KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Konflik Indonesia-Belanda ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah Sejarah Indonesia yang berjudul Makalah Konflik Indonesia-Belanda ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Konflik Indonesia-Belanda ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Konflik Indonesia-Belanda ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, November 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan oleh Bung Soekarno didampingi oleh Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Satu langkah maju sudah ada pada genggaman bangsa Indonesia melalui Proklamasi Kemerdekaan tersebut. Sebagai negara yang baru memproklamasikan kemerdekaan ternyata mendapatkan simpati dari bangsa-bangsa di dunia. Hal ini tampak dari adanya pengakuan negara lain terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah negara merdeka maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-undang Dasar (UUD 1945) dan pemilihan Presiden yaitu Bung Karno serta Wakil Presiden Bung Hatta.
Seperti tercatat dalam sejarah bahwa Proklamasi Kemerdekaan itu dilaksanakan dalam suasana Facum of Power, oleh karena berdasarkan perjanjian antara Jepang dengan Sekutu sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, bahwa bekas jajahan Jepang itu akan diambil alih oleh Sekutu. Akan tetapi Sekutu belum datang ketika itu, maka kesempatan ini dipergunakan untuk memproklamasikan kemerdekaan. Peristiwa menyerahnya Jepang kepada Sekutu 14 Agustus 1945 menunjukkan de jure wilayah jajahan Jepang dikuasai Sekutu sebagai pihak yang menang dalam Perang Dunia II.
Belanda masih ingin mengusai Indonesia sebab merasa bahwa Indonesia adalah miliknya. Sehingga mereka melakukan berbagai upaya guna mendapatkan kembali Indonesia, termasuk melalui perlawanan dan meja perundingan. Sejak 10 Februari 1946 telah terjadi perundingan antara Indonesia-Belanda sebelum selanjutnya terjadi perundingan pendahuluan mengenai gencatan senjata Indonesia-Belanda pada tanggal 7 Oktober 1946 sebelum selanjutnya terjadi perundingan Linggarjati.
Sementara itu pasukan sekutu telah mengosongkan daerah yang didudukinya dan diganti oleh tentara Belanda. Pada tanggal 24 Oktober 1946, Inggris mengosongkan Bogor, Palembang, Medan, dan Padang. Secara berangsur-angsur pasukan sekutu ditarik dari Indonesia. Akhir November 1946 seluruh pasukan sekutu telah meninggalkan Indonesia Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia bisa diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Sedang mencari jati diri dan berusaha untuk menjadi negara yang kuat dan mandiri. Adapun konflik yang terjadi dengan Belanda ketika itu, telah banyak mempengaruhi bagaimana bentuk dan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia menghadapi berbagai ancaman, gangguan, hambatan, dan tentangan yang berasal dari dalam dan luar negeri. Maraknya kekacauan yang diciptakan Sekutu dan NICA telah memengaruhi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru lahir. Dua kali agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda terhadap Indonesia, sempat membuat keberadaan negara Indonesia melemah. Tapi bangsa Indonesia menjawabnya dengan tetap melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama menempuh jalur diplomasi dan kekuatan militer.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini, yaitu:
- Apa faktor kembalinya Belanda bersama sekutu?
- Bagaimana keberadaan NKRI pada waktu Agresi Militer Belanda pertama?
- Bagaimana NKRI pada waktu Agresi Militer Belanda kedua?
- Bagaimana jalannya diplomasi antara Indonesia dan Belanda?
- Bagaimana peran dunia internasional dalam menangani konflik Indonesia-Belanda?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keinginan Belanda untuk Berkuasa Kembali di Indonesia
Setelah Jepang menyatakan menyerah kepada pasukan Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, Belanda langsung bersiap-siap untuk kembali menguasai bekas jajahannya. Ini menjadi salah satu penyebab konflik Indonesia Belanda setelah proklamasi kemerdekaan. Sebenarnya Belanda tidak memiliki hak apapun lagi atas wilayah Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda telah menandatangani dokumen pada tanggal 9 Maret 1942 di Kalijati, yang menyatakan bahwa mereka menyerah tanpa syarat kepada bala tentara Jepang. Di atas sepotong kertas, Belanda telah “menyerahkan” seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) kepada pemerintah Jepang.
B. Kembalinya Belanda Bersama Sekutu
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya. Menjelang akhir perang, tahun 1945, sebagian wilayah Indonesia telah dikuasai oleh tentara sekutu. Satuan tentara Australia telah mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah. Sementara Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area Command/SWPAC).
Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indocina. SEAC dengan panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara bertugas melucuti bala tentera Jepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI).
Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration – Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya adalah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.
C. Adanya Dukungan Tentara Sekutu terhadap Belanda
Atas nama sekutu, Belanda dan Inggris menanda tangani Civil Affairs Agreement (CAA) pada tanggal 24 Agustus 1945 yang isinya tertuang dalam “Nota tanggal 24 Agustus 1945”. Butir yang paling penting dalam perjanjian ini adalah penyerahan wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” dari tentara Jepang. Penyerahan wilayah ini dilakukan oleh Inggris kepada Belanda lewat Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Hal ini merupakan salah satu penyulut dan menjadi penyebab konflik Indonesia-Belanda setelah proklamasi kemerdekaan Pasukan Sekutu mendarat di Indonesia pada tanggal 29 September 1945. Pasukan tersebut bertugas melucuti tentara Jepang sekaligus menerima penyerahan kekuasaan dari tangan bangsa Jepang. Tugas ini dilakukan oleh komando pertahanan Sekutu di Asia Tenggara yang dipimpin oleh Lord Lous Mountbatten. Untuk melaksanakan tugas itu, Lord Lous Mountbatten membentuk satuan komando khusus yang bernama Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI). AFNEI dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Pada mulanya kedatangan Sekutu disambut baik oleh bangsa Indonesia. Akan tetapi, bangsa Indonesia pun mulai melakukan perlawanan setelah mengetahui bahwa ternyata kedatangan Sekutu diboncengi oleh NICA (Netherland Indies Civil Administration). Pada awalnya, kedatangan Sekutu tersebut disambut dengan sikap netral oleh bangsa Indonesia. Tetapi setelah tahu ternyata Sekutu membawa NICA, sikap masyarakat Indonesia pun berubah menjadi curiga karena NICA merupakan pegawai sipil dari pemerintah Hindia Belanda yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan sipil Indonesia.
Sambutan dengan tembakan selamat datang diberikan oleh para pemuda Indonesia. Kemudian situasi menjadi semakin memburuk sejak Belanda melalui NICA mempersenjatai kembali para tentara KNIL yang baru saja dibebaskan dari tawanan Jepang. Melihat kondisi yang semakin memburuk itu, maka pada tanggal 1 Oktober 1945, Panglima AFNEI menyatakan pengakuan atas Republik Indonesia secara de facto. Dengan sikap tersebut, pasukan AFNEI kemudian diterima dengan baik oleh para pejabat RI di daerah-daerah guna membantu memperlancar tugas-tugas AFNEI di Indonesia. Tapi pada kenyataannya, di daerah-daerah Indonesia yang dikunjungi pasukan Sekutu selalu saja terjadi insiden pertempuran dengan pihak RI. Hal itu dikarenakan Sekutu tidak pernah bersungguh-sungguh berniat menghormati kedaulatan RI.
Pihak Sekutu kewalahan dengan perlawanan Indonesia di berbagai daerah, mereka kemudian menuduh pemerintah RI tidak mampu menjaga keamanan dan ketertiban hingga terorisme merajalela. Belanda yang bertujuan mengembalikan kekuasaannya di Indonesia berupaya memanfaatkan situasi tersebut dengan cara memberi dukungan kepada pihak Sekutu. Laksamana Helfrich sebagai Panglima Angkatan Perang Belanda memerintahkan pasukannya untuk membantu Sekutu.
D. Kedatangan Tentara NICA
Setelah Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, sekutu kemudian memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status quo, yaitu menjaga situasi dan kondisi sebagaimana adanya pada saat itu sampai kedatangan tentara sekutu ke Indonesia. Sekutu merupakan berbagai perkumpulan negara yang menentang politik fasisme yang dilakukan oleh Blok Axis/Fasis/Sentral pada Perang Dunia II. Perang berakhir dengan kemenangan blok Sekutu terhadap blok Fasis.
Pihak sekutu memutuskan bahwa pasukan-pasukan Amerika Serikat akan memusatkan perhatian pada pulau-pulau di Jepang, sedangkan tanggung jawab terhadap Indonesia dipindahkan dari SWPC (South West Pasific Command) di bawah komando Amerika Serikat kepada SEAC (South East Asia Command) di bawah komando Inggris yang dipimpin Laksamana Lord Louis Mountbatten. Sebelum kedatangan tentara sekutu ke Indonesia, pada tanggal 8 September Laksamana L.L. Mountbatten mengutus tujuh perwira Inggris di bawah pimpinan Mayor A.G. Greenhalgh ke Indonesia. Tugasnya adalah mempelajari serta melaporkan keadaan di Indonesia menjelang pendaratan pasukan sekutu.
Pada tanggal 16 September 1945 rombongan perwakilan sekutu berlabuh di Tanjung Priok. Rombongan ini dipimpin oleh Laksamana Muda W.R. Patterson. Dalam rombongan ini ikut pula C.H.O. Van der Plas yang mewakili pimpinan NICA yaitu Dr. H.J. Van Mook. Setelah itu pada tanggal 29 September 1945 tibalah pasukan SEAC di Tanjung Priok, Jakarta di bawah pimpinan Letjend Sir Philip Chistison. Pasukan ini bernaung di bawah bendera AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Pasukan AFNEI terbagi menjadi 3 divisi yaitu:
- Divisi India ke-23, dipimpin oleh Mayor Jendral D.C. Hawthorn bertugas di Jawa Barat.
- Divisi India ke-5, dipimpin oleh Mayor J.E.C Marsergh bertugas di Jawa Timur.
- Divisi India ke-26, dipimpin oleh Mayor Jendral H.M. Chambers bertugas di Sumatra.
Pasukan AFNEI dipusatkan di Barat Indonesia terutama wilayah Sumatera dan Jawa, sedangkan daerah Indonesia lainnya, terutama wilayah timur diserahkan kepada angkatan perang Australia. AFNEI diserahi beberapa tugas menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Indonesia. Kedatangan sekutu ke Indonesia semula mendapatkan sambutan hangat dari rakyat Indonesia, seperti kedatangan Jepang dulu. Akan tetapi setelah diketahui mereka datang disertai orang-orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration), sikap rakyat Indonesia berubah menjadi penuh kecurigaan dan bahkan akhirnya bermusuhan.
Bangsa Indonesia mengetahui bahwa NICA berniat menegakkan kembali kekuasaannya. Situasi berubah memburuk tatkala NICA mempersenjatai kembali bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indies Leger). Satuan-satuan KNIL yang telah dibebaskan Jepang kemudian bergabung dengan tentara NICA. Di berbagai daerah, NICA dan KNIL yang didukung Inggris/Sekutu melancarkan provokasi dan melakukan teror terhadap para pemimpin nasional.
Untuk meredakan ketegangan tersebut, pada tanggal 1 Oktober 1945 panglima AFNEI menyatakan pemberlakuan pemerintahan Republik Indonesia yang ada di daerah-daerah sebagai kekuasaan de facto. Karena pernyataan tersebut pemerintah RI menerima pasukan AFNEI dengan tangan terbuka, bahkan pemerintah RI memerintahkan pejabat daerah untuk membantu tugas-tugas AFNEI.
Pada kenyataannya kedatangan pihak sekutu selalu menimbulkan insiden di beberapa daerah. Tentara sekutu sering menunjukkan sikap tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, tampak jelas bahwa NICA ingin mengambil alih kembali kekuasaan di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa AFNEI telah menyimpang dari misi awalnya. Kenyataan tersebut memicu pertempuran di beberapa daerah seperti Surabaya, Bandung, Medan, Ambarawa, Manado, dan Bali.
E. Belanda Menerapkan Politik Devide et Impera
Devide et impera merupakan politik adu domba yang dilaksanakan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar mudah ditaklukkan. Politik ini dibawa oleh Belanda dari awal kedatangannya ke wilayah nusantara. Politik ini juga diterapkan untuk mencegah kelompok-kelompok kecil bersatu yang akhirnya menjadi besar dan kuat karena hal tersebut akan menyulitkan Belanda. Sejak dahulu bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen, masyarakat Indonesia memiliki latar belakang suku, ras, agama, dan budaya yang beragam. Keberagaman sosial budaya di Indonesia ini memudahkan Belanda dalam melaksanakan politik adu dombanya, propaganda, fitnah dan segala upaya untuk memecah belah dijalankan oleh Belanda.
Dalam pelaksaannya politik devide et impera ini dijalankan dengan cara penentangan kekuasaan yang berada di wilayah kerajaan maupun masyarakat. Penentangan yang dilakukan oleh Belanda ini akan menimbulkan munculnya dua kubu di dalam satu kelompok. Belanda pun memanfaatkan hal ini dengan pro ke salah satu kubu dan menelantarkan kubu yang lainnya. Belanda akan memunculkan isu-isu yang membuat kelompok itu saling bertentangan dan kekuasaannya pun goyah. Dalam kegoyahan inilah Belanda pun akan masuk dan menguasai kelompok tersebut.
Di nusantara Belanda melakukan politik devide et impera di berbagai kerajaan. Di Kerajaan Gowa-Tallo, Belanda (VOC) menjalankan politik ini dengan mengadu domba raja Gowa Sultan Hasanudin dengan raja Bone yaitu Aru Palaka. Bone merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Gowa. Aru Palaka memimpin perlawanan Bone terhadap kerajaan Gowa, dalam perlawanannya Aru Palaka dibantu oleh VOC. Berkat bantuan VOC Aru Palaka pun akhirnya dapat mengalahkan kerajaan Gowa. Kekalahan ini pun memunculkan sebuah perjanjian perdamaian yang disebut Perjanjian Bongaya. Isi dari perjanjian ini adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC sehingga kerajaan Gowa harus melepaskan daerah-daerah penjajahannya, seperti kerajaan Bone. Selain itu perjanjian ini berisi pengesahan bahwa VOC berhak melakukan monopoli perdagangan di Makassar tentu saja perjanjian ini sangat merugikan bagi kerajaan Gowa dan mengantarkan kerajaan ini ke gerbang kehancuran.
Dalam mengusai wilayah Kesultanan Banten, Belanda pun kembali menggunakan politik devide et impera-nya. Pertikaian dan perebutan kekuasaan yang terjadi antara Sultan Ageng dan putranya yaitu Sultan Haji dimanfaatkan Belanda dengan baik. VOC merapat sebagai kelompok yang pro kepada Sultan Haji. Hal ini pun menjadikan perang saudara tidak terelakkan lagi. Dengan bantuan VOC Sultan Haji pun dapat mengalahkan Sultan Ageng dan memenangkan perang saudara ini. Bantuan VOC kepada Sultan Haji tidaklah gratis, Sultan Haji membayar bantuan VOC dengan penyerahan wilayah Lampung kepada VOC dan mengganti segala kerugian VOC akibat perang saudara. Namun setelah perang saudara keadaan Banten menjadi tidak stabil. Banyak konflik yang terjadi di dalam kesultanan maupun di dalam masyarakat Banten sendiri sehingga menimbulkan banyak perlawanan rakyat kepada pemerintahan kesultanan Banten. Untuk meredam berbagai konflik Sultan Banten pun meminta bantuan VOC yang akhirnya membuat kesultanan Banten menjadi di bawah kekuasaan VOC. Dengan begitu politik devide et impera pun menjadi sistem yang mengantarkan Belanda menguasai berbagai wilayah di Nusantara.
F. Agresi Militer Belanda I
Operatie Product (operasi produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggarjati.
Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini. Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H. J. van Mook menyampaikan pidato radio yang menyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J.A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera Barat. Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo.
Persetujuan Linggarjati yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 antara Indonesia-Belanda sebagai upaya mengatasi konflik melalui jalur diplomasi. Akan tetapi, Belanda mengingkari perundingan ini dengan jalan melakukan agresi militer pertama pada tanggal 21 Juli 1947. Tujuan Belanda tidak dapat melakukannya sekaligus, oleh karena itu untuk tahap pertama Belanda harus mencapai sasaran sebagai berikut:
- Bidang Politik: Pengepungan ibu kota RI dan penghapusan RI dari peta (menghilangkan de facto RI).
- Bidang Ekonomi: perebutan daerah-daerah penghasil bahan makanan (daerah beras di Jawa Barat dan Jawa Timur) dan bahan ekspor (perkebunan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera serta pertambangan dan perkebunan di Sumatera).
- Bidang Militer: Penghancuran TNI.
Jika tahap pertama ini dapat berhasil maka tahap berikutnya adalah menghancurkan RI secara total. Ibu kota RI pada waktu itu terkepung sehingga hubungan ke luar sulit dan ekonomi RI mengalami kesulitan karena daerah-daerah penghasil beras jatuh ke tangan Belanda. Akan tetapi untuk menghancurkan TNI mengalami kesulitan sebab TNI menggunakan siasat perang rakyat semesta dengan bergerilya dan bertahan di desa-desa. Dengan demikian Belanda hanya menguasai dan bergerak di kota-kota besar dan jalan-jalan raya, sedangkan di luar itu masih dikuasai TNI.
Dalam agresi militer pertama ini walaupun Belanda berhasil menduduki beberapa daerah kekuasaan RI akan tetapi secara politis Republik Indonesia naik kedudukannya di mata dunia. Negara-negara lain merasa simpati seperti Liga Arab yang sejak 18 November 1946 mengakui kemerdekaan Indonesia. Pemerintah Arab Saudi yang semula ragu-ragu mengakui kemerdekaan Indonesia kemudian mengakui pula. Agresi militer Belanda terhadap Indonesia mengakibatkan permusuhan negara-negara Arab terhadap Belanda dan menjadi simpati terhadap Indonesia.
Dengan demikian dapat menguatkan kedudukan RI terutama di kawasan penting secara politik yaitu Timur Tengah. Dengan adanya agresi militer pertama maka Dewan Keamanan PBB ikut campur tangan dengan membentuk Komisi Tiga Negara. Melalui serangkaian perundingan yakni Perundingan Renville dan Perundingan Kaliurang merupakan upaya untuk mengatasi konflik. Sebagai negara yang cinta damai Indonesia bersedia berunding, namun Belanda menjawab lagi dengan kekerasan yakni melakukan agresinya yang kedua.
G. Agresi Militer Belanda II
Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak (Operatie Kraai) terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.
Pada tanggal 18 Desember 1948, pukul 23.30, Dr. Beel mengumumkan sudah tidak terikat lagi dengan Perundingan Renville. Pada tanggal 19 Desember 1948, pukul 06.00, Belanda melancarkan agresinya yang kedua dengan menggempur ibu kota RI, Yogyakarta. Dalam peristiwa ini pimpinan-pimpinan RI ditawan oleh Belanda. Mereka adalah Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Syahrir (penasihat presiden) dan sejumlah menteri termasuk Menteri Luar Negeri Agus Salim. Presiden Soekarno diterbangkan ke Prapat di tepi Danau Toba dan Wakil Presiden Moh. Hatta ke Bangka. Presiden Soekarno kemudian dipindahkan ke Bangka.
Dengan ditawannya pimpinan-pimpinan negara RI dan jatuhnya Yogyakarta, Dr. Beel menyatakan bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi. Belanda mengira bahwa dari segi militer aksi itu berhasil dengan gemilang. Belanda menyatakan demikian karena akan membentuk pemerintah federal sementara tanpa keikutsertaan Republik Indonesia. Padahal Republik Indonesia tetap ada dengan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Sebab sebelum pasukan-pasukan Belanda tiba, pemerintah RI mengirimkan telegram kepada Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berkunjung ke Sumatera untuk mendirikan Pemerintah Darurat RI (PDRI). Seandainya Syafruddin tidak dapat menjalankan tugas, maka Presiden Soekarno menugaskan kepada Dr. Sudarsono, L.N. Palar, dan Mr. A.A. Maramis yang sedang di New Delhi untuk membentuk Pemerintah Pelarian (Exile Government) di India.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Syafruddin Prawiranegara berhasil mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera. Sementara itu sampai dengan Januari 1949, Belanda menambah pasukannya ke daerah RI untuk menunjukkan bahwa mereka berkuasa. Akan tetapi kenyataannya Belanda hanya menguasai di kota-kota dan jalan raya dan pemerintahan RI masih berlangsung sampai di desa-desa. Rakyat dan TNI bersatu berjuang melawan Belanda dengan siasat perang gerilya. TNI di bawah pimpinan Jenderal Sudirman menyusun kekuatan yang kemudian melancarkan serangan terhadap Belanda. Alat-alat perhubungan seperti kawat-kawat telepon diputuskan, jalan-jalan kereta api di rusak, jembatan: dihancurkan agar tidak dapat digunakan Belanda. Jenderal Sudirman walaupun dalam keadaan sakit masih memimpin perjuangan dengan bergerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan menjelajahi daerah-daerah pedesaan, naik gunung turun gunung. Route perjalanan yang ditempuh dari Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan Kediri.
Pada tanggal 23 Desember 1948 Pemerintah Darurat RI di Sumatera mengirimkan perintah Kepada wakil RI di PBB lewat radio yang isinya bahwa pemerintah RI bersedia memerintahkan penghentian tembak menembak dan memasuki meja perundingan. Ketika Belanda tidak mengindahkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 tentang penghentian tembak menembak dan mereka yakin bahwa RI tinggal namanya, dilancarkanlah Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai bukti bahwa RI masih ada dan TNI masih kuat. Dalam serangan ini pihak RI berhasil memukul mundur kedudukan Belanda di Yogyakarta selama 6 jam. Dengan kenyataan-kenyataan di atas membuktikan bahwa pada waktu konflik Indonesia-Belanda maka Negara Kesatuan RI tetap ada walaupun pihak Belanda menganggap RI sudah tidak ada.
H. Diplomasi Indonesia Menghadapi Sekutu dan NICA
1. Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947)
Kedatangan Sekutu di Indonesia yang dibonceng NICA berakibat timbulnya pertempuran di berbagai daerah. Setelah lebih dari satu tahun berdinas di Indonesia, Inggris mengambil kesimpulan bahwa sengketa Indonesia-Belanda tidak mungkin diselesaikan lewat kekuatan senjata. Pihak Inggris kemudian berusaha mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa.
Perundingan gencatan senjata pertama antara Indonesia, Sekutu, dan Belanda diselenggarakan di Jakarta pada 20-30 September 1946. Perundingan ini tidak mencapai hasil yang diharapkan. Meskipun demikian, kemudian Inggris mencoba mempertemukan kembali pihak-pihak yang bertikai dengan mengirim diplomat, Lord Killearn. Utusan Inggris ini berhasil membawa wakil-wakil Indonesia dan Belanda kemeja perundingan di Jakarta pada 7 Oktober 1946. Delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Sutan Syahrir, sedangkan delegasi Belanda dipimpin Prof. Schermerhorn.
Perundingan tersebut menghasilkan persetujuan yang isinya sebagai berikut:
- Diberlakukannya gencatan senjata antara Indonesia, Belanda, dan Inggris.
- Dibentuk sebuah Komisi dan Gencatan Senjata untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata.
Atas dasar perundingan terebut, sejak 24 Oktober 1946 pasukan Sekutu (Inggris dan Australia) mulai mengosongkan daerah-daerah yang didudukinya. Secara berangsur angsur pasukan Sekutu ditarik dari Bogor, Palembang, Medan, Padang, dan tempat lainnya. Pada akhir November 1946, seluruh pasukan Sekutu telah meninggalkan Indonesia. Sebagai kelanjutan perundingan sebelumnya, pada 10-15 November 1946 dilangsungkan perundingan di Linggarjati, dekat Cirebon. Perundingan ini menghasilkan keputusan sebanyak 17 pasal yang intinya sebagai berikut:
- Belanda mengakui de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura.
- Republic Indonesia dan Belanda akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
- Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Hasil persetujuan Linggarjati ditandatangani wakil-wakil Indonesia dan Belanda di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) pada 25 Maret 1947. Delegasi Indonesia yang membubuhkan tanda tangan tersebut ialah Sutan Syahrir, Mr. Moh, Mr. Soesanto Tirtoprojo, dan dr. A.K. Gani. Dari pihak Belanda ialah Prof. Schermerhorn, Dr. van Mook, dan van Poll. Peristiwa ini disaksikan tokoh penengah dari Inggris, Lord Killearn.
Setelah Belanda mengakui wilayah de facto RI, beberapa negara segera menyampaikan pengakuan atas kedaulatan RI. Negara-negara itu, antara lain Inggris, Amerika Serikat, Mesir, Lebanon, Suriah, Afganistan, Birma (Myanmar), Arab Saudi, Yaman, Rusia, Pakistan, dan India. Negara-negara tersebut lantas membuka perwakilan konsuler dinegara RI. Kondisi seperti itu telah memperkuat kedudukan RI di mata dunia internasional.
Di dalam negeri, hasil persetujuan Linggarjati disikapi pro dan kontra di kalangan anggota KNIP. Pihak yang pro merasa puas karena kedaulatan Indonesia mulai diakui dunia internasional kendati hanya meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. Selain itu, gencatan senjata amat diperlukan bangsa Indonesia guna memberi peluang kepada pihak militer melakukan konsolidasi terhadap pasukannya yang terpencar pencar akibat agresi militer Belanda. Sebaliknya, pihak yang kontra tetap ingin mengusahakan agar Belanda mengakui RI secara utuh. Pergulatan politik menyangkut perbedaan pendapat mengenai hasil persetujuan Linggarjati menyebabkan jatuhnya Kabinet Syahrir. Selanjutnya, Presiden Soekarno menugaskan Amir Syarifuddin membentuk kabinet baru.
2. Perjanjian Renville (17 Januari 1948)
KTN merupakan misi PBB yang bertugas mencari penyelesaian damai atas pertikaian Indonesia-Belanda. Atas usul KTN disepakati perundingan RI-Belanda dilakukan di atas sebuah kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat, yakni USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Perundingan ini dimulai pada 8 Desember 1947. Delegasi RI dipimpin Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (orang Indonesia yang memihak Belanda).
Setelah melalui pembicaraan yang panjang, Persetujuan Politik Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948. Isi pokok Persetujuan Renville, yakni sebagai berikut:
- Disetujuinya pelaksanaan gencatan senjata.
- Disetujuinya sebuah demarkasi yang memisahkan wilayah RI dan daerah pendudukan Belanda.
- TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya diwilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur ke daerah RI di Yogyakarta.
Persetujuan Renville menempatkan RI pada kedudukan yang sulit. Wilayah RI makin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah pendudukan Belanda. Kesulitan bertambah dengan dijalankannya blokade ekonomi Belanda terhadap wilayah RI. Persetujuan Renville kenyataannya telah merugikan bangsa Indonesia. Persetujuan itu mengundang reaksi keras dari para tokoh RI. Akibatnya, kabinet Amir Syarifuddin tidak mendapat kepercayaan dari rakyat. Amir Syarifuddin akhirnya jatuh dari kedudukannya sebagai perdana menteri.
3. Perundingan Roem-Royen (7 Mei 1949)
Dalam upaya mencari penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda akibat agresi militer kedua Belanda. Dewan keamanan PBB memerintahkan UNCI untuk merealisasi resolusi tertanggal 28 Januari 1949. Pada intinya resolusi tersebut menyerukan kepada pihak yang bertikai untuk menghentikan semua aktivitas militernya. Pada 17 April 1949 dimulailah perundingan pendahuluan di Jakarta. Perundingan ini dipimpin Merle Cochran selaku wakil Amerika Serikat dalam UNCI. Delegasi Indonesia diketuai Mr. Moh Roem, sedangkan pihak Belanda diketuai Dr. van Royen. Dalam perundingan selanjutnya, delegasi Indonesia diperkuat Drs. Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubowono IX.
Setelah melalui perundingan yang berlarut larut, pada 7 Mei 1949 tercapai persetujuan di antara kedua belah pihak. Persetujuan ini terkenal dengan nama Persetujuan Roem-Royen. Isi pokok persetujuan tersebut adalah sebagai berikut.
- Pernyataan Delegasi Indonesia
1) Mengeluarkan perintah kepada TNI untuk menghentikan perang gerilya.
2) Bekerja sama mengembalikan perdamaian, ketertiban, dan keamanan.
3) Ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dalam upaya mempercepat penyerahan kekuasaan dan kedaulatan kepada negara Indonesia Serikat secara lengkap dan tanpa syarat. - Pernyataan Delegasi Belanda
1) Menyetujui kembalinya pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta.
2) Menjamin penghentian gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
3) Tidak akan mendirikan negara-negara didaerah yang dikuasai RI dan tidak akan memperluas negara atau daerah dengan merugikan pihak RI.
4) Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
5) Berusaha sungguh-sungguh menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar.
4. Konferensi Inter-Indonesia (19 Juli 1949)
Sebelum Konferensi Meja Bundar (KMB) dilaksanakan, para pimpinan RI melakukan pendekatan politik dengan BFO. Tujuannya agar RI dan BFO sama memadukan kekuatan nasional untuk menghadapi Belanda. Di antara 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta dan 31 Juli-2 Agustus di Jakarta, dilangsungkannya Konferensi Inter-Indonesia. Konferensi ini dihadiri wakil-wakil RI dan para pemimpin BFO. Konferensi berhasil mengambil keputusan sebagai berikut:
- BFO mengakui bahwa Negara Indonesia Serikat (NIS) akan menerima kedaulatan dari Belanda dan RI.
- Menyetujui pembentukan Komite Persiapan Nasional yang terdiri dari RI dan BFO yang bertujuan mengoordinasikan seluruh persiapan dan kegiatan selama dan sesudah KMB serta sebagai lembaga pusat yang menjamin hubungan RI dengan BFO.
- Negara bagian tidak akan memiliki tentara yang terpisah pisah.
- BFO mendukung tuntutan RI supaya penyerahan kedaulatan menjadi nyata, tanpa syarat, serta tanpa ikatan politik dan ekonomi.
5. Konferensi Meja Bundar (KMB)
Setelah berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri, bangsa Indonesia siap menghadapi Konferensi Meja Bundar (KMB). RI dan BFO bersiap diri memenangkan pertarungan diplomasi menghadapi Belanda yang akan disaksikan wakil-wakil dari UNCI. KMB berlangsung pada 23 Agustus – 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. KMB dipimpin Perdana Menteri Belanda Dr. Willem Drees. Delegasi Indonesia diketuai Drs. Mohammad Hatta dengan delegasi BFO diketuai Sultan Hamid II. Delegasi Belanda sendiri diketuai Mr. van Maarseveen. UNCI diwakili oleh Chritchley.
KMB berlangsung lama dan sangan a lot. Dua masalah pokok yang sulit dipecahkan dalam konferensi tersebut menyangkut masalah berikut:
a. Masalah Uni Indonesia Belanda
Indonesia menginginkan uni yang sifatnya hanya kerja sama bebas, sedangkan Belanda menghendaki uni yang bersifat permanen.
b. Soal utang Hindia Belanda
Indonesia mengakui utang Hindia Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang. Sementara itu, Belanda menghendaki Indonesia mengambil alih semua utang Hindia Belanda sampai saat berlangsungnya konferensi.
Setelah melalui perundingan berlarut larut, akhirnya semua pihak yang menghadiri konferensi mengeluarkan kesepakatan:
1) Belanda akan mengakui kedaulatan politik Republik Indonesia Serikat (RIS) pada akhir bulan Desember 1949.
2) Status Irian Barat akan ditunda setahun sesudah pengakuan kedaulatan.
3) Dibentuk Uni Indonesia-Belanda berdasarkan kerja sama suka rela dan sederajat.
4) RIS harus membayar semua utang Hindia Belanda sejak tahun 1942.
5) Pasukan Belanda Koninlkijk (KL) dan Koninklijk Miletaire (KM) akan dipulangkan, KNIL akan dibubarkan, dan bekas anggota KNIL diperbolehkan menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Hasil-hasil KMB kemudian diajukan kepada KNIL untuk diratifikasi. Untuk keperluan ini, KNIP menyelenggarakan sidang pada 6-14 Desember 1949. Dalam sidang ini diadakan pemungutan suara dengan hasil 226 suara yang menyatakan setuju, 62 suara tidak setuju, dan 31 abstain. Dengan demikian KNIP menerima hasil-hasil keputusan KMB.
I. Diplomasi Indonesia dan Dukungan Internasional
Salah satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia adalah berusaha menarik dukungan internasional lewat PBB. Para pimpinan Indonesia berusaha memengaruhi dunia agar peduli terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan sekaligus mendapat dukungan serta pengakuan atas kedaulatan Republik Indonesia. Para pimpinan Indonesia menyadari bahwa PBB merupakan organisasi internasional yang mempunyai pengaruh besar terhadap dunia. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan PBB agar menggunakan peran dan pengaruhnya dalam menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda. Perjuangan menarik dukungan lewat PBB ditempuh melalui dua bentuk, yaitu sebagai berikut:
- Perjuangan para pemimpin Indonesia dalam sidang-sidang PBB.
- Perjuangan menarik dukungan negara-negara lain agar turut memperjuangkan Indonesia dalam sidang-sidang PBB.
Perjuangan menarik dukungan internasional menampakkan hasilnya. Banyak negara di dunia, terutama negara-negara di Asia yang menaruh simpati atas masalah yang dihadapi Indonesia. Usulan penyelesaian masalah Indonesia-Belanda disampaikan melalui PBB. PBB ternyata cukup respek terhadap tugasnya menyelesaikan konflik di Indonesia. Buktinya, PBB telah mengirimkan Komisi Jasa Baik (Committer of God Office) yang dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN) pada peristiwa agresi militer pertama Belanda dan membentuk United Nations Commisions for Indonesia (UNCI) ketika terjadi agresi militer kedua.
1. Peranan PBB melalui KTN
Agresi militer pertama Belanda di Indonesia mendatangkan reaksi keras dari dunia internasional. Wakil-wakil India dan Australia di PBB mengajukan resolusi agar persoalan Indonesia dibahas dalam Dewan Keamanan PBB. Resolusi tersebut mendapat tanggapan positif PBB dengan menjadikan masalah Indonesia sebagai salah satu agenda pembicaraannya. Pada 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB memerintahkan kepada Indonesia dan Belanda untuk menghentikan tembak menembak. Hal itu ditindaklanjuti dengan pengumuman gencatan senjata oleh kedua pihak yang bertikai sejak 4 Agustus 1947.
Pelaksanaan gencatan senjata akan diawasi oleh suatu Komisi Konsuler yang beranggotakan beberapa Konsul Jendral di Indonesia. Komisi Konsuler itu diketuai oleh Konsul Jendral Amerika Serikat, Dr. Walter Foote dan beranggotakan Konsul Jendral Cina, Belgia, Prancis, Inggris, dan Australia. Namun, meskipun telah ada gencatan senjata, dalam kenyataannya Belanda masih terus berusaha memperluas wilayahnya. Pelanggaran ini dilaporkan Komisi Konsuler (pengawas gencatan senjata Indonesia-Belanda) kepada PBB. Laporan ini ditanggapi Dewan Keamanan PBB dengan membentuk sebuah Komisi Jasa Baik yang terkenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). Komisi Tiga Negara terdiri atas tiga negara berikut ini:
- Australia diwakili Richard Kibry yang dipilih mewakili kepentingan Indonesia.
- Belgia diwakili Paul van Zeeland yang dipilih mewakili kepentingan Belanda.
- Amerika Serikat dipilih Australia dan Belgia sebagai pihak netral dan wakilnya, Dr. Frank Graham.
Pada 27 Oktober 1947 KTN tiba di Jakarta untuk memulai pekerjaannya. KTN kemudian berhasil melakukan pendekatan-pendekatan terhadap pihak-pihak yang bertikai. Sejak 8 Desember 147 sampai 17 Januari 1948 wakil-wakil Indonesia dan Belanda bisa duduk bersama melakukan dialog dalam Perundingan Renville. Dilangsungkan Perundingan Renville menandai berakhirnya akibat agresi militer pertama Belanda.
2. Peranan PBB melalui UNCI
Ketika Belanda melancarkan agresi militer yang kedua pada 19 Desember 1948, dunia internasional langsung mengecam tindakan tersebut. Birma dan India kemudian memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Asia di New Delhi pada 20-23 Januari 1949. Konferensi yang dihadiri sejumlah negara Asia, Afrika, dan Australia itu menghasilkan resolusi yang disampaikan kepada PBB. Keesokan harinya Dewan Keamanan PBB langsung melakukan sidang yang membahas resolusi tersebut.
Dalam pertemuan pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang berisi sebagai berikut:
- Penghentian semua operasi militer Belanda dan penghentian semua aktivitas gerilya.
- Pembebasan semua tahanan politik RI oleh Belanda.
- Belanda harus memberi kesempatan kepada para pemimpin RI untuk kembali ke Yogyakarta.
- Perundingan-perundingan baru akan dilakukan di bawah pengawasan PBB.
- Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi United Nations Commissions for Indonesia (UNCI).
Setelah UNCI terbentuk, UNCI segera melakukan pembicaraan dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta di pengasingan. Selain itu, UNCI juga melakukan tekanan terhadap Belanda agar menghentikan agresi militernya dan mengembalikan para pimpinan RI ke Yogyakarta. Akhirnya, pihak Indonesia dan Belanda bersedia berunding kembali di Jakarta pada 17 April 1949 dan 7 Mei 1949. Perundingan ini diketuai oleh Merle Cochran (Amerika Serikat), sedangkan delegasi Indonesia ialah Mr. Moh. Roem dan delegasi Belanda, Dr. van Royen. Perundingan Roem-Royen kemudian dapat mengakhiri pertikaian Indonesia-Belanda dalam agresi militer kedua Belanda.
J. Peran Dunia Internasional dalam Diplomasi
Perundingan yang dilakukan pemimpin Republik Indonesia bertujuan untuk menciptakan perdamaian, mempertahankan kemerdekaan serta mengusir kekuasaan penjajah. Periode Agustus 1945 sampai dengan Desember 1949 merupakan periode perjuangan panjang yang pahit yang dialami pemerintah Republik Indonesia. Periode tersebut merupakan periode pelaksanaan politik luar negeri Indonesia untuk menangkal kembalinya kekuasaan kolonial. Periode untuk mencari dukungan dunia Internasional. Dapat dikatakan bahwa pada periode tersebut merupakan perjuangan untuk menghentikan konflik bersenjata beralih ke perjuangan diplomasi lewat meja perundingan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan diplomasi bagi Indonesia merupakan suatu politik untuk mencari dukungan dan pengakuan dunia internasional atas kemerdekaan Indonesia. Perjuangan diplomasi yang dijalankan pemerintah Republik Indonesia banyak melibatkan pihak ketiga sebagai perantara. Ternyata perjuangan diplomasi tersebut tidak sia-sia. Diplomasi yang dilakukan dapat mewujudkan harapan rakyat Indonesia. Banyak negara di dunia yang kemudian memberikan dukungan dan pengakuan atas Kemerdekaan Republik Indonesia.
Salah satu wujud pengakuan dunia internasional ialah dengan ditanda tanganinya perjanjian Linggarjati. Indonesia mendapat pengakuan de facto yang diberikan oleh Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Cina. Begitu juga halnya ketika Belanda melakukan agresi militernya yang kedua untuk menaklukkan Indonesia, Amerika Serikat memberikan dukungan diplomatik kepada pihak Indonesia. Amerika kemudian menghentikan pemberian dana bantuan kepada Belanda pada tanggal 22 Desember 1949. Bahkan Kongres Amerika mendesak agar menghentikan semua bantuan ekonomi kepada Belanda. Tekanan Amerika terhadap Belanda dianggap pemimpin Republik Indonesia belumlah cukup. Para pemimpin Republik Indonesia mengharapkan tekanan Amerika yang lebih tegas lagi kepada Belanda. Dukungan Amerika terhadap Indonesia bukan hanya karena agresi militer Belanda saja. Adanya pemberontakan PKI di Madiun menyebabkan Amerika mendukung perjuangan Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan sikap Amerika yang membantu Hatta dan pemerintahnya menumpas pemberontakan komunis di Madiun.
Sejak terjadinya peristiwa PKI, Amerika Serikat yang selalu mendukung Belanda dalam perundingan kini berbalik arah berpihak kepada Indonesia. Pada awalnya Belanda mengira Amerika akan membantu pemerintah Belanda dalam menyelesaikan konfliknya dengan Indonesia. Hal itu ternyata jauh dari dugaannya, Amerika membantu pemerintah Indonesia dalam menumpas pemberontakan PKI. Bahkan Amerika mengancam, seandainya pemerintah Belanda bersikeras pada pendirian menginginkan kekuasaannya kembali di Indonesia selama masa peralihan, Pemerintah Amerika Serikat akan mengambil langkah yang merugikan Belanda. Amerika juga akan mengundurkan diri dari Komisi Jasa-Jasa Baik dengan segala akibat politiknya kepada Belanda. Amerika Serikat tidak akan ragu-ragu mengambil semua langkah politik yang tepat bagi Indonesia. Mulai saat itu politik Amerika secara jelas mulai menempuh arah yang lebih menguntungkan Republik Indonesia.
PBB dan Amerika Serikat serta militer Republik Indonesia mulai bersikap tegas kepada Belanda. Hal ini dilakukan dengan memberikan tekanan dan memaksa Belanda untuk menghentikan upayanya membentuk imperium di Indonesia. Belanda dituntut menyerahkan kedaulatan penuh kepada Indonesia. Amerika mencela habis-habisan kepada Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Amerika mengancam akan menghentikan bantuan pembangunan yang menjadi tumpuan utama perekonomian di negeri Belanda.
Bukan hanya Amerika, tetapi negara-negara di segala penjuru dunia seperti China, Kolombia, Suria, dan Ukraina juga memberikan tekanan terhadap Belanda. Mendesak agar Belanda segera menghentikan perang dan menarik mundur pasukannya dari Indonesia. Upaya dan tindakan militer Belanda terhadap Indonesia dijadikan persoalan dunia yang dicantumkan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Sengketa Indonesia-Belanda tidak lagi murni persengketaan dua negara, tetapi sudah merupakan persoalan Internasional yang harus diselesaikan dalam perundingan Dewan Keamanan PBB. Persoalan tersebut berada dalam pengawasan Komisi Jasa-Jasa Baik PBB. Hal tersebut membuat gerah Belanda. pada akhirnya mengusik kedudukan Belanda di Indonesia.
PBB menyarankan agar Belanda dan Indonesia menyerahkan perundingan di bawah pengawasannya. J.U. van Roijen yang pada tanggal 12 April 1946, pemimpin delegasi negeri Belanda menyetujui saran tersebut. Sementara itu, Dean Acheson, juga menyarankan pada Menteri Luar Negeri Belanda, Dr. Stikker, yang ketika itu berkunjung ke Washington pada tanggal 31 Maret 1946, agar segera menyelesaikan pertikaian Belanda-Indonesia dengan cara damai. Setelah penandatanganan persetujuan Linggarjati, diplomasi yang dijalankan Indonesia akhirnya dapat dicapai. Persetujuan Linggarjati memiliki nilai positif bagi Indonesia.
Hasil nyata yang dapat dicapai Linggarjati sesudah penandatanganan adalah pengakuan kedaulatan yang mengalir terhadap Republik Indonesia, meskipun pengakuan-pengakuan itu sebagian besar baru berupa pengakuan de facto. Setelah penandatanganan pada tanggal 25 Maret 1946, Inggris pada tanggal 31 Maret 1946, Amerika Serikat pada tanggal 23 April 1946, Afghanistan tanggal 23 September 1947 (de jure), Burma 23 November 1947 dan Uni Soviet 5 Mei 1948 memberikan pengakuan terhadap Republik Indonesia. Pengakuan de facto negara-negara Arab juga terus mengalir. Libanon tanggal 29 Juni 1947, Syiria tanggal 2 Juli 1947, Arab Saudi tanggal 24 September 1947 dan Yaman tanggal 5 Mei 1948, sedangkan Mesir memberikan pengakuan de jure tanggal 11 Juni 1947.
Pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional terwujud setelah penandatanganan persetujuan Linggarjati. Tindakan Belanda yang menginginkan Republik Indonesia hancur ternyata mendapat reaksi dan tekanan dari pihak ketiga. Pemerintah Belanda tidak dapat mengabaikan tekanan-tekanan dari pihak Amerika dan Inggris. Jika Belanda mengabaikan akan berpengaruh kepada kedudukannya dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Karena tekanan dunia internasional tersebut pemerintah Belanda bersedia mengadakan pembicaraan pendahuluan dengan pihak Republik Indonesia di bawah pengawasan UNCI. Oleh sebagian besar sejarawan Indonesia hal tersebut dianggap sebagai pernyataan “gerak mundur secara terhormat”. Seperti kita ketahui bahwa Belanda tidak pernah mengaku kalah di Indonesia.
Belanda menganggap dipaksa “pergi” dari Indonesia karena tekanan Amerika dan Inggris. Bukan karena tekanan Republik Indonesia. Pemerintah Belanda tetap menghendaki suatu kedudukan khusus di Indonesia. Untuk mencapai maksud tersebut, pemerintah Belanda meminta Amerika dan Inggris mendukungnya. Oleh karena itu, sekalipun pemerintah Republik Indonesia sudah menyetujui kembali ke Yogyakarta, tetapi Belanda tetap merecokinya. Belanda berupaya agar Republik Indonesia terisolasi dengan daerah lainnya di Indonesia. Republik Indonesia hanya berada di daerah Yogyakarta. Sebatas daerah kesultanan Yogyakarta saja, tanpa bobot nasional.
Banyak negara di dunia mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia. Indonesia berhasil memperoleh pengakuan dunia internasional. Secara menyeluruh hasil-hasil diplomasi yang dilakukan pemimpin Republik Indonesia memberi rasa percaya diri dan rasa optimisme bagi delegasi Republik Indonesia yang akan bersidang di Dewan Keamanan PBB. Dunia internasional bersedia mendengar dan memberi perhatian kepada Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Sidang Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi. Resolusi Dewan Keamanan PBB inilah yang telah mengubah seluruh sifat sengketa Indonesia-Belanda.
K. Dampak Perundingan Republik Indonesia
Politik luar negeri yang dijalankan Indonesia pada periode 1946 sampai 1949 difokuskan pada penyelesaian sengketa dengan Belanda. Sejak Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Republik Indonesia mendambakan pengakuan dari dunia Internasional terhadap negaranya yang baru lahir. Pada kenyataannya cita-cita tersebut baru dapat diwujudkan dalam perundingan akhir Indonesia-Belanda, yaitu pada Konferensi Meja Bundar (KMB). Hasil yang dicapai KMB sudah jelas membuktikan dapat membawa manfaat yang nyata, menjiwai hubungan bangsa-bangsa yang terlibat dalam kerja sama Uni Belanda-Indonesia.
Persetujuan yang dicapai pada KMB telah memberikan kepastian pada bangsa Indonesia. Selambat lambatnya tanggal 30 Desember 1949 kedaulatan yang penuh akan diserahkan kerajaan Belanda kepada bangsa Indonesia. Pihak pemerintah Belanda dan pemerintah RIS sudah menyetujui rencana-rencana persetujuan KMB secara utuh. Delegasi Hatta oleh presiden RIS telah diberi wewenang untuk menerima penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda. Dalam hal ini, Dr. Willem Drees berpendapat bahwa penyerahan kedaulatan yang nyata tidak dapat dicabut kembali, tetapi dilangsungkan sesegera mungkin.
Menurut Dr. Willem Drees, RIS adalah sebuah negara yang demokratis dengan dasar federal. RIS mempunyai hak untuk menentukan sendiri nasib terhadap rakyatnya. RIS akan menjalin kerja sama Indonesia-Belanda dalam suatu ikatan UNI dalam persamaan derajat dan martabat. Belanda berpendapat tidak perlu ada suatu masa peralihan. Setelah KMB, kedaulatan Indonesia tak dapat dicabut. Kedaulatan tanpa syarat dapat diserahkan kepada RIS. Menjelang pertengahan bulan Desember persetujuan-persetujuan KMB telah disahkan. Penyerahan kedaulatan Indonesia yang resmi akan dilangsungkan di Istana Den Haag di Amsterdam pada tanggal 27 Desember 1949. Pemerintah RIS dan wakil-wakil negara asing di Den Haag dan Baginda Ratu akan menandatangani piagam penyerahan kedaulatan serta pengakuan kedaulatan Indonesia.
Penyerahan kedaulatan yang sebenarnya akan dilangsungkan di Istana (kini Istana Merdeka) di lapangan Gambir Jakarta Utara dan Koningsplein (kini Merdeka Utara). Piagam akan diserahkan oleh wakil tinggi Mahkota Kerajaan Belanda kepada suatu delegasi pemerintah RIS. Bendera Belanda akan diturunkan. Sebagai gantinya bendera nasional Indonesia, Sang Merah Putih akan dikibarkan di atas atap Istana. Hal itu sebagai suatu pengakuan berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda dan permulaan berlakunya tertib hukum baru.
Keberhasilan pemimpin Republik Indonesia dalam perjuangan diplomasinya telah mencapai sasaran. Sasaran pokok ialah adanya pengakuan dunia internasional atas Kemerdekaan Indonesia. Politik luar negeri yang dijalankan pada waktu itu hanya difokuskan pada penyelesaian sengketa dengan Belanda. Sejak kemerdekaan diproklamasikan yang dicita-citakan Republik Indonesia hanyalah pengakuan dari dunia Internasional terhadap negaranya yang baru lahir. Negara pertama yang mengakui RI secara de jure adalah negara Mesir. Selain Mesir, dunia Internasional memberikan pengakuan kemerdekaan kepada Republik Indonesia melalui proses yang panjang.
Perundingan konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949 telah memberikan kemenangan bagi Indonesia berupa penyerahan dan pengakuan kedaulatan. Negara di seluruh dunia seolah-olah berlomba-lomba mengakui Kemerdekaan Indonesia. Mulai saat itu politik luar negeri Indonesia perlu diformulasikan lebih baik. Lebih-lebih setelah Indonesia diterima sebagai anggota dari PBB. Negara Internasional yang memberikan pengakuan de jure kepada Indonesia kemudian adalah Rusia dan RRC. Indonesia akhirnya dimasukkan ke dalam PBB sebagai anggota ke-60 dari badan Internasional dunia itu pada tahun 1950. Jika perjuangan bangsa Indonesia tidak menggunakan cara diplomasi, negara Indonesia tidak dapat dipertahankan.
Kepiawaian pemimpin bangsa Indonesia dalam berdiplomasi tidak lepas dari campur tangan pihak ketiga terutama PBB dan Amerika Serikat. PBB mempunyai arti penting bagi Indonesia karena dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda. PBB merupakan forum yang sangat penting dalam mewujudkan cita-cita Indonesia untuk mengusir penjajahan PBB berusaha melenyapkan ketidakadilan di dunia. PBB berusaha menciptakan dunia atas dasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Setelah PBB melibatkan diri dalam persoalan Indonesia Belanda, persengketaan tersebut tidak menjalar menjadi perang dunia. PBB mempunyai pengaruh moral dan politik dari anggotanya secara kolektif. Mekanisme musyawarah yang telah dikembangkan PBB telah membuktikan keampuhannya dalam membatasi dan mengurangi krisis dalam situasi-situasi yang gawat. PBB sangat berperan dalam menentukan perkembangan pembangunan sosial dan ekonomi internasional yang luas dan kompleks, berperan dalam semua aspek seperti: mengusahakan taraf hidup yang lebih tinggi.
Keterlibatan pihak ketiga terutama PBB dan Amerika Serikat dalam menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda membawa dampak positif bagi Indonesia. Perundingan diplomasi yang dijalankan telah menghasilkan kemenangan bagi Indonesia. Sebagai hasilnya, kemerdekaan Indonesia dapat dipertahankan. Kedaulatan bangsa Indonesia diakui dunia Internasional setelah melalui berbagai macam perundingan. Hingga sampailah yang telah dicita-citakan kemerdekaan diperkuat dengan pengakuan dunia internasional sehingga memperkuat nilai tawar Indonesia dalam berbagai masalah internasional yang mungkin akan dihadapi di kemudian hari. Setelah situasi politik stabil dan mendapat pengakuan dunia Internasional maka perlu diadakan perundingan dengan pihak Belanda.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai negara yang baru memproklamasikan kemerdekaan ternyata mendapatkan simpati dari bangsa-bangsa di dunia. Hal ini tampak dari adanya pengakuan negara lain terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah negara merdeka maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-undang Dasar (UUD 1945) dan pemilihan Presiden yaitu Bung Karno serta Wakil Presiden Bung Hatta. Dua kali agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda terhadap Indonesia, sempat membuat keberadaan negara Indonesia melemah. Tapi bangsa Indonesia menjawabnya dengan tetap melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama menempuh jalur diplomasi dan kekuatan militer.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo. Persetujuan Linggarjati yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 antara Indonesia-Belanda sebagai upaya mengatasi konflik melalui jalur diplomasi. Akan tetapi, Belanda mengingkari perundingan ini dengan jalan melakukan agresi militer pertama pada tanggal 21 Juli 1947.
Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
B. Saran
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia harus kita pertahankan, sebagai generasi muda Indonesia selayaknya kita mempertahankan hasil perjuangan ini melalui cara yang sesuai dengan bidang yang kita geluti.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Bandung: Angkasa.
Poespanegoro, Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto. 2006. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Saleh, R.H.A. 2000. Mari Bung, Rebut Kembali. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suparman, et.al. 2003. Sejarah Nasional dan Umum. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Tjondronegoro, Purnawan. 1980. Merdeka Tanahku Merdeka Negeriku 1 dan 2. Jakarta: C.V. Nugraha.
Tobing, K.L.M. 1987. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia KMB. Jakarta: CV Massagung.