KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Wakaf ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah PAI yang berjudul Makalah Wakaf ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Wakaf ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Wakaf ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, November 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wakaf ialah mengalihkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan atau organisasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan kebaikan dan rida Allah SWT. Wakaf hukumnya sunah dan harta yang di wakafkan terlepas dari pemiliknya untuk selamanya, lalu menjadi milik Allah SWT semata-mata. Dan wakaf memiliki empat rukun yaitu, orang yang mewakafkan, Ikrar serah terima wakaf, barang yang diwakafkan dan pihak yang menerima wakaf.
Wakaf memiliki syarat-syarat bagi pewakaf, salah satunya yaitu pewakaf boleh menentukan apa saja syarat yang ia inginkan dalam wakafnya. Kekuasaan atas wakaf dibagi dua: yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Yang bersifat umum yaitu kekuasaan atas wakaf yang ada ditangan Waliul Amr, sedangkan yang khas yaitu kekuasaan yang diberikan kepada orang yang diserahi wakaf ketika dilakukan, atau orang yang diangkat oleh hakim syar’i.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
- Apa pengertian wakaf?
- Apa saja dalil-dalil wakaf?
- Bagaimana rukun wakaf?
- Apa syarat-syarat wakaf?
- Apa macam-macam wakaf?
- Bagaimana cara pengelolaan wakaf?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
Wakaf adalah perbuatan yang dilakukan wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk menyerahkan sebagian atau keseluruhan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat untuk selama-lamanya. Wakaf menurut bahasa, waqafa berarti menahan atau mencegah, misalnya “saya menahan diri dari berjalan”.
Dalam peristilahan syara’, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. yang dimaksud dengan menahan (pemilikan) asal ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, digunakan dalam bentuk dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan, dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah dengan menggunakannya sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan. Ada beberapa pendapat para ulama mengenai wakaf diantarnya yaitu:
- Mazhab Maliki, berpendapat bahwa, wakaf tidak terwujud kecuali bila orang yang mewakafkan bermaksud mewakafkan barangnya untuk selama-selamanya dan terus menerus. itu pula sebabnya, maka wakaf disebut sedekah jariah.
- Sebagian ulama Imamiyah mengatakan pembatasan seperti itu menyebabkan wakaf tersebut batal, tapi habs-nya 190 sah, sepanjang orang yang melakukannya memaksudkan hal itu sebagai hasab. Sedangkan bila dia memaksudkannya sebagai wakaf, maka batallah wakaf dan hasabnya sekaligus.
- Hal itu telah membuat Syekh Abu Zahra salah paham dan mengalami kesulitan untuk membedakan wakaf dari hasab yang berlaku di kalangan Imamiyah. Itu sebabnya beliau mengisbatkan pendapat kepada Imamiyah bahwa di kalangan Imamiyah wakaf boleh dilakukan untuk selamanya dan untuk waktu terbatas. ini jelas tidak benar, sebab di kalangan Imamiyah wakaf itu berlaku untuk selamanya.
Dari beberapa pendapat para ulama dapat disimpulkan bahwa pengertian wakaf ialah mengalihkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan atau organisasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan kebaikan dan rida Allah SWT.
Wakaf juga dapat diartikan pemindahan kepemilikan suatu barang yang dapat bertahan lama untuk diambil manfaatnya bagi masyarakat dengan tujuan ibadah dan mencari rida Allah SWT.
B. Dalil Wakaf
1. Dalil Al-Quran
Secara umum tidak terdapat ayat Al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦)“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 267)لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٩٢)“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (٢٦١)“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 261)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat Al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
2. Dalil Hadis
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.
Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak saleh yang mendoakannya.”
Selain dasar dari Al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijmak) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimin sejak masa awal Islam hingga sekarang.
Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004.
C. Rukun Wakaf
1. Pewakaf (wakif)
Pewakaf (wakif) adalah orang yang mewakafkan hartanya, dalam istilah hukum Islam disebut wakif. Seorang wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan hartanya, di antaranya adalah kecakapan bertindak, telah dapat mempertimbangkan baik buruknya perbuatan yang dilakukannya dan benar-benar pemilik harta yang diwakafkan itu. Mengenai kecakapan bertindak, dalam hukum fikih Islam ada dua istilah yang perlu dipahami perbedaannya yaitu balig dan rasyid. Pengertian balig menitikberatkan pada usia, sedangkan rasyid pada kematangan pertimbangan akal” menurut A.A. Basyir dalam (Ali, 1988, p. 85).
Apabila seorang wakif berada dalam keadaan sakit parah ketika mewakafkan hartanya, perbuatan itu dapat dikiaskan pada wasiat yang akan berlaku setelah ia meninggal dunia dan jumlahnya tidak boleh melebihi sepertiga dari jumlah harta kekayaannya, kecuali perwakfan itu disetujui oleh ahli warisnya. Seorang wakif tidak boleh mencabut kembali wakafnya dan tidak boleh menuntut agar harta yang sudah diwakafkan dikembalikan ke dalam hak miliknya. Agama yang dipeluk seseorang tidak menjadi syarat bagi seorang wakif, artinya seorang non muslim pun boleh berwakaf asal tujuannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam” menurut A. Wasit Aulawi dalam (Ali, 1988, pp. 85-86).
2. Harta yang diwakafkan (mauquf)
Syarat dari harta yang akan diwakafkan adalah: (a) harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama, tetapi haruslah dimanfaatkan untuk hal-hal yang berguna, halal dan sah menurut hukum. (b) harta yang diwakafkan haruslah jelas wujudnya dan batas-batasnya (misal yang diwakafkan adalah tanah). (c) harta yang diwakafkan harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari beban hutang orang lain. (d) harta yang diwakafkan dapat berupa benda mati maupun benda bergerak (misal saham atau surat-surat berharga lainnya) (Ali, 1988, p. 86).
3. Tujuan wakaf (mauquf ‘alaih)
Dalam tujuan harus tercermin siapa yang berhak atas wakaf, misalnya (a) untuk kepentingan umum, seperti (tempat) mendirikan masjid, sekolah, rumah sakit, dll. (b) untuk menolong fakir-miskin, anak yatim seperti mendirikan panti asuhan, dll. (c) tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Ibadah seperti mewakafkan tanahnya untuk kuburan, pasar, lapangan olah raga, dll (Ali, 1988, p. 87).
4. Lafal atau pernyataan (sighat) wakif
Pernyataan wakif yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Dengan pernyataan tersebut, hilanglah hak wakif terhadap benda yang diwakafkannya. Dengan pernyataan wakif yang merupakan ijab perwakafan telah terjadi, sedangkan pernyataan (qabul) dari mauquf ‘alaih yakni orang yang berhak menikmati hasil wakaf itu tidak diperlukan, artinya dalam wakaf hanya ada ijab tanpa ada qabul (Ali, 1988, p. 87).
Contoh lafal yang diucapkan wakif saat perwakafan: “saya wakafkan tanah milik saya seluas 200 meter persegi ini, agar dibangun Masjid di atasnya”. Pada lafal wakaf tidak boleh ada unsur taklik (syarat), karena maksud dari wakaf adalah pemindahan kepemilikan untuk selamanya bukan untuk sementara. Contoh lafal wakaf yang tidak sah: “saya wakafkan tanah sawah milik saya kepada para fakir miskin selama satu tahun” (Syamsuri, 2004, p. 178).
D. Syarat-syarat Wakaf
Syarat-syarat sahnya perwakafan seseorang adalah sebagai berikut:
- Perwakafan benda itu tidak dibatasi oleh waktu tertentu melainkan selamanya.
- Tujuannya harus jelas dan disebutkan ketika mengucapkan ijab.
- Wakaf harus segera dilaksanakan segera setelah ikrar wakaf dinyatakan oleh wakif dan tidak boleh menggantungkan pelaksanaannya, jika pelaksanaan wakaf tertunda hingga wakif meninggal dunia, hukum yang berlaku adalah wasiat yang kemudian syaratnya, harta yang diwakafkan tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan.
- Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar wakaf oleh wakif berlaku seketika dan selama-lamanya.
- Perlu dikemukakan syarat yang dikeluarkan oleh wakif atas harta yang diwakafkannya, artinya seorang wakif berhak memberikan syarat akan diapakan harta yang ia wakafkan selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.
E. Macam-macam Wakaf
1. Wakaf keluarga atau wakaf ahli atau wakaf khusus
Wakaf keluarga atau wakaf ahli atau wakaf khusus adalah wakaf yang diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga maupun orang lain (Ali, 1988, p. 90). Di beberapa negara Timur Tengah wakaf semacam ini menimbulkan banyak masalah terutama jika wakaf tersebut berupa tanah pertanian sering kali terjadi penyalahgunaan seperti menjadikan wakaf keluarga ini sebagai alat untuk menghindari pembagian harta kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya, setelah wakif meninggal dunia.
Wakaf keluarga ini dijadikan alat untuk mengelak dari tuntutan kreditor terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh seseorang, sebelum ia mewakafkan tanahnya itu. Maka dari itu di beberapa negara wakaf keluarga ini dihapuskan seperti di Mesir tahun 1952 wakaf ini dihapuskan karena praktek-praktek penyimpangan yang tidak sesuai ajaran Islam. Selain itu di Indonesia harta pusaka suku Minangkabau memiliki ciri-ciri seperti wakaf keluarga, harta pusaka tersebut dipertahankan tidak dibagi-bagi atau diwariskan kepada keturunan secara individual, karena diperuntukkan bagi kepentingan keluarga” menurut Nazaroeddin Rachmat dalam (Ali, 1988, p. 90).
2. Wakaf Umum atau Wakaf Khairi
Wakaf Umum atau Wakaf Khairi adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan atau kemaslahatan umum, yang sifatnya sebagai lembaga keagamaan dan lembaga sosial dalam bentuk Masjid, madrasah, pesantren, rumah sakit, dll. Wakaf umum inilah yang paling sesuai dengan ajaran Islam dan sangat dianjurkan karena bagi yang menjalankannya akan memperoleh pahala yang terus mengalir.
F. Pengelolaan Wakaf
Pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia lembaga perwakafan sering dilakukan oleh masyarakat yang beragama Islam. Sekalipun pelaksanaan wakaf bersumber dari ajaran Islam namun wakaf seolah-olah merupakan kesepakatan ahli hukum dan budaya bahwa perwakafan adalah masalah hukum adat Indonesia. Sejak masa dahulu praktek wakaf ini telah diatur oleh hukum adat yang sifatnya tidak tertulis dengan berlandaskan ajaran yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam.
Untuk mengelola wakaf di Indonesia, yang pertama-tama adalah pembentukan suatu badan atau lembaga yang mengkoordinasi secara nasional bernama Badan Wakaf Indonesia. (BWI). Badan Wakaf Indonesia diberikan tugas mengembangkan wakaf secara produktif dengan membina nazir wakaf (pengelola wakaf) secara nasional, sehingga wakaf dapat berfungsi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam pasal 47 ayat 2 disebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia bersifat independen, dan pemerintah sebagai fasilitator. Tugas utama badan ini adalah memberdayakan wakaf melalui fungsi pembinaan, baik wakaf benda bergerak maupun benda yang bergerak yang ada di Indonesia sehingga dapat memberdayakan ekonomi umat.
Di samping memiliki tugas-tugas konstitusional, BWI harus menggarap wilayah tugas:
- Merumuskan kembali fikih wakaf baru di Indonesia, agar wakaf dapat dikelola lebih praktis, fleksibel dan modern tanpa kehilangan wataknya sebagai lembaga Islam yang kekal.
- Membuat kebijakan dan strategi pengelolaan wakaf produktif, mensosialisasikan bolehnya wakaf benda-benda bergerak dan sertifikat tunai kepada masyarakat.
- Menyusun dan mengusulkan kepada pemerintah regulasi bidang wakaf kepada pemerintah.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tabung Wakaf Indonesia (adalah nazir wakaf) berbentuk badan hukum, dan karenanya, persyaratan yang insya-Allah akan dipenuhi adalah:
- Pengurus badan hukum Tabung Wakaf Indonesia ini memenuhi persyaratan sebagai nazir perseorangan sebagaimana dimaksud pada pasal 9, ayat (1) Undang-undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004.
- Badan hukum ini adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Badan hukum ini bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan keagamaan Islam.
Tabung Wakaf Indonesia merupakan badan unit atau badan otonom dari dan dengan landasan badan hukum Dompet Dhuafa Republika, sebagai sebuah badan hukum yayasan yang telah kredibel dan memenuhi persyaratan sebagai nazir wakaf sebagaimana dimaksud Undang-undang Wakaf tersebut.
Dalam perkembangannya wakaf tidak hanya berasal dari benda-benda tetap tetapi wakaf juga dapat berbentuk benda bergerak misalnya seperti wakaf tunai sebagaimana menurut keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Wakaf Tunai. Pengelolaan dana wakaf ini juga harus disadari merupakan pengelolaan dana publik.
Untuk itu tidak saja pengelolaannya yang harus dilakukan secara profesional, akan tetapi budaya transparansi serta akuntabilitas merupakan satu faktor yang harus diwujudkan. Pentingnya budaya ini ditegakkan karena di satu sisi hak wakif atas aset (wakaf tunai) telah hilang, sehingga dengan adanya budaya pengelolaan yang profesional, transparansi dan akuntabilitas, maka beberapa hak konsumen (wakif) dapat dipenuhi, yaitu:
- Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
- Hak untuk didengar dan keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
- Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Untuk itulah, agar wakaf tunai dapat memberikan manfaat yang nyata kepada masyarakat maka diperlukan sistem pengelolaan (manajemen) yang berstandar profesional. Manajemen wakaf tunai melibatkan tiga pihak utama yaitu: yang pertama adalah pemberi wakaf (wakif), kedua pengelola wakaf (nazir), sekaligus akan bertindak sebagai manajer investasi, dan ketiga beneficiary (mauquf alaihi).
Dalam melakukan pengelolaan wakaf diperlukan sebuah institusi yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Kemampuan akses kepada calon wakif.
- Kemampuan melakukan investasi dana wakaf.
- Kemampuan melakukan administrasi rekening beneficiary.
- Kemampuan melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf.
- Mempunyai kredibilitas di mata masyarakat, dan harus dikontrol oleh hukum/regulasi yang ketat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wakaf hukumnya sunah. Rukun wakaf terdiri dari wakif, maukuf lahu, maukuf, lafal/sighat wakuf. Wakaf memiliki syarat-syarat bagi pewakaf, salah satunya yaitu pewakaf boleh menentukan apa saja syarat yang ia inginkan dalam wakafnya. Dalam kekuasaan wakaf bahwa wali wakaf adalah harus orang yang berakal sehat dan balig, pandai menggunakan harta, dan bisa di percaya. bahkan mensyaratkan ia harus adil dan mempunyai sifat amanat dan bisa dipercaya. di tambah dengan kemampuan mengelola wakaf secara sempurna.
Barang wakaf tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. maka barang yang diwakafkan tidak boleh diganti. namun persoalannya akan lain jika misalnya barang wakaf itu tadi sudah tidak bisa dimanfaatkan, kecuali dengan memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual. artinya hasil jualnya dibelikan gantinya. dalam keadaan seperti ini mengganti barang wakaf diperbolehkan.
Banyak sekali hikmah dan manfaat Dari wakaf, bagi kehidupan orang banyak yaitu Mendidik manusia untuk bersedekah dan selalu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Membantu, mempercepat perkembangan agama Islam, baik sarana, prasarana umum berbagai perlengkapan yang diperlukan dalam pengembangan agama. Dapat membantu dan mencerdaskan masyarakat, misalnya Wakaf buku, Al-Quran dan lain-lain.
B. Saran
Sebagai penyusun, kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar kami dapat memperbaiki makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press.
Amin, M., Sam, M. I., AF., H., Hasanuddin, & Sholeh, A. N. (2011). Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Jakarta: Erlangga.
Mahfud, R. (2010). Al-Islam. Jakarta: Erlangga.
Suryana, A. T., Alba, C., Syamsudin, E., & Asiyah, U. (1996). Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Tiga Mutiara.
Syamsuri. (2004). Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga.