Makalah Kekerasan Terhadap Anak

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Kekerasan Terhadap Anak ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Kekerasan Terhadap Anak ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Kekerasan Terhadap Anak ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Kekerasan Terhadap Anak ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, Oktober 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah tumpuan dan harapan orang tua. Anak jugalah yang akan menjadi penerus bangsa ini. Sedianya, wajib dilindungi maupun diberikan kasih sayang. Namun fakta berbicara lain. Maraknya kasus kekerasan pada anak sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan pendapat bahwa anak perlu dilindungi. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga, lingkungan maupun masyarakat dewasa ini. Pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia masih jauh dari kondisi yang disebutkan dalam pasal tersebut.

Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal, fisik, mental maupun pelecehan seksual. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Tentunya ini juga memicu trauma pada anak, misalnya menolak pergi ke sekolah setelah tubuhnya dihajar oleh gurunya sendiri. Kondisi ini amatlah memprihatinkan, namun bukan berarti tidak ada penyelesaiannya.

Perlu koordinasi yang tepat di lingkungan sekitar anak terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa menggunakan kekerasan, menyeleksi tayangan televisi maupun memberikan perlindungan serta kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka melakukan kekerasan nantinya. Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini dipimpin oleh pemimpin bangsa yang tidak menyelesaikan kekerasan terhadap rakyatnya. Persoalannya adalah sejauh mana hukum atau perundang-undangan Indonesia, mengapresiasi terhadap fenomena tersebut, baik terhadap perbuatan, pelaku maupun anak sebagai korban kekerasan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan dalam makalah ini adalah:

  1. Apa pengertian anak menurut undang-undang?
  2. Apa pengertian kekerasan terhadap anak menurut para ahli?
  3. Apa faktor-faktor yang memicu kekerasan terhadap anak?
  4. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak?
  5. Apa dampak kekerasan terhadap anak?
  6. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan?
  7. Bagaimana solusi pencegahan kekerasan terhadap anak?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang

Dalam pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal I butir I UU No.23/2002 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi anak, yakni:

  1. Pertama, seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dengan demikian, setiap orang yang telah melewati batas usia 18 tahun, termasuk orang yang secara mental tidak cakap, dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni orang dewasa. Dalam hal ini, tidak dipersoalkan apakah statusnya sudah kawin atau tidak.
  2. Kedua, anak yang masih dalam kandungan. Jadi, UU No.23/2002 ini bukan hanya melindungi anak yang sudah lahir tetapi diperluas, yakni termasuk anak dalam kandungan.

Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002, bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang masih anak-anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every human being) yang berusia di bawah 18 tahun-selaku subyek hukum dari UU No. 23/2002 mempunyai hak atas perlindungan dari Negara yang diwujudkan dengan jaminan hukum dalam UU No. 23/2002.

Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

  1. Diskriminasi;
  2. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
  3. Penelantaran;
  4. Kekejaman, kekerasan, penganiayaan;
  5. Ketidakadilan; dan
  6. Perlakuan salah lainnya.

Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

B. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak

Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari orang tua atau pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian. Kekerasan pada anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan baik fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan/ meremehkan anak.

Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas hukum. Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari orang tua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental.

C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak

  1. Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton TV, bermain dll. Hal ini bukan berarti orang tua menjadi diktator/over protektif, namun maraknya kriminalitas di negeri ini membuat perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.
  2. Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu.
  3. Kemiskinan keluarga (banyak anak).
  4. Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka panjang.
  5. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (unwanted child) atau anak lahir di luar nikah.
  6. Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama.
  7. Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan.
  8. Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak.
  9. Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.

D. Bentuk Kekerasan Terhadap Anak

1. Kekerasan Fisik

Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32,3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16,2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini selain menimbulkan luka dan trauma pada korban, juga sering kali membuat korban meninggal.

2. Kekerasan secara Verbal

Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.

3. Kekerasan secara Mental

Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28,8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0,9%) kekerasan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.

4. Pelecehan Seksual

Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan seksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam, juga sering kali menimbulkan luka secara fisik.

Berikutnya hendak dikemukakan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak yang ditetapkan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal 77 s.d. Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:

  1. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77);
  2. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisik, mental, maupun sosial (Pasal 77);
  3. Membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengungsian, kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersenjata (Pasal 78);
  4. Membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);
  5. Pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);
  6. Melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);
  7. Melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan (Pasal 81);
  8. Melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);
  9. Memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (Pasal 83);
  10. Melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum(Pasal 84);
  11. Melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak(Pasal 85);
  12. Melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objeknya tanpa mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal 85);
  13. Membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);
  14. Mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88);
  15. Menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkohol, dan/atau zat adiktif lainya (napza) (Pasal 89).

E. Dampak dari Kekerasan pada Anak

Dampak kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh orang tuanya sendiri atau orang lain sangatlah buruk antara lain:

1. Agresif

Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku kekerasan. Umumnya ditujukan saat anak merasa tidak ada orang yang bisa melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap tidak bisa melindunginya itu ada di sekitarnya, anak akan langsung memukul atau melakukan tindak agresif terhadap si pelaku. Tetapi tidak semua sikap agresif anak muncul karena telah mengalami tindak kekerasan.

2. Murung/Depresi

Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis seperti menjadi anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai penurunan berat badan. Ia akan menjadi anak yang pemurung, pendiam, dan terlihat kurang ekspresif.

3. Memudah menangis

Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidak nyaman dan aman dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang bisa melindunginya, kemungkinan besar pada saat dia besar, dia tidak akan mudah percaya pada orang lain.

4. Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain

Dari semua ini anak dapat melihat bagaimana orang dewasa memperlakukannya dulu. Ia belajar dari pengalamannya, kemudian bereaksi sesuai dengan apa yang dia alami.

F. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau bersama para pelindungnya. (Arief Gosita, 1996: 14).

Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Pada umumnya, upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya perlindungan secara langsung di antaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward), pengaturan dalam peraturan perundang-undangan (Arief Gosita, 1996:6).

Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung antara lain meliputi: pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan, peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaan sesuatu yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik, dan sosial) para partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak (Arief Gosita, 1996:7).

Kedua upaya perlindungan di atas sekilas nampak sama dalam hal bentuk upaya perlindungannya. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu sendiri. Objek dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah anak secara langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu orang tua, petugas dan pembina.

Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya upaya perlindungan ini ditempuh dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para partisipan yang berkepentingan dalam perlindungan anak, kemudian selanjutnya pembinaan anak secara langsung oleh para partisipan tersebut. Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat berhasil, apabila para partisipan yang terkait seperti orang tua, para petugas dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta diberikan pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.

Ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi: perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. (Maulana Hassan Waddong, 2000:40) Upaya perlindungan anak korban kekerasan baru mulai mendapat perhatian penguasa, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya UU Perlindungan Anak, meski perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum lainnya guna mengoperasionalkan perlindungan tersebut.

Di samping adanya perlindungan yang bersifat abstrak (secara tidak langsung) melalui pemberian sanksi pidana kepada pelaku kekerasan terhadap anak, UU Perlindungan Anak juga menetapkan beberapa bentuk perlindungan yang lain terhadap anak korban kekerasan. Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”. Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya”.

Bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU (Pasal 17 ayat 2 dan Pasal 18) hanya berupa kerahasiaan si anak, bantuan hukum dan bantuan lain. Hanya sayang, bahwa makna kerahasiaan tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut. Kemudian perlindungan yang berupa bantuan lainnya, dalam penjelasan Pasal 18, hanya disebutkan bahwa: “bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik,, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”.

Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk perlindungan anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Dalam perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59-71) diatur tentang perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga ditegaskan tentang bentuk perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan. Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang bertanggungjawab atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan prosesnya.

G. Solusi Mencegah Terjadinya Kekerasan pada Anak

Agar anak terhindar dari bentuk kekerasan seperti di atas perlu adanya pengawasan dari orang tua, dan perlu diadakannya langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Jangan sering mengabaikan anak, karena sebagian dari terjadinya kekerasan terhadap anak adalah kurangnya perhatian terhadap anak. Namun hal ini berbeda dengan memanjakan anak.
  2. Tanamkan sejak dini pendidikan agama pada anak. Agama mengajarkan moral pada anak agar berbuat baik, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut tidak menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.
  3. Sesekali bicaralah secara terbuka pada anak dan berikan dorongan pada anak agar bicara apa adanya/berterus terang. Hal ini dimaksudkan agar orang tua bisa mengenal anaknya dengan baik dan memberikan nasihat apa yang perlu dilakukan terhadap anak, karena banyak sekali kekerasan pada anak terutama pelecehan seksual yang terlambat diungkap.
  4. Ajarkan kepada anak untuk bersikap waspada seperti jangan terima ajakan orang yang kurang dikenal dan lain-lain.
  5. Sebaiknya orang tua juga bersikap sabar terhadap anak. Ingatlah bahwa seorang anak tetaplah seorang anak yang masih perlu banyak belajar tentang kehidupan dan karena kurangnya kesabaran orang tua banyak kasus orang tua yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 maka semua pihak mempunyai kewajiban untuk melindungi anak dan mempertahankan hak-hak anak. Pemberlakuan Undang-undang ini juga di sempurnakan dengan adanya pemberian tindak pidana bagi setiap orang yang sengaja maupun tidak sengaja melakukan tindakan yang melanggar hak anak. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan bahwa semua anak mendapat perlakuan yang sama dan jaminan perlindungan yang sama pula, dalam hal ini tidak ada diskriminasi ras, etnis, agama, suku, dsb.

Anak yang menderita cacat baik fisik maupun mental juga memiliki hak yang sama dan wajib dilindungi seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb. Undang-undang No.23 tahun 2002 juga menjelaskan mengenai hak asuh anak yang terkait dengan pengalihan hak asuh anak, perwalian yang diperlukan karena ketidakmampuan orang tua berhubungan dengan hukum, pengangkatan anak yang sangat memperhatikan kepentingan anak, serta penyelenggaraan perlindungan dalam hal agama, kesehatan, pendidikan, sosial dan perlindungan khusus.

B. Saran

Undang-undang ini telah dibuat dengan baik dan memperhatikan atau peduli terhadap hak-hak anak namun pemerintah kurang mensosialisasikan dan merealisasikan isi undang-undang ini. Pemerintah dan masyarakat kurang berperan dalam menjalankan undang-undang ini sebab anak masih dalam pengawasan dan pengasuhan keluarga jadi pihak lain belum menjalankan tanggung jawab seperti yang telah tercantum di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak,Jakarta:PT.Gramedia Indonesia

Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti

Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah “Hukum Acara Peradilan Anak”,

Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000

Rani, (5 Oktober 1996) Makalah “ Masalah perlindungan anak “ ,

Arief, Barda Nawawi, (1998) Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan

Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Kekerasan Terhadap Anak – Wikipedia Bahasa Indonesia

Download Contoh Makalah Kekerasan Terhadap Anak.docx