KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Autis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Autis ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Autis ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Autis ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, November 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Autis pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun 1943 oleh seorang psikiatri Amerika yang bernama Leo Kanner. Ia menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain dan sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup dalam dunianya sendiri. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Dalam pendidikan luar biasa kita banyak mengenal macam-macam anak berkebutuhan khusus. Salah satunya anak autis. Anak autis juga merupakan pribadi individu yang harus diberi pendidikan baik itu keterampilan, maupun secara akademik.
Permasalahan yang di lapangan terkadang setiap orang tidak mengetahui tentang anak autis tersebut. Oleh karena itu kita harus kaji lebih dalam tentang anak autis. Dalam pengkajian tersebut kita butuh banyak informasi mengenai siapa anak autis, penyebabnya dan lainnya. Dengan adanya bantuan baik itu pendidikan secara umum. Dalam masyarakat nantinya anak-anak tersebut dapat lebih mandiri dan anak-anak tersebut dapat mengembangkan potensi yang ada dan dimilikinya yang selama ini terpendam karena ia belum bisa mandiri. Oleh karena itu makalah ini nantinya dapat membantu kita mengetahui anak autis tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
- Apa pengertian autis?
- Apa saja faktor penyebab anak autis?
- Bagaimana karakteristik atau ciri-ciri autis?
- Apa saja terapi yang harus dilakukan terhadap penderita autis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Autis
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan. Deteksi dan terapi sedini mungkin akan menjadikan si penderita lebih dapat menyesuaikan dirinya dengan yang normal. Kadang-kadang terapi harus dilakukan seumur hidup, walaupun demikian penderita autisme yang cukup cerdas, setelah mendapat terapi autisme sedini mungkin, sering kali dapat mengikuti sekolah umum, menjadi sarjana dan dapat bekerja memenuhi standar yang dibutuhkan, tetapi pemahaman dari rekan selama bersekolah dan rekan sekerja sering kali dibutuhkan, misalnya tidak menyahut atau tidak memandang mata si pembicara, ketika diajak berbicara.
Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain. Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan yang merupakan bagian dari gangguan spektrum autisme atau autism spectrum disorders (ASD) dan juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan di bawah payung gangguan perkembangan pervasif atau pervasive development disorder (PDD). Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme. Autisme adalah yang terberat di antara PDD.
Gejala-gejala autisme dapat muncul pada anak mulai dari usia tiga puluh bulan sejak kelahiran hingga usia maksimal tiga tahun. Penderita autisme juga dapat mengalami masalah dalam belajar, komunikasi, dan bahasa. Seseorang dikatakan menderita autisme apabila mengalami satu atau lebih dari karakteristik berikut: kesulitan dalam berinteraksi sosial secara kualitatif, kesulitan dalam berkomunikasi secara kualitatif, menunjukkan perilaku yang repetitif, dan mengalami perkembangan yang terlambat atau tidak normal.
Di Amerika Serikat, kelainan autisme empat kali lebih sering ditemukan pada anak lelaki dibandingkan anak perempuan dan lebih sering banyak diderita anak-anak keturunan Eropa-Amerika dibandingkan yang lainnya. Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun. Sedangkan prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada tahun 2011 adalah 6 di antara 1.000 orang mengidap autisme.
B. Faktor Penyebab Anak Autis
Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme belum diketahui secara pasti. Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan beberapa hipotesis mengenai penyebab autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.
1. Faktor Genetik
Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme walaupun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga. Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen sedangkan kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen. Hal ini diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab autisme sebab anak kembar identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang 50% sama.
2. Faktor Lingkungan
Ada dugaan bahwa autisme disebabkan oleh vaksin MMR yang rutin diberikan kepada anak-anak di usia di mana gejala-gejala autisme mulai terlihat. Kekhawatiran ini disebabkan karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk mengawetkan vaksin tersebut mengandung merkuri. Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap berpotensi menyebabkan autisme pada anak. Namun, tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa autisme disebabkan oleh pemberian vaksin. Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin telah diberhentikan namun angka autisme pada anak semakin tinggi.
C. Karakteristik Anak Autis
1. Gejala
Secara historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme mengalami kesulitan dalam menentukan seseorang sebagai penyandang autisme atau tidak. Pada awalnya, diagnosa disandarkan pada ada atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa autisme lebih merupakan sebuah kontinum. Gejala-gejala autisme dapat dilihat apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang berulang.
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosis autisme sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di-setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak di mana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa sering kali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk.
Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sekuel, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
2. Diagnosis
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua sering kali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangsangan dari kelima pancaindranya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-ngepakkan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif.
Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respons-respons yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka. Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
- Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa;
- Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi;
- Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar;
- Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali;
- Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu.
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya ada yang tidak ‘berbicara’ sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (ekolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspada dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut:
- Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan;
- Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan;
- Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan;
- Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan;
- Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu.
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; neurolog, psikolog, pediatri, terapi wicara, pedagog, dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme. Dokter spesialis yang cocok untuk mendeteksi autisme adalah Dokter Spesialis Anak (Sp.A) yang dibantu oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Sp.KJ) untuk mengetahui antara lain tingkat kecerdasan balita, Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala leher (Sp.THT-KL) untuk mengetahui antara lain pendengaran balita yang tidak/kurang responsif terhadap suara atau bahkan tidak dapat berkata-kata dan dapat disangka penderita autisme, padahal bukan.
3. Simtoma klinis menurut DSM IV
- Interaksi sosial (minimal 2)
1) Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju;
2) Kesulitan bermain dengan teman sebaya;
3) Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat;
4) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah. - Komunikasi sosial (minimal 1)
1) Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal;
2) Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris;
3) Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip;
4) Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi sosial. - Imajinasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1)
1) Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya;
2) Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna;
3) Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Sering kali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda.
D. Terapi Anak Utis
Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persoalan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; terapi wicara (speech therapy), okupasi terapi (occupational therapy) dan applied behavior analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
- Educational treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: applied behavior analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan discrete trial training atau intervensi perilaku intensif.
- Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai floortime.
- Teacch (treatment and education of autistic and related communication handicapped children).
- Biological treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
- Speech language therapy (terapi wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
- Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (picture exchange communication system), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
- Pelayanan autisme intensif, meliputi kerja tim dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lingkungan sosial lainnya.
- Terapi yang bersifat sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada occupational therapy (OT), dan auditory integration training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada di dalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol.
Sangat tidak mungkin mengontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat. Tidak ada satu pun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multi-disiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini.
Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang kebanyakan diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat dideteksi sejak bayi berusia 6 bulan. Deteksi dan terapi sedini mungkin akan menjadikan si penderita lebih dapat menyesuaikan dirinya dengan yang normal. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua sering kali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme.
B. Saran
Penulis menyarankan agar kita lebih peduli bagi anak-anak berkebutuhan khusus terutama bagi anak autis. Sebagai masyarakat secara umum kita harus bisa menerima anak-anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Autisme