ayah angkatnya Mapo ketika mereka mencari hewan buruan di hutan, seperti rusa, kancil, dan hewan lainnya. bahkan dalam beberapa kesempatan Mapo sering berkunjung ke rumah Haramaini untuk memberikan beberapa sayuran, seperti cabe, kacang panjang, dan singkong dari hasil panen tanamannya di hutan. Seharusnya hubungan baik seperti ini terus terjalin antara masyarakat umum dengan Suku Anak Dalam lainnya. Tanpa memandang status sosial mereka yang berbeda.

  1. Masalah Pendidikan

Masalah selanjutnya yang sangat penting untuk diperhatikan bagi Suku Anak Dalam adalah masalah pendidikan. Masalah pendidikan merupakan masalah turunan dari nenek moyang Suku Anak Dalam yang hingga saat ini belum bisa dipecahkan. Beberapa sekolahan telah berdiri di wilayah tersebut, namun hanya sedikit dari mereka yang tertarik untuk sekolah. sekitar 15 tahun yang lalu ada seorang wanita Suku Anak Dalam yang mengenyam pendidikan hingga selesai di SLTP 13 Pauh. Namun setelah menyelesaikan studinya di bangku SLTP, wanita tersebut tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Alasan utamanya adalah ekonomi yang kurang mendukung. Wanita tersebut bernama Susi Susanti, anak dari Pasiring. Pada waktu itu mereka telah memeluk agama Islam yang sebelumnya memeluk agama animisme yang merupakan aliran kepercayaan yang dianut oleh suku anak Dalam.

Anak-anak lainnya enggan mengikuti jejak Susi untuk meraih ilmu di jenjang pendidikan tersebut. Sehingga banyak dari mereka ketika sudah menginjak usia dewasa, sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan, karena tidak memiliki ijazah. Ada salah satu sekolah yang dibangun khusus untuk suku Anak Dalam. Sekolah tersebut berada di dusun Singasari desa Pematang Kabau. Keberadaan sekolah tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap kesadaran mereka untuk mencari ilmu. Selain tidak adanya ketertarikan mereka terhadap dunia pendidikan, orang tua mereka juga tidak memberikan dorongan dan semangat kepada anak-anaknya untuk mencari ilmu. Sehingga anak keturunan mereka tidak mampu mengeksplor kemampuan daya pikir mereka untuk bersaing dengan masyarakat setempat. padahal jarak rumah mereka ke sekolah tidaklah jauh. Aturan-aturan sekolah tidak mereka patuhi, dan mereka pergi ke sekolah hanya ketika mereka mau saja. Hal ini seharusnya menjadi perhatian yang mendalam bagi para pendidik dan pemerintah untuk terus memompa dan memotivasi mereka agar menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang berpendidikan. Mungkin dengan cara memberikan motivasi tambahan berupa bantuan finansial terhadap mereka, sehingga mereka menjadi tertarik untuk mencari ilmu dibangku sekolah.

  1. Masalah Agama

Masalah terakhir adalah masalah agama. Bagi umat Islam, beragama merupakan satu keniscayaan. Karena dengan agama, seseorang akan dikontrol dengan hukum-hukum yang mengikat pada agama tersebut. Dan agama mampu membimbing seseorang untuk menjadi manusia yang beradab. Begitu halnya dengan Suku Anak Dalam yang berada di Bukit Suban. Sebagian dari mereka telah memeluk agama Islam, namun ada juga dari mereka yang memeluk agama Kristen. Dalam satu kesempatan penulis melihat beberapa dari Orang Rimba ini mengikuti ritual tiga bulanan di rumah orang batak Kristen di Bukit Suban. Mereka dengan bangga menenggak tuak dan memakan babi. Seharusnya kondisi seperti ini tidak patut terjadi, para misionaris mampu mengajak mereka untuk memeluk agama Kristen. Peran dari pemuka agama Islam tentunya harus lebih responsif terhadap masalah seperti ini. Agar mereka yang telah memeluk agama Islam, tidak terjerumus kepada hal-hal yang dilarang oleh agama.

Pada tahun lalu tepatnya pada tanggal 11 Desember 2017, telah diadakan proses Islamisasi sebelas orang dari Suku Anak Dalam yang dihadiri oleh wakil bupati Sarolangun Bapak H. Hilalatil Badri yang sekaligus menjadi saksi prosesi pengucapan syahadatain ke sebelas Suku Anak Dalam tersebut, dan setelahnya akan dilangsungkan juga sunatan masal. Setelah dilaksanakannya prosesi syahadatain, mereka diberikan nama-nama Islam untuk menggantikan nama-nama mereka sebelumnya.

Demikian yang dijelaskan oleh camat Air Hitam Suryadi; “Berdasarkan data yang diperoleh dari Kepala Desa Bukit Suban, ada 11 orang suku anak dalam (SAD) yang masuk Islam atau Muallaf, terdiri dari delapan orang laki-laki dan tiga perempuan serta 23 anak-anak Suku Anak Dalam yang mengikuti program sunat massal. “Selain melakukan acara mengislamkan anak-anak SAD tersebut, kita juga melaksanakan sunatan massal,” katanya. Dalam acara tersebut setelah mengucapkan dua kalimat syahadat yang di pandu oleh Kyai Haji Hambali dan mereka resmi menganut agama Islam kemudian ke-11 SAD tersebut mengganti nama mereka masing-masing. Adapun mereka yang berganti nama yaitu Budak Itam menjadi Muslim, Sanggul menjadi Syarifah, Bebanu jadi Azizah, Ngabun jadi Muhibbun, Ngading jadi Ma’aruf, Niram jadi Muslam, Niat Salam Andi Nahan menjadi Farhan, Bkarom jadi Muhtarom, Btuah menjadi Amrullah”.

Dari proses Islamisasi tersebut, perlu adanya kerja sama antara pemuka agama dan pemerintah daerah untuk terus menggalakkan misi mereka terhadap Suku Anak Dalam untuk memeluk agama Islam. Dan memberikan pengawasan melalui pengajian, dan pembinaan keagamaan bagi mereka yang sudah memeluk agama Islam, serta memberikan pendidikan berbasis Islam agar mereka tidak terjerumus ke dalam kemurtadan kembali.

F. Respons Masyarakat Jambi atas Keberadaan Suku Anak Dalam

Jika melihat dari asal usul lahirnya Suku Anak Dalam, mereka merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari rumpun suku Melayu. Hutan yang menjadi tempat mereka untuk berdiam diri ketika penjajahan Belanda, memaksa mereka untuk tetap berada di sana. Inilah awal mula perkembangan kelompok Suku Anak Dalam yang awalnya hanya berjumlah empat orang, kemudian menjadi Suku yang berkembang biak hingga mencapai ribuan orang. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, mereka secara berangsur-angsur mulai keluar dari hutan dan membuat permukiman di tepi jalan raya di daerah Bukit Suban. Bahkan hingga saat ini masih banyak dari mereka membuat “Sodong” (tenda dengan atap dan tanpa dinding di sekelilingnya). Namun beberapa dari mereka telah diberikan rumah oleh pemerintah.

Bagi Suku Anak Dalam yang sudah menjadi bagian dari penduduk setempat, masyarakat menyambut baik dan bergaul selayaknya penduduk pada umumnya. Namun bagi Suku Anak Dalam yang masih berada di hutan dan masih mendirikan tenda-tenda di tepi jalan raya, masyarakat umum enggan bersosialisasi dengan mereka. Karena mereka dianggap kumuh, dan tidak bersahabat dengan kelompok selain dari Suku Anak Dalam. Ketika penduduk perkampungan melintasi jalan yang dihuni oleh Suku Anak Dalam, mereka sering memberhentikan kendaraan masyarakat, tujuannya untuk meminta uang, rokok, makanan, dan lainnya. jika tidak diberikan, sebagian dari anak-anak mereka melempari penduduk tersebut dengan batu, kayu, dan apa saja yang ada di dekatnya. Hal ini terkadang memicu konflik antara Suku Anak Dalam dan warga setempat. Sehingga menyebabkan hubungan antar kedua suku ini menjadi lebih buruk.

Berbicara mengenai konflik antar kedua belah pihak, hal tersebut sudah terjadi sejak tahun 1999, hingga sampai dengan saat ini telah terjadi konflik sebanyak tujuh kali. Berdasarkan catatan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, konflik yang terjadi antara warga Suku Anak Dalam (SAD) dan warga desa di kawasan Provinsi Jambi sudah memakan korban sedikitnya 14 orang meninggal sejak 1999. Demikian ungkapan Warsi kepada media Tempo; “Berdasarkan catatan kami sejak tahun 1999, sudah tujuh kali terjadi bentrok antara warga SAD atau Orang Rimbah dan warga desa. Sebanyak 14 orang harus meregang nyawa, 13 orang yang meninggal itu di antaranya dari pihak Orang Rimbah dan satu orang warga Desa Kungkai, Kecamatan Bangko, Kabupaten Merangin.

Kejadian yang paling menghebohkan adalah pada tahun 2000. Saat itu terjadi perampokan dan pemerkosaan terhadap Orang Rimbah yang bermukim di kawasan Nalo Tantan. Dalam kasus tersebut, tujuh Orang Rimba meninggal. Sedangkan tiga pelaku sudah divonis hukuman mati dan tinggal menunggu eksekusi. “Baru satu kasus inilah yang diselesaikan secara hukum pidana, selebihnya melalui hukum adat,” katanya.

Dalam kasus yang lain juga terjadi konflik antara kedua belah pihak. Konflik ini dipicu karena adanya perebutan lahan makam Suku Anak Dalam. Dua orang warga Suku Anak Dalam dibacok oleh warga Kabupaten Tebo Provinsi Jambi pada 7 Oktober 2017 lalu. Sebelum terjadinya konflik, warga desa tersebut memaksa untuk membuka tanah untuk dijadikan lahan pertanian. Namun warga Suku Anak Dalam menolak karena di tanah tersebut ada pemakaman warga Suku Anak Dalam.

Beberapa kejadian di atas menjadi bahan koreksi bagaimana hubungan sosial yang kurang baik antara Suku Anak Dalam dan masyarakat di Jambi. Terlihat warga Suku Anak Dalam mendapatkan penindasan dari warga desa yang merupakan penduduk mayoritas.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Suku Anak Dalam sangat berperan besar dalam menjaga hutan. Hutan merupakan kebutuhan terbesar bagi Suku Anak Dalam, segala yang mereka perlukan terkait dengan kebudayaannya, hanya dapat diperoleh melalui hutan. Tentu hal ini menjadi alasan yang sangat kuat bagi mereka untuk selalu mempertahankan hutan dari kerusakan. Banyak cara bagi suku Anak Dalam untuk menjaga lingkungan hutan dari kerusakan, misal dengan melestarikannya. Salah satunya dengan budaya hompongan. Hompongan merupakan satu budaya pembudidayaan hutan belantara menjadi lahan pertanian. Dengan menanam karet, sayur-sayuran, umbi-umbian, dan berbagai macam jenis tanaman dan tumbuh-tumbuhan.

Cara lain yang mereka lakukan dengan tradisi tanah peranakan. Hal ini dianggap efektif untuk melindungi hutan, karena bagi kepercayaan mereka, tanah peranakan tidak boleh dirusak dan diganggu, karena tanah tersebut dianggap tanah keramat. Apa yang mereka lakukan merupakan bagian dari aksi penyelamatan hutan dari pembakaran dan penebangan liar. Jika kegiatan tersebut terus dilestarikan, mungkin tidak akan terjadi kebulan asap seperti yang terjadi beberapa tahun yang lalu, dan bisa menyelamatkan bumi dari tanah longsor, banjir bandang, polusi dan lain sebagainya.

B. Saran

Harus diakui bahwa sebagian besar kebudayaan yang mereka lestarikan merupakan satu keyakinan yang menyimpang dari akidah yang dianut umat Islam. Bagi kita sebagai pendidik agama Islam, seyogianyalah untuk memberikan petunjuk atau arahan melalui penyampaian ilmu keagamaan kepada Suku Anak Dalam, sebelum agama lain mempengaruhi ideologi mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sarolangun. 2010. Profil Suku Anak Dalam Hasil Sensus Penduduk 2010. Jambi: Pemerintah Kabupaten Sarolangun.

Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisiu.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi. Jakarta : Balai Pustaka.

Geertz, Hidred. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan FIS-UI.

Giyarto. 2008. Selayang Pandang Jambi. Klaten: Intan Pariwara.

Lembaga Adat Provinsi Jambi. 2001. Pokok-pokok Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah: Sejarah Adat Jambi Jilid I. Jambi: Lembaga Adat Provinsi Jambi.

Manurung, Butet. 2007. Sokola Rimba, Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba. Yogyakarta: INSIST.

Download Contoh Makalah Suku Anak Dalam Sumatra.docx