KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah Sejarah Indonesia yang berjudul Makalah Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, November 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.
Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibu kotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja.
Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah tentang Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia ini adalah sebagai berikut:
- Bagaimana sejarah Kerajaan Kutai?
- Bagaimana sejarah Kerajaan Tarumanagara?
- Bagaimana sejarah Kerajaan Sriwijaya?
- Bagaimana sejarah Kerajaan Mataram Kuno?
- Bagaimana sejarah Kerajaan Medang?
- Bagaimana sejarah Kerajaan Kediri?
- Bagaimana sejarah Kerajaan Singhasari?
- Bagaimana sejarah Kerajaan Majapahit?
- Bagaimana sejarah Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali?
- Bagaimana sejarah Kerajaan Tulang Bawang?
- Bagaimana sejarah Kerajaan Kota Kapur?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Kutai.
- Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Tarumanagara.
- Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Sriwijaya.
- Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Mataram Kuno.
- Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Medang.
- Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Kediri.
- Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Singhasari.
- Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Majapahit.
- Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali.
- Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Tulang Bawang.
- Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Kota Kapur.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai berdiri sekitar abad ke-5. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Informasi tentang awal mula Kutai diketahui dari Yupa. Ada tujuh buah Yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli untuk mengetahui sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan. Yupa ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti Yupa ditulis dengan huruf pallawa dan bahasa sanskerta. Berdasarkan salah satu isi Prasasti Yupa, kita dapat mengetahui nama-nama raja yang pernah memerintah di Kutai, yaitu Kundungga, Aswawarman, dan Mulawarman.
Nama Kundungga tidak dikenal dalam bahasa India, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nama tersebut merupakan nama asli daerah tersebut. Kundungga mempunyai anak bernama Aswawarman dan cucu yang bernama Mulawarman. Dua nama terakhir merupakan nama yang mengandung unsur India. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh Hindu pada keluarga kerajaan itu sudah mulai masuk pada masa Kundungga yang dibuktikan dengan diberikannya nama Hindu pada anaknya.
Satu di antara yupa di Kerajaan Kutai berisi keterangan bahwa raja Mulawarman telah memberi sedekah 20. 000 ekor sapi kepada para brahmana. Hal ini menjelaskan bahwa kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat Kutai adalah usaha peternakan. Di samping peternakan, masyarakat Kutai melakukan pertanian. Letak kerajaan Kutai di tepi sungai, sangat mendukung untuk pertanian. Selain itu, masyarakat Kutai juga melakukan perdagangan. Diperkirakan sudah terjadi hubungan dagang dengan luar. Jalur perdagangan internasional dari India melewati Selat Makassar, terus ke Filipina dan sampai di Cina. Dalam pelayarannya dimungkinkan para pedagang itu singgah terlebih dahulu di Kutai.
B. Kerajaan Tarumanagara
Kerajaan Tarumanagara merupakan kerajaan tertua di Pulau Jawa yang diperkirakan berdiri pada abad ke–5 Masehi. Berdasarkan catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa kerajaan Tarumanagara adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Sumber sejarah mengenai kerajaan Tarumanagara diketahui dari prasasti- prasasti yang ditinggalkannya. Prasasti itu menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Sampai saat ini ada ditemukan 7 buah prasasti, yaitu: prasasti Kebon Kopi, prasasti Ciaruteun, prasasti Pasir Awi, Prasasti Jambu, prasasti Muara Cianten, dan prasasti Tugu. Selain itu, sumber lain tentang kerajaan Tarumanagara diperoleh dari catatan seorang musafir Cina yang bernama Fa-Hien. Dalam perjalanan ke India ia singgah di Ye- Po-Ti (Pulau Jawa).
Berdasarkan sumber-sumber tersebut, dapat diperoleh gambaran mengenai kehidupan masyarakat Tarumanagara. Mata pencahariannya adalah bertani dan berdagang. Menurut berita yang ditulis Fa-Hien barang yang diperdagangkan adalah cula badak, kulit penyu dan perak. Fa-Hien juga menjelaskan di Tarumanagara terdapat tiga agama, yakni agama Hindu, agama Buddha dan kepercayaan animisme. Raja memeluk agama Hindu.
Raja yang terkenal dari Kerajaan Tarumanagara adalah Purnawarman. Ia dikenal sebagai raja yang gagah berani dan tegas. Ia juga dekat dengan para brahmana dan rakyatnya. Ia raja yang jujur, adil, dan arif dalam memerintah. Untuk memajukan bidang pertanian, raja memerintahkan pembangunan irigasi dengan cara menggali sebuah saluran sepanjang 6112 tumbak (±11 km). Saluran itu disebut dengan Sungai Gomati. Saluran itu selain berfungsi sebagai irigasi juga untuk mencegah bahaya banjir.
C. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya berdiri sekitar abad ke-7 Masehi. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah berdiri di Indonesia. Kerajaan ini mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim dengan menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan dari Selat Malaka, Selat Sunda, hingga Laut Jawa.
Sumber sejarah kerajaan Sriwijaya diperoleh dari prasasti yang berasal dari dalam negeri dan prasasti dari luar negeri. Prasasti yang berasal dari dalam negeri antara lain: prasasti Kedukan Bukit, prasasti Talang Tuwo, prasasti Telaga Batu, prasasti Kota Kapur, prasasti Karang Berahi, prasasti Palas Pasemah dan Amoghapasa. Adapun Prasasti yang berasal dari luar negeri antara lain: prasasti Ligor, prasati Nalanda, prasasti Canton, prasasti Grahi dan prasasti Chaiya. Sumber sejarah lain tentang kerajaan Sriwijaya diperoleh dari seorang pendeta Cina yang bernama I-tsing.
Berdasarkan sumber-sumber tersebut, diperoleh keterangan mengenai Kerajaan Sriwijaya sebagai berikut.
- Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi pusat kegiatan ilmiah agama Buddha di Asia Tenggara.
- Pulau Bangka dan Jambi Hulu telah ditaklukkan oleh Kerajaan Sriwijaya pada tahun 686 Masehi.
- Pada awal abad ke-11 Raja Rajendracola dari Kerajaan Colamandala (India) melakukan penyerbuan besar-besaran ke wilayah Sriwijaya. Penyerbuan Colamandala dapat dipukul mundur namun berhasil melemahkan kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya diperkirakan terletak di Palembang, di dekat pantai dan di tepi Sungai Musi. Pada mulanya masyarakat Sriwijaya hidup dengan bertani. Namun karena berdekatan dengan pantai, maka perdagangan menjadi cepat berkembang. Kemudian perdagangan menjadi mata pencaharian pokok masyarakat Sriwijaya.
Perkembangan perdagangan didukung oleh letak Sriwijaya yang strategis. Sriwijaya terletak di persimpangan jalur perdagangan internasional. Para pedagang dari India ke Cina atau dari Cina ke India singgah dahulu di Sriwijaya, begitu juga para pedagang yang akan ke Cina. Para pedagang melakukan bongkar muat barang dagangan di Sriwijaya Dengan demikian, Sriwijaya semakin ramai dan berkembang menjadi pusat perdagangan. Untuk memperkuat kedudukannya, Sriwijaya membentuk armada angkatan laut yang kuat. Melalui armada angkatan laut yang kuat Sriwijaya mampu menguasai kawasan perairan Asia Tenggara, perairan di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa.
Selain menjadi pusat perdagangan, kerajaan Sriwijaya juga berkembang menjadi pusat agama Buddha Mahayana di Asia Tenggara. Menurut catatan pendeta I-Tsing, bahwa di Sriwijaya tinggal ribuan pendeta dan pelajar agama Buddha. Pada tahun 671 M, I-Tsing pernah berdiam di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sanskerta sebagai persiapan kunjungannya ke India. Seperti halnya I-tsing, para pendeta Cina lainnya yang akan belajar agama Buddha ke India dianjurkan untuk belajar terlebih dahulu di Sriwijaya selama satu sampai dua tahun. Disebutkan juga bahwa para pendeta yang belajar agama Buddha itu dibimbing oleh seorang guru yang bernama Sakyakirti. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-7 M telah menjadi pusat kegiatan ilmiah agama Buddha.
Raja yang terkenal dari Kerajaan Sriwijaya adalah Balaputradewa. Ia memerintah sekitar abad ke-9 M. Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya mencapai masa kejayaan. Wilayah kekuasaan Sriwijaya berkembang luas. Daerah-daerah kekuasaannya antara lain Sumatra dan pulau-pulau sekitar Jawa bagian barat, sebagian Jawa bagian tengah, sebagian Kalimantan, dan Semenanjung Melayu.
Pada abad ke-11 kekuasaan Kerajaan Sriwijaya mulai mundur. Salah satu penyebabnya adalah penyerbuan besar-besaran ke wilayah Sriwijaya oleh Raja Rajendracola dari Colamandala. Pada tahun 1017 M, kerajaan Colamandala mengadakan serangan pertama. Serangan kedua dilakukan pada tahun 1025.Penyerbuan Colamandala dapat dipukul mundur, namun kekuatan armada laut Sriwijaya mengalami kemunduran. Akibat peperangan ini, banyak kapal Sriwijaya yang hancur dan tenggelam. Hal ini menyebabkan Banyak daerah kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri. Pada tahun 1377 armada laut Majapahit menyerang Sriwijaya. Serangan ini mengakhiri riwayat kerajaan Sriwijaya.
D. Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada pertengahan abad ke-8. Kerajaan ini diperintah oleh dua dinasti, yaitu dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan dinasti Sailendra yang beragama Buddha. Kedua dinasti itu saling mengisi pemerintahan dan kadang-kadang memerintah bersama-sama. Sumber sejarah kerajaan Mataram Kuno diperoleh dari prasasti peninggalannya. Prasasti tersebut di antaranya adalah prasasti Canggal, prasasti Kalasan, prasasti Ligor, prasasti Nalanda, prasasti Klurak, dan prasasti Mantyasih.
Kehidupan politik kerajaan Mataram Kuno diwarnai dengan pemerintahan dua dinasti yang silih berganti. Berdasarkan prasasti Canggal, diketahui Mataram Kuno mula-mula diperintah oleh Raja Sanna, kemudian digantikan oleh keponakannya yang bernama Sanjaya. Raja Sanjaya memerintah dengan bijaksana sehingga rakyat hidup aman dan tenteram. Hal ini terlihat dari prasasti Canggal yang menyebutkan bahwa tanah Jawa kaya akan padi dan emas. Setelah Raja Sanjaya, Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Panangkaran. Dalam Prasasti Kalasan disebutkan bahwa Rakai Panangkaran telah memberikan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan. Hal ini menunjukkan bahwa Rakai Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha.
Sepeninggal Rakai Panangkaran, Mataram Kuno terpecah menjadi dua. Satu pemerintahan dipimpin oleh keluarga Sanjaya yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa bagian selatan. Satu pemerintahan lagi dipimpin oleh keluarga Syailendra yang menganut agama Buddha berkuasa di daerah Jawa bagian utara. Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Adapun raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda dan prasasti Klurak.
Perpecahan tersebut tidak berlangsung lama. Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya mengadakan perkawinan dengan Pramodhawardhani dari keluarga Syailendra. Melalui perkawinan ini, Mataram Kuno dapat dipersatukan kembali. Pada masa pemerintahan Pikatan-Pramodhawardani, wilayah Mataram berkembang luas, meliputi Jawa Tengah dan Timur. Sepeninggal Rakai Pikatan, Mataram Kuno diperintah oleh Dyah Balitung. Ia memerintah pada tahun 898-911 M. Pada masa pemerintahannya, Mataram Kuno mencapai puncak kejayaan.
Raja-raja yang memerintah Mataram Kuno selanjutnya, yaitu Raja Daksa memerintah tahun 910–919 M, Raja Tulodong memerintah tahun 919–924 M, dan Sri Maharaja Rakai Wawa memerintah tahun 924 – 929 M. Pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Wawa terjadi bencana meletusnya Gunung Merapi yang memorak-porandakan daerah Jawa Tengah. Melihat situasi kerajaan yang tidak aman, Mpu Sindok sebagai pejabat dalam pemerintahan Sri Maharaja Rakai Wawa memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur. Selain terjadinya bencana alam, perpindahan ini disebabkan oleh serangan-serangan dari Sriwijaya ke Mataram. Hal ini mengakibatkan Mataram Kuno makin terdesak ke wilayah timur.
Kehidupan ekonomi masyarakat Mataram Kuno bersumber dari usaha pertanian karena letaknya di pedalaman. Selain pertanian, masyarakat Mataram Kuno juga mengembangkan kehidupan maritim dengan memanfaatkan aliran sungai Bengawan Solo.
Dalam bidang kebudayaan, Mataram kuno banyak menghasilkan karya berupa candi dan stupa. Keluarga Sanjaya yang beragama Hindu meninggalkan candi-candi seperti kompleks Candi Dieng, kompleks Candi Gedongsongo dan Candi Prambanan. Adapun keluarga Syailendra yang beragama Buddha meninggalkan stupa seperti Borobudur, Mendut, dan Pawon.
E. Kerajaan Medang
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Mpu Sindok memindahkan ibukota kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Ibu kotanya terletak di dekat Jombang di tepi Sungai Brantas. Selanjutnya, Mpu Sindok ini mendirikan dinasti baru yang bernama dinasti Isyana menggantikan dinasti Syailendra. Sumber sejarah yang berkenaan dengan kerajaan Medang di Jawa Timur antara lain Prasasti Pucangan, Prasasti Anjukladang dan Pradah, Prasasti Limus, Prasasti Sirahketing, Prasasti Wurara, Prasasti Semangaka, Prasasti Silet, Prasasti Turun Hyang, dan Prasasti Gandhakuti. Sumber yang lain adalah berita dari India dan Cina.
Pendiri Kerajaan Mataram (di Jawa Timur) adalah Mpu Sindok sekaligus sebagai raja pertama dengan gelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikrama Dharmatunggadewa. Mpu Sindok memerintah tahun 929-948 M. Setelah Mpu Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya bernama Sri Isyanatunggawijaya. Ia menikah dengan Sri Lokapala dan dikaruniai seorang putra yang bernama Sri Makutawang Swardhana yang kemudian naik tahta menggantikan ibunya.
Sri Makutawang Swardhana digantikan oleh Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama. Berdasarkan berita dari Cina, disebutkan bahwa Dharmawangsa pada tahun 990 M mengadakan serangan ke Sriwijaya sebagai upaya mematahkan monopoli perdagangan Sriwijaya akan tetapi upaya ini mengalami kegagalan.
Pada tahun 1016, Raja Wurawari menyerang Dharmawangsa. Diduga penyerangan ini terjadi atas dorongan kerajaan Sriwijaya. Serangan ini terjadi pada saat Dharmawangsa sedang melaksanakan perkawinan antara puterinya dengan Airlangga, putra Raja Udayana dari Bali. Peristiwa ini menewaskan seluruh keluarga raja termasuk Dharmawangsa sendiri. Hanya Airlangga yang berhasil menyelamatkan diri. Bersama seorang pengikutnya yang bernama Norotama, Airlangga bersembunyi di Wonogiri (hutan gunung) dan hidup sebagai seorang pertapa.
Pada tahun 1019, Airlangga dinobatkan menjadi raja menggantikan Dhamawangsa oleh para pendeta Buddha. Ia segera mengadakan pemulihan hubungan baik dengan Sriwijaya. Airlangga membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari India Selatan. Selanjutnya tahun 1037, Airlangga berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa. Airlangga juga memindahkan ibukota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.
Pada tahun 1042, Airlangga menyerahkan kekuasaannya pada putrinya yang bernama Sangrama Wijaya Tunggadewi. Namun, putrinya itu menolak dan memilih untuk menjadi seorang petapa dengan nama Ratu Giriputri. Selanjutnya Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan, yaitu Panjalu dengan ibu kota Daha dan Jenggala yang ber-ibukota di Kahuripan. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara di antara kedua putranya yang lahir dari selir.
Kehidupan ekonomi kerajaan Medang banyak bergantung kepada pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Sriwijaya menjadi saingan berat bagi kerajaan Medang karena waktu itu Sriwijaya menguasai jalur perdagangan laut India – Indonesia – Cina. Hal inilah yang menyebabkan Raja Dharmawangsa berusaha mematahkan monopoli perdagangan Sriwijaya. Selanjutnya pada masa pemerintahan Airlangga, pelabuhan Hujung Galuh di Muara Kali Brantas diperbaiki. Pelabuhan Hujung Galuh kemudian menjadi Bandar perdagangan yang ramai. Banyak pedagang asing singgah di kedua pelabuhan itu, seperti pedagang dari India, Burma, Kamboja, dan Champa. Selain itu, dibangun pula bendungan Waringin Sapta. Bendungan ini berguna untuk mengairi sawah-sawah penduduk dan mencegah luapan kali Brantas yang mengganggu aktivitas perdagangan.
Bidang sastra juga mendapat perhatian. Pada masa pemerintahan Dharmawangsa kitab Mahabarata disadur dalam bahasa Jawa Kuno. Selanjutnya pada masa pemerintahan Airlangga, Mpu Kanwa menggubah kitab Arjunawihaha.
F. Kerajaan Kediri
Munculnya Kerajaan Kediri berawal dari pembagian kerajaan oleh Airlangga menjadi Janggala dan Panjalu (Kediri). Kedua kerajaan ini dibatasi oleh Kali Brantas. Tujuan Airlangga membagi kerajaan adalah untuk mencegah perpecahan antara kedua putranya. Akan tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Setelah Airlangga wafat pada tahun 1049 M, terjadi perang antara Janggala dan Panjalu (Kediri). Perang ini berakhir dengan kekalahan Janggala. Kerajaan kembali dipersatukan di bawah kekuasaan Panjalu (Kediri).
Sumber sejarah kerajaan Kediri antara lain prasasti Padlegan, prasasti Panumbangan, prasasti Hantangatau Ngantang, prasasti Talandan Prasasti Desa Jepun. Raja-raja yang memerintah di Kediri antara lain Jayawarsa, Jayabaya, Sarwewara, Gandara, Kameswara dan Kertajaya. Pada masa Jayabaya kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan. Awal masa pemerintahan Jayabaya, kekacauan akibat pertentangan dengan Janggala terus berlangsung. Baru pada tahun 1135 M Jayabaya berhasil memadamkan kekacauan itu. Sebagai bukti, adanya prasasti Hantang yang memuat tulisan panjalu jayati, artinya panjalu menang. Hal itu untuk mengenang kemenangan Panjalu atas Jenggala. Setelah itu, Jayabaya mulai menata dan mengembangkan kerajaannya.
Kehidupan ekonomi kerajaan Kediri bersumber dari usaha pertanian, pelayaran dan perdagangan. Hasil utama pertanian masyarakat Kediri adalah beras. Pelayaran dan perdagangan juga berkembang, hal ini ditopang oleh armada laut Kediri yang cukup tangguh. Dalam perdagangan benda-benda yang diperdagangkan antara lain adalah emas, perak, gading, kayu cendana, dan hasil bumi lainnya. Perkembangan seni pada masa kerajaan Kediri ditandai dengan ditulisnya beberapa kitab sastra. Kitab-kitab tersebut antara lain Kitab Baratayuda, Kitab Kresnayana, Kitab Smaradahana, dan Kitab Lubdaka.
Kekuasaan Kediri berakhir pada masa Kertajaya. Pada masa pemerintahannya, terjadi pertentangan antara raja dan kaum brahmana karena Kertajaya berlaku sombong dan berani melanggar adat. Para Brahmana kemudian mencari perlindungan kepada Ken Arok yang merupakan penguasa di Tumapel. Pada tahun 1222 M, Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana menyerang Kediri. Kediri dapat dikalahkan oleh KenArok.
G. Kerajaan Singhasari
Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singhasari atau Singosari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Sumber sejarah Kerajaan Singhasari antara lain diperoleh dari Kitab Pararaton, Kitab Negara Kertagama dan beberapa prasasti, seperti Prasasti Balawi, Maribong, Kusmala, dan Mula-Malurung. Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kediri. Tumapel dikuasai oleh seorang akuwu bernama Tunggul Ametung. Kemudian Tunggul Ametung digulingkan dari kekuasaannya oleh Ken Arok yang merupakan bawahan Tunggul Ametung. Ken Arok menjadi akuwu baru.
Pada saat Ken Arok menguasai Tumapel, di kerajaan Kediri terjadi perselisihan antara Raja Kertajaya dan para Brahmana. Para Brahmana melarikan diri ke Tumapel. Mereka meminta perlindungan kepada Ken Arok. Atas dukungan para Brahmana, Ken Arok melakukan serangan ke Kediri. Perang melawan Kediri meletus di desa Ganter dan Kediri berhasil dikalahkan. Setelah Kediri berhasil dikalahkan, Ken Arok mendirikan kerajaan Singhasari dan menjadi raja pertama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi.
Kerajaan Singhasari mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Kertanegara. Ia bercita-cita meluaskan kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Nusantara. Kertanegara berhasil memperluas kekuasaan ke beberapa daerah di antaranya Bali, Kalimantan Barat Daya, Maluku, Sunda, dan Pahang. Pada tahun 1275 M Raja Kertanegara mengirimkan tentaranya ke Melayu atau yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu. Selain untuk menggoyahkan kerajaan Sriwijaya, ekspedisi ini juga bertujuan untuk menahan serbuan tentara Mongol di bawah pimpinan Kaisar Kubilai Khan yang sedang melakukan perluasan wilayah di Asia Tenggara.
Beberapa kali utusan Kaisar Kubilai Khan datang ke Singhasari menuntut agar Kertanegara mengakui kedaulatan Kubilai Khan di Cina. Tuntutan tersebut ditolak oleh Kertanegara dengan tegas. Kemudian Kubhilai Khan mengirim armada Mongol ke Pulau Jawa untuk menaklukkan Kertanegara. Sebagai persiapan untuk menghadapi serangan tentara Mongol, Kertanegara mengirimkan bala tentaranya ke luar Jawa. Perang ini tidak terjadi karena Kertanegara telah meninggal pada tahun 1292 M akibat serangan dari Jayakatwang (keturunan Raja Kediri).
Kehidupan ekonomi Kerajaan Singhasari bersumber dari pertanian dan perdagangan. Wilayah Singhasari terletak di daerah pedalaman dan dialiri dua sungai besar, yaitu Bengawan Solo dan Kali Brantas. Selain dimanfaatkan untuk pertanian, kedua sungai ini juga dimanfaatkan sebagai sarana lalu lintas pelayaran dan perdagangan. Pada masa pemerintahan Kertanegara, perdagangan mendapat perhatian yang cukup besar. Hal ini tampak dari upaya Kertanagera untuk menggeser kedudukan Sriwijaya sebagai penguasa perdagangan di Selat Malaka. Upaya tersebut diwujudkan dengan melaksanakan Ekspedisi Pamalayu.
H. Kerajaan Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang berdiri dari sekitar tahun 1293 M. Kerajaan Majapahit dianggap sebagai kerajaan Hindu- Buddha yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Sumber sejarah kerajaan Majapahit di antaranya diperoleh dari kitab Pararaton, kitab Sutasoma, dan kitab Negarakertagama. Selain itu ada pula beberapa prasasti, diantaranya Prasasti Gunung Butak, Prasasti Kudadu, Prasasti Blambangan, dan Prasasti Langgaran.
Munculnya Kerajaan Majapahit erat hubungannya dengan keruntuhan Kerajaan Singhasari. Ketika Singhasari diserang oleh Jayakatwang, Raden Wijaya yang merupakan menantu Kertanegara berhasil meloloskan diri. Ia mendapat pertolongan dari bupati Sumenep bernama Arya Wiraraja. Berkat pertolongannya, Raden Wijaya mendapat pengampunan dari Jayakatwang dan diberi tanah di hutan Tarik dekat Mojokerto. Daerah tersebut kemudian diberi nama Majapahit.
Raden Wijaya kemudian menyusun kekuatan untuk menyerang balik Jayakatwang. Saat Ia melakukan persiapan untuk menyerang Jayakatwang, tentara Mongol tiba di Pulau Jawa. Mereka dikirim oleh Kaisar Kublai Khan untuk menaklukkan Kertanegara. Tentara Mongol menyangka Kertanegara masih berkuasa di Singhasari. Mereka tidak mengetahui bahwa Kertanegara telah wafat dan kerajaannya jatuh ke tangan Jayakatwang.
Kedatangan tentara Mongol dimanfaatkan oleh Raden Wijaya. Ia segera bergabung dengan tentara Mongol untuk menyerang Jayakatwang. Dengan mudah, tentara Mongol beserta pasukan Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang. Setelah berhasil mengalahkan Jayakatwang, tentara Mongol berpesta merayakan kemenangannya. Ketika tentara Mongol lengah, Raden Wijaya berbalik menyerang mereka. Pasukan Mongol hancur dan sisanya pulang ke negerinya. Keberhasilan mengalahkan Jayakatwang dan menghancurkan tentara Mongol menghantarkan Raden Wijaya menjadi pengusa di Jawa Timur. Ia mendirikan kerajaan Majapahit dan menjadi raja dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.
Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan pada masa Hayam Wuruk yang memerintah tahun 1350-1389 M. Pemerintahan Hayam Wuruk dibantu oleh Gajah Mada. Menurut kitab Nagarakertagama, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Kejayaan Majapahit tidak hanya dalam hal pemerintahan. Dalam bidang ekonomi, Majapahit berkembang menjadi negara agraris dan negara maritim. Sebagai negara agraris, Majapahit terletak di daerah pedalaman dan dekat dengan aliran sungai sangat cocok untuk pertanian. Hasil utamanya adalah beras. Untuk meningkatkan pertanian, dilakukan pembuatan saluran pengairan, bendungan, dan pemanfaatan lahan pertanian secara bergiliran. Hal ini maksudnya agar tanah tetap subur dan tidak kehabisan lahan pertanian. Sebagai negara maritim, Majapahit memiliki armada laut yang kuat sehingga mampu mengawasi seluruh perairan di Nusantara.
Sejumlah pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa merupakan tempat yang strategis di tengah jalur perdagangan menuju Kepulauan Maluku yang menghasilkan rempah- rempah. Majapahit menjadikan pelabuhan-pelabuhan tersebut sebagai pusat perdagangan. Beberapa kota pelabuhan yang penting pada zaman Majapahit, antara lain Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban. Pada waktu itu banyak pedagang dari luar seperti dari Cina India, dan Siam.
Pada masa kerajaan Majapahit, bidang sastra mengalami kemajuan. Karya sastra yang terkenal adalah Kitab Negarakertagama. Selain kitab sastra, Negarakertagama juga merupakan sumber sejarah Majapahit. Kitab lain yang terkenal adalah Sutasoma. Kitab Sutasoma memuat kata-kata yang sekarang menjadi semboyan negara Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Bidang seni bangunan juga berkembang. Banyak bangunan candi telah dibuat. Misalnya Candi Penataran dan Sawentar di daerah Blitar, Candi Tigawangi dan Surawana di dekat Pare, Kediri, serta Candi Tikus di Trowulan.
Kejayaan Majapahit mulai mengalami kemunduran setelah pemerintahan Hayam Wuruk berakhir. Raja-raja yang berkuasa tidak mampu mengembalikan kejayaan Majapahit, Di samping itu, terjadinya perang saudara yang dikenal dengan Perang Paragreg pada tahun 1401-1406 M menyebabkan kekuatan Majapahit melemah. Unsur lain yang menyebabkan semakin mundurnya kerajaan Majapahit adalah meluasnya pengaruh Islam pada saat itu. Kerajaan Majapahit akhirnya runtuh setelah mendapat serangan pasukan Demak di bawah pimpinan Adipati Unus.
I. Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali
Menurut berita Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-pa-tan yang dapat disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan Bali telah berkembang.
Dalam sejarah Bali, nama Buleleng mulai terkenal setelah periode kekuasaan Majapahit. Pada waktu di Jawa berkembang kerajaan-kerajaan Islam, di Bali juga berkembang sejumlah kerajaan. Misalnya Kerajaan Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji Sakti, dan selanjutnya muncul kerajaan yang lain. Nama Kerajaan Buleleng semakin terkenal, terutama setelah zaman penjajahan Belanda di Bali. Pada waktu itu pernah terjadi perang rakyat Buleleng melawan Belanda.
Pada zaman kuno, sebenarnya Buleleng sudah berkembang. Pada masa perkembangan Kerajaan Dinasti Warmadewa, Buleleng diperkirakan menjadi salah satu daerah kekuasaan Dinasti Warmadewa. Sesuai dengan letaknya yang ada di tepi pantai, Buleleng berkembang menjadi pusat perdagangan laut. Hasil pertanian dari pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng. Dari Buleleng barang dagangan yang berupa hasil pertanian seperti kapas, beras, asam, kemiri, dan bawang diangkut atau diperdagangkan ke pulau lain (daerah seberang).
Perdagangan dengan daerah seberang mengalami perkembangan pesat pada masa Dinasti Warmadewa yang diperintah oleh Anak Wungsu. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kata-kata pada prasasti yang disimpan di Desa Sembiran yang berangka tahun 1065 M. Kata-kata yang dimaksud berbunyi,“mengkana ya hana banyaga sakeng sabrangjong, bahitra, rumunduk i manasa ….”Artinya,“andai kata ada saudagar dari seberang yang datang dengan jukung bahitra berlabuh di manasa ….”
Sistem perdagangannya ada yang menggunakan sistem barter, ada yang sudah dengan alat tukar (uang). Pada waktu itu sudah dikenal beberapa jenis alat tukar (uang), misalnya ma, su dan piling. Dengan perkembangan perdagangan laut antarpulau di zaman kuno secara ekonomis Buleleng memiliki peranan yang penting bagi perkembangan kerajaan-kerajaan di Bali misalnya pada masa Kerajaan Dinasti Warmadewa.
J. Kerajaan Tulang Bawang
Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di daerah Lampung adalah kerajaan yang disebut Bawang atau Kerajaan Tulang Bawang. Berita Cina tertua yang berkenaan dengan daerah Lampung berasal dari abad ke-5, yaitu dari kitab Liu-sung-Shu, sebuah kitab sejarah dari masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420–479). Kitab ini di antaranya mengemukakan bahwa pada tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Nusantara bagian barat bernama P’u-huang atau P’o-huang mengirimkan utusan dan barang-barang upeti ke negeri Cina. Lebih lanjut kitab Liu-sung-Shu mengemukakan bahwa Kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang diperdagangkan ke Cina. Hubungan diplomatik dan perdagangan antara P’o-huang dan Cina berlangsung terus sejak pertengahan abad ke-5 sampai abad ke-6, seperti halnya dua kerajaan lain di Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li.
Dalam sumber sejarah Cina yang lain, yaitu kitab T’ai-p’ing- huang-yu-chi yang ditulis pada tahun 976–983 M, disebutkan sebuah kerajaan bernama T’o-lang-p’p-huang yang oleh G. Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak di daerah pantai tenggara Pulau Sumatera, di selatan sungai Palembang (Sungai Musi). L.C. Damais menambahkan bahwa lokasi T’o-lang P’o-huang tersebut terletak di tepi pantai seperti dikemukakan di dalam Wu-pei-chih, “Petunjuk Pelayaran”. Namun, di samping itu Damais kemudian memberikan pula kemungkinan lain mengenai lokasi dan identifikasi P’o-huang atau “Bawang” itu dengan sebuah nama tempat bernama Bawang (Umbul Bawang) yang sekarang terletak di daerah Kabupaten Lampung Barat, yaitu di daerah Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara Liwah. Tidak jauh dari desa Bawang ini, yaitu di desa Hanakau, sejak tahun 1912 telah ditemukan sebuah inskripsi yang dipahatkan pada sebuah batu tegak, dan tidak jauh dari tempat tersebut dalam waktu beberapa tahun terakhir ini masih ditemukan pula tiga buah inskripsi batu yang lainnya.
K. Kerajaan Kota Kapur
Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk tentang kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah itu sejak masa sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya. Pusat kekuasaan ini meninggalkan temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) terbuat dari batu bersama dengan arca-arca batu, di antaranya dua buah arca Wisnu dengan gaya seperti arca-arca Wisnu yang ditemukan di Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 Masehi.
Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan-peninggalan yang lain di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masing-masing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 M tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7 M.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lahirnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha merupakan salah satu bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Pada masa pemerintahan kerajaan-kerajaan ini, tradisi agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Kepulauan Indonesia berkembang dengan pesat. Masyarakat di Kepulauan Indonesia telah mencapai tingkatan tertentu sebelum munculnya kerajaan yang bersifat Hindu-Buddha. Melalui proses akulturisasi, budaya yang dianggap sesuai dengan karakteristik masyarakat diterima dengan menyesuaikan pada budaya masyarakat setempat pada masa itu.
Kebudayaan Hindu di zaman itu mempunyai kekuatan yang besar dan serupa dengan zaman modern saat ini, seperti kebudayaan Barat ataupun kebudayaan Korea yang hampir mempengaruhi seluruh kehidupan semua bangsa-bangsa di dunia. Demikian halnya dengan kebudayaan intelektual agama Hindu pada masa itu yang mempunyai pengaruh kuat di Asia Tenggara.
Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatra dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era ini.
B. Saran
Mempelajari sejarah Indonesia tentang Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia, kita bisa mengambil hikmah dari berbagai peristiwa perjalanan bangsa Indonesia dari setiap periode sehingga kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Kristinah, Endang dan Aris Soviyani. 2007.Mutiara-mutiara Majapahit. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Lombard, Denis. 2005.Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian III: Wawasan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakarta: PT. Gramedia.
Munandar, Agus Aris (ed). 2007.Sejarah Kebudayaan Indonesia. Religi dan Falsafah. Jakarta: Departemen Budaya dan Pariwisata.
Rangkuti, Nurhadi. 2006.“Trowulan, Situs-Kota Majapahit” dalam Majapahit. Jakarta: Indonesian Heritage Society.
Utomo, Bambang Budi. 2009.Atlas Sejarah Indonesia Masa Prasejarah (Hindu-Buddha). Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.