KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Masyumi ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah Sejarah Indonesia yang berjudul Makalah Masyumi ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Masyumi ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Masyumi ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, Oktober 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran untuk mendirikan partai politik, mendapat respons dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan umat Islam. Para tokoh Islam kemudian mengadakan Muktamar Umat Islam di Yogyakarta pada tanggal 7 dan 8 November 1945. Muktamar memutuskan untuk mendirikan Partai Masyumi.
Partai Masyumi merupakan salah satu partai politik yang lahir dari rahim proklamasi kemerdekaan Indonesia. Partai Masyumi merupakan satu-satunya partai yang berasaskan Islam yang lahir pada awal kemerdekaan. Partai Masyumi didukung oleh organisasi- organisasi keagamaan yang sudah ada sebelumnya, seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis dan lain-lain. Banyaknya dukungan dari berbagai organisasi tersebut mengantarkan Masyumi berkembang dengan cepat, dan menjadi salah satu partai besar di Indonesia.
Partai Masyumi telah memainkan perannya dalam setiap persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Ketika Indonesia masih di bawah bayang-bayang kembalinya penjajah untuk menguasai kembali Indonesia, Masyumi turut serta membendung dan melakukan perlawanan melalui jalur perang sebagaimana yang diperjuangkan barisan Hizbullah, sebagai underbouw Masyumi, dan jalur diplomasi melalui tokoh-tokohnya seperti Moh. Roem. Masyumi juga berperan aktif untuk memperjuangkan kembalinya bentuk negara Indonesia ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana yang diperankan M. Natsir melalui mosi Integralnya pada tahun 1950.
Masyumi juga berperan aktif dalam parlemen dan konstituante, terutama pada masa demokrasi parlementer. Seiring dengan keterlibatan Masyumi dalam merespons berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan tersebut, seringkali berdampak terhadap perjalanan Partai Masyumi dalam percaturan politik di Indonesia. Terlepas dari peran politik yang dimainkannya, Masyumi sebagai suatu organisasi politik juga mengalami pasang naik dan pasang surut dalam keanggotaannya. Oleh karena itu, tulisan ini hanya memfokuskan pembahasannya pada pertumbuhan dan perkembangan Partai Masyumi sebagai satu organisasi politik. Artinya, hanya melihat bagaimana pergolakan dan pergumulan organisasi ini di kalangan internal Partai Masyumi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Sarekat Islam ini adalah sebagai berikut:
- Bagaimana pembentukan Partai Masyumi?
- Apa ideologi Partai Masyumi?
- Apa tujuan Masyumi sebagai pemersatu umat?
- Mengapa NU keluar dari Masyumi?
- Bagaimana hasil Masyumi pada Pemilu 1955?
- Bagaimana proses penghapusan anggota istimewa Masyumi?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Sarekat Islam ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui pembentukan Partai Masyumi.
- Untuk mengetahui ideologi Partai Masyumi.
- Untuk mengetahui Masyumi sebagai pemersatu umat.
- Untuk mengetahui NU keluar dari Masyumi.
- Untuk mengetahui Masyumi dan Pemilu 1955.
- Untuk mengetahui penghapusan anggota istimewa Masyumi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembentukan Partai Masyumi
Kedudukan umat Islam secara politis tidak terlalu menggembirakan pada bulan-bulan pertama kemerdekaan Indonesia. Keadaan ini bisa dilihat dari kurang terwakilinya tokoh Islam dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Melihat kedudukan umat Islam dan aspirasi umat Islam seperti itulah yang kemudian menimbulkan kesadaran di kalangan tokoh-tokoh Islam untuk membentuk partai politik Islam. Serangkaian pembicaraan dan diskusi pun dilakukan untuk menjawab tantangan itu. Pembicaraan- pembicaraan itu pada awalnya dilakukan secara informal pada bulan September 1945 di Jakarta, seperti pembicaraan antara K.H. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir dan Moh. Roem. Pembicaraan informal seperti itu disambut para tokoh Islam lainnya, sehingga makin berkembang dan mengkristal untuk membentuk partai politik Islam. Mereka mengadakan rapat di Yogyakarta pada tanggal 11 Oktober 1945 untuk menyusun rencana aksi dalam rangka membentuk partai politik Islam.
Adanya keinginan bersama di kalangan umat Islam untuk membentuk partai politik Islam mendapat legitimasi setelah keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran untuk mendirikan partai politik. Empat hari setelah keluarnya Maklumat tersebut, maka diadakanlah Muktamar Umat Islam pada tanggal 7 dan 8 November 1945 bertempat di Gedung Muallimin Yogyakarta. Pelaksana muktamar adalah Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Muktamar ini dihadiri tokoh-tokoh Islam, yakni para ulama, guru-guru agama dari pondok pesantren dan madrasah serta pemimpin-pemimpin organisasi Islam.
Muktamar tersebut memutuskan beberapa hal. Pertama, Masyumi merupakan partai politik Islam. Kedua, Masyumi merupakan satu-satunya partai politik di kalangan umat Islam. Ketiga, memperkuat persiapan umat Islam untuk berjihad fi sabilillah dalam melawan segala bentuk penjajahan. Keempat, memperkuat pertahanan Negara Indonesia dengan menyusun Barisan Sabilillah di daerah-daerah. Kelima, memilih Dr. Soekiman sebagai ketua, dan wakil ketua masing-masing Abikusno dan Wali al Fatah. Ketiga orang itu diberi mandat untuk menyusun kepengurusan Masyumi.
Kepengurusan Masyumi terdiri dari Pimpinan Partai dan Majelis Syuro. Pimpinan Partai merupakan lembaga eksekutif yang membuat pernyataan politik, dan memutuskan kebijakan partai. Majelis Syuro merupakan lembaga penasihat yang berfungsi untuk memberi nasehat dan fatwa kepada Pimpinan Partai dalam pekerjaan partai secara garis besar. Susunan kepengurusan pimpinan partai didominansi oleh politisi karier yang berlatar belakang pendidikan Barat. Dr. Sukiman misalnya, pernah menjadi Ketua Partai Islam Indonesia yang didirikan pada 4 Desember 1938. Sementara itu, pada level Majelis Syuro didominasi oleh para ulama, terutama para pemimpin organisasi keislaman, seperti K.H. Hasyim Asyari dan K.H. Wahid Hasyim dari NU, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah.
Masuknya unsur-unsur organisasi dalam Masyumi sebagai anggota istimewa memberi darah segar bagi Masyumi untuk mengembangkan sayapnya dan memperbanyak anggotanya, terutama dari kalangan umat Islam. Hal ini tentunya menambah kekuatan politik Masyumi. Bergabungnya berbagai organisasi keagamaan tersebut tidak lepas dari adanya kebersamaan dan semangat persaudaraan yang tercermin dari ideologi yang dimiliki Partai Masyumi.
B. Ideologi Partai Masyumi
Meskipun pada awalnya Partai Masyumi tidak memberikan keterangan yang tegas, jelas dan terperinci tentang ideologinya, namun sebenarnya dapat dengan mudah dibaca kalau Masyumi berideologikan Islam. Identitas keislaman dalam Masyumi sangat menonjol, baik dalam mengambil keputusan dan pola pikirnya yang bersumber dari ajaran Islam maupun dengan seringnya menggunakan kata-kata Islam dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga Masyumi serta resolusi-resolusi yang dikeluarkan Masyumi. Resolusi Partai Masyumi pada masa perang kemerdekaan misalnya, menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk melakukan jihad fi sabilillah dalam menghadapi segala bentuk penjajahan, terutama menghadapi sekutu yang masuk ke Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia. Di dalam AD Masyumi disebutkan bahwa tujuan Partai Masyumi adalah untuk menegakkan kedaulatan negara dan agama Islam. Selain itu, Partai Masyumi juga mempunyai tujuan untuk melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.
Partai Masyumi belum memberikan keterangan yang jelas tentang ideologi Partai Masyumi terutama sampai tahun 1947. Ideologi Partai Masyumi baru diungkapkan dengan adanya kata-kata ideologi Islam dalam manifesto politik Masyumi yang dikeluarkan pada tanggal 6 Juli 1947. Meskipun ada pernyataan ideologi Islam dalam manifesto tersebut, tetapi Partai Masyumi belum memberikan keterangan yang terperinci dan resmi tentang ideologi Islam. Mohammad Sarjan memberikan penafsiran terhadap ideologi Islam yang masih terbatas pada cara menyebarkan ideologi Islam. Mohammad Sarjan menegaskan bahwa dalam menyebarkan ideologi Islam dapat dilakukan melalui pendidikan, dakwah dan amal. Pendidikan dan dakwah diharapkan menciptakan manusia dan kemasyarakatan yang Islam, yang tunduk kepada Allah. Amal juga harus meluas kepada seluruh kepentingan masyarakat.
Kurangnya penjelasan ideologi Masyumi pada masa perang kemerdekaan Indonesia dapat dimaklumi, karena Pimpinan Masyumi masih lebih berkonsentrasi menghadapi Belanda. Dalam menghadapi penjajah tentunya dibutuhkan perhatian yang khusus dari semua lapisan masyarakat, termasuk para pimpinan Masyumi dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, tidak terfokusnya pemikiran terhadap ideologi Partai Masyumi dimaksudkan untuk menghindari adanya konflik ideologi dengan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat Indonesia, dan supaya tetap terjaganya persatuan di kalangan masyarakat Indonesia. Suasana ini terus berlangsung sampai pada awal tahun 1950-an.
Setelah Indonesia memperoleh kedaulatan secara penuh dan kembali kepada NKRI, para pemimpin Masyumi mulai memanfaatkan situasi dengan meluangkan waktu dan pikirannya untuk menafsirkan asas Partai Masyumi, sebagaimana yang tertuang secara tegas dalam AD Masyumi yang disahkan Muktamar Masyumi VI pada bulan Agustus 1952. Sejak tahun 1952 sampai Partai Masyumi dibubarkan pada tahun 1960 asas Partai Masyumi adalah Islam. Tujuan Partai Masyumi adalah terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan Negara Republik Indonesia, menuju keridhoan Illahi. Selain menyatakan asas Partai Masyumi adalah Islam pada tahun 1952, juga dikeluarkan tafsir asas Masyumi. Tafsir asas Masyumi ini merupakan rumusan resmi ideologi partai Masyumi yang dijadikan sebagai pedoman dan pegangan bagi anggota Masyumi.
C. Masyumi sebagai Pemersatu Umat
Sejak diadakannya Muktamar Umat Islam di Yogyakarta pada tanggal 7 dan 8 November 1945, Masyumi sudah didukung organisasi- organisasi Islam yang sudah didirikan pada masa penjajahan Belanda, seperti NU dan Muhammadiyah. Dukungan kedua organisasi itu bisa dilihat dari keterlibatan orang-orangnya dalam pelaksanaan Muktamar Umat Islam. Bergabungnya kedua organisasi itu menambah anggota Masyumi, sehingga tidak terlalu mengherankan kalau anggota Masyumi berkembang dengan cepat.
Perkembangan anggota Masyumi semakin pesat setelah bergabungnya berbagai organisasi Islam yang bersifat lokal. Pada mulanya yang bergabung adalah Persatuan Umat Islam dan Perikatan Umat Islam. Kemudian disusul Persatuan Islam (Persis) di Bandung, Jami’ah Al-Wasliyah dan Al-Ittihadiyah di Sumatera Utara pada tahun 1948, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di Aceh pada tahun 1949, Al-Irsyad pada tahun 1950, Mathlaul Anwar di Banten dan Nahdatul Wathan di Lombok. Organisasi-organisasi itu bergabung dengan Partai Masyumi sebagai anggota istimewa. Anggota istimewa Masyumi adalah anggota organisasi. Bergabungnya organisasi-organisasi itu memberikan andil besar dalam penambahan anggota Masyumi, dan memperluas pengaruhnya ke seluruh pelosok nusantara.
Selain organisasi-organisasi itu, ada juga organisasi Islam yang meleburkan diri ke dalam Masyumi, misalnya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang didirikan di Medan pada akhir November 1945. Parmusi meleburkan diri ke Masyumi pada 6 Februari 1946. Sejak saat itu berdirilah Masyumi di Sumatera Timur. Langkah Parmusi ini juga diikuti oleh Majelis Islam Tinggi yang berpusat di Bukit Tinggi. Begitu juga halnya dengan Serikat Muslimin Indonesia (SERMI) di Kalimantan Selatan.
Meskipun Partai Masyumi sudah didukung oleh berbagai organisasi keislaman, tetapi Masyumi tidak berhenti di situ saja. Artinya, Masyumi tetap melakukan usaha untuk merekrut anggota, dengan cara mendirikan berbagai bentuk organisasi yang bersifat otonom. Misalnya, mendirikan Serikat Tani Islam Indonesia (STII) pada tanggal 26 Oktober 1946 di Yogyakarta. Pendirian STII dimaksudkan untuk merekrut anggota Masyumi dari kalangan petani. Selain STII, Masyumi juga mendirikan perserikatan untuk buruh, yakni Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) pada tanggal 27 November 1947 di Solo. Masyumi juga mendirikan Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII) pada tahun 1950-an.
Adanya dukungan dari berbagai organisasi, baik organisasi Islam yang bersifat nasional maupun lokal, dan dukungan dari berbagai kaum profesi yang tergabung dalam SNII, SBII, dan STII tentunya menambah kuantitas anggota Masyumi. Partai Masyumi pada masa revolusi sudah mempunyai cabang dan anak cabang hampir di seluruh Indonesia, bahkan cabang Masyumi sudah dibentuk di Kepulauan Kai (Irian), yang ketika itu masih menjadi kawasan yang dipersengketakan dengan Belanda. Tidak hanya cabang dan anak cabang yang sudah dibentuk, tetapi ranting pun di tingkat desa sudah ada. Bahkan hampir tiap desa di Jawa sudah memiliki ranting Masyumi. Sampai 31 Desember 1950 tercatat 237 cabang, 1080 anak cabang, 4982 ranting, dan anggotanya berjumlah lebih kurang 10.000.000 orang, sehingga Partai Masyumi menjadi partai politik terbesar di Indonesia pada masa itu. Posisi Masyumi sebagai partai terbesar, kemudian bergeser setelah NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952.
D. NU keluar dari Masyumi
Keanggotaan Masyumi mengalami pengurangan, terutama setelah NU (Nahdatul Ulama) keluar dari Masyumi pada 1952. NU keluar dari Masyumi disebabkan karena kurang terakomodasinya keinginan dan kepentingan NU dalam Masyumi. Hal ini bisa dilihat dari dua hal. Pertama, NU sudah lama merasa tidak nyaman dalam Masyumi, terutama sejak Muktamar Masyumi IV di Yogyakarta pada tanggal 15-18 Desember 1949. Ketidaknyamanan itu semakin terasa ketika muktamar memutuskan untuk merubah status Majelis Syuro menjadi badan penasihat. NU merasa kedudukannya dalam Masyumi sudah tidak begitu penting lagi dalam proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan partai. Hal itu bisa dipahami karena selama ini orang- orang NU hanya duduk dalam Majelis Syuro, sementara kedudukan wakil NU dalam jajaran Pimpinan Partai Masyumi tidak terakomodir dan tidak seimbang jika dibandingkan dengan golongan lainnya.
Perubahan struktur Masyumi tersebut, terutama fungsi Majelis Syuro menimbulkan kekecewaan di kalangan NU. Sebagaimana dikatakan Syaifuddin Zuhri, perubahan struktur itu tidak mencerminkan demokrasi dalam sistem musyawarah, karena kebijaksanaan partai lebih banyak menitikberatkan pada pertimbangan politik dari pada fatwa Majelis Syuro. Ketimpangan struktur organisasi Masyumi dirasakan tidak wajar, disamping kurang terwakilinya tokoh- tokoh NU di tingkat pimpinan partai, suara NU pun sering tidak mendapat tempat dalam keputusan-keputusan politik Masyumi. Kedua, tidak dipenuhinya tuntutan dari kalangan NU agar kursi menteri agama diserahkan kepada mereka. Penolakan terhadap tuntutan NU tersebut oleh Pimpinan Partai Masyumi menjadi puncak dari kekecewaan NU terhadap Masyumi.
Berangkat dari serangkaian peristiwa itu, maka di kalangan tokoh NU muncul pemikiran untuk mengkaji ulang kedudukan NU dalam Masyumi. Masalah ini pun akhirnya dibawa dan dibahas di tingkat Pengurus Besar NU. Dalam rapat NU pada tanggal 5 April 1952 di Surabaya diputuskan untuk mengeluarkan NU dari Masyumi. Keputusan PB NU ini kemudian diperkuat Muktamar NU ke 19 di Palembang pada 28 April – 1 Mei 1952. Keputusan itu diambil melalui voting dengan 61 suara setuju, 9 menolak dan 7 abstain. Berdasarkan hasil voting itu, akhirnya Muktamar NU ke 19 di Palembang memutuskan NU keluar dari Masyumi.
Keputusan Muktamar NU kemudian dikomunikasikan ke Pimpinan Partai Masyumi. Pertemuan yang diadakan antara Pimpinan Partai Masyumi dengan PB NU menghasilkan kesepakatan untuk mencabut keanggotaan NU dari Masyumi. Oleh karena itu, NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai politik sendiri yakni Partai NU. NU kemudian ikut sebagai salah satu kontestan pada Pemilu 1955.
E. Masyumi dan Pemilu 1955
Pemilu pertama diadakan pada tahun 1955, untuk memilih wakil rakyat di DPR dan Konstituante. Pemilihan calon anggota DPR dilaksanakan pada 29 September 1955, sementara untuk Konstituante tanggal 15 Desember 1955. Pemilu 1955 menghasilkan empat partai besar yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, NU dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Partai Masyumi sendiri memperoleh suara terbanyak, kedua setelah PNI. Bahkan Masyumi merupakan partai terbesar di antara partai Islam lainnya, dengan perolehan suara sebanyak 7.789.619 untuk Konstituante. Perolehan suara tersebut menempatkan anggota Masyumi duduk dalam Konstituante sebanyak 112 orang dari 514 kursi yang diperebutkan. Sementara itu, dalam pemilihan anggota DPR, Masyumi memperoleh 7.903.886 suara, sehingga memperoleh 57 kursi sama dengan PNI dari 257 kursi yang diperebutkan.
Perolehan suara Masyumi menyebar di seluruh daerah pemilihan, dan yang terbanyak diperoleh dari daerah Jawa Barat, namun kalau dilihat dari persentasenya, lebih banyak dari daerah pemilihan Sumatera Tengah dengan 50,8 %. Perolehan suara Masyumi berdasarkan daerah pemilihan dapat dilihat pada tabel berikut:
No. | Daerah Pemilihan | Jumlah Suara | Persentase Suara Daerah | Peringkat | Jumlah Kursi |
1 | Jakarta Raya | 200.460 | 26% | 1 | 2 |
2 | Jawa Barat | 1.844.442 | 26,4% | 1 | 3 |
3 | Jawa Tengah | 902.387 | 10% | 4 | 6 |
4 | Jawa Timur | 1.109.742 | 11,2% | 4 | 7 |
5 | Sumatera Selatan | 628.382 | 43,2% | 1 | 4 |
6 | Sumatera Tengah | 797.692 | 50,8% | 1 | 6 |
7 | Sumatera Utara | 789.910 | 36,9% | 1 | 6 |
8 | Nusa Tenggara Barat | 264.719 | 21,2% | 2 | 2 |
9 | Nusa Tenggara Timur | 157.972 | 21,2% | 2 | 1 |
10 | Kalimantan Timur | 44.347 | 25,7% | 1 | |
11 | Kalimantan Barat | 155.173 | 33,2% | 1 | 1 |
12 | Sulawesi Utara/Tengah | 189.199 | 25% | 1 | 1 |
13 | Sulawesi Selatan/Tenggara | 446.255 | 40% | 1 | |
14 | Maluku | 117.440 | 35,4% | 1 | 1 |
Jumlah | 7.648.120 | 40 |
Masyumi mengumpulkan suara terbanyak yakni 10 dari 14 daerah pemilihan di seluruh Indonesia. Ini menunjukkan bahwa Masyumi merupakan partai yang paling luas kawasan pengaruhnya di Nusantara, dibandingkan partai-partai lain. PNI hanya menang di dua tempat pemilihan, sementara NU menang di dua daerah pemilihan, bahkan PKI tidak memenangkan daerah pemilihan manapun. Kemenangan Masyumi di sepuluh tempat pemilihan tidak menentukan jumlah kursi yang diperolehnya, karena pemilihan umum di Indonesia saat itu menggunakan sistem pemilihan proporsional.
F. Penghapusan Anggota Istimewa Masyumi
Meskipun NU sudah keluar dari Masyumi, tetapi anggota istimewa lainnya masih tetap bertahan sampai pada awal Demokrasi Terpimpin. Seiring dengan perubahan situasi dan meningkatnya suhu politik pada pra dan pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka di kalangan anggota istimewa muncul pembicaraan tentang eksistensi anggota istimewa. Munculnya kesadaran di kalangan anggota istimewa Masyumi tentang situasi politik berkembang begitu cepat, terutama adanya peningkatan konflik antara Presiden Sukarno dengan Pimpinan Masyumi. Peningkatan konflik itu menambah kecemasan dan kekhawatiran di kalangan anggota Masyumi, kalau konflik itu berimbas kepada anggota istimewa.
Anggota istimewa yang paling cemas akibat dari konflik itu adalah Muhammadiyah. Hal ini bisa dipahami karena Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang terbesar dan memiliki anggota yang terbanyak di antara organisasi lain. Oleh karena itu, Pimpinan Muhammadiyah mengangkat pembicaraan mengenai keanggotaan Muhammadiyah dalam Masyumi, seperti dalam sidang pleno Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 25 Juni 1959 di Yogyakarta. Pada sidang pleno tersebut, status keanggotaan Muhammadiyah dalam Masyumi belum diambil keputusan. Keputusan tentang nasib keanggotaan Muhammadiyah dalam Masyumi diputuskan dalam sidang pleno Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 15-16 Agustus 1959 di Jakarta. Pada prinsipnya mereka setuju untuk melepaskan Muhammadiyah dari keanggotaan istimewa. Meskipun demikian, mereka belum sepakat kalau keputusan itu diambil secara sepihak. Oleh karena itu, sidang sepakat memutuskan akan mengirim tiga utusan untuk membicarakan hal itu dengan Pimpinan Partai Masyumi dan anggota istimewa lainnya.
Serangkaian pembicaraan pun dilakukan, baik di antara anggota istimewa maupun dengan Pimpinan Masyumi. Ketika Pimpinan Masyumi mengadakan rapat dengan ketua-ketua anggota istimewa pada tanggal 29 Agustus 1959, hampir semua ketua anggota istimewa setuju kalau keanggotaan istimewa dihapus. Meskipun begitu, dalam rapat berikutnya pada tanggal 31 Agustus 1959 masih terdapat pro kontra terhadap penghapusan anggota istimewa. Begitu juga halnya dalam rapat tanggal 4 September 1959. Kelompok yang setuju penghapusan anggota istimewa adalah Muhammidiyah, Al-Irsyad, PUI dan Al-Ittihadiyah. Sementara yang menolak adalah Persis dan Aljamiah Al Wasliyah. Menyikapi pro kontra tersebut, Pimpinan Masyumi memutuskan menerima penghapusan keanggotaan istimewa bagi anggota yang ingin keluar dari Masyumi. Meskipun pada awalnya 20 Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi.
Persis dan AlWasliyah menolak, tetapi akhirnya mereka setuju untuk menghapus anggota istimewa. Pengumuman penghapusan anggota istimewa Masyumi dilakukan pada 8 September 1959. Sejak saat itu berakhirlah keanggotaan organisasi-organisasi Islam dalam Masyumi. Sejak saat itu pula tidak ada lagi anggota istimewa dalam struktur organisasi Masyumi. Penghapusan anggota istimewa didasarkan atas pertimbangan meningkatnya konflik antara Pimpinan Partai Masyumi dengan Presiden Sukarno. Anggota istimewa khawatir kalau konflik itu berimbas ke anggota istimewa, seperti adanya gangguan terhadap aktivitas Masyumi di daerah-daerah konflik. Untuk menghindari implikasi dari konflik itu, anggota istimewa mengambil sikap untuk melepaskan diri dari Partai Masyumi. Penghapusan anggota istimewa berdampak langsung terhadap keanggotaan Masyumi, sehingga anggotanya berkurang secara drastis. Pengurangan anggota Masyumi tidak hanya terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin, tetapi pada masa transisi pun sudah terjadi pengurangan anggota Masyumi terutama setelah meletusnya peristiwa PRRI.
Meningkatnya aktivitas PRRI membawa dampak negatif bagi Masyumi, terutama di daerah-daerah yang bergolak. Bahkan Masyumi di daerah itu dilarang melakukan aktivitas politik dengan keluarnya Peperpu KSAD No. Prt/Peperpu/028/1958 tertanggal 5 September 1958 tentang larangan adanya organisasi Partai Masyumi, Parkindo, PSI dan IPKI di daerah-daerah Tapanuli, Sumatera Barat, Riau Daratan serta Sulawesi Utara dan Tengah. Larangan tersebut berdampak pada keanggotaan Masyumi, sehingga ketika diselenggarakan Muktamar Masyumi IX pada 23-27 April 1959 di Yogyakarta misalnya, Pimpinan Partai Masyumi saat itu tidak lagi mengundang Pimpinan Masyumi di daerah Tapanuli, Sumatera Barat, Riau Daratan, Sulawesi Utara dan Tengah. Dengan demikian, keanggotaan Masyumi berkurang secara drastis sejak masa transisi sampai pada awal demokrasi terpimpin. Keberadaan anggota Masyumi semakin terdesak dan tersudut, sampai akhirnya Partai Masyumi terpaksa membubarkan diri pada tahun 1960.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Partai Masyumi pernah menjadi partai terbesar di Indonesia, setidaknya sampai pada awal tahun 1950-an. Kebesaran Partai Masyumi tidak lepas dari pengaruh dan peran organisasi-organisasi Islam pendukungnya yang tergabung dalam anggota istimewa Masyumi seperti NU dan Muhammadiyah. Kedudukan Masyumi sebagai partai terbesar berubah setelah NU keluar dari Masyumi.
Meskipun NU keluar dari Masyumi, Partai Masyumi tetap menjadi partai terbesar kedua setelah PNI, dan bahkan partai terbesar di antara partai Islam lainnya berdasarkan hasil Pemilu 1955. Masyumi merupakan partai yang paling luas pengaruhnya di seluruh Indonesia dibandingkan dengan partai-partai lain. Hal itu tidak terlalu mengherankan karena Masyumi lebih mengedepankan unsur egalitarian dalam penerimaan anggotanya, dan didukung oleh tokoh-tokoh yang cukup berpengaruh di masyarakat.
Perubahan konstelasi politik, terutama pada masa transisi dari demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin, berdampak terhadap eksistensi Partai Masyumi. Banyak persoalan politik yang kemudian berimbas kepada keanggotaan Masyumi. Berkurangnya anggota Masyumi, baik karena keluarnya anggota istimewa dari Masyumi maupun tidak jalannya aktivitas Masyumi di beberapa daerah, tentunya berdampak langsung terhadap kekuatan politik Masyumi.
Kekuatan politik Masyumi semakin merosot. Berkurangnya anggota Masyumi semakin memberi peluang bagi lawan politik Masyumi untuk menekan Partai Masyumi. Sukarno melihat betul perkembangan tersebut, dan kesempatan inilah yang digunakannya untuk terus menerus menekan Masyumi. Tekanan Sukarno terhadap Masyumi semakin lama semakin keras, hingga akhirnya Presiden Sukarno membubarkan Masyumi pada 17 Agustus 1960.
B. Saran
Pendidikan agama perlu ditanamkan secara intensif, hal tersebut untuk membentengi umat agar tidak terpengaruh oleh paham dan ideologi lain yang menyesatkan. Terutama terhadap generasi muda yang nantinya akan menjadi penerus bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Aboebakar. 1957. Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasjim.
Busyairi, Badruzzaman. 1985. Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Feith, Herbert. 1973. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press.
Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan dan Sebelas Maret University Press.
Katjung Marijan, Quo Vadis. 1992. NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Surabaya: Erlangga.
Noer, Deliar. 1987. Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Grafiti Press.
Poesponegoro, Marwati Djoned. 1992. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ramlan, Mardjonet. 1990. K.H. Hasan Basri: Fungsi Ulama dan Peranan Masjid. Jakarta: Media Da’wah.
Syaifullah. 1997. Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Zuhri, Saifuddin. 1981. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: Almaarif.