Makalah Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, April 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia memang cinta perdamaian, tetapi tentu lebih cinta kemerdekaan, karena secara fitrah setiap orang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak kemerdekaan dan kedaulatan. Kedaulatan itu baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat dan bangsa.

Oleh karena itu, sudah selayaknya sesuai dengan fitrah maka setiap bentuk dominasi asing dan penjajahan harus kita lawan. Jiwa dan semangat untuk melawan setiap bentuk penjajahan ini seharusnya ada pada diri setiap warga Indonesia.

Banyak orang mengatakan dalam arti politik secara formal kita sudah merdeka tetapi banyak kritik dilontarkan bahwa kita masih mengalami “penjajahan” dalam bidang ekonomi dan kebudayaan dalam arti kurang memiliki kemandirian.

Oleh karena itu, dengan segala upaya kita harus memperjuangkan kemandirian dan kedaulatan di bidang ekonomi dan kebudayaan. Dalam berjuang untuk memperkuat kemandirian itu, kita perlu meneladani atau mencontoh semangat juang para pendahulu kita, misalnya para pahlawan yang telah berjuang melawan penjajahan, keserakahan kolonialisme, dan imperialisme.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana sejarah peperangan melawan hegemoni dan keserakahan kongsi dagang?
  2. Bagaimana sejarah peperangan melawan penjajahan Belanda?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perang Melawan Hegemoni dan Keserakahan Kongsi Dagang

1. Aceh Versus Portugis dan VOC

Dalam rangka melawan Portugis di Malaka, Sultan Iskandar Muda berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit. Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia bahkan, Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk mengamankan wilayahnya yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan Sumatera Barat, ditempatkan para pengawas di jalur-jalur perdagangan. Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di Pariaman. Para pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang.

Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan. Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda. Namun, serangan Aceh kali ini juga belum berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Portugis dapat diusir dari Malaka oleh VOC.

2. Maluku Angkat Senjata

Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore. Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC. Sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai sultan semestinya adalah Pangeran Nuku). Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan rakyat. Timbullah perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC).

Pangeran Nuku mendapat dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera. Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Dengan posisinya sebagai sultan ini, maka perlawanan terhadap VOC semakin diperkuat. Bahkan Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC. Pangeran Nuku juga mendapat dukungan dari para pedagang Seram Timur.

Kapitan laut Pangeran Nuku sebagian besar berasal dari para pemuka pedagang Seram Timur. Para pedagang Seram Timur ini memiliki kemandirian dan militansi yang tinggi. Dalam perang ini Sultan Nuku juga mendapat dukungan dari armada Inggris (EIC). Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung semangat pasukan Sultan Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda. Akhirnya Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805).

3. Sultan Agung Versus J.P. Coen

Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC mengalami kegagalan. Namun, semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya. Secara militer Mataram memang tidak berhasil memaksa VOC untuk menjadi bawahan Mataram. Sementara itu, tentara VOC sendiri sebenarnya merasa khawatir dan segan terhadap kekuatan militer Mataram. Sultan Agung yang cerdas itu kemudian menggunakan kemampuan diplomasi.

Melalui kemampuan diplomasinya Sultan Agung berhasil memaksa VOC untuk mengakui eksistensi Mataram dan Sultan Agung sebagai Yang Dipertuan Agung. Hal ini buktikan dengan pengiriman upeti secara periodik dari VOC ke Mataram. Sementara VOC mendapat imbalan diizinkan untuk melakukan perdagangan di pantai utara Jawa. Dalam perdagangan ini VOC cenderung melakukan monopoli.

Sayangnya semangat dan kebesaran Sultan Agung itu tidak diwarisi oleh raja-raja pengganti Sultan Agung. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC.

4. Perlawanan Banten

Semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak pernah padam. Ia telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan tanah air dari dominasi asing. Hal ini terbukti setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC terus berlangsung. Misalnya pada tahun 1750 berkobar perlawanan yang dipimpin oleh seorang ulama terkenal yakni Ki Tapa.

Pada bulan November 1750 gabungan pasukan VOC dan tentara kerajaan berhasil dihancurkan oleh pasukan Ki Tapa. Ki Tapa ini antara lain juga mendapat dukungan seorang pangeran yang bekerja sama dengan Ratu Bagus. Perlawanan Ki Tapa ini semakin meluas. VOC tidak ingin dipermalukan oleh pasukan pribumi. Oleh karena itu, pada tahun 1751 VOC mengerahkan pasukan gabungan yang jumlah sangat besar mencapai 1.250 personil untuk mengepung pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus.

Pasukan Ki Tapa dapat didesak oleh VOC. Namun, Ki Tapa dan ratu Bagus dapat meloloskan diri dan pergi ke hutan untuk melancarkan perang gerilya. Ki Tapa telah menjadi lambang kekuatan Banten yang tidak pernah terkalahkan.

5. Perlawanan Gowa

Dengan melihat peran dan posisi Makassar atau Kerajaan Gowa yang strategis, VOC berusaha keras untuk dapat mengendalikan Gowa. VOC ingin menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli perdagangan. Untuk itu VOC harus dapat menundukkan Kerajaan Gowa. Berbagai upaya untuk melemahkan posisi Gowa terus dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal karena perahu-perahu Makassar yang berukuran kecil lebih lincah dan mudah bergerak di antara pulau-pulau, yang ada.

Bahkan dengan menggunakan perahu-perahu tradisional seperti pedewakan, palari, sope, dan yang sudah begitu terkenal perahu pinisi, mereka sudah biasa mengarungi perairan Nusantara. VOC pun merasa kesulitan untuk memburu dan menangkap perahu-perahu tersebut. Oleh karena itu, saat kapal-kapal VOC sedang patroli dan menemui perahu-perahu orang-orang Bugis, Makassar dan yang lain segera diburu, ditangkap, dan dirusaknya.

Raja Gowa, Sultan Hasanuddin ingin segera menghentikan tindakan VOC yang anarkis dan provokatif itu. Sultan Hasanuddin menentang ambisi VOC yang ingin memaksakan monopoli di Gowa. Seluruh kekuatan dipersiapkan untuk menghadapi VOC. Benteng pertahanan mulai dipersiapkan di sepanjang pantai. Beberapa sekutu Gowa mulai dikoordinasikan. Semua dipersiapkan untuk melawan kesewenang-wenangan VOC.

6. Rakyat Riau Angkat Senjata

Perlawanan di Riau yang dilancarkan oleh Kerajaan Siak Sri Indrapura. Raja Siak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723–1744) memimpin rakyatnya untuk melawan VOC. Setelah berhasil merebut Johor kemudian ia membuat benteng pertahanan di Pulau Bintan. Dari pertahanan di Pulau Bintan ini pasukan Sultan Abdul Jalil mengirim pasukan di bawah komando Raja Lela Muda untuk menyerang Malaka. Uniknya dalam pertempuran ini Raja Lela Muda selalu mengikutsertakan putranya yang bernama Raja Indra Pahlawan. Itulah sebabnya sejak remaja Raja Indra Pahlawan sudah memiliki kepandaian berperang. Sifat bela negara dan cinta tanah air sudah mulai tertanam pada diri Raja Indra Pahlawan.

Serangan ini diperkuat dengan kapal perang “Harimau Buas” yang dilengkapi dengan lancang serta perlengkapan perang secukupnya. Terjadilah pertempuran sengit di Pulau Guntung (1752–1753). Ternyata benteng VOC di Pulau Guntung berlapis-lapis dan dilengkapi meriam-meriam besar. Dengan demikian pasukan Siak sulit menembus benteng pertahanan itu. Namun banyak pula jatuh korban dari VOC, sehingga VOC harus mendatangkan bantuan kekuatan termasuk juga orang-orang Cina. Pertempuran hampir berlangsung satu bulan. Sementara VOC terus mendatangkan bantuan. Melihat situasi yang demikian itu kedua panglima perang Siak menyerukan pasukannya untuk mundur kembali ke Siak.

7. Orang-orang Cina Berontak

Perlawanan orang-orang Cina terhadap VOC kemudian menumbuhkan kekacauan yang meluas di berbagai tempat terutama di daerah pesisir Jawa. Perlawanan orang-orang Cina ini mendapat bantuan dan dukungan dari para bupati di pesisir. Atas desakan para pangeran, Raja Pakubuwana II juga ikut mendukung pemberontakan orang-orang Cina tersebut. Pada tahun 1741 benteng VOC di Kartasura dapat diserang sehingga jatuh banyak korban.

VOC segera meningkatkan kekuatan tentara dan persenjataan sehingga pemberontakan orang-orang Cina satu demi satu dapat dipadamkan. Pada kondisi yang demikian ini Pakubuwana II mulai bimbang dan akhirnya melakukan perundingan damai dengan VOC. Sikap Pakubuwana II yang demikian ini telah menambah panjang barisan orang-orang yang kecewa dan sakit hati di lingkungan kraton. Kondisi ini pula yang telah mendorong VOC kemudian melakukan intervensi politik di lingkungan istana.

8. Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said

Perlawanan terhadap VOC di Jawa kembali terjadi. Perlawanan ini dipimpin oleh bangsawan kerajaan yakni Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perlawanan berlangsung sekitar 20 tahun. Perang dan kekacauan yang terjadi Mataram itu telah menghabiskan dana yang begitu besar. Sementara perlawanan Pangeran Mangubumi dan Mas Said belum ada tanda-tanda mau berakhir. Oleh karena itu, penguasa VOC terus membujuk kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding. Dengan perantara seorang ulama besar Syeikh Ibrahim, akhirnya Pangeran Mangkubumi bersedia berunding dengan VOC. Dengan demikian perlawanan Pangeran Mangkubumi berakhir. Tercapailah sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti.

B. Perang Melawan Penjajahan Belanda

1. Perang Tondano

a. Perang Tondano I (1808)

Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tondano terjadi dalam dua tahap. Perang Tondano I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa Barat, orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol selain berdagang juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Kristen di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius. Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC.

b. Perang Tondano II (1809)

Perang Tondano II sebenarnya sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels yang mendapat mandat untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan, maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orang-orang Madura, Dayak, dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung.

2. Perang Pattimura (1817)

Gerakan perlawanan dimulai dengan menghancurkan kapal-kapal Belanda di pelabuhan. Para pejuang Maluku kemudian menuju Benteng Duurstede. Ternyata di benteng itu sudah berkumpul pasukan Belanda. Dengan demikian terjadilah pertempuran antara para pejuang Maluku melawan pasukan Belanda. Dalam perang itu pasukan Belanda dipimpin oleh Residen van den Berg. Sementara dari pihak para pejuang dipimpin oleh para tokoh lain seperti Christina Martha Tiahahu, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina.

Para pejuang Maluku dengan sekuat tenaga mengepung Benteng Duurstede dan tidak begitu menghiraukan tembakan-tembakan meriam yang dimuntahkan oleh serdadu Belanda dari dalam benteng. Sementara itu senjata para pejuang Maluku masih sederhana seperti pedang dan keris. Dalam waktu yang hampir bersamaan para pejuang Maluku satu persatu dapat memanjat dan masuk ke dalam benteng. Residen dapat dibunuh dan Benteng Duurstede dapat dikuasai oleh para pejuang Maluku. Jatuhnya Benteng Duurstede telah menambah semangat juang para pemuda Maluku untuk terus berjuang melawan Belanda.

3. Perang Padri

Perang Padri sebenarnya merupakan perlawanan kaum Padri terhadap dominasi pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera Barat. Perang ini bermula adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat dalam masalah praktik keagamaan. Pertentangan itu dimanfaatkan sebagai pintu masuk bagi Belanda untuk campur tangan dalam urusan Minangkabau. Perlu dipahami sekalipun masyarakat Minangkabau sudah memeluk agama Islam, tetapi sebagian masyarakat masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Perlawanan kaum Padri muncul di berbagai tempat. Tuanku Pasaman memusatkan perjuangannya di Lintau dan Tuanku Nan Renceh memimpin pasukannya di sekitar Baso. Pasukan Tuanku Nan Renceh harus menghadapi pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Goffinet. Periode tahun 1821-1825, serangan-serangan kaum Padri memang meluas di seluruh tanah Minangkabau. Bulan September 1822 kaum Padri berhasil mengusir Belanda dari Sungai Puar, Guguk Sigandang, dan Tajong Alam.

Menyusul kemudian di Bonio kaum Padri harus menghadapi menghadapi pasukan P.H. Marinus. Pada tahun 1823 pasukan Padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di Kapau. Kesatuan kaum Padri yang terkenal berpusat di Bonjol. Pemimpin mereka adalah Peto Syarif. Peto Syarif inilah yang dalam sejarah Perang Padri dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Ia sangat gigih memimpin kaum Padri untuk melawan kekejaman dan keserakahan Belanda di tanah Minangkabau.

4. Perang Diponegoro

Perang Diponegoro sering disebut dengan Perang Jawa. Sejak tahun 1823, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert diangkat sebagai residen di Yogyakarta. Tokoh Belanda ini dikenal sebagai tokoh yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Smissaert bekerja sama dengan Patih Danurejo untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta. Pada suatu hari di tahun 1825 Smissaert dan Patih Danurejo memerintahkan anak buahnya untuk memasang anjir (pancang/patok) dalam rangka membuat jalan baru. Pemasangan anjir ini secara sengaja melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin.

Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti anjir tersebut. Kemudian Patih Danurejo memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu dengan dijaga pasukan Macanan (pasukan pengawal kepatihan). Dengan keberaniannya pengikut Pangeran Diponegoro mencabuti anjir/patok-patok itu dan digantikannya dengan tombak-tombak mereka. Berawal dari insiden anjir inilah meletus Perang Diponegoro.

Pada tanggal 20 Juli 1825 sore hari, rakyat Tegalreja berduyun-duyun berkumpul di ndalem Tegalreja. Mereka membawa berbagai senjata seperti pedang, tombak, dan lembing. Mereka menyatakan setia kepada Pangeran Diponegoro dan mendukung perang melawan Belanda. Belanda datang dan mengepung kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalreja. Pertempuran sengit antara pasukan Diponegoro dengan serdadu Belanda tidak dapat dihindarkan. Tegalreja dibumihanguskan. Dengan berbagai pertimbangan, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke arah selatan ke Bukit Selarong.

5. Perlawanan di Bali

Belanda juga menuntut agar Kerajaan Buleleng membayar ganti rugi atas kapal Belanda yang dirampas penduduk. Raja Gusti Ngurah Made Karangasem yang mendapat dukungan patihnya, I Gusti Ketut Jelantik, dengan tegas menolak tuntutan Belanda tersebut. Bahkan, I Gusti Ketut Jelantik sudah melakukan latihan dan menghimpun kekuatan untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda. Dengan demikian perang tidak dapat dihindarkan.

Patih Ketut Jelantik terus mempersiapkan prajurit Buleleng dan memperkuat pos-pos pertahanan. Dalam pertempuran ini Raja Buleleng mendapat dukungan dari Kerajaan Karangasem dan Klungkung. Sementara, pada tanggal 27 Juni 1846 telah datang pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang pasukan darat yang langsung menyerbu kampung-kampung di tepi pantai. Di samping itu, masih ada pasukan laut yang datang dengan kapal-kapal sewaan.

Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang dari Buleleng yang dibantu oleh para pejuang Karangasem dan Klungkung melawan Belanda. Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat Buleleng bertempur mati-matian. Mengingat persenjataan Belanda lebih lengkap dan modern, maka para pejuang Buleleng semakin terdesak. Benteng pertahanan Buleleng jebol dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan Patih Ketut Jelantik beserta pasukannya terpaksa mundur sampai ke Desa Jagaraga (sekitar 7 km sebelah timur Singaraja).

6. Perang Banjar

Pada tanggal 28 April 1859 orang-orang Muning yang dipimpin oleh Panembahan Aling dan puteranya, Sultan Kuning menyerbu kawasan tambang batu bara di Pengaron. Sekalipun gagal menduduki benteng di Pengaron tetapi para pejuang Muning berhasil membakar kawasan tambang batu bara dan pemukiman orang-orang Belanda di sekitar Pengaron. Banyak orang-orang Belanda yang terbunuh oleh gerakan orang-orang Muning ini. Mereka juga melakukan penyerangan ke perkebunan milik gubernemen di Gunung Jabok, Kalangan, dan Bangkal. Dengan demikian berkobarlah Perang Banjar.

Dengan peristiwa tersebut, keadaan pemerintahan Kesultanan Banjar semakin kacau. Sultan Tamjidillah yang memang tidak disenangi oleh rakyat itu juga tidak bisa berbuat banyak. Oleh karena itu, Tamjidillah dinilai oleh Belanda tidak mampu memerintah yang diminta untuk turun takhta. Akhirnya pada tanggal 25 Juni 1859 secara resmi Tamjidillah mengundurkan diri dan mengembalikan legalia Banjar kepada Belanda. Tamjidillah kemudian diasingkan ke Bogor.

7. Perang Aceh

Agresi tentara Belanda terjadi pada tanggal 5 April 1873. Tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal Mayor J.H.R. Kohler terus melakukan serangan terhadap pasukan Aceh. Pasukan Aceh yang terdiri atas para ulebalang, ulama, dan rakyat terus mendapat gempuran dari pasukan Belanda. Dengan memperhatikan hasil laporan spionase Belanda yang mengatakan bahwa Aceh dalam keadaan lemah secara politik dan ekonomi, membuat para pemimpin Belanda termasuk Kohler optimis bahwa Aceh segera dapat ditundukkan.

Oleh karena itu, serangan-serangan tentara Belanda terus diintensifkan. Namun, pada kenyataannya tidak mudah menundukkan para pejuang Aceh. Dengan kekuatan yang ada para pejuang Aceh mampu memberikan perlawanan sengit. Pertempuran terjadi di kawasan pantai dan kota. Bahkan, pada tanggal 14 April 1873 terjadi pertempuran sengit antara pasukan Aceh di bawah pimpinan Teuku Imeum Lueng Bata melawan tentara Belanda di bawah pimpinan Kohler untuk memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman. Dalam pertempuran memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman ini pasukan Aceh berhasil membunuh Kohler di bawah pohon dekat masjid tersebut. Pohon ini kemudian dinamakan Kohler Boom. Banyak jatuh korban dari pihak Belanda. Begitu juga tidak sedikit korban dari pihak pejuang Aceh yang mati syahid.

Terbunuhnya Kohler menyebabkan pasukan Belanda ditarik mundur ke pantai. Dengan demikian, gagallah serangan tentara Belanda yang pertama. Ini membuktikan bahwa tidak mudah untuk menundukkan Aceh. Karena kekuatan para pejuang Aceh tidak semata-mata terletak pada kekuatan pasukannya, tetapi juga karena hakikat kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan sosial budaya yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Doktrin para pejuang Aceh dalam melawan Belanda hanya ada dua pilihan “syahid atau menang”. Dalam hal ini nilai-nilai agama senantiasa menjadi potensi yang sangat menentukan untuk menggerakkan perlawanan terhadap penjajahan asing. Oleh karena itu, Perang Aceh berlangsung begitu lama.

Setelah melipatgandakan kekuatannya, pada tanggal 9 Desember 1873 Belanda melakukan agresi atau serangan yang kedua. Serangan ini dipimpin oleh J. van Swieten. Pertempuran sengit terjadi istana dan juga terjadi di Masjid Raya Baiturrahman. Para pejuang Aceh harus mempertahankan masjid dari serangan Belanda yang bertubi-tubi. Masjid terus dihujani peluru dan kemudian pada tanggal 6 Januari 1874 masjid itu dibakar. Para pejuang dan ulama kemudian meninggalkan masjid. Tentara Belanda kemudian menuju istana. Pada tanggal 15 Januari 1874 Belanda dapat menduduki istana setelah istana dikosongkan, karena Sultan Mahmud Syah II bersama para pejuang yang lain meninggalkan istana menuju ke Leueung Bata dan diteruskan ke Pagar Aye (sekitar 7 km dari pusat kota Banda Aceh). Tetapi pada tanggal 28 Januari 1874 sultan meninggal karena wabah kolera.

Jatuhnya Masjid Raya Baiturrahman dan istana sultan, Belanda menyatakan bahwa Aceh Besar telah menjadi daerah kekuasaan Belanda. Para ulebalang, ulama dan rakyat tidak ambil pusing dengan pernyataan Belanda. Mereka kemudian mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Aceh. Tetapi karena masih di bawah umur, maka diangkatlah Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai wali atau pemangku sultan sampai tahun 1884. Pusat pemerintahan di Indrapuri (sekitar 25 km arah tenggara dari pusat kota).

Semangat untuk melanjutkan perang terus menggelora di berbagai tempat. Pertempuran dengan Belanda semakin meluas ke daerah hulu. Sementara itu, tugas van Swieten di Aceh dipandang cukup. Ia digantikan oleh Jenderal Pel. Sebelum Swieten meninggalkan Aceh, ia mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda akan segera membangun kembali masjid raya yang telah dibakarnya. Tentu hal ini dalam rangka menarik simpati rakyat Aceh.

8. Perang Batak

Perlu diketahui bahwa setelah Perang Padri berakhir, Belanda terus meluaskan daerah pengaruhnya. Belanda mulai memasuki tanah Batak seperti Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok bahkan sampai Tapanuli. Hal ini jelas merupakan ancaman serius bagi kekuasaan Raja Batak, Sisingamangaraja XII. Masuknya dominasi Belanda ke tanah Batak ini juga disertai dengan penyebaran agama Kristen.

Penyebaran agama Kristen ini ditentang oleh Sisingamangaraja XII karena dikhawatirkan perkembangan agama Kristen itu akan menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk kesatuan negeri yang telah ada secara turun temurun. Untuk menghalangi proses Kristenisasi ini, pada tahun 1877 Raja Sisingamangaraja XII berkampanye keliling ke daerah-daerah untuk menghimbau agar masyarakat mengusir para zending yang memaksakan agama Kristen kepada penduduk. Masuknya pengaruh Belanda ini juga akan mengancam kelestarian tradisi dan adat asli orang-orang Batak.

Akibat kampanye Raja Singamangaraja XII telah menimbulkan ekses pengusiran para zending. Bahkan ada penyerbuan dan pembakaran terhadap pos-pos zending di Silindung. Kejadian ini telah memicu kemarahan Belanda dan dengan alasan melindungi para zending, Pada tanggal 8 Januari 1878 Belanda mengirim pasukan untuk menduduki Silindung. Pecahlah Perang Batak.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perlawanan yang terjadi pada abad ke-16 di berbagai daerah ditujukan kepada Portugis, Spanyol, dan Belanda. Kemudian perlawanan rakyat pada abad ke-17 dan ke-18 umumnya ditujukan kepada dominasi kongsi dagang VOC (Belanda). Perlawanan rakyat Indonesia dilatarbelakangi karena tindakan monopoli, keserakahan, dan intervensi politik dengan devide et impera dari pemerintahan kongsi dagang itu.

Perlawanan rakyat Indonesia itu umumnya memang dapat dipatahkan oleh kekuatan musuh yang sering berlaku licik dan memiliki persenjataan yang lebih lengkap. Dominasi pemerintahan kongsi dagang dan kekalahan perlawanan rakyat mengakibatkan sebagian besar Kepulauan Indonesia dikuasai kekuasaan asing terutama VOC.

Perang yang terjadi pada abad ke-18, 19, dan awal 20 merupakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah kolonial Belanda tetap menjalankan taktik perang yang licik dan kejam. Tipu daya pura-pura mengajak damai, mengadu domba dan menangkap anggota keluarga pimpinan perang Indonesia terus dilakukan.

Perang melawan penjajahan pemerintahan kolonial Hindia Belanda memang belum berhasil, tetapi semangat juang rakyat dan para pemimpin perang kita tidak pernah padam. Kedaulatan dan kemerdekaan rakyat Indonesia harus terus diperjuangkan agar bebas dari penjajahan. Penjajahan pada hakikatnya selalu kejam, menangnya sendiri, serakah, tidak memperhatikan penderitaan orang lain.

B. Saran

Banyak nilai keteladanan yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya semangat cinta tanah air, rela berkorban, kebersamaan, kerja keras pantang menyerah dengan berbagai tantangan, sehingga dapat memotivasi kita untuk kerja keras dan giat belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dkk. 1978. Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES.

Adam, Ahmat. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan. Jakarta: Hasta Mitra.

Badan Musyawarah Musea. 1984. Sejarah Perjuangan: Yogya Benteng Proklamasi. Jakarta: Badan Musyawarah Musea.

Bernard H. M, Vlekke. 1944. Nusantara: a History of the East Indian Archipelago. Massachusetts: Harvard University Press.

Carey, Peter. 2011. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Margana, Sri dan Widya Fitrianingsih (ed.). 2010. Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global. Yogyakarta: Ombak.

Nasution. 1995. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Sudarmanto, Y.B. 1992. Jejak-Jejak Pahlawan: Dari Sultan Agung hingga Hamengku Buwono IX. Jakarta: Grasindo.

Suriansyah. M. dkk. (ed.). 2003. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Badan Penerbit dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

Download Contoh Makalah Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme.docx