KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Perjanjian Linggarjati ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah Sejarah Indonesia yang berjudul Makalah Perjanjian Linggarjati ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Perjanjian Linggarjati ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Perjanjian Linggarjati ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, November 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda dengan jalan diplomatik. Perjanjian itu melibatkan pihak Indonesia dan Belanda, serta Inggris sebagai penengah. Tokoh-tokoh dalam perundingan itu adalah Letnan Jenderal Sir Philip Christison dari Inggris, seorang diplomat senior serta mantan duta besar Inggris di Uni Soviet, yang kemudian diangkat sebagai duta istimewa Inggris untuk Indonesia. Wakil dari Belanda adalah Dr. H.J. Van Mook. Indonesia diwakili Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Sjahrir. Sebelum perundingan Linggarjati, sudah dilakukan beberapa kali perundingan baik di Jakarta maupun di Belanda. Namun, usaha-usaha untuk mencapai kesepakatan belum memenuhi harapan baik bagi pihak Indonesia maupun bagi pihak Belanda. Usaha itu mengalami kegagalan karena masing-masing pihak mempunyai pendapat yang berbeda.
Van Mook adalah orang Belanda yang lahir di Indonesia, yaitu di Semarang. Ia juga seorang penganjur persekutuan sejak tahun 1930-an. Ia termasuk kelompok pendorong gerakan orang Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda. Mereka bertujuan untuk menjadikan Hindia Belanda sebagai tanah air mereka dalam bentuk persemakmuran. Atas pandangan itu suatu saat nanti Indonesia menjadi bagiannya sesuai dengan makna politik dan sosialnya sendiri. Atas dasar pemikirannya itu Van Mook berkeinginan keras untuk kembali ke Indonesia. Sebagai seorang Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Van Mook lebih siap menghadapi perubahan situasi daripada pemerintahan yang ada di Negeri Belanda. Namun, ia mendapatkan situasi yang jauh dari perkiraannya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan segala konsekuensinya itu tidak mungkin untuk ditarik kembali. Belanda hanya dapat menolak dan tidak mengakui negeri jajahannya sebagai negara yang berdaulat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Kewirausahaan Perjanjian Linggarjati ini adalah sebagai berikut:
- Bagaimana proses perundingan awal di Jakarta?
- Bagaimana proses perundingan Hooge Veluwe?
- Bagaimana proses pelaksanaan Perundingan Linggarjati?
- Bagaimana proses Konferensi Malino?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Perjanjian Linggarjati ini adalah sebagai berikut:
- Untuk memahami proses perundingan awal di Jakarta.
- Untuk memahami proses perundingan Hooge Veluwe.
- Untuk memahami proses pelaksanaan Perundingan Linggarjati.
- Untuk memahami proses Konferensi Malino.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perundingan Awal di Jakarta
Pada tanggal I Oktober 1945, telah diadakan perundingan antara Christison (Inggris) dengan pihak Republik Indonesia. Dalam perundingan ini Christison mengakui secara de facto terhadap Republik Indonesia. Hal ini pula yang memperlancar gerak masuk Sekutu ke wilayah Indonesia. Kemudian, pihak pemerintah RI pada tanggal 1 November 1945 mengeluarkan maklumat politik. Isinya bahwa pemerintah RI menginginkan pengakuan terhadap negara dan pemerintah RI, baik oleh Inggris maupun Belanda sebagaimana yang dibuat sebelum PD II. Pemerintah RI juga berjanji akan mengembalikan semua milik asing atau memberi ganti rugi atas milik yang telah dikuasai oleh pemerintah RI.
Inggris yang ingin melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugas-tugasnya di Indonesia, mendorong agar segera diadakan perundingan antara Indonesia dan Belanda. Oleh karena itu, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Di bawah pengawasan dan perantaraan Clark Kerr, pada tanggal 10 Februari 1946 diadakan perundingan Indonesia dengan Belanda di Jakarta. Dalam perundingan ini Van Mook selaku wakil dari Belanda mengajukan usul-usul antara lain sebagai berikut:
- Indonesia akan dijadikan negara persemakmuran berbentuk federasi, memiliki pemerintahan sendiri tetapi di dalam lingkungan Kerajaan Nederland (Belanda);
- masalah dalam negeri di urus oleh Indonesia, sedangkan urusan luar negeri ditangani oleh pemerintah Belanda;
- sebelum dibentuk persemakmuran, akan dibentuk pemerintahan peralihan selama sepuluh tahun; dan
- Indonesia akan dimasukkan sebagai anggota PBB.
Pihak Indonesia belum menanggapi dan mengajukan usul-usul balasannya. Kebetulan situasi Kabinet Syahrir mengalami krisis, Persatuan Perjuangan (PP) pimpinan Tan Malaka melakukan oposisi. PP mendesak pada pemerintahan bahwa perundingan hanya dapat dilaksanakan atas dasar pengakuan seratus persen terhadap RI. Ternyata mayoritas suara anggota KNIP menentang kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Syahrir. Oleh karena itu, Kabinet Syahrir jatuh. Presiden Sukarno kemudian menunjuknya kembali sebagai Perdana Menteri. Kabinet Syahrir II terbentuk pada tanggal 13 Maret 1946. Kabinet Syahrir II mengajukan usul balasan dari usul-usul Van Mook. Usul-usul Kabinet Syahrir II antara lain sebagai berikut:
- RI harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah Hindia Belanda;
- Federasi Indonesia Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu; Mengenai urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda;
- Tentara Belanda segera ditarik kembali dari republik;
- Pemerintah Belanda harus membantu pemerintah Indonesia untuk menjadi anggota PBB;
- Selama perundingan sedang terjadi, semua aksi militer harus dihentikan. Usulan Syahrir tersebut ternyata ditolak oleh Van Mook.
Sebagai jalan keluarnya Van Mook mengajukan usul tentang pengakuan Republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam upaya pembentukan negara federal yang bebas dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946, Sutan Syahrir memberikan jawaban disertai konsep persetujuan yang isi pokoknya antara lain sebagai berikut:
- Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa dan Sumatra;
- Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk RIS; dan
- RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, dan Curacao, menjadi peserta dalam ikatan kenegaraan Belanda.
Usulan tersebut ternyata sudah saling mendekati kompromi. Oleh karena itu, usaha perundingan perlu ditingkatkan.
B. Perundingan Hooge Veluwe
Perundingan dilanjutkan di negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe bulan April 1946. Pokok pembicaraan dalam perundingan itu adalah memutus pembicaraan yang dilakukan di Jakarta oleh Van Mook dan Syahrir. Sebagai penengah dalam perundingan, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Pada kesempatan itu Syahrir mengirim tiga orang delegasi dari Jakarta, yaitu Mr. W. Suwandi, dr. Sudarsono, dan A.K. Pringgodigdo. Mereka berangkat bersama Kerr pada 4 April 1946. Dari Belanda hadir lima orang yaitu Van Mook, J.H. van Royen. J.H. Logeman, Willem Drees, dan Dr. Schermerhorn. Perundingan tersebut untuk menyelesaikan perundingan yang tidak tuntas saat di Jakarta. Perundingan mengalami deadlock sejak hari pertama, karena masing-masing pihak sudah mempunyai harapan yang berbeda. Delegasi Indonesia berharap ada langkah nyata dalam upaya pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Sementara pihak Belanda menganggap pertemuan di Hooge Veluwe itu hanya untuk sekedar pendahuluan saja.
Pada akhir pertemuan dihasilkan, draf Jakarta yang sudah disiapkan. Sebagian dapat diterima dan sebagian lagi tidak dapat diterima. Usulan yang diterima antara lain adalah pengakuan kekuasaan RI atas Jawa, sementara Sumatra tidak diakui. Dari draf Jakarta, tidak ada satu pun yang disetuju secara resmi, sehingga tidak dilakukan penandatanganan. Alasan utama Belanda adalah Belanda tidak siap melakukan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menolak bentuk perundingan di Hooge Veluwe sebagai perjanjian internasional dua negara. Bagi Indonesia, menerima delegasi Republik Indonesia sebagai mitra sejajar berarti menganggap negeri bekas jajahannya sebagai mitra sejajar yang mempunyai kedudukan yang sama di dunia internasional. Sementara itu, Belanda masih belum mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Di sisi lain, kondisi Belanda yang saat itu sedang mempersiapkan pemilihan umum pertama pascaperang tidak siap untuk mengambil keputusan yang mengikat masalah Indonesia, karena masalah Indonesia tergantung pada peta politik yang ada di Belanda. Satu di antara partai politik yang menentang keras kebijakan perundingan adalah Partai Katolik, seperti halnya dengan kelompok PP di Indonesia. Pada awal dimulainya perundingan Hooge Valuwe, Romme pimpinan fraksi Partai Katholik di parlemen Belanda menulis di tajuk Harian Volkskrant dengan nada keras anti negosiasi yang berjudul De week der Schande (Minggu Yang Penuh Aib).
Kegagalan perundingan Hooge Veluwe bagi kedua negara membawanya untuk kembali mengadakan perundingan. Bagi Indonesia perundingan Hooge Veluwe memperkuat posisi Indonesia di depan Belanda. Perundingan itu juga menjadikan masalah Indonesia menjadi perhatian dunia internasional. Perundingan itu pula yang mengantarkan pada diplomasi internasional dalam Perjanjian Linggarjati pada kemudian hari.
C. Pelaksanaan Perundingan Linggarjati
Kegagalan dalam perundingan Hooge Veluwe, pada April 1946, menjadikan pemerintah Indonesia untuk beralih pada tindakan militer. Pemerintah Indonesia berpendapat perlu melakukan serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang berada di Jawa dan Sumatra. Namun gencatan senjata yang dilakukan dengan cara-cara lama dan gerilya tidak membawa perubahan yang berarti. Resiko yang dihadapi pemerintah semakin tinggi dengan banyaknya korban yang berjatuhan. Untuk mencegah bertambahnya korban pada bulan Agustus hingga September 1946 direncanakan untuk menyusun konsep perang secara defensif. Bagi Sukarno, Hatta, dan Syahrir perlawanan dengan strategi perang defensif itu lebih beresiko dibandingkan dengan cara-cara lama, karena akan memakan korban lebih banyak lagi. Menurut mereka pengakuan kedaulatan Republik Indonesia lebih baik dilakukan dengan jalan diplomasi.
Pada awal November 1946, perundingan diadakan di Indonesia, bertempat di Linggarjati. Pelaksanaan sidang-sidangnya berlangsung pada tanggal 11-15 November 1946. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir, anggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Sementara pihak Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn dengan beberapa anggota, yakni Van Mook, F. de Boor, dan van Pool. Sebagai penengah dan pemimpin sidang adalah Lord Killearn, juga ada saksi-saksi yakni Amir Syarifudin, dr. Leimena, dr. Sudarsono, dan Ali Budiarjo. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta juga hadir di dalam perundingan Linggarjati itu. Dalam perundingan itu dihasilkan kesepakatan yang terdiri atas 17 pasal. Isi pokok Perundingan Linggarjati antara lain sebagai berikut:
- Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan RI atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatra. Daerah-daerah yang diduduki Sekutu atau Belanda secara berangsur-angsur akan dikembalikan kepada RI;
- Akan dibentuk Negara Indonesia Serikat (NIS) yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) sebagai negara berdaulat;
- Pemerintah Belanda dan RI akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh raja Belanda;
- Pembentukan NIS dan Uni Indonesia- Belanda diusahakan sudah selesai sebelum 1 Januari 1949;
- Pemerintah RI mengakui dan akan memulihkan serta melindungi hak milik asing;
- Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk mengadakan pengurangan jumlah tentara; dan
- Bila terjadi perselisihan dalam melaksanakan perundingan ini, akan menyerahkan masalahnya kepada Komisi Arbitrase.
Naskah persetujuan kemudian diparaf oleh kedua delegasi di Istana Rijswijk Jakarta (sekarang Istana Merdeka). Isi perundingan itu harus disyahkan dahulu oleh parlemen masing-masing (Indonesia oleh KNIP). Untuk meratifikasi dan mensyahkan isi Perundingan Linggarjati, kedua parlemen masih enggan dan belum puas. Pada bulan Desember 1946, Presiden mengeluarkan Peraturan No. 6 tentang penambahan anggota KNIP. Hal ini dimaksudkan untuk memperbesar suara yang pro Perjanjian Linggarjati dalam KNIP. Tanggal 28 Februari 1947 Presiden melantik 232 anggota baru KNIP. Akhirnya isi Perundingan Linggarjati disahkan oleh KNIP pada tanggal 25 Maret 1947, yang lebih dikenal sebagai tanggal Persetujuan Linggarjati.
Setelah Persetujuan Linggarjati disahkan, beberapa negara telah memberikan pengakuan terhadap kekuasaan RI. Misalnya dari Inggris, Amerika Serikat, Mesir, Afganistan, Birma (Myanmar), Arab Saudi, India, dan Pakistan. Perjanjian Linggarjati itu mengandung prinsip-prinsip pokok yang harus disetujui oleh kedua belah pihak melalui serangkaian perundingan lanjutan. Ketentuan dalam pasal (2) misalnya, menentukan bahwa RI dan Belanda akan bekerja sama untuk membentuk Negara Indonesia Serikat sebagai pengganti Hindia Belanda. Namun, perundingan lanjutan terhambat karena masing-masing pihak menuduh tentaranya melanggar ketentuan gencatan senjata. Dokumen perjanjian itu pun akhirnya tidak membantu untuk memecahkan masalah bagi kedua belah bangsa. Bahkan memperburuk keadaan.
Belanda kemudian mengadakan gencatan senjata operasi militer di Jawa dan Sumatra pada 21 Juli 1947. Belanda menyebut tindakan itu sebagai “actie politionel” (tindakan kepolisian). Istilah itu berarti “pengamanan dalam negeri” atau yang dimaksud di sini adalah Indonesia. Artinya, Belanda tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia, seperti yang sudah dinyatakan dalam dokumen Linggarjati. Belanda memberi sandi pada serangan umum itu dengan “Operasi Produk” yaitu operasi yang ditujukan untuk wilayah-wilayah yang dianggap penting secara ekonomi bagi Belanda.
Kondisi itu mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan resolusi. Ada dua resolusi yang disampaikan oleh PBB. Pertama, menghimbau agar RI dan Belanda segera menghentikan perang dan membentuk Negara Indonesia Serikat, seperti yang diamanatkan dalam perjanjian Linggarjati. Kedua, adalah usulan Amerika agar kedua belah pihak membentuk sebuah tim untuk membantu menyelesaikan masalah itu. Usulan itu kemudian dikenal dengan istilah “Komisi Tiga Negara”.
Komisi Tiga Negara (KTN) itu terdiri atas Australia, yang diwakili oleh Richard C. Kirby yang dipilih oleh RI. Belanda memilih Belgia yang diwakili oleh Paul van Zeeland. Amerika diwakili oleh Frank P. Graham yang dipilih oleh Belgia dan Australia. Hasil dari KTN itu adalah perundingan diadakan kembali oleh Indonesia dan Belanda. Pihak Belanda mengusulkan agar diadakan perundingan di tempat yang netral. Atas jasa Amerika Serikat, maka digunakannya kapal yang mengangkut tentaranya, dengan nama USS Renville didatangkan ke Teluk Jakarta dari Jepang. Tentang perjanjian Renville ini akan dibahas lebih lanjut di bagian berikutnya.
D. Konferensi Malino
Dalam situasi politik yang tidak menentu di Indonesia, Belanda melakukan tekanan politik dan militer di Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi Malino. Penyelenggaraan konferensi ini bertujuan untuk membentuk negara-negara federal di daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda. Di samping itu, di Pangkal Pinang, Bangka diselenggarakan konferensi untuk golongan minoritas. Konferensi Malino diselenggarakan pada 15-26 Juli 1946, sedangkan Konferensi Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946. Diharapkan daerah-daerah ini akan mendukung Belanda dalam pembentukan negara federasi. Di samping itu, Belanda juga terus mengirim pasukannya memasuki Indonesia. Dengan demikian, kadar permusuhan antara kedua belah pihak semakin meningkat. Namun usaha-usaha diplomasi terus dilakukan. Sebagai contoh tanggal 14 Oktober 1946 tercapai persetujuan gencatan senjata. Usaha-usaha perundingan pun terus diupayakan.
Setelah perjanjian Linggarjati, Van Mook mengambil inisiatif untuk mendirikan pemerintahan federal sementara sebagai pengganti Hindia Belanda. Tindakan Van Mook itu menimbulkan kegelisahan di kalangan negara-negara bagian yang tidak terwakili dalam susunan pemerintahan. Pada kenyataannya pemerintah federal yang didirikan Van Mook itu tidak beda dengan pemerintah Hindia Belanda. Untuk itulah negara-negara federal mengadakan rapat di Bandung pada Mei-Juli 1948. Konferensi Bandung itu dihadiri oleh empat negara federal yang sudah terbentuk yaitu Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Pasundan, dan Negara Madura. Juga dihadiri oleh daerah-daerah otonom seperti, Bangka, Banjar, Dayak Besar, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Riau, dan Jawa Tengah. Sebagai ketua adalah Mr. T. Bahriun dari Negara Sumatra Timur.
Rapat itu diberi nama Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO), yaitu suatu pertemuan untuk Musyawarah Federal. Pengambil inisiatif BFO itu adalah Ida Agung Gde Agung, seorang perdana menteri Negara Indonesia Timur. juga R.T. Adil Puradiredja, seorang perdana menteri Negara Pasundan. BFO itu dimaksudkan untuk mencari solusi dari situasi politik yang genting akibat dari perkembangan politik antara Belanda dan RI yang juga berpengaruh pada perkembangan negara-negara bagian. Pertemuan Bandung juga dirancang untuk menjadikan pemerintahan peralihan yang lebih baik daripada pemerintahan Federal Sementara buatan Van Mook.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada awal kehadirannya di Jakarta, Van Mook mendapat tekanan baik dari Sekutu maupun ancaman perlawanan dari pihak revolusioner Indonesia. Oleh karena itu, pada awal kehadirannya Van Mook bersedia untuk melakukan perundingan, meskipun pemerintah Belanda melarangnya untuk bertemu dengan Sukarno. Pada 14 Oktober 1945, Van Mook bersedia bertemu dengan Sukarno dan “kelompok-kelompok Indonesia”. Ia tidak mau menyebut sebagai Republik Indonesia, karena pemerintah Belanda belum mengakui pemerintahan Republik Indonesia. Dalam pokok pikiran Van Mook menyatakan, bahwa NICA bersedia membangun hubungan ketatanegaraan yang baru dan status Indonesia menjadi “negara dominion” dalam persekutuan “persemakmuran Uni-Belanda”.
Demikianlah karena tidak ada titik temu antara Indonesia dan Belanda, Cristison tetap berusaha mempertemukan mereka. Pemerintah Belanda diwakili oleh Van Mook dan wakilnya, Charles O. Van der Plas. Indonesia diwakili oleh Sukarno dan Moh. Hatta yang didampingi oleh H. Agus Salim dan Ahmad Subarjo. Dalam pertemuan itu tidak ada hasil yang memuaskan bagi pihak Indonesia. Pihak Belanda masih menginginkan kebijakan politiknya yang lama. Pada minggu-minggu terakhir Oktober 1945, berbagai insiden dan konfrontasi dengan semakin banyaknya tentara NICA yang datang ke Indonesia. Konfrontasi itu menyebabkan pihak Sekutu ingin segera mengakhiri tugasnya di Indonesia, terlebih ketika aksi-aksi kekerasan terjadi di kota besar di Indonesia, terutama pertempuran sengit di Surabaya. Pihak Sekutu ingin segera meninggalkan Indonesia, tetapi tidak mungkin melepaskan tanggung jawab internasionalnya. Untuk itulah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan itu dengan melakukan perundingan.
B. Saran
Perjuangan bangsa Indonesia mencapai kedaulatan penuh mengajarkan kepada kehidupan sekarang bagaimana pentingnya kemerdekaan penuh. Saat ini Indonesia sudah merdeka tetapi ada sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang belum merdeka dan harus diperjuangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Margana, Sri dan Widya Fitrianingsih (ed.). 2010. Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global. Yogyakarta: Ombak.
Tashadi. dkk. 1987. Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945–1949. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tobing, K.M.L. 1986. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia: Linggarjati. Jakarta: Gunung Agung.