Makalah Etnografi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Etnografi ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Etnografi ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Etnografi ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Etnografi ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, November 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Etnografi menurut Koentjaraningrat sama halnya dengan ilmu-ilmu bagian dari antropologi (Koentjaraningrat, 2009). Bagi Koentjaraningrat ada lima ilmu-ilmu bagian antropologi yakni: paleoantropologi, antropologi fisik atau ragawi, etnolinguistik, prehistori, dan etnologi. Di Amerika Serikat, pendidikan ilmu antropologi mencakup empat bidang yaitu bioantropologi, etnologi, arkeologi, dan antropologi budaya. Ilmu antropologi memiliki dua cabang ilmu utama, yaitu antropologi ragawi dan antropologi budaya. Antropologi ragawi berfokus mempelajari manusia dan primata sebagai organisme biologis dengan penekanan pada evolusi manusia dan variasi-variasi biologis dalam spesies manusia.

Sedangkan, antropologi budaya lebih memusatkan perhatian pada upaya mempelajari bagaimana kebudayaan memengaruhi pengalaman seseorang dan kelompok, serta cara orang-orang dalam memahami dunia mereka. Termasuk di dalam antropologi kebudayaan yang dikaji yaitu pengetahuan, adat istiadat, dan pranata masyarakat. Antropologi memiliki ruang lingkup yang masing-masing dapat digunakan untuk mengkaji keberagaman manusia dengan fokus kajian yang berbeda-beda, mulai dari bentuk fisik, bahasa, hingga peninggalan hasil kebudayaan manusia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Etnografi ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa konsep dasar dan kedudukan etnografi?
  2. Apa pengertian etnografi?
  3. Bagaimana sejarah perkembangan etnografi?
  4. Apa saja jenis-jenis etnografi?
  5. Apa saja ciri utama dan kedudukan etnografi dalam antropologi?
  6. Apa kegunaan etnografi?
  7. Apa perbedaan etnografi dengan pendekatan studi kasus?
  8. Bagaimana cara membaca etnografi?

C. Tujuan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Etnografi ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui konsep dasar dan kedudukan etnografi.
  2. Untuk mengetahui pengertian etnografi.
  3. Untuk mengetahui sejarah perkembangan etnografi.
  4. Untuk mengetahui jenis-jenis etnografi.
  5. Untuk mengetahui ciri utama dan kedudukan etnografi dalam antropologi.
  6. Untuk mengetahui kegunaan etnografi.
  7. Untuk mengetahui perbedaan etnografi dengan pendekatan studi kasus.
  8. Untuk mengetahui cara membaca etnografi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar dan Kedudukan Etnografi

Kata budaya berasal dari bahasa Inggris yakni culture, yang berasal dari bahasa Latin colere yang berarti ‘mengolah’, atau ‘mengerjakan’, khususnya mengolah tanah karena konteks pada masa itu bertani. Sementara itu “kebudayaan” dan “budaya” berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, bentuk jamak dari buddhi, yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’ dan daya yang berarti ‘kekuatan’. Koentjaraningrat mengulas pendapat sarjana yang membedakan budaya dan kebudayaan (2009). Budaya adalah budi dan daya yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu (Koentjaraningrat, 2009). Namun, acapkali kata “budaya” dijadikan singkatan dari kata “kebudayaan” itu sendiri.

Lebih jauh, Koentjaraningrat (1993) berpendapat kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sedangkan E.B. Tylor dalam Haviland (1985) berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat, segala kecakapan, dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota kelompok masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam Ranjabar (2006), kebudayaan dapat diartikan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta manusia yang menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau jasmaniah yang diperlukan oleh manusia guna menguasai alam sekitarnya agar hasilnya dapat digunakan untuk keperluan masyarakat.

Koentjaraningrat (1993) dalam Pengantar Antropologi membagi kebudayaan dalam tujuh unsur universal dan tiga wujud. Tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua kebudayaan bangsa yang ada di dunia ini meliputi bahasa, kesenian, sistem religi atau kepercayaan, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem teknologi dan peralatan hidup, dan sistem mata pencarian hidup. Ketujuh unsur universal kebudayaan ini menjadi aspek atau fokus dari penelitian antropologi atau etnografi sehingga melahirkan sub disiplin dari antropologi seperti antropologi bahasa atau linguistik, antropologi religi atau agama, antropologi seni, antropologi sosial, dan antropologi ekonomi. Di samping unsur universal dalam kebudayaan, Koentjaraningrat (1993) yang mengutip J.J. Honingman (1959) dalam The World of Man, menunjukkan ada tiga gejala kebudayaan atau wujud ideal kebudayaan yang dikaji dalam antropologi yaitu:

  1. Ide atau gagasan yang bersifat abstrak, meliputi pikiran, pengetahuan, nilai, keyakinan, dan norma masyarakat.
  2. Aktivitas atau tindakan yang berpola, meliputi pola interaksi, pola komunikasi, tarian adat, upacara adat.
  3. Artefak atau benda hasil budaya manusia seperti peralatan hidup.

Dalam kehidupan masyarakat, ketiga wujud kebudayaan tersebut terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Wujud kebudayaan yang berbentuk ide memberikan arahan bagi tindakan dan karya manusia. Sedangkan, aktivitas atau tindakan berpola yang menghasilkan benda-benda hasil kebudayaan berwujud fisik, dan sebaliknya kebudayaan fisik dapat mempengaruhi pola tindakan manusia dan bahkan cara berpikir manusia itu sendiri.

B. Pengertian Etnografi

Secara etimologis etnografi berasal dari kata ethno yang berarti bangsa dan graphien yang berarti tulisan, sehingga etnografi secara etimologi diartikan sebagai tulisan mengenai suku bangsa. Etnografi secara singkat dapat dipahami sebagai tulisan atau deskripsi tentang kebudayaan suatu masyarakat. Etnografi bertujuan untuk memahami cara hidup suatu kelompok masyarakat dari sudut pandang penduduk asli atau pelaku budaya itu sendiri. Etnografi didasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan tentang semua budaya itu berharga. Etnografi berusaha untuk membangun pemahaman yang sistematis tentang semua budaya manusia dari perspektif masyarakat sebagai pelaku dan mempelajari kebudayaan mereka sendiri.

Spradley (dalam Metode Etnografi) mendefinisikan etnografi sebagai sebuah pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan (Spradley, 2007). Penelitian etnografi dilakukan untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (Spradley, 2007: 4). Antropolog meneliti tentang perilaku manusia sedangkan etnografer memfokuskan lebih dalam lagi pada kebudayaan tentang cara hidup suatu masyarakat. Penelitian etnografi bukan hanya mempelajari masyarakat, melainkan belajar dari masyarakat itu. Sering kali kita kesulitan dalam menafsirkan makna tindakan masyarakat lain. Oleh karena itu, penelitian etnografi hadir untuk memahami tindakan mereka yang membentuk suatu kebudayaan. Makna-makna kebudayaan tersebut kemudian dihubungkan pada teori-teori kebudayaan (Spradley, 2007: 3). Dengan demikian, penelitian etnografi dalam bidang antropologi bukan hanya sebagai pendekatan penelitian kualitatif, melainkan metodologi yang mendasari terciptanya ilmu antropologi yakni menelusuri tentang studi kebudayaan lebih dalam lagi (Spradley, 2007: 13). Etnografi tidak hanya sebagai sebuah metode penelitian, tetapi juga sebagai pendekatan dan perspektif dalam melihat fenomena sosial. Dalam antropologi budaya, etnografi bertujuan untuk menggambarkan kebudayaan masyarakat. Berikut ini pengertian etnografi menurut para ahli:

1. Pengertian Etnografi menurut James Spradley

Salah satu buku etnografi berbahasa Indonesia yang cukup banyak dirujuk adalah buku Metode Etnografi karya James Spradley. Menurut James Spradley, etnografi adalah sebuah karya yang menggambarkan suatu budaya. Fokus kajian etnografi adalah mendeskripsikan dan menafsirkan suatu kelompok masyarakat dengan perhatian utama pada makna tindakan, peristiwa, dan cara hidup masyarakat yang ingin diteliti (Spradley, 2007). Menurut Spradley (1979), etnografer menanyakan dan menggali tentang makna perilaku suatu kelompok masyarakat. Lebih jauh, etnografer bukan sekadar mengamati dan melihat benda hasil kebudayaan (seperti artefak) maupun objek-objek alam, melainkan juga menemukan makna yang diberikan oleh masyarakat terhadap objek-objek tersebut. Oleh karena itu, etnografer mengamati dan mencatat keadaan emosional atau suasana batin untuk menemukan makna dari suasana batin yang ditampilkan oleh pelaku (seperti ketakutan, kecemasan, kemarahan, dan perasaan lainnya). Dengan kata lain, untuk menggambarkan kebudayaan masyarakat secara menyeluruh, etnografer berusaha menemukan makna dari setiap perilaku, tindakan, keadaan emosional masyarakat, maupun makna yang dilekatkan terhadap hasil kebudayaan dari masyarakat yang dikajinya.

2. Pengertian Etnografi menurut John W. Creswell

Creswell (2009) mendefinisikan etnografi sebagai strategi penelitian di mana peneliti mempelajari suatu kelompok budaya pada setting alami selama periode waktu yang lama dengan mengumpulkan data observasi dan wawancara. Etnografi adalah pekerjaan dalam mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan dari penelitian etnografi adalah untuk memperoleh gambaran dari subjek penelitian dengan penekanan pada penggambaran pengalaman sehari-hari individu dengan mengamati dan mewawancarai mereka dan orang lain yang relevan secara menyeluruh atau holistik (Creswell, 2009). Studi etnografi mencakup wawancara mendalam dan observasi partisipan yang terus-menerus dan berkelanjutan dari suatu situasi dan dalam upaya menangkap gambaran keseluruhan untuk mengungkapkan bagaimana masyarakat menggambarkan dan menyusun dunia mereka (Creswell, 2009).

3. Pengertian Etnografi menurut John D. Brewer

Pengertian lain mengenai etnografi dari Brewer (2000), etnografi adalah studi tentang orang-orang dalam setting alami melalui metode yang menangkap makna sosial dan aktivitas biasa mereka. Oleh karena itu, etnografi mensyaratkan pelibatan peneliti yang berpartisipasi secara langsung dalam setting alamiah tersebut untuk mengumpulkan data secara sistematis. Tidak hanya cara, seorang etnografer juga tidak melekatkan makna yang dikenakan pada mereka secara eksternal (Brewer, 2000).

C. Sejarah Perkembangan Etnografi

Sejarah perkembangan etnografi tidak lepas dari sejarah peradaban Eropa dan sejarah penjelajahan samudra atau perdagangan internasional. Pada dasarnya antropologi dan etnografi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Awalnya, antropologi merupakan studi yang dilakukan kepada masyarakat dan kebudayaan di luar Eropa. Orang-orang Eropa menjelajah kawasan di luar peradabannya dan mendeskripsikannya dalam sebuah catatan. Oleh karena itu, pada mulanya etnografi tidak dibuat dengan tujuan akademis, tetapi dibuat untuk kepentingan para penjelajah, pegawai kolonial, misionaris, maupun pedagang yang melakukan perjalanan ke luar Eropa. Sejak awal perkembangannya, tradisi penulisan etnografi telah mengalami sejumlah perkembangan penting. Perkembangan ini dipengaruhi oleh dinamika sejarah dan pemikiran yang melingkupinya. Penulisan tentang masyarakat dan kebudayaan telah melalui sejarah panjang, mulai dari zaman Yunani dan Romawi kuno hingga abad ke -20.

1. Sejarah Perkembangan Etnografi pada Masa Yunani dan Romawi Kuno

Pada perkembangan awal filsafat barat, juga terkait dengan etnografi. Ada beberapa nama yang menarik untuk diulas dalam hal ini. Herodotus (484–425 SM), misalnya menulis tentang masyarakat Mesir. Ia memberikan banyak perhatian kepada kondisi iklim, mata pencaharian, kehidupan sehari-hari laki-laki dan perempuan, semangat keagamaan, praktik ritual, dan kebiasaan-kebiasaan unik yang berbeda dengan yang berlaku di Yunani (Vidich & Lyman, 1994). Megathenes, seorang duta besar Yunani untuk India, juga melukiskan tentang sistem kasta. Publius Cornelius Tacitus (55–117 SM), seorang sejarawan Romawi, menuliskan pula tentang masyarakat di Eropa Utara dalam buku Germania. Berbeda dengan Herodotus dan Megathenes, Tacitus hanya mendapatkan keterangan dari para serdadu dan orang-orang yang bepergian ke wilayah utara (Barnow, 2013).

2. Sejarah Perkembangan Etnografi pada Masa Abad Penemuan

Abad ke-15 dan abad ke-17 adalah masa ketika bangsa Eropa bertemu dengan masyarakat yang tinggal di Benua Amerika, Oseania, dan Asia. Mereka menemukan apa yang dikenal dengan istilah Dunia Baru. Penemuan kebudayaan maju di Meksiko dan Peru, misalnya, mengubah pemahaman baru tentang superioritas Eropa atas bangsa lain. Dari sini lahirlah satu kesadaran tentang relativisme kebudayaan. Di antara penulis penting pada masa itu adalah Michel de Montaigne, Garscilaso de la Vega, dan John Scheffer. De la Vega menulis buku berjudul Commentarios Reales Que Tratan del Origen de los Incas yang menggambarkan tentang kebudayaan Inka di Peru. Demikian pula, Scheffer menulis History of Lappland. Periode ini juga ditandai oleh rasa ingin tahu yang lebih besar tentang keragaman budaya dan warna kulit. Pertanyaan yang muncul antara lain tentang asal-usul, sejarah, perkembangan beragam warna kulit, kebudayaan dan peradaban manusia (Vidich & Lyman, 1994).

3. Sejarah Perkembangan Etnografi pada Masa Pembaruan

Menjelang akhir abad ke-19, banyak keterangan yang lebih lengkap tentang masyarakat dan kebudayaan di dunia yang terkumpul dan dapat dibaca. Voltaire dan Montesquieu memanfaatkan tulisan-tulisan tersebut untuk menyusun pandangan-pandangan mereka tentang kejayaan dan keruntuhan peradaban. Mereka memahami bahwa India, Cina, dan Amerika Tengah telah lama mencapai kemajuan yang tinggi, sehingga penulisan tentang peradaban dunia tidak boleh hanya berkutat tentang Eropa. Dalam L’esprit de Lois, Montesquieu menulis perbandingan peraturan di berbagai masyarakat. Selain itu, Montesquieu mengemukakan bahwa masyarakat berevolusi dari liar (savage), menuju kepada barbar (barbarism), dan akhirnya sampai kepada peradaban (civilization). J.J. Rousseau, dalam Social Contract, menyatakan bahwa pada dasarnya manusia terlahir bebas, tetapi hidupnya dibelenggu oleh hal-hal yang melingkupinya. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa manusia pada dasarnya baik. Peradaban membuat sifat baik itu sirna.

4. Sejarah Perkembangan Etnografi pada Masa Abad ke-19

Munculnya gerakan konservatif yang menentang gagasan-gagasan Rousseau melahirkan pemikiran dan penulisan etnografi yang didominasi oleh aliran evolusi. Secara garis besar, tema-tema kebudayaan yang ditulis kala itu terpusat pada keyakinan adanya tahapan-tahapan perkembangan kebudayaan dan masyarakat dari yang sederhana menuju masyarakat yang lebih kompleks. Sebagian menyebutnya primitif menuju modern. Tulisan-tulisan yang berpengaruh kala itu adalah Primitive Culture oleh E.B. Tylor dan Ancient Society oleh Lewis Henry Morgan. Tylor adalah sosok yang pertama kali menyebut konsep culture (kebudayaan). Menurutnya, kebudayaan berkembang melalui tahap-tahap keliaran, kebiadaban, dan akhirnya menuju kepada peradaban.

Morgan awalnya menulis tentang kehidupan suku Indian Iroquois di Amerika. Setelah melakukan kajian perbandingan atas sejumlah masyarakat, sebagaimana tercantum dalam Ancient Society, ia menegaskan kembali rumusan yang dikemukakan Tylor tentang perubahan kebudayaan. Morgan menambahkan tiga kategori pada dua tahap pertama, yaitu rendah, menengah, dan atas. Pandangan-pandangan Tylor dan Morgan dikritik oleh Franz Boas. Tidak percaya dengan argumen-argumen evolusionistik, Boas meyakini bahwa kebudayaan harus dipahami sesuai dengan konteks masyarakat yang melingkupinya. Argumen ini kemudian menginspirasi dilakukannya berbagai penelitian lapangan oleh para antropolog. Etnografi pun menemukan corak baru (Moore, 1997, 42–52).

5. Sejarah Perkembangan Etnografi pada Masa Abad-20

Sebagai metode ilmiah, etnografi muncul dari studi perbandingan antropologi budaya yang dilakukan oleh para antropolog pada awal abad ke-20. Beberapa antropolog seperti Franz Boas, Malinowski, Redcliffe-Brown, dan Mead menggunakan metode pengumpulan data dari tangan pertama (first-hand experience) yaitu dengan melakukan pengamatan partisipasi langsung pada kebudayaan masyarakat yang dikaji. Hal inilah yang membedakan para antropolog tersebut dengan para antropolog sebelumnya. Semenjak itu, penelitian lapangan etnografi telah menjadi pusat antropologi. Sebagian antropolog kini tidak lagi menganggap bahwa etnografi merupakan ilmu yang mempelajari kebudayaan masyarakat lain, yaitu pada masyarakat yang hidup terisolasi dengan teknologi sederhana. Kini, etnografi telah menjadi alat penting dalam memahami masyarakat kita sendiri maupun masyarakat berkebudayaan lain di berbagai belahan dunia. Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer biasanya tinggal bersama sekelompok masyarakat dalam waktu lama, sering kali satu tahun atau lebih, untuk mendokumentasikan dan menginterpretasikan cara hidup mereka yang khas, maupun kepercayaan dan nilai-nilai yang menyatu dengan kelompok yang dikaji.

Pada era selanjutnya berkembang etnografi baru sekitar tahun 1950 dan 1960-an. Etnografi baru merupakan teknik yang dikembangkan dari paradigma antropologi kognitif ditambah dengan kekuatan sastra. Paradigma kognitif dalam antropologi dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl. Salah satu ciri utamanya adalah upaya menghindari bias etnosentris peneliti dan lebih menonjolkan sudut pandang pelaku kebudayaan (Seymour-Smith, 1986).

Etnografi dituntut untuk melakukan pemaparan tentang realitas budaya dengan merujuk kepada pandangan, penghayatan, dan pemaknaan masyarakat setempat (Kaplan & Menners, 2012). Salah seorang antropolog yang secara intensif mendalami dan mempraktikkan etnografi baru adalah James Spradley. Ia menyatakan bahwa tujuan utama penelitian lapangan adalah memahami cara hidup masyarakat lain dengan menggunakan sudut pandang pelaku kebudayaan. Tidak sekedar mempelajari, etnografi bahkan dapat disebut sebagai “belajar dari masyarakat” (Spradley, 1979). Dalam fase ini juga berkembang varian baru, otoetnografi, yaitu penelitian tentang kebudayaan sendiri (Seymour-Smith, 1986). Sebagai contoh, seorang antropolog berlatar belakang budaya Jawa meneliti tentang perubahan pola mata pencaharian masyarakat pedesaan di Malang, Jawa Timur. Menyebut contoh lain, seorang antropolog Minang meneliti tentang tradisi merantau pada masyarakat Minang.

D. Jenis-jenis Etnografi

Secara umum jenis etnografi ada dua yaitu etnografi awam dan etnografi akademik.

1. Etnografi Awam

Etnografi awam merupakan cara kerja etnografi yang digunakan oleh masyarakat awam dan tidak bersifat akademis atau ilmiah. Etnografi awam pada dasarnya mendekati ciri catatan perjalanan yang dapat dijadikan sebagai “bahan mentah” oleh para antropolog dalam karya etnografis. Etnografi awam, pada paparannya juga secara mendetail menyajikan gambaran tentang suatu masyarakat, tetapi tidak diikuti oleh analisis berbasis perspektif antropologis. Judul dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian pembaca. Jenis etnografi model ini tidak mengenal kerangka teori. Uraian dibuat dengan tidak runtut. Penulis tidak melakukan refleksi dalam tulisannya (Ahimsa Putra, 1997). Salah satu contohnya adalah etnografi para jurnalis yang sedang melakukan ekspedisi. Misalnya ekspedisi yang dilakukan oleh Kompas seperti ekspedisi jalur rempah, ekspedisi kuliner nusantara, dan ekspedisi cincin api.

2. Etnografi Akademis

Seperti nama yang disandangnya, etnografi akademis bersifat ilmiah dan sistematis. Etnografi ini bersifat ilmiah karena terdapat kerangka teori dan ada upaya untuk mengaitkan fenomena yang diteliti dengan konteks yang lebih luas (Ahimsa Putra, 1997). Etnografi ini juga bersifat sistematis karena kerangka kerja penelitian disusun berdasarkan metodologi yang dipelajari di universitas. Contoh karya etnografi akademis ini antara lain Tradisi Pesantren (Dhofier, 1984), Minawang (Ahimsa-Putra, 1988), dan Carok (Wiyata, 2002).

E. Ciri Utama dan Kedudukan Etnografi dalam Antropologi

Etnografi dapat didefinisikan sebagai monografi atau catatan mengenai bangsa-bangsa dan sebagai metode penelitian. Hal ini berarti etnografi selain sebagai catatan atau deskripsi mengenai kebudayaan suatu kelompok, dapat didefinisikan sebagai metode penelitian yang identik dengan penelitian lapangan untuk mengumpulkan data. Berikut ini merupakan ciri-ciri etnografi sebagai metode penelitian:

  1. Lebih menekankan pada eksplorasi terhadap fenomena sosial budaya tertentu, daripada upaya untuk membuktikan hipotesis. Etnografi lebih berfokus untuk mengeksplorasi dan mempelajari suatu fenomena sosial budaya secara mendalam dan bukan berusaha untuk menguatkan hipotesis tertentu ataupun mengarahkan perhatiannya pada beberapa asumsi yang telah dibuat sebelumnya. Misalnya dalam menggambarkan kehidupan sosial budaya suatu masyarakat, seperti Clifford Geertz yang menggali kehidupan sosial masyarakat Bali melalui aktivitas budaya masyarakat Bali secara mendalam, yaitu tradisi sabung ayam atau Tajen dalam melihat kaitannya dengan kehidupan sosial dan status sosial masyarakat Bali.
  2. Tindakan dari kelompok yang dikaji terjadi dalam konteks sehari-hari (dalam setting alamiah), bukan di bawah kondisi yang diciptakan oleh peneliti (setting peneliti), seperti dalam penelitian eksperimental atau dalam situasi wawancara yang sangat terstruktur. Etnografi bertujuan untuk mempelajari dan menggambarkan fenomena sosial budaya dan tindakan masyarakat pada setting atau kondisi yang alami, apa adanya dan tidak dimanipulasi atau direkayasa, yang diperoleh melalui interaksi dan pengamatan langsung. Sebagai contoh dalam studi etnografi Roanne van Vroost mengenai fenomena banjir di salah satu kampung terkumuh di Jakarta. Vroost menggambarkan kehidupan keseharian warga Bantaran Kali dan tindakan yang mereka lakukan dalam menangani permasalahan hidup dan persoalan banjir secara apa adanya sesuai setting tempat, situasi dan kondisi masyarakat setempat.
  3. Bersifat holistik (menyeluruh) dan terpadu. Objek kajian etnografi adalah kebudayaan dan unsur-unsur kebudayaan merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, peneliti harus mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan unsur kebudayaan yang turut membentuk dan mempengaruhi fenomena sosial budaya tersebut sehingga akan memperoleh gambaran secara menyeluruh mengenai fenomena sosial budaya yang dikajinya. Sebagai contoh, peneliti ingin mengkaji tentang makna tradisi pernikahan pada suatu masyarakat adat, maka peneliti harus berusaha untuk menggali makna pernikahan pada masyarakat yang dikajinya dengan mempertimbangkan norma gender lokal, nilai lokal masyarakat tentang pernikahan, jaringan keluarga yang ada, faktor ekonomi, status sosial masyarakat, kesenian (seperti iringan musik tradisional) yang turut andil di dalamnya.
  4. Menghasilkan thick description (deskripsi yang tebal) atau penjelasan mendalam mengenai suatu kebudayaan atau fenomena sosial budaya. Studi etnografi menghasilkan deskripsi yang terperinci dan mendalam mengenai kebudayaan suatu masyarakat yang dikaji sehingga deskripsi yang diuraikan oleh seorang etnografer terlihat tebal dan mendalam. Apa yang mereka temui di lapangan diceritakan dengan detail. Karya etnografi Geertz yang berjudul The Religion of Java misalnya, mewakili ciri ini yakni gambaran mendetail dan deskripsi cukup tebal tentang struktur masyarakat di Jawa (santri, abangan, dan priayi). Lawan kata dari thick description adalah thin description (deskripsi yang kurus atau kering).
  5. Cenderung lebih banyak bekerja atau mengolah data yang tidak terstruktur, yaitu data yang belum diberi kode pada saat dikumpulkan, dan peneliti tidak mengikuti desain penelitian yang tetap dan rinci yang ditentukan sebelumnya. Etnografi bertujuan untuk mengeksplorasi kehidupan sosial budaya masyarakat secara mendalam dan menyeluruh, maka dalam mengumpulkan data penelitian cenderung fleksibel dan menyesuaikan data yang diperoleh tentang kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat yang dikaji atau tidak harus mengikuti desain penelitian yang ditetapkan sebelumnya.
  6. Penelitian yang mendetail mengenai kasus pada satu atau sekelompok orang yang spesifik. Studi etnografi berfokus untuk memahami kehidupan sosial budaya suatu kelompok masyarakat tertentu, sehingga peneliti dapat melakukan penelitian pada masyarakat yang tinggal di daerah yang dianggap dapat mewakili perilaku khas atau pelaku kebudayaan tersebut.
  7. Analisis data dilakukan dengan menginterpretasikan makna dan fungsi dari tindakan manusia dari sudut pandang pemilik kebudayaan (native point of view), dengan cenderung mengabaikan analisis statistik. Dalam etnografi, peneliti menganalisis data dengan melakukan interpretasi terhadap makna yang diperoleh dari simbol-simbol yang ditampilkan dalam fenomena budaya dan tindakan masyarakat dari sudut pandang masyarakat yang dikaji.

F. Kegunaan Etnografi

Keberagaman manusia dalam hal kepercayaan, nilai yang dianut, pola perkawinan, konsumsi makanan, dan cara mengasuh anak diciptakan oleh kebudayaan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Etnografi sebagai tulisan atau deskripsi mengenai kebudayaan manusia memiliki beberapa peran penting, terutama untuk memahami rumpun manusia terkait dengan keberagaman manusia. Beberapa penelitian etnografi juga memiliki relevansi praktis yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang ada dalam masyarakat, membantu memperjuangkan masyarakat, maupun membantu pemerintah dalam pemecahan masalah. Berikut ini kegunaan etnografi dalam masyarakat:

1. Memahami Kompleksitas Permasalahan Masyarakat

Manusia memiliki budaya yang sangat beragam. Individu yang hidup dalam masyarakat modern dan kompleks sebenarnya hidup dengan banyak kode budaya yang berbeda (Spradley, 1979). Etnografi sebagai metode penelitian memegang peranan penting dalam memahami masyarakat dengan latar belakang, pola budaya, dan nilai-nilai budaya yang beragam serta kehidupan yang kompleks. Melalui etnografi, kita dapat melihat berbagai perbedaan budaya ini dan menunjukkan bagaimana masyarakat dengan perspektif yang beragam dapat berinteraksi. Misalnya dalam melihat masalah kemiskinan, seorang antropolog secara tidak langsung dapat menyimpulkan akar permasalahan kemiskinan di masyarakat atau komunitas, sebagaimana yang dilakukan oleh antropolog Robert Chambers (1983). Setelah tinggal cukup lama di pedesaan dan berinteraksi dengan masyarakat, Chambers menyimpulkan bahwa kemiskinan di pedesaan bersifat multidimensi yang kemudian membentuk apa yang disebutnya sebagai “perangkap kemiskinan”. Dimensi kemiskinan tersebut antara lain adalah kerentanan, kelemahan jasmani, ketidakberdayaan, dan isolasi wilayah. Oleh sebab itu, antropologi memiliki keunggulan yakni menawarkan pendekatan yang holistik, deskripsi mendalam, dan berangkat dari sudut pandang masyarakat pemilik kebudayaan dalam melihat kompleksitas masalah.

2. Memahami Perilaku Manusia

Perilaku manusia memiliki berbagai makna yang turut dipengaruhi oleh latar belakang budaya tertentu. Etnografi menawarkan cara untuk memahami makna tersebut secara empiris. Etnografi bertujuan untuk menangkap sudut pandang masyarakat pemilik kebudayaan mengenai dunianya sehingga memudahkan dalam menjelaskan mengenai perilaku manusia yang dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kebudayaan yang dianutnya. Dalam memahami perilaku manusia pada masyarakat lokal, seorang etnografer tentunya tidak dapat menggunakan pemikirannya sendiri. Seorang etnografer harus menggunakan pendekatan native poin of view atau menangkap sudut pandang masyarakat pemilik kebudayaan. Misalnya, seperti yang dilakukan oleh Mead dan Bateson saat meneliti perilaku masyarakat Bali. Mereka merekam sebuah adegan perilaku masyarakat Bali dengan mengambil foto, gambar, video, maupun mencatatnya. Dalam film “Trance and Dance in Bali” (1952) mereka mengamati para pemuda dan pemudi Bali yang sedang menari lalu kerasukan. Sebagai seorang etnografer tentunya kita tidak bisa langsung menyimpulkan kejadian tersebut, tetapi harus melihat dari sudut pandang orang asli/setempat yang dalam hal ini sebagai pemilik kebudayaan.

3. Memahami dan Menghadapi Permasalahan Lingkungan Hidup

Selain bermanfaat dalam memahami perilaku manusia dan kebudayaan manusia yang kompleks dan beragam, etnografi juga bermanfaat dalam memahami permasalahan lingkungan hidup. Studi etnografi dapat memahami bagaimana cara suatu kelompok masyarakat dalam memaknai ekologi dan cara mereka hidup selaras dengan lingkungan sosial dan alam sekitarnya. Beberapa masyarakat adat hidup dekat dengan alam dan memiliki nilai-nilai terkait pelestarian alam sekitar. Etnografi dapat membantu mengungkap nilai-nilai masyarakat dengan memahami bagaimana masyarakat hidup selaras dengan alam sekitarnya dan beradaptasi terhadap lingkungan tersebut. Cabang etnografi yang berfokus untuk mempelajari tentang hubungan manusia dengan lingkungan alam, cara masyarakat memanfaatkan alam, dan keselarasan hidup sosial masyarakat dengan lingkungan alam disebut dengan etnoekologi.

Etnoekologi dicetuskan oleh Harold Conklin pada tahun 1954 dari studi yang dilakukannya untuk mempelajari masyarakat Hanunoo di Filipina. Menurut Ahimsa & Putra (1988) dalam Brata (2008), studi-studi antropologi pada tahun 1960-an dipengaruhi oleh studi ekologi budaya yang dilakukan oleh Julian Steward (Brata, 2008). Melalui etnoekologi, etnografer dapat mengetahui keseluruhan pengetahuan ekologi suatu kelompok masyarakat yang meliputi aspek pengetahuan lokal masyarakat mengenai lingkungan dan alam sekitarnya, persepsi dan konsepsi terhadap lingkungan, permasalahan lingkungan, strategi adaptasi, dan pengelolaan sumber daya alam sekitarnya. Dengan memahami pengetahuan ekologi masyarakat, etnografi dapat pula membantu pemerintah dalam menetapkan kebijakan lingkungan hidup yang selaras dengan permasalahan lingkungan hidup yang ada di masyarakat.

G. Perbedaan Etnografi dengan Pendekatan Studi Kasus

Penelitian etnografi bersifat kualitatif dengan kekuatan narasi dan deskripsinya, meskipun ada pula kajian etnografi yang menggunakan data-data kuantitatif (angka-angka). Etnografi sebagai metode penelitian memiliki beberapa kesamaan dengan pendekatan lain dalam metode penelitian kualitatif, terutama dalam kaitannya dengan proses penelitian dan pengumpulan data, yang berupa wawancara, observasi, studi dokumen, dan bahan audiovisual.

Namun demikian, terdapat pula perbedaan etnografi dengan penelitian kualitatif lainnya, seperti studi kasus. Perbedaan tersebut terutama berkaitan dengan pengumpulan data, jangka waktu penelitian, fokus, dan tujuan penelitian. Dalam hal pengumpulan data, etnografi menekankan pada observasi partisipasi (pengamatan terlibat) dan wawancara mendalam dalam jangka waktu yang relatif panjang. Sedangkan, pendekatan penelitian studi kasus menggunakan beragam bentuk data untuk menyediakan gambaran yang mendalam mengenai kasus tersebut (Creswell, 2015). Selain itu, perbedaan mendasar etnografi dan studi kasus terletak pada fokus dan tujuan penelitian. Fokus penelitian etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan memahami pola budaya atau kehidupan sosial budaya suatu kelompok masyarakat secara menyeluruh dan menekankan pada sudut pandang subyek masyarakat yang diteliti. Sedangkan studi kasus berfokus untuk mengembangkan deskripsi dan analisis terhadap satu kasus secara mendalam. Etnografi memiliki ruang lingkup dan fokus penelitian yang lebih luas dibandingkan pendekatan studi kasus yang hanya berfokus pada satu kasus tertentu saja. Perbedaan tersebut terkait sebagai metode penelitian, baik dalam hal fokus penelitian, tipe permasalahan untuk desain penelitian, latar belakang disiplin ilmu, satuan analisis, pengumpulan data, analisis data, serta laporan tertulis.

Perbedaan etnografi dan studi kasus juga dapat dilihat pada contoh penelitian dari kedua pendekatan tersebut. Sebagai contoh, penelitian Firianita, dkk. berjudul “Membangun Etos dan Kearifan Lokal Melalui Folklor: Studi Kasus Folklor di Tembalang Semarang” (2018) merupakan contoh studi kasus. Fokus penelitiannya adalah kajian folklor (baik yang berbentuk seni pertunjukan, lisan, maupun kebiasaan sosial rakyat) pada masyarakat di empat desa di Kecamatan Tembalang dalam kaitannya penguatan etos. Metode pengumpulan datanya dengan wawancara mendalam dan studi pustaka. Sedangkan, contoh penelitian etnografi dapat dilihat pada karya Roanne van Voorst mengenai fenomena banjir di Jakarta dalam bukunya Tempat Terbaik di Dunia. Fokus penelitian etnografi tersebut adalah untuk menggambarkan kemiskinan masyarakat, kehidupan keseharian, serta tindakan dan respons masyarakat yang hidup di Bantaran Kali terhadap banjir. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipasi (pengamatan terlibat) dan wawancara. Metode etnografi ini membutuhkan jangka waktu penelitian yang lebih lama.

Berdasarkan dua contoh penelitian studi kasus dan etnografi yang telah dipaparkan, kita dapat menarik kesimpulan bahwa penelitian studi kasus berfokus untuk mengembangkan deskripsi mengenai suatu kasus secara mendalam dan dapat dilakukan pada beberapa lokasi yang memiliki kasus atau fenomena yang sama. Sedangkan penelitian etnografi berfokus untuk menggambarkan kehidupan atau fenomena sosial budaya masyarakat secara mendalam pada suatu kelompok orang yang spesifik pada satu tempat tertentu.

H. Cara Membaca Etnografi

Ketika belajar menulis etnografi, calon etnografer juga dituntut membaca paparan berulang terhadap teks etnografi lainnya yaitu dengan membaca etnografi (Blasco & Wardle, 2007: 2). Dalam hal ini, kemampuan menulis etnografer juga dinilai dari kemampuannya membaca teks etnografi. Secara sederhana, untuk dapat menuliskan etnografi yang baik, etnografer perlu untuk membaca teks etnografi yang ditulisnya secara berulang untuk dapat mengetahui apakah tulisan tersebut sudah mampu untuk membawa pembaca merasakan apa yang dialami oleh etnografer dan informan terkait fenomena sosial budaya yang dikaji. Keterampilan etnografer diuji dari kemampuannya untuk menggambarkan ke pembaca apa yang dialami oleh masyarakat yang dikajinya sekaligus membaca makna kebudayaan masyarakat.

Membaca etnografi tidak sekadar kemampuan mengumpulkan data tentang kelompok tertentu, kegiatan, atau teori. Membaca etnografi merupakan aktivitas mengambil pendekatan antropologis terhadap teks etnografi (Blasco & Wardle, 2007). Dengan membaca karya etnografi, pembaca belajar bagaimana seorang penulis menemukan data lapangan dan menguji teori-teori tentang kebudayaan. Penulis etnografer menguraikan evaluasi mereka terhadap karya orang lain yang berisi teori tersebut sambil menggambarkan posisi etnografer itu sendiri. Kemudian dari rumusan masalah yang diajukan oleh penulis etnografer tersebut, kita bisa mengetahui apa yang akan menjadi fokus penelitian etnografer. Penjelasan lebih detail tentang fokus penelitian dapat kita baca melalui wawancara dan catatan etnografis atau field note yang dibuat oleh penulis. Oleh karena itu, dengan membaca etnografi, pembaca memperoleh pemahaman yang lebih besar tentang sudut pandang dan argumen penulis. Hal itu akan mengarahkan kita pada apresiasi yang lebih baik terhadap kehidupan orang-orang yang coba digambarkan oleh seorang etnografer. Etnografi merupakan pedoman yang memberi tahu kepada pembaca tentang “untuk siapa” tulisan itu ditujukan, “untuk apa” teksnya ditulis, serta “ mengapa” pertanyaan dan argumennya dibuat sedemikian rupa.

Dalam memahami etnografi, terdapat beberapa hal yang harus ditemukan dalam tulisan etnografi di antaranya:

  1. pertanyaan atau permasalahan penelitian,
  2. jawaban, penjelasan atau penafsiran yang diberikan atau disajikan peneliti,
  3. data yang diberikan untuk menunjukkan permasalahan penelitian dan menunjang penafsiran yang dilakukan oleh peneliti, serta
  4. pengorganisasian dari ketiga unsur tersebut, yaitu pertanyaan atau permasalahan penelitian, penjelasan atau penafsiran, dan bukti atau data penunjang.

Dalam proses membaca tersebut kita harus membayangkan ke dalam diri penulis etnografer tentang suasana budaya yang terbentuk di sana. Kemudian kita catat istilah-istilah asing yang tidak kita ketahui dan kita bisa lihat dalam kamus atau bagian glosarium. Hasil penelitian tersebut kemudian membentuk teori-teori kebudayaan yang bisa kita jadikan petunjuk penelitian ataupun kritik terhadapnya. Selebihnya, dalam membaca etnografi, kuncinya harus memperbanyak bacaan etnografi. Secara sederhana kita bisa membacanya saat waktu luang dengan intensif. Di samping itu, membaca etnografi dapat mengasah kita dalam menganalisis secara sederhana dengan pertanyaan 5 W + 1H (What, Where, When, Who, Why, dan How). Dengan banyak membaca etnografi, kemampuan literasi dan menganalisis fenomena kita akan bertambah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Etnografi dapat dipahami sebagai metode atau cara untuk memahami dan mendeskripsikan suatu kebudayaan secara menyeluruh dari sudut pandang pelaku kebudayaan itu sendiri. Etnografi sesungguhnya adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Namun, tidak setiap orang bisa mempelajari dan mendalami kebudayaan suku bangsa yang lain. Dalam menjalankan aktivitas membuat etnografi, ada dua bahasa yang harus dikuasai, yakni bahasa sendiri dan bahasa milik informan. Dengan menguasai bahasa yang dipakai suku bangsa yang bersangkutan, akan lebih mudah bagi peneliti untuk masuk dan berinteraksi dengan warga suku bangsa yang menjadi informan atau narasumbernya.

Ada dua tugas utama di dalam etnografi, yaitu penemuan (discovery) dan deskripsi. Hasil akhir dari suatu kegiatan pembuatan etnografi adalah deskripsi verbal mengenai situasi budaya yang dipelajari. Suatu deskripsi etnografi adalah suatu terjemahan. Terjemahan dari segala sesuatu yang diamati dan informasi didapat dari informan. Deskripsi etnografi haruslah menggunakan istilah-istilah asli (native) dan makna-maknanya juga harus menggunakan istilah. Membaca etnografi merupakan aktivitas mengambil pendekatan antropologis terhadap teks etnografi. Dengan membaca karya etnografi, pembaca belajar bagaimana seorang penulis menemukan data lapangan dan menguji teori-teori tentang kebudayaan.

B. Saran

Penulisan etnografi adalah sebuah aktivitas menerjemahkan simbol dan makna milik informan. Oleh karena itu, etnografer sebagai penulis etnografi harus dapat mengolah sistem makna budaya dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Blasco, G.Y., & Wardle, H. (2007). How to Read Ethnography. In How to Read Ethnography (Vol. 9780203390). https: //doi.org/10.4324/9780203390962.

Brata, N.T. (2008). PT. Freeport dan Tanah Adat Kamoro: Kajian Teori-teori Antropologi. Semarang: UNNES Press.

Brewer, J.D. (2000). Ethnography (A. Bryman, ed.). Philadelphia: Open University Press.

Chambers, R. (1983) Rural Development: Putting The Last First. Harlow: Prentice Hall.

Creswell, J.W. (2016). Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dhofier, Z. (1984). Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.

Haviland, W.A. (1985). Antropologi (I). Jakarta: Erlangga.

Kaplan, D., & Menners, R.A. (2012). Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Moore, J.D. (1997). Visions of Culture: An Introduction to Anthropological Theories and Theorists. London: Altamira Press.

Ranjabar, J. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Bandung: Ghalia Indonesia.

Seymour-Smith, C. (1986). MacMillan Dictionary of Anthropology. London: The Macmillan Press.

Spradley, J. P. (1979). The Ethnographic Interview. Florida: Harcourt Brace Jovanich College Publishers.

Vidich, A. J., & Lyman, S. M. (1994). Qualitative Methods: Their History in Sociology and Anthropology. In N.K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, C A: Sage Publications.

Wiyata, A. L. (2002). Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS.

Download Contoh Makalah Etnografi.docx