KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Terbentuknya Pemerintahan dan NKRI ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah Sejarah Indonesia yang berjudul Makalah Terbentuknya Pemerintahan dan NKRI ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Terbentuknya Pemerintahan dan NKRI ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Terbentuknya Pemerintahan dan NKRI ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, November 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proklamasi 17 Agustus 1945 dilaksanakan dalam situasi kacau, dapat dikatakan bahwa proklamasi tersebut dilakukan dengan tergesa-gesa, tanpa melalui pembicaraan panjang. Walaupun kamu sudah tahu bahwa sebelumnya telah dibentuk BPUPKI dan PPKI yang secara resmi merancang kemerdekaan Indonesia. Pada saat proklamasi dibacakan, negara Indonesia belum sepenuhnya terbentuk. Karena syarat kelengkapan negara pada saat itu belum semua terpenuhi. Selain memiliki wilayah, negara harus memiliki struktur pemerintahan, diakui negara lain, dan memiliki kelengkapan lain seperti undang-undang atau peraturan hukum.
Di antara persyaratan tersebut, syarat utama yang belum terpenuhi adalah struktur pemerintahan dan pengakuan dari negara lain. Proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak mengundang secara resmi berbagai duta besar negara lain, karena memang sebelum proklamasi pemerintahan yang ada adalah pemerintahan Jepang. Karena itu, tugas pertama bangsa Indonesia adalah membentuk pemerintahan dan mencari pengakuan negara-negara lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Terbentuknya Pemerintahan dan NKRI ini adalah sebagai berikut:
- Bagaimana proses pengesahan UUD 1945 dan pemilihan presiden dan wakil presiden?
- Bagaimana proses pembentukan departemen dan pemerintahan daerah?
- Bagaimana proses pembentukan badan-badan negara?
- Bagaimana proses pembentukan kabinet?
- Bagaimana proses pembentukan berbagai partai politik?
- Bagaimana sejarah lahirnya Tentara Nasional Indonesia?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Terbentuknya Pemerintahan dan NKRI ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui proses pengesahan UUD 1945 dan pemilihan presiden dan wakil presiden.
- Untuk mengetahui proses pembentukan departemen dan pemerintahan daerah.
- Untuk mengetahui proses pembentukan badan-badan negara.
- Untuk mengetahui proses pembentukan kabinet.
- Untuk mengetahui proses pembentukan berbagai partai politik.
- Untuk mengetahui sejarah lahirnya Tentara Nasional Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengesahan UUD 1945 dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Setelah Indonesia diproklamasikan, secara resmi terbentuklah suatu negara baru yang bernama Indonesia. Sudah barang tentu kelengkapan-kelengkapan sebagai negara merdeka harus segera dipenuhi. Salah satu hal terpenting yang harus dipenuhi adalah Undang-Undang Dasar (UUD). Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI melakukan sidang untuk membahas, mengambil keputusan kemudian mengesahkan UUD. Rapat yang pertama ini diadakan di Pejambon (sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila). Rencana pukul 11.30, sidang pleno dibuka di bawah pimpinan Sukarno. Kemudian dilaksanakan acara pemandangan umum, yang dilanjutkan dengan pembahasan bab demi bab dan pasal demi pasal.
Namun sebelum secara resmi rapat itu dilaksanakan berkembang isu yang sangat krusial yang terkait dengan bunyi sila pertama dalam Pancasila yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Pembukaan UUD: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Rakyat Indonesia Timur yang umumnya beragama Kristen Protestan dan Katolik merasa keberatan dengan rumusan itu. Informasi penting ini disampaikan oleh seorang opsir Angkatan Laut Jepang (setelah mendapat persetujuan Nisyijima, pembantu Laksamana Maeda). Dengan diantar Nisyijima opsir Jepang itu bertemu Moh. Hatta tanggal 17 Agustus 1945 sore hari. Tentu informasi ini menjadi perhatian serius bagi Hatta. Semalaman Hatta terbayang bagaimana Republik Indonesia tanpa Indonesia bagian Timur, bagaimana perjuangan yang sudah bertahun-tahun dilakukan bersama baik dari kelompok Islam, Kristen, Katolik, dan agama yang lain. Bung Hatta dalam hatinya menegaskan Indonesia harus tetap bersatu.
Tanggal 18 Agustus 1945, pagi-pagi sebelum sidang PPKI di mulai, Bung Hatta menemui tokoh-tokoh Islam yang cukup berpengaruh seperti Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, Teuku Hasan. Dikumpulkanlah mereka dan diajak rapat pendahuluan. Bung Hatta menyampaikan informasi yang telah diberikan seorang opsir Jepang. Terjadilah diskusi serius dan dengan konsep “filsafat garam” (terasa tetapi tidak harus tampak), Bung Hatta dengan kedudukannya yang cukup berpengaruh berhasil meyakinkan para tokoh Islam itu. Mereka sepakat dari pada harus terjadi perpecahan maka rela menghilangkan kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang menyertai Ketuhanan dalam Pembukaan UUD, sehingga tinggal “Ketuhanan”. Ada pemikiran untuk menambahkan kata-kata di belakang Ketuhanan dengan “berdasarkan kemanusiaan” sehingga menjadi “Ketuhanan berdasarkan kemanusiaan”. Ki Bagus Hadikusumo kemudian mengusulkan dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Semua sepakat, dan waktu sidang PPKI pun segera dimulai.
Di dalam acara pertama yakni pemandangan umum, Bung Hatta juga menyampaikan hasil lobi atau pertemuannya dengan beberapa tokoh Islam yang hasilnya mengganti kata-kata yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dalam draf Pembukaan UUD diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan itu telah dikonsultasikan dan didiskusikan antara Hatta dengan para pemuka Islam. Hatta menegaskan bahwa kesepakatan itu diambil karena suatu pernyataan pokok mengenai seluruh bangsa tidaklah tepat hanya menyangkut identitas sebagian dari rakyat Indonesia sekalipun merupakan bagian yang mayoritas. Kesepakatan pergantian rumusan ini dapat melegakan semua pihak, sekalipun sebagian dari pihak Islam ada yang merasa kecewa, tetapi tidak ada masalah. Rapat pemandangan umum dapat berlangsung dengan lancar.
Setelah diadakan revisi isi draf Pembukaan UUD yang tertera di dalam Piagam Jakarta itu, lahirlah rumusan Teks Pancasila yang kemudian disahkan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 tersebut. Sidang dilanjutkan dengan membahas bab per bab, pasal demi pasal. Pembahasan ini juga cukup produktif dan berjalan lancar. Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 13.50 WIB. Sidang dihentikan istirahat sampai pukul 15.00 WIB untuk memberi kesempatan salat bagi umat Islam dan memberi kesempatan makan siang bagi yang tidak berpuasa. Pukul 15.00 sidang dimulai kembali. Agenda utamanya pemilihan presiden dan wakil presiden. Sebagai dasar hukum pemilihan presiden dan wakil presiden tersebut, harus disahkan dulu yakni pasal 3 dari Aturan Peralihan. Ini menandai untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI.
Kertas suara dibagikan, tetapi atas usul Otto Iskandardinata, maka secara aklamasi terpilih Ir. Sukarno sebagai Presiden RI dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden RI. Sesudah itu, pasal-pasal yang tersisa yang berkaitan dengan Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan disetujui. Setelah menjadi presiden, Sukarno kemudian menunjuk sembilan orang anggota PPKI sebagai Panitia Kecil dipimpin oleh Otto Iskandardinata. Tim ini bertugas merumuskan pembagian wilayah negara Indonesia.
B. Pembentukan Departemen dan Pemerintahan Daerah
Sidang PPKI dilanjutkan kembali pada tanggal 19 Agustus 1945. Acara yang pertama adalah membahas hasil kerja Panitia Kecil yang dipimpin oleh Otto Iskandardinata. Sebelum acara dimulai, Presiden Sukarno ternyata telah menunjuk Ahmad Subarjo, Sutarjo Kartohadikusumo, dan Kasman Singodimejo sebagai Panitia Kecil yang ditugasi merumuskan bentuk departemen bagi pemerintahan RI, tetapi bukan personalianya (pejabatnya). Otto Iskandardinata menyampaikan hasil kerja Panitia Kecil yang dipimpinnya. Hasil keputusannya tentang pembagian wilayah NKRI menjadi delapan provinsi, yaitu sebagai berikut.
- Jawa Tengah
- Jawa Timur
- Borneo (Kalimantan)
- Sulawesi
- Maluku
- Sunda Kecil
- Sumatera
- Jawa Barat
Di samping delapan wilayah tersebut, masih ditambah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta. Setelah itu, sidang dilanjutkan mendengarkan laporan Ahmad Subardjo, mengenai pembagian departemen atau kementerian. Adapun hasil yang disepakati, NKRI terbagi atas 12 departemen sebagai berikut.
- Kementerian Dalam Negeri
- Kementerian Luar Negeri
- Kementerian Kehakiman
- Kementerian Keuangan
- Kementerian Kemakmuran
- Kementerian Kesehatan
- Kementerian Pengajaran
- Kementerian Sosial
- Kementerian Pertahanan
- Kementerian Penerangan
- Kementerian Perhubungan
- Kementerian Pekerjaan Umum
C. Pembentukan Badan-badan Negara
Pada malam hari tanggal 19 Agustus 1945, di Jln. Gambir Selatan No. 10, Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta, Mr. Sartono, Suwirjo, Otto Iskandardinata, Sukardjo Wirjopranoto, dr. Buntaran, Mr. A.G. Pringgodigdo, Sutardjo Kartohadikusumo, dan dr. Tajuluddin, berkumpul untuk membahas siapa saja yang akan diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selanjutnya disepakati bahwa rapat KNIP direncanakan tanggal 29 Agustus 1945. PPKI kembali mengadakan sidang pada tanggal 22 Agustus 1945. Dalam sidang ini, diputuskan mengenai pembentukan Komite Nasional Seluruh Indonesia dengan pusatnya di Jakarta. Komite Nasional dibentuk sebagai penjelmaan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia yang berdasar kedaulatan rakyat.
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) diresmikan dan anggota-anggotanya dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945. Pelantikan ini dilangsungkan di gedung Kesenian Pasar Baru, Jakarta. Sebagai ketua KNIP adalah Mr. Kasman Singodimejo, dengan beberapa wakilnya, yakni Sutarjo Kartohadikusumo, Mr. Latuharhary, dan Adam Malik. Pada tanggal 16 Oktober 1945, diselenggarakan sidang KNIP yang bertempat di Gedung Balai Muslimin Indonesia, Jakarta. Sidang ini dipimpin oleh Kasman Singodimejo. Dalam sidang ini juga diusulkan kepada Presiden agar KNIP diberi hak legislatif selama DPR dan MPR belum terbentuk. Hal ini dirasa penting, karena dalam rangka menegakkan kewibawaan kehidupan kenegaraan. Syahrir dan Amir Syarifudin mengusulkan adanya BPKNIP (Badan Pekerja KNIP) untuk menghadapi suasana genting. BPKNIP akan mengerjakan tugas-tugas operasional dari KNIP. Berdasarkan usul-usul dalam sidang tersebut, maka Wakil Presiden selaku wakil pemerintah, mengeluarkan maklumat yang lazim disebut Maklumat Wakil Presiden No. X. Bunyi maklumat itu sebagai berikut:
MAKLUMAT WAKIL PRESIDEN NO. X
KOMITE NASIONAL PUSAT, PEMBERIAN KEKUASAAN
LEGISLATIF KEPADA KOMITE NASIONAL PUSAT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SESUDAH MENDENGAR pembicaraan oleh Komite Nasional Pusat tentang usul supaya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat dibentuk, kekuasaannya yang hingga sekarang dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional menurut Pasal IV Aturan Peralihan dan Undang-Undang Dasar hendaknya dikerjakan oleh Komite Nasional Pusat dan supaya pekerjaan Komite Nasional Pusat itu sehari-harinya berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah badan bernama Dewan Pekerja yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat;
MENIMBANG bahwa di dalam keadaan yang genting ini perlu ada badan yang ikut bertanggung jawab tentang nasib bangsa Indonesia, di sebelah pemerintah.
MENIMBANG selanjutnya bahwa usul tadi berdasarkan paham kedaulatan rakyat.
MEMUTUSKAN:
Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.
Jakarta, 16 Oktober 1945
WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MOHAMMAD HATTA
Dengan adanya maklumat tersebut, untuk sementara Indonesia sudah memiliki badan negara yang memiliki kekuasaan legislatif. KNIP yang semula sebagai Pembantu Presiden dan merupakan wadah pemusatan kehendak rakyat serta pengobar semangat perebutan kekuasaan dari Jepang, setelah dikeluarkan maklumat No. X itu KNIP diharapkan berperan sebagai MPR dan DPR, meskipun hanya bersifat sementara. Untuk menjalankan kegiatannya, telah dibentuk BPKNIP, yang diketuai oleh Sutan Syahrir.
D. Pembentukan Kabinet
Presiden segera membentuk kabinet yang dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Dalam kabinet ini para menteri bertanggung jawab kepada Presiden atau Kabinet Presidensial. Kabinet RI yang pertama dibentuk oleh Presiden Sukarno pada tanggal 2 September 1945 terdiri atas para menteri sebagai berikut.
- Menteri Dalam Negeri : A.A. Wiranata Kusumah
- Menteri Luar Negeri : Ahmad Subarjo
- Menteri Keuangan : A.A. Maramis
- Menteri Kehakiman : Mr. Supomo
- Menteri Kemakmuran : Surakhmad Cokroadisuryo
- Menteri Keamanan Rakyat : Supriyadi
- Menteri Kesehatan : Buntaran Martoatmojo
- Menteri Pengajaran : Ki Hajar Dewantara
- Menteri Penerangan : Amir Syarifuddin
- Menteri Sosial : Iwa Kusumasumantri
- Menteri Pekerjaan Umum : Abikusno Cokrosuyoso
- Menteri Perhubungan : Abikusno Cokrosuyoso
- Menteri Negara : Wahid Hasyim
- Menteri Negara : M. Amir
- Menteri Negara : R.M. Sartono
- Menteri Negara : Otto Iskandardinata
E. Pembentukan Berbagai Partai Politik
Sidang PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945 juga memutuskan adanya pembentukan partai politik nasional yang kemudian terbentuk PNI (Partai Nasional Indonesia). Partai ini diharapkan sebagai wadah persatuan pembinaan politik bagi rakyat Indonesia. BPKNIP mengusulkan perlu dibentuknya partai-partai politik, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Wakil Presiden dengan maklumat pada tanggal 3 November 1945. Setelah dikeluarkan maklumat itu, berdirilah partai-partai politik di NKRI. Beberapa partai politik yang kemudian terbentuk misalnya:
- Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), berdiri tanggal 7 November 1945, dipimpin oleh dr. Sukiman Wiryosanjoyo.
- PKI (Partai Komunis Indonesia) berdiri 7 November 1945 dipimpin oleh Mr. Moh. Yusuf. Oleh tokoh-tokoh komunis, sebenarnya pada tanggal 2 Oktober 1945 PKI telah didirikan.
- PBI (Partai Buruh Indonesia), berdiri tanggal 8 November 1945 dipimpin oleh Nyono.
- Partai Rakyat Jelata, berdiri tanggal 8 November 1945 dipimpin oleh Sutan Dewanis.
- Parkindo (Partai Kristen Indonesia), berdiri tanggal 10 November 1945 dipimpin oleh Dr. Prabowinoto.
- PSI (Partai Sosialis Indonesia), berdiri tanggal 10 November 1945 dipimpin Amir Syarifuddin.
- PRS (Partai Rakyat Sosialis), berdiri tanggal 10 November 1945 dipimpin oleh Sutan Syahrir.
- PKRI (Partai Katholik Republik Indonesia), berdiri tanggal 8 Desember 1945 dipimpin oleh I.J. Kasimo.
- Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, berdiri tanggal 17 Desember 1945 dipimpin oleh J.B. Assa.
- PNI (Partai Nasional Indonesia), berdiri tanggal 29 Januari 1946. PNI merupakan penggabungan dari Partai Rakyat Indonesia (PRI), Gerakan Republik Indonesia, dan Serikat Rakyat Indonesia, yang masing-masing sudah berdiri dalam bulan November dan Desember 1945.
F. Lahirnya Tentara Nasional Indonesia
Sebagai negara yang wilayahnya luas, tentara mutlak diperlukan sebagai benteng pertahanan. Sebutan TNI (Tentara Nasional Indonesia), lebih populer dengan sebutan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Terbentuknya TNI berpangkal dari maklumat pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Kesatuan TKR kemudian berkembang menjadi TNI.
1. Badan Keamanan Rakyat
Beberapa minggu setelah proklamasi kemerdekaan, Presiden Sukarno masih bersikap hati-hati. Hal ini berkaitan dengan sikap Jepang yang tidak senang kalau terjadi perubahan status quo (dari negara jajahan menjadi negara merdeka), apalagi sampai memiliki tentara. Sejak Jepang menyerah kepada Sekutu, Jepang harus menjaga Indonesia agar jangan sampai terjadi perubahan sampai Sekutu tiba di Indonesia. Oleh karena takut kepada pemerintah Sekutu, maka Jepang bersikap keras kepada Indonesia. Sikap keras dan ketidaksenangan Jepang terhadap Indonesia, misalnya melucuti persenjataan dan sekaligus membubarkan Peta pada tanggal 18 Agustus 1945. Jepang khawatir Peta akan menjelma menjadi tentara Indonesia. Oleh karena itu, Presiden Sukarno bersikap lebih hati-hati, agar Republik Indonesia tetap dapat berlangsung. Sikap Sukarno yang demikian itu tidak disenangi oleh para pemuda yang lebih bersifat revolusioner. Oleh karena itu, para pemuda memelopori pembentukan badan-badan perjuangan.
Sampai akhir bulan Agustus 1945, sikap hati-hati Sukarno masih tetap dipertahankan. Hal ini terbukti pada waktu diadakan sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945. Untuk menghadapi situasi dalam sidang itu diputuskan, untuk pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat). BKR merupakan bagian dari BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang). Tujuan dibentuknya BKR untuk memelihara keselamatan masyarakat dan keamanan di berbagai wilayah. Oleh karena itu, BKR juga dibentuk di berbagai daerah, namun harus diingat bahwa BKR bukan tentara. Jadi, sampai akhir bulan Agustus 1945, Indonesia belum memiliki tentara.
Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, pada saat itu Indonesia belum mempunyai tentara kebangsaan. Sementara itu, tentara PETA tidak dapat langsung dijadikan sebagai tentara Indonesia karena saat itu Indonesia masih dalam status quo hingga kedatangan sekutu di Indonesia. Kemudian pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Oto Iskandar Dinata merencanakan untuk membentuk susunan pembagian sebagian wilayah, kepolisian negara, tentara kebangsaan dan perekonomian.
Dalam pada itu PPKI mengusulkan, bahwa rencana bela negara dari BPUPKI yang mengandung politik perang tidak dapat diterima dan Tentara PETA di Jawa dan Bali serta Giyugun di Sumatera harus dibubarkan karena bentukan Jepang. Untuk itulah Presiden Sukarno memanggil kalangan militer yang cakap untuk membentuk tentara kebangsaan yang kokoh. Otto Iskandar kemudian dibantu oleh dua tentara Peta, Kasman Singodimejo dan Abdul Kadir, untuk membentuk tentara kebangsaan. Abdul Kadir kemudian ditunjuk untuk menjadi ketua panitia khusus itu.
Pada tanggal 19 Agustus di luar parlemen itu, para pemuda yang dipimpin oleh Adam Malik mengadakan rapat di Prapatan 10. Hadir pula Kasman, Ki Hajar Dewantoro, dan Sutan Sjahrir. Pada saat itu Presiden dan Wakil Presiden dipaksa untuk hadir, karena para pemuda ingin mengajukan tuntutan, yaitu lahirnya Tentara Republik Indonesia yang berasal dari bekas tentara PETA. Setelah melalui proses panjang, pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI mengadakan rapat paripurna yang menghasilkan tiga hal yaitu, tentang Komite Nasional, Partai Nasional, dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Pembentukan BKR ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan pemuda, para pemuda yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah dalam pembentukan BKR itu, kemudian membentuk badan-badan perjuangan. Badan-badan perjuangan atau juga dikenal dengan laskar, yaitu suatu organisasi perjuangan, yang tidak memiliki senjata, kurang disiplin, dan tidak memiliki pemimpin yang berpengalaman.
2. Komite van Aksi dan Lahirnya Badan-badan Perjuangan
Demikian pula pemuda Sukarni dan Adam Malik membentuk Komite van Aksi yang dimaksudkan sebagai gerakan yang bertugas dalam pelucutan senjata terhadap serdadu Jepang dan merebut kantor-kantor yang masih diduduki Jepang. Munculnya Komite van Aksi kemudian disusul dengan lahirnya berbagai badan perjuangan lainnya di bawah Komite van Aksi seperti API (Angkatan Pemuda Indonesia), BARA (Barisan Rakyat Indonesia) dan BBI (Barisan Buruh Indonesia).
Di berbagai daerah kemudian juga berkembang badan-badan perjuangan. Di Surabaya muncul BBI pada tanggal 21 Agustus 1945. Kemudian pada tanggal 25 Agustus 1945, dibentuk Angkatan Muda oleh Sumarsono dan Ruslan Wijayasastra. Kedua tokoh ini kemudian membentuk PRI (Pemuda Republik Indonesia) bersama Bung Tomo pada tanggal 23 September.
Demikian halnya yang terjadi di Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang, di sana juga muncul berbagai badan perjuangan. Misalnya, Angkatan Muda dan Pemuda di Semarang, Angkatan Muda di Surakarta, Angkatan Muda Pegawai Kesultanan atau dikenal Pekik (Pemuda Kita Kesultanan) di Yogyakarta. Di Bandung berdiri Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia yang kemudian lebih dikenal dengan PRI (Pemuda Republik Indonesia).
Selain itu, juga muncul Barisan Banteng, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia), dan juga muncul Hizbullah-Sabilillah. Bahkan orang-orang luar Jawa yang berada di Jawa membentuk badan perjuangan seperti KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) dan PIM (Pemuda Indonesia Maluku). Kemudian, muncul pula badan-badan perjuangan yang lebih bersifat khusus, misalnya TP (Tentara Pelajar), TGP (Tentara Genie Pelajar), dan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar).
Selanjutnya berkembang pula kelaskaran. Badan-badan perjuangan juga berkembang di luar Jawa, antara lain sebagai berikut.
- Di Aceh terdapat API (Angkatan Pemuda Indonesia) yang dipimpin oleh Syamaun Gaharu dan BPI (Barisan Pemuda Indonesia) kemudian menjadi PRI (Pemuda Republik Indonesia) yang dipimpin oleh A. Hasyim.
- Di Sumatera Utara terdapat Pemuda Republik Andalas.
- Di Sumatera Barat terdapat Pemuda Andalas dan Pemuda Republik Indonesia Andalas Barat.
- Di Lampung terdapat API (Angkatan Pemuda Indonesia) yang dipimpin oleh Pangeran Emir Mohammad Noor.
- Di Bengkulu terdapat PRI (Pemuda Republik Indonesia) dipimpin oleh Nawawi Manaf.
- Di Kalimantan Barat terdapat PPRI (Pemuda Penyongsong Republik Indonesia). Tokoh-tokohnya, antara lain Musani Rani dan Jayadi Saman.
- Di Kalimantan Selatan terdapat PRI (Persatuan Rakyat Indonesia) yang dipimpin oleh Rusbandi.
- Di Bali terdapat AMI (Angkatan Muda Indonesia) dan PRI (Pemuda Republik Indonesia).
- Di Sulawesi Selatan terdapat PPNI (Pusat Pemuda Nasional Indonesia) yang dipimpin oleh Manai Sophian, AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia), Pemuda Merah Putih, dan Penunjang Republik Indonesia.
Dengan munculnya badan-badan perjuangan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa di seluruh tanah air telah siap menggelorakan revolusi untuk membersihkan kekuatan Jepang dari Indonesia.
3. Tentara Keamanan Rakyat
Sampai akhir bulan September 1945, ternyata Indonesia belum memiliki kesatuan dan organisasi ketentaraan secara resmi dan profesional. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta belum membentuk kesatuan tentara. Hal ini tampaknya sangat terpengaruh oleh sikap serta strategi politik yang cenderung pada usaha diplomasi. BKR hanya diprogram untuk menjaga keselamatan dan keamanan masyarakat di daerah masing-masing. BKR kemudian menghimpun bekas-bekas anggota Peta, Heiho, Seinendan, dan lain-lain. BKR bukan merupakan kekuatan bersenjata yang bersifat nasional. Para pemuda belum puas dengan keberadaan BKR. Oleh karena itu, badan-badan perjuangan terus mengadakan perlawanan terhadap kekuatan Jepang.
Angkatan Perang Inggris yang tergabung dalam SEAC (South East Asian Command) mendarat di Jakarta pada tanggal 16 September 1945. Pasukan ini dipimpin Laksamana Muda Lord Louis Mountbatten yang mendesak pihak Jepang untuk mempertahankan status quo di Indonesia. Indonesia masih dipandang sebagai daerah jajahan seperti pada masa-masa sebelum 17 Agustus 1945. Dengan demikian, maka Jepang semakin keras dan berani untuk tetap mempertahankan diri dan melawan gerakan para pemuda yang sedang melakukan usaha perlucutan senjata dan perebutan kekuasaan.
Pada tanggal 29 September 1945, mendarat lagi tentara Inggris yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, panglima dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Kedatangan tentara AFNEI ternyata diboncengi oleh tentara Belanda yang disebut NICA (Netherlands India Civil Administration). Hal ini menimbulkan kemarahan bagi bangsa Indonesia. Akhirnya, timbul berbagai insiden dan perlawanan terhadap kekuatan asing, terutama terhadap Belanda.
Dengan demikian ancaman dari kekuatan asing semakin besar. Para pemimpin negara menyadari bahwa sulit mempertahankan negara dan kemerdekaan tanpa suatu tentara atau angkatan perang. Sehubungan dengan itu, maka pemerintah memanggil bekas mayor KNIL, Urip Sumoharjo dan ditugasi untuk membentuk tentara kebangsaan. Urip Sumoharjo sejak zaman Belanda sudah memiliki pengalaman di bidang kemiliteran. Ia termasuk lulusan pertama dari Sekolah Perwira di Meester Cornelis yang didirikan Belanda.
Kemudian, dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945 tentang pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Adapun maklumat itu berbunyi sebagai berikut.
Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan suatu Tentara Keamanan Rakyat.
Jakarta, 5 Oktober 1945
Presiden Republik Indonesia
Soekarno
Urip Sumoharjo diangkat sebagai Kepala Staf TKR. Sehari kemudian pemerintah mengeluarkan maklumat yang isinya mengangkat Supriyadi (bekas komandan Peta) sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Selanjutnya, pada tanggal 9 Oktober 1945, KNIP mengeluarkan perintah mobilisasi bagi bekas-bekas tentara, Peta, KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger), Heiho, dan laskar-laskar yang ada untuk bergabung menjadi satu ke dalam TKR. Sementara itu, kesatuan aksi atau badan-badan perjuangan para pemuda yang bersifat setengah militer atau setengah organisasi politik (laskar-laskar) masih tetap diizinkan beroperasi apabila tidak ingin bergabung ke dalam TKR.
Personalia pimpinan TKR ternyata belum mantap. Hal ini terutama disebabkan oleh tidak munculnya tokoh Supriyadi. Supriyadi hilang secara misterius sejak berakhirnya pemberontakan Peta di Blitar pada Februari 1945. Oleh karena itu, pada tanggal 20 Oktober 1945 diumumkan kembali pengangkatan pejabat-pejabat pimpinan di lingkungan TKR. Susunan pimpinan TKR yang baru sebagai berikut.
- Menteri Keamanan Rakyat ad Interim : Muhamad Suryoadikusumo
- Pimpinan Tertinggi TKR : Supriyadi
- Kepala Staf Umum TKR : Urip Sumoharjo
Ternyata, Supriyadi tidak kunjung datang. Oleh karena itu, secara operasional kepemimpinan yang aktif dalam TKR adalah Urip Sumoharjo. Ia memilih Markas Besar TKR di Yogyakarta dan membagi TKR dalam 16 divisi. Seluruh Jawa dan Madura dibagi dalam 10 divisi dan Sumatera dibagi menjadi 6 divisi. Mengingat Supriyadi tidak pernah muncul, maka atas prakarsa Markas Tertinggi TKR, pada tanggal 12 November 1945, diadakan pemilihan pemimpin tertinggi TKR yang baru.
Dalam, rapat pemilihan itu dihadiri oleh para Komandan Divisi, Sri Sultan Hamengkubuwana IX, dan Sri Mangkunegoro X. Rapat dipimpin oleh Urip Sumoharjo. Dalam rapat itu disepakati untuk mengangkat Kolonel Sudirman, Panglima Divisi V Banyumas sebagai Panglima Besar TKR dan sebagai Kepala Staf, disepakati mengangkat Urip Sumoharjo. Namun pengangkatan dan pelantikan Kolonel Sudirman baru dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 1945, setelah pertempuran Ambarawa selesai. Setelah pertempuran itu selesai, pangkat Sudirman menjadi Jenderal dan Urip Sumoharjo menjadi Letnan Jenderal.
4. Dari TKR, TRI, ke TNI
Sejarah ketentaraan Indonesia terus mengalami perubahan pada masa awal kemerdekaan. TKR dengan sebutan keamanan rakyat, dinilai hanya merupakan kesatuan yang menjaga keamanan rakyat yang belum menunjukkan sebagai suatu kesatuan angkatan bersenjata yang mampu melawan musuh dengan perang bersenjata. Jenderal Sudirman ingin meninjau susunan dan tata kerja TKR. Kemudian atas prakarsa Markas Tertinggi TKR, pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.2/SD 1946 tanggal 1 Januari 1946.
Isi dari Penetapan Pemerintah itu adalah mengubah nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kementerian Keamanan Rakyat diubah menjadi Kementerian Pertahanan. Belum genap satu bulan, sebutan Tentara Keselamatan Rakyat diganti dengan TRI (Tentara Republik Indonesia). Hal ini berdasarkan pada Maklumat Pemerintah tertanggal 26 Januari 1946. Di dalam maklumat itu ditegaskan bahwa TRI merupakan tentara rakyat, tentara kebangsaan, atau tentara nasional. Namun dalam maklumat itu tidak menyinggung tentang kedudukan badan-badan perjuangan atau kelaskaran di luar TKR.
Di dalam Lingkungan Markas Tertinggi, TRI kemudian disempurnakan dengan dibentuknya TRI Angkatan Laut yang kemudian dikenal dengan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) dan TRI Angkatan Udara yang dikenal dengan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia). Tanggal 17 Mei diadakan beberapa perubahan di dalam organisasi. Beberapa perubahan itu antara lain sebagai berikut.
- Di Lingkungan Markas Besar
- Panglima Besar : Jenderal Sudirman
- Kepala Staf Umum : Letnan Jenderal Urip Sumoharjo
- Pengurangan Jumlah Divisi:
- Jawa-Madura yang semula 10 divisi dijadikan 7 divisi ditambah 3 brigade di Jawa Barat.
- Sumatera semula 6 divisi menjadi 3 divisi.
- Dalam Kementerian Pertahanan
- Dibentuk direktorat jenderal bagian militer, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Sudibyo.
- Dibentuk biro khusus yang menangani badan-badan perjuangan dan kelaskaran.
Situasi negara semakin genting. Aksi-aksi pihak tentara Belanda semakin mengancam kehidupan dan kelangsungan Republik Indonesia. Untuk menghadapi situasi yang semakin membahayakan ini, maka diperlukan kekuatan tentara yang kompak dan bersatu padu. Sementara dalam kenyataannya, Indonesia masih menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan kekuatan bersenjata kita. Di samping tentara resmi TRI, ALRI, dan AURI, masih ada laskar-laskar. Pada umumnya kesatuan kelaskaran lebih condong kepada induk partainya yang seideologi dan belum tentu searah dengan perjuangan para tentara yang tergabung dalam TRI. Jelas ini akan memperlemah perjuangan bangsa dalam menghadapi aksi-aksi kaum Belanda.
Sehubungan dengan kenyataan itu maka pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden mengeluarkan dekrit yang berisi tentang pembentukan panitia yang disebut Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional. Panitia itu dipimpin sendiri oleh Presiden Sukarno. Setelah panitia itu bekerja, akhirnya keluar Penetapan Presiden tentang pembentukan organisasi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Mulai tanggal 3 Juni 1947, secara resmi telah diakui berdirinya TNI sebagai penyempurnaan dari TRI. Segenap anggota angkatan perang yang tergabung dalam TRI dan anggota kelaskaran dimasukkan ke dalam TNI. Dalam organisasi ini telah dimiliki TNI Angkatan Darat (TNI AD), TNI Angkatan Laut (TNI AL), dan TNI Angkatan Udara (TNI AU). Semua itu terkenal dengan sebutan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Saat ini Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kembali bernama Tentara Nasional Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, baru dimulai tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai penyangga demokrasi suatu negara dan pembinaan kehidupan berpolitik, diperlukan adanya partai-partai politik. Karena itu pemerintah melalui Wakil Presiden telah mengeluarkan maklumat tanggal 3 November 1945. Berdirilah kemudian beberapa partai politik.
Sementara untuk menjaga keamanan negara masyarakat membentuk kesatuan aksi dan badan-badan perjuangan, terutama waktu itu untuk melucuti tentara Jepang. Keadaan negara ternyata semakin terancam setelah datangnya tentara Sekutu dan diboncengi tentara NICA.
Oleh karena itu, keberadaan tentara sangat diperlukan. Maka keluarlah maklumat pemerintah tanggal 5 Oktober 1945 yang menandai berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR). TKR ini terus dikembangkan dan terus disempurnakan, menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI)..
B. Saran
Memahami Terbentuknya Pemerintahan dan NKRI dapat memberikan pelajaran penting bagi bangsa Indonesia dan upaya memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan A.B. Lapian. 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid 6 (Perang dan Revolusi). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Adam, Cindy. 1984. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. (alih bahasa: Abdul Bar Salim). Jakarta: Gunung Agung.
Alfarizi, Salman. 2009. Mohammad Hatta: Biografi Singkat (1902–1980). Yogyakarta: Garasi.
Anderson, Benedict R.O’G. 1972. Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944–1946. Ithaca: Cornell University Press.
Anshari, Endang Saifuddin. 1997. Piagam Jakarta, 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945–1949). Jakarta: Gema Insani Press.
Direktorat Permuseuman. 1992/1993. Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Jakarta: Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Elson, R. E. 2009. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Kahin, George Mc.Turnan. 2013. Nasionalisme & Revolusi Indonesia. (alih bahasa Tim Komunitas Bambu). Depok: Komunitas Bambu.
Kartasasmita, Ginandjar, A. Prabowo, Bambang Kesowo et.al. 1995. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1960. Jakarta: Sekretariat Negara.
Lembaga Soekarno-Hatta. 1986. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Jakarta: Idayu Press.
Suwondo, Purbo S. 1996. PETA: Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa dan Sumatera 1942-1945. Jakarta: Sinar Harapan.
Swantoro, P. 2002. Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: KPG.
Wild, Colin dan Peter Carey. 1986. Gelora Api Revolusi. Jakarta: Gramedia.