KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Konsep Kecakapan ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah Pendidikan yang berjudul Makalah Konsep Kecakapan ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Konsep Kecakapan ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Konsep Kecakapan ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Indonesia, November 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama ini masyarakat dan praktisi pendidikan menganggap bahwa indikator keberhasilan pembelajaran sebagai inti proses pendidikan adalah nilai ujian nasional (NUN). Pandangan seperti itu tidak keliru, akan tetapi baru melihat salah satu indikator saja. Apabila keberhasilan hanya dipandang dari indikator itu, maka pembelajaran cenderung lebih menekankan kepada aspek kognitif semata, sehingga aspek afektif dan psikomotorik agak terabaikan. Sementara itu, sejak September tahun 2001 telah bergulir tujuan proses pembelajaran ke arah penguasaan kompetensi dasar yang bermuara pada penguasaan kecakapan hidup (life skills) yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kecakapan hidup sebagai inti dari kompetensi dan hasil pendidikan adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Depdiknas, 2006: 22). Kecakapan hidup terdiri dari kecakapan hidup yang bersifat umum (general life skills) dan kecakapan hidup yang bersifat khusus (specific life skills). Menurut Malik Fadjar (2003) kecakapan hidup yang bersifat umum terdiri dari kecakapan personal dan sosial, sedangkan kecakapan hidup yang bersifat spesifik terdiri dari kecakapan akademik dan vokasional. Kecakapan hidup tersebut sesuai dengan empat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO.
Empat pilar yang dicanangkan UNESCO apabila diterapkan dengan baik di sekolah-sekolah akan mampu membekali siswa dengan kecakapan hidup yang dibutuhkan siswa untuk bekal hidup di masyarakat. Empat pilar pendidikan tersebut adalah belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk berbuat atau bekerja (learning to do), belajar untuk menjadi jati diri (learning to be) dan belajar untuk hidup bermasyarakat (learning to live together). Empat pilar pendidikan tersebut merupakan prinsip yang perlu dijadikan landasan dan pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah-sekolah, yang ditujukan untuk menghasilkan generasi-generasi penerus bangsa sesuai dengan harapan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Untuk mencapai empat pilar pendidikan yang disertai kepemilikan bekal kecakapan hidup (life skills) yang sangat dibutuhkan, seyogyanya siswa terlibat aktif dalam pembelajaran yang mempraktikkan berinteraksi dengan lingkungan fisik dan sosial, agar siswa memahami pengetahuan yang terkait dengan lingkungan sekitarnya (learning to know). Proses pembelajaran tersebut bertujuan memfasilitasi siswa dalam melakukan perbuatan atas dasar pengetahuan yang dipahaminya untuk memperkaya pengalaman belajar (learning to do). Siswa diharapkan dapat membangun kepercayaan dirinya supaya dapat menjadi jati dirinya sendiri (learning to be), dan sekaligus juga berinteraksi dengan berbagai individu dan kelompok yang beraneka ragam, yang akan membentuk kepribadiannya, memahami kemajemukan, dan melahirkan sikap toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan yang dimiliki masing-masing individu (learning to live together) sesuai dengan haknya masing-masing.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
- Apa yang dimaksud dengan konsep kecapan?
- Apa yang dimaksud kecerdasan?
- Apa yang dimaksud kecerdasan jamak?
- Apa yang dimaksud kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual?
- Bagaimana cara pengukuran kecerdasan?
- Apa yang dimaksud bakat dan hasil belajar?
- Apa yang dimaksud kreativitas?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
- Untuk mengetahui tentang konsep kecapan.
- Untuk mengetahui tentang kecerdasan.
- Untuk mengetahui tentang kecerdasan jamak.
- Untuk mengetahui tentang kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
- Untuk mengetahui tentang cara pengukuran kecerdasan.
- Untuk mengetahui tentang bakat dan hasil belajar.
- Untuk mengetahui tentang kreativitas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Kecapan
1. Pengertian Kecakapan
Konsep kecakapan hidup (life skill) dirumuskan secara beragam, sesuai dengan landasan filosofis penyusunnya. Salah satu konsep dikemukakan oleh Nelson-Jones (1995: 419) menyebutkan bahwa secara netral kecakapan hidup merupakan urutan pilihan yang dibuat seseorang dalam bidang keterampilan yang spesifik. Secara konseptual, kecakapan hidup adalah urutan pilihan yang memperkuat kehidupan psikologis yang dibuat seseorang dalam bidang keterampilan yang spesifik.
Sumber lain memaknai kecakapan hidup sebagai pengetahuan yang luas dan interaksi kecakapan yang diperkirakan merupakan kebutuhan esensial bagi manusia dewasa untuk dapat hidup secara mandiri (Brolin dalam Goodship, 2002). Atau kecakapan hidup merupakan pedoman pribadi untuk tubuh manusia yang membantu anak belajar bagaimana menjaga kesehatan tubuh, tumbuh sebagai individu, bekerja dengan baik, membuat keputusan logis, menjaga mereka sendiri ketika diperlukan dan menggapai tujuan hidup (Kent Davis, 2000). Kecakapan hidup juga dimaknai sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.
Atas dasar batasan-batasan tersebut pendidikan berorientasi kecakapan hidup diartikan sebagai pendidikan untuk meningkatkan kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjaga kelangsungan hidup dan pengembangan dirinya (Depdiknas, 2002). Kemampuan adalah realisasi dari kecakapan hidup yang bersifat kognitif (mengetahui cara mengerjakan), kesanggupan adalah realisasi dari kecakapan hidup yang lebih bersifat afektif (kemauan atau dorongan untuk berperilaku), dan keterampilan adalah realisasi dari kecakapan hidup yang bersifat psikomotorik (tindakan yang dilakukan atas dasar pengetahuan dan kemauan).
Menurut Nelson-Jones kecakapan hidup itu menunjuk kepada kegiatan dalam (inner games) dan kegiatan luar (outer games). Sebagai kegiatan-dalam, kecakapan hidup berkaitan dengan apa yang sedang berlangsung dalam diri seseorang, yaitu bagaimana seseorang berpikir atau keterampilan berpikir, sedangkan sebagai kegiatan luar berkaitan dengan apa yang sedang berlangsung di luar diri seseorang, yaitu bagaimana ia bertindak atau keterampilan bertindak. Menurut pandangan ini, inti dari kecakapan hidup adalah kecakapan berpikir dan bertindak. Pandangan ini tampaknya memperkuat rumusan kecakapan hidup yang dikemukakan oleh Departemen Pendidikan Nasional, karena aspek kemampuan dan kesanggupan tercakup dalam keterampilan berpikir, sementara aspek keterampilan ada dalam keterampilan bertindak.
2. Jenis-jenis Kecakapan
Salah satu pengelompokan kecakapan hidup dikemukakan oleh Depdiknas, bahwa kecakapan hidup ada yang bersifat generik (generic life skills/ GLS) dan ada kecakapan hidup yang bersifat spesifik (spesific life skills/ SLS). Dalam dua kelompok kecakapan hidup tersebut tercakup jenis-jenis kecakapan hidup sebagaimana tertera pada gambar berikut.
Gambar 1.1. Bagan Pembagian Kecakapan Hidup
a. Kecakapan Hidup Generik
Kecakapan hidup generik adalah kecakapan yang harus dimiliki oleh setiap manusia yang terdiri atas kecakapan personal (personal skill) dan kecakapan sosial (social skill).
1) Kecakapan Personal
Kecakapan Personal mencakup kesadaran diri atau memahami diri atau potensi diri, serta kecakapan berpikir rasional. Kesadaran diri merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Kecakapan berpikir rasional mencakup kecakapan: (1) menggali dan menemukan informasi; (2) mengolah informasi dan mengambil keputusan; dan (3) memecahkan masalah secara kreatif.
2) Kecakapan Sosial
Kecakapan sosial atau kecakapan antar pribadi (inter-personal skill) meliputi kecakapan berkomunikasi dengan empati dan kecakapan bekerja-sama (collaboration skill). Pada kecakapan komunikasi seperti empati, sikap penuh pengertian, dan seni berkomunikasi dua arah perlu ditekankan, karena berkomunikasi bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi isi dan sampainya pesan disertai dengan kesan baik yang akan menumbuhkan hubungan harmonis.
Kecakapan komunikasi sangat diperlukan, karena manusia berinteraksi dengan manusia lain melalui komunikasi, baik secara lisan, tertulis, tergambar, maupun melalui kesan. Kecakapan komunikasi terdiri dari dua bagian, yaitu verbal dan non- verbal. Komunikasi verbal meliputi kecakapan mendengarkan berbicara, dan membaca-menulis. Komunikasi non-verbal meliputi pemahaman atas mimik, bahasa tubuh, dan tampilan atau peragaan. Dengan demikian, dalam kecakapan komunikasi tercakup kecakapan mendengarkan, berbicara, dan kecakapan menulis pendapat/gagasan.
Sementara itu, dalam kecakapan bekerja sama tercakup kecakapan sebagai teman kerja yang menyenangkan dan sebagai pemimpin yang berempati. Sebagai teman yang menyenangkan, seseorang harus mampu membangun iklim yang kondusif dalam bersosialisasi di antaranya menghargai orang lain secara positif, membangun hubungan dengan orang lain dan sikap terbuka. Dalam kepemimpinan tercakup aspek tanggung jawab, sosialisasi, teguh, berani, mampu mempengaruhi dan mengarahkan orang lain.
b. Kecakapan Hidup Spesifik
Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan yang diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus seperti pekerjaan/kegiatan dan atau keadaan tertentu, yang terdiri atas kecakapan akademik dan vokasional.
1) Kecakapan Akademik
Kecakapan akademik mencakup antara lain kecakapan mengidentifikasi variabel dan menjelaskan hubungannya dengan suatu fenomena tertentu, merumuskan hipotesis terhadap suatu rangkaian kejadian, serta merancang dan melaksanakan penelitian untuk membuktikan suatu gagasan atau keingintahuan.
2) Kecakapan Vokasional
Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan atau kegiatan tertentu yang terdapat di masyarakat dan lebih memerlukan keterampilan motorik. Dalam kecakapan vokasional tercakup kecakapan vokasional dasar atau pravokasional yang meliputi kecakapan menggunakan alat kerja, alat ukur, memilih bahan, merancang produk; dan kecakapan vokasional penunjang yang meliputi kecenderungan untuk bertindak dan sikap kewirausahaan. Ini tidak berarti siswa SMP harus dibekali dengan jenis-jenis keterampilan kerja tetapi memberi kesempatan mengembangkan wawasan kerja, etos kerja dan aktivitas produktif.
B. Konsep Kecerdasan
1. Pengertian Kecerdasan
Kecerdasan berasal dari kata cerdas yang berarti pintar dan cerdik, cepat tanggap dalam menghadapi masalah dan cepat mengerti jika mendengar keterangan. Kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal budi. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dalam hal ini adalah masalah yang menuntut kemampuan pikiran.
Kecerdasan atau yang biasa disebut dengan inteligensi berasal dari bahasa Latin “intelligence” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (to organize, to relate, to bind together). Bagi para ahli yang meneliti, istilah inteligensi memberikan bermacam-macam arti. Menurut mereka, kecerdasan merupakan sebuah konsep yang bisa diamati tetapi menjadi hal yang paling sulit untuk didefinisikan. Hal ini terjadi karena inteligensi tergantung pada konteks atau lingkungannya.
Menurut Dusek kecerdasan dapat didefinisikan melalui dua jalan yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, kecerdasan adalah proses belajar untuk memecahkan masalah yang dapat diukur dengan tes inteligensi, sedangkan secara kualitatif kecerdasan merupakan suatu cara berpikir dalam membentuk konstruk bagaimana menghubungkan dan mengelola informasi dari luar yang disesuaikan dengan dirinya. Howard Gardner berpendapat kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu.3
Alfred Binet merupakan seorang tokoh perintis pengukuran inteligensi, ia menjelaskan bahwa inteligensi merupakan kemampuan individu mencangkup tiga hal. Pertama, kemampuan mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, artinya individu mampu menetapkan tujuan untuk dicapainya (goal setting). Kedua, kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila dituntut demikian, artinya individu mampu melakukan penyesuaian diri dalam lingkungan tertentu. Ketiga, kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan auto kritik, artinya individu mampu melakukan perubahan atas kesalahan-kesalahan.
Lebih lanjut, Raymond Bernard Cattel mengklasifikasikan kemampuan mental menjadi dua macam, yaitu inteligensi fluid (gf) dan inteligensi crystallized (gc). Inteligensi fluid merupakan kemampuan yang berasal dari faktor bawaan biologis yang diperoleh sejak kelahirannya dan lepas dari pengaruh pendidikan dan pengalaman. Sedangkan inteligensi crystallized merupakan kemampuan yang merefleksikan adanya pengaruh pengalaman, pendidikan dan kebudayaan dalam diri seseorang, inteligensi ini akan meningkat kadarnya dalam diri seseorang seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman dan keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh individu. Karakteristik dari inteligensi fluid cenderung tidak berubah setelah usia 14 atau 15 tahun, sedangkan inteligensi crystallized masih dapat terus berkembang sampai usia 30 – 40 tahun bahkan lebih.
Berdasarkan pengertian kecerdasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dalam hal ini adalah masalah yang menuntut kemampuan pikiran serta dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif.
2. Macam-macam Kecerdasan
Macam-macam kecerdasan menurut para ahli psikologi di dunia menyimpulkan terkait dengan pemetaan kecerdasan (quotient mapping) seseorang, dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Ketiga kecerdasan ini merupakan kecerdasan personal yang melekat pada pribadi seseorang.
C. Konsep Kecerdasan Jamak
1. Pengertian Kecerdasan Jamak
Kecerdasan adalah kemampuan memecahkan masalah dan membuat suatu produk yang bermanfaat bagi kehidupan (Amstrong, 1994; MCGrath & Nicole, 1996). Teori kecerdasan jamak (multiple intelligence) adalah teori kecerdasan yang dikembangkan Howard Gardner (1983). Teori ini merupakan reaksi ketidaksetujuan Howard Gardner terhadap pandangan yang telah berkembang sejak awal abad ke-20, bahwa kecerdasan anak hanya ditentukan oleh skor tunggal sebagaimana diungkap oleh tes inteligensi. Menurut Gardner, tes inteligensi hanya mengukur kemampuan anak dalam bidang verbal-linguistik dan logis matematis yang hasilnya disimpulkan dalam skor, karena itu skor tersebut tidak memadai untuk menentukan cerdas tidaknya anak. Ia mengemukakan bahwa anak memiliki sejumlah kecerdasan yang dapat mewujud dalam berbagai keterampilan dan kemampuan, yang bukan hanya berupa kemampuan verbal-linguistik dan kemampuan logis matematis. Kemampuan-kemampuan tersebut mewakili berbagai cara anak dalam belajar dan berinteraksi dengan diri dan lingkungannya. Teori kecerdasan jamak ini penting dikemukakan untuk membantu para guru/pendidik dalam menyiapkan kegiatan pembelajaran yang dapat menstimulasi berbagai jenis kecerdasan yang dimiliki anak sehingga seluruh kemampuan dapat berkembang secara optimal.
2. Jenis-jenis Kecerdasan Jamak
Kecerdasan jamak adalah teori kecerdasan yang mengemukakan bahwa individu memiliki paling tidak 8 jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan verbal-linguistik, logis matematis, visual-spasial, kinestetik, musik, intrapribadi, antarpribadi, dan naturalis.
- Kecerdasan verbal linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan kata-kata secara efektif baik lisan dan/atau tulisan.
- Kecerdasan logis matematis adalah kemampuan menggunakan angka secara efektif dan penalaran dengan baik.
- Kecerdasan visual-spasial adalah kemampuan untuk mempersepsi pola, ruang, warna, garis dan bentuk serta mewujudkan gagasan visual dan keruangan secara grafis.
- Kecerdasan kinestetik adalah kemampuan menggunakan badan untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan dan penyelesaian problem (Amstrong, 1994; Gardner, 1993; Lazear, 1991).
- Kecerdasan musik adalah kemampuan memahami dan menguasai pola titi nada, irama, dan melodi.
- Kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan memahami diri dan bertindak sesuai dengan kemampuannya.
- Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan memahami perasaan, maksud, dan motivasi orang lain.
- Kecerdasan naturalis adalah kemampuan memahami dan mengklasifikasikan tumbuhan, bahan tambang, dan binatang (Cristison & Kenedy, 1999; Gardner, 1999).
3. Prinsip-prinsip Kecerdasan Jamak
Ada berbagai prinsip yang perlu diperhatikan para guru dalam mengembangkan kecerdasan jamak. Prinsip-prinsip tersebut (Amstrong, 1994) adalah sebagai berikut.
- Setiap anak memiliki semua jenis kecerdasan. Teori kecerdasan jamak mengemukakan bahwa setiap anak memiliki kemampuan dari kedelapan jenis inteligensi. Kedelapan kecerdasan tersebut berfungsi secara bersama-sama pada setiap individu secara unik
- Kebanyakan anak berkemampuan mengembangkan berbagai jenis kecerdasan pada tingkat kemampuan yang memadai. Howard Gardner meyakini bahwa setiap anak memiliki kemampuan untuk mengembangkan semua jenis kemampuan pada tingkat yang memadai jika diberikan dorongan, pengayaan, dan pembelajaran yang layak.
- Setiap kecerdasan biasanya bekerja bersama secara kompleks. Dalam kehidupan tidak ada kecerdasan yang berdiri sendiri kecuali pada kasus tertentu yang sangat langka dalam berfungsinya kecerdasan berinteraksi antara satu kecerdasan dengan kecerdasan yang lain dalam kehidupan individu.
- Ada berbagai cara untuk menjadi cerdas dalam setiap kategori kecerdasan. Tidak ada satu daftar karakteristik yang harus digunakan sebagai kriteria untuk menentukan kecerdasan dalam satu bidang tertentu. Bisa saja seorang anak tidak bisa membaca namun sangat cerdas dari segi kemampuan kebahasaan karena mampu menceritakan suatu kisah menakjubkan atau karena memiliki kosakata yang sangat banyak.
D. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan berasal dari kata cerdas yang berarti pintar dan cerdik, cepat tanggap dalam menghadapi masalah dan cepat mengerti jika mendengar keterangan. Kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal budi. Emosi secara etimologi berasal dari kata “e” yang berarti energy dan motion yang berarti getaran. Dalam hal ini, emosi dapat diartikan sebagai suatu energi yang terus bergerak dan bergetar. Secara terminologi emosi diartikan sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu dari setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Pendapat lain menyebutkan emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Kata ini dapat diartikan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Emosi merujuk pada suatu perasaan yang berkaitan dengan keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Menurut Nelson dan Low, emosi adalah suatu keadaan perasaan yang merupakan sebuah reaksi fisiologis berdasarkan pengalaman sebagai perasaan-perasaan yang kuat dan adanya perubahan fisiologis di mana tubuh siap untuk bertindak cepat. Perubahan-perubahan fisiologis ini terlihat jelas dalam perubahan denyut jantung, ritme pernafasan, banyaknya keringat dan sebagainya.
Secara psikologis, emosi dialami sebagai reaksi yang sangat menyenangkan atau reaksi paling tidak menyenangkan yang digambarkan dengan kata-kata seperti bahagia, marah dan sebagainya.
Pada tahun 1948 R.W Leeper, seorang peneliti dari Amerika memperkenalkan gagasan mengenai “pemikiran emosional” yang diyakini sebagai pemikiran logis. Akan tetapi, hanya sebagian kecil psikolog yang melanjutkan pemikiran ini sampai 30 tahun. Istilah kecerdasan emosional baru dikenal secara luas sekitar pertengahan 90-an, istilah ini dipakai pertama kali oleh psikolog Petter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Goleman menjelaskan kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri serta dalam hubungan dengan orang lain. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.
Lebih lanjut Horward Gardner mengungkapkan kecerdasan emosi terdiri dari dua kecakapan yaitu intrapersonal intelligence dan interpersonal intelligence. Intrapersonal intelligence atau kecerdasan intra personal adalah kemampuan seseorang berkomunikasi dan memandang diri sendiri (self image), serta kemampuan seseorang mengendalikan dirinya (self control). Orang yang cerdas dalam intra personal, mendapat julukan orang yang dewasa atau matang. Interpersonal intelligence atau kecerdasan inter personal adalah kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain, bersosialisasi, mengerti orang lain (empati) dan memberikan respons (simpati) kepada orang lain. Karena berfokus pada intrapersonal intelligence dan interpersonal intelligence inilah kecerdasan emosional memberikan implikasi positif yang lebih besar dalam kehidupan seseorang.
Sebagian pakar mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kecerdasan sosial yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau baik emosi dirinya maupun emosi orang lain, kemampuan ini digunakan untuk mengarahkan pola pikir dan perilakunya. Kecerdasan emosional adalah sebuah kemampuan untuk mendengarkan bisikan emosi dan menjadikannya sebagai sumber informasi maha penting untuk memahami diri sendiri dan orang lain demi mencapai sebuah tujuan.
Pakar psikologi Cooper dan Sawaf mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Selanjutnya Howes dan Herald mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosinya. Emosi manusia berada di wilayah perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang jika diakui dan dihormati, kecerdasan emosional akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan, kecerdasan emosional dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mengelola perasaan diri sendiri dan orang lain, mampu memotivasi dirinya sehingga membawa kepada keberhasilan.
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Tidak seperti IQ yang memiliki berbagai macam alat ukur, kecerdasan emosi atau EQ tidak dapat diukur dengan angka. Namun dapat diukur menggunakan aspek-aspek kecerdasan emosi. Lima dasar kecakapan emosi dan sosial menurut Goleman antara lain:
a. Kesadaran Diri
Dengan kesadaran diri seseorang mampu memahami emosi diri, penilaian untuk mengambil keputusan, dan percaya diri. Seseorang yang memiliki kesadaran diri dapat dengan mudah mengetahui perasaan dan memantau emosi yang muncul pada waktu tertentu dan efeknya, mengetahui kekuatan dan memiliki keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri. Kesadaran diri lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri bahkan di tengah badai emosi. Dalam aspek mengenali emosi diri ini terdapat tiga indikator yaitu: mengenal dan merasakan emosi sendiri, memahami penyebab perasaan yang timbul, mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan.
b. Pengaturan Diri
Yaitu kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan menangani emosinya sendiri sedemikian rupa sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas, memiliki kepekaan pada kata hati, serta sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Tujuan dari mengelola emosi adalah keseimbangan emosi bukan menekan emosi. Aristoteles mengatakannya dengan istilah emosi yang wajar, yakni keselarasan antara perasaan dan lingkungan. Dalam aspek mengelola emosi ini terdapat beberapa indikator antara lain: bersikap toleran terhadap frustrasi, mampu mengendalikan marah secara lebih baik, dapat mengendalikan perilaku agresif yang dapat merusak diri sendiri dan orang lain, memiliki perasaan positif tentang diri sendiri dan orang lain, memiliki kemampuan untuk mengatasi stres, dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Kecenderungan emosi yang mengantarkan atau memudahkan seseorang meraih sasaran. Orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung lebih produktif dalam upaya apapun yang dilakukannya serta memiliki kegigihan dalam memperjuangkan tujuan walaupun ada halangan dan kegagalan. Kemampuan ini meliputi dorongan untuk berprestasi, komitmen dan optimis. Konsep penting dari teori motivasi adalah pada kekuatan yang ada dalam diri manusia. Menurut MC Clelland, individu dapat memiliki motivasi jika memang dirinya memiliki keinginan untuk berprestasi lebih baik dibandingkan orang lain. Dalam aspek memotivasi diri sendiri terdapat tiga indikator yaitu : mampu mengendalikan impuls individu mampu menyeleksi bahan mengendalikan rangsangan atau godaan negatif yang datang, bersikap optimis, dan mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan.
d. Empati
Merupakan kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain. Orang yang empatik mampu merasakan yang dirasakan oleh orang lain, lebih peka terhadap kehendak orang lain, mampu memahami perspektif orang lain dan menumbuhkan hubungan saling percaya, serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe hubungan. Dalam aspek mengenali emosi orang lain terdapat tiga indikator yaitu: mampu menerima sudut pandang orang lain, memiliki sikap empati atau kepekaan terhadap orang lain, dan mampu mendengarkan orang lain.
e. Ketrampilan Sosial
Orang yang memiliki seni dalam membangun hubungan sosial mampu menangani emosi dengan baik ketika berhubungan sosial dengan orang lain, mampu membaca situasi dan jaringan sosial secara cermat, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, serta bekerja sama dengan tim. Membina hubungan dalam membina hubungan ini terdapat sembilan indikator yaitu: Memahami pentingnya membina hubungan dengan orang lain, mampu menyelesaikan konflik dengan orang lain, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain, memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul, memiliki sikap tenggang rasa, memiliki perhatian terhadap kepentingan orang lain atau tidak egois, dapat hidup selaras dengan kelompok, bersikap senang berbagi rasa dan bekerja sama, bersikap demokratis.
Berdasarkan uraian di atas, aspek-aspek kecerdasan emosional terdiri dari kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial.
E. Konsep Kecerdasan Spiritual
1. Pengertian Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual terdiri dari dua kata, yaitu kecerdasan dan spiritual. Kecerdasan berasal dari kata cerdas yang berarti pintar dan cerdik, cepat tanggap dalam menghadapi masalah dan cepat mengerti jika mendengar keterangan. Kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal budi. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dalam hal ini adalah masalah yang menuntut kemampuan pikiran. Secara etimologis, spiritual, spiritualitas atau spiritualisme berasal dari kata spirit. Makna dari spirit, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa spirit memiliki arti semangat, jiwa, sukma dan roh. Dan spiritual diartikan sesuatu yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (jiwa atau rohani). Kecerdasan spiritual adalah semangat atau dorongan yang sangat kuat yang dimiliki jiwa atau rohani, melalui tatanan moral yang benar-benar luhur dan agung, dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai moral, semangat jiwa seseorang dalam menjalankan kehidupan. Spiritual memberikan arah dan arti bagi kehidupan manusia tentang kepercayaan tentang adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar dari pada kekuatan manusia.
Menurut Danah Zohar, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar. Dalam karya mereka Spiritual Intelligence Danah Zohar dan Ian Marshal menjelaskan bahwa Spiritual Quotien (SQ) adalah inti dari segala kecerdasan. Kecerdasan ini digunakan untuk menyelesaikan masalah makna dan nilai, yaitu kecerdasan yang digunakan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas, kecerdasan untuk menilai bahwa jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding orang lain.
Muhammad Zuhri berpendapat, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Potensi kecerdasan spiritual setiap orang sangat besar, tidak dibatasi oleh faktor keturunan, lingkungan atau materi lainnya. Sementara menurut Khalil Khavari, kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi nonmaterial kita yang disebut ruh manusia. Kecerdasan spiritual ibarat sebuah intan yang belum terasah yang dimiliki semua orang. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan diturunkan. Akan tetapi kemampuannya untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas.
Sedangkan dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara komprehensif. Michael Levin, dalam buku Spiritual Intelligence (Metode Pengembangan Kecerdasan Spiritual Anak) menyebutkan bahwa kecerdasan spiritual adalah sebuah perspektif “spirituality is a prespective” artinya mengarahkan cara berpikir manusia menuju hakikat terdalam manusia, yaitu penghambaan diri pada sang maha suci dan maha meliputi. Menurut Levin, kecerdasan spiritual tertinggi hanya bisa dilihat jika individu mencerminkan penghayatannya kebijakan dan kebijaksanaan yang mendalam, sesuai dengan jalan suci menuju sang pencipta.
Adapun kecerdasan spiritual dalam pandangan Islam adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan. Islam memandang kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan yang berkaitan dengan sifat istikamah, kerendahan hati, berusaha dan berserah diri, ketulusan, keseimbangan, integritas dan penyempurnaan itu semua dinamakan Akhlakul Karimah.
Kecerdasan spiritual telah ada sejak manusia dilahirkan, ini disandarkan pada proses peniupan ruh pada jasad manusia oleh Tuhan yang diikuti nilai-nilai spiritual Tuhan (sifat-sifat Tuhan) ke dalam jasad manusia tersebut. Sehingga dengan demikian tidak ada manusia yang tidak memiliki nilai-nilai spiritual, akan tetapi nilai spiritual ini masih berupa potensi yang perlu dikembangkan lebih lanjut.
Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan, kecerdasan spiritual adalah suatu kecerdasan manusia yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan dengan melibatkan Tuhan, sehingga jalan hidupnya semakin bermakna.
2. Aspek-aspek Kecerdasan Spiritual
Untuk mengetahui lebih jauh tentang keberadaan kecerdasan spiritual (SQ) yang sudah bekerja secara efekftif atau SQ sudah bergerak ke arah perkembangan yang positif di dalam diri seseorang, maka ada beberapa aspek yang bisa diperhatikan, Zohar dan Marshall memberikan sembilan aspek dari kecerdasan spiritual yang telah berkembang dengan baik antara lain:
a. Bersifat Fleksibel
Yaitu mampu beradaptasi secara aktif dan spontan. Seseorang yang bersifat fleksibel, meskipun memiliki perbedaan dengan lingkungan di sekitarnya akan mampu membawa diri dan bertindak secara halus bahkan dapat mempengaruhi lingkungan di sekitarnya dengan tanpa menimbulkan kerusakan.
b. Memiliki Kesadaran Diri yang Tinggi
Kesadaran diri adalah mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusannya sendiri. Selain itu kesadaran diri juga berarti menetapkan tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Apapun yang dilakukan individu yang memiliki kecerdasan spiritual, dilakukan dengan penuh kesadaran
c. Memiliki Kemampuan untuk Menghadapi Penderitaan dan Mengambil Hikmah Darinya
Kemampuan seseorang dalam menghadapi ujian dan menjadikan penderitaan yang dialami sebagai motivasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dikemudian hari. Individu yang mampu menghadapi penderitaan memiliki kualitas sabar yang baik. Dalam kandungan kualitas sabar, terdapat sikap yang istikamah. Menurut Ibnu Qoyyim, sabar berarti menahan diri dari keluh kesah dan rasa benci, menahan lisan dari mengadu, dan menahan anggota badan dari tindakan yang mengganggu.
d. Ikhlas dan Tawakal Menghadapi dan Mengatasi Rasa Sakit
Menurut al Qusyairi, ikhlas merupakan ketaatan seorang hamba dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada Allah semata tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian makhluk, yang ada hanya mendekatkan diri pada Allah. Kemampuan seseorang menyadari keterbatasan di saat sakit, dan semakin mendekatkan diri pada Allah serta memiliki keyakinan bahwa Allah akan memberikan kesembuhan.
e. Memiliki Kualitas Hidup yang Diilhami oleh Visi dan Nilai-nilai
Kemampuan individu mencangkup usaha untuk mengetahui batas wilayah untuk dirinya yang mendorong seseorang untuk merenungkan apa yang dipercayai dan dianggap bernilai, berusaha memegang keyakinan yang dimilikinya.
f. Cenderung Melihat Hubungan antar Berbagai hal yang Berbeda Menjadi Sesuatu yang Holistik
Kecerdasan spiritual membuat individu memiliki cara pandang yang menyeluruh, karena hal keseluruhan adalah sebuah kesatuan yang lebih penting daripada bagian-bagian yang membentuknya. Individu dapat menemukan identitas dirinya, tujuan hidupnya dan makna hidup melalui hubungan yang dijalin dengan masyarakat dan nilai-nilai spiritual yang dimilikinya.
g. Cenderung untuk Bertanya untuk Mencari Jawaban-jawaban yang Fundamental
Fundamental dapat diartikan sebagai dasar, mendasar, atau pokok-pokok ideologi. Orang-orang dengan kecerdasan spiritual cenderung untuk bertanya mencari jawaban-jawaban yang mendasar sehingga tidak bergantung pada orang lain.
h. Bertanggung Jawab dan Memberi Inspirasi kepada Orang Lain
Orang yang bertanggung jawab berarti orang tersebut berupaya sekuat tenaga melaksanakan kewajiban (amanah) sedemikian rupa sehingga menghasilkan performance hasil kerja yang terbaik. Tentunya hasil kerja terbaik akan memberikan inspirasi kepada orang lain untuk memperoleh hasil yang sama atau bahkan lebih. Dengan kecerdasan spiritual, individu dapat memiliki visi dan dalam kehidupannya, artinya individu mengetahui apa yang benar-benar memotivasi dirinya. Visi ini berkaitan dengan bagaimana ia menciptakan korelasi yang sebaik-baiknya dengan Allah SWT. Ia merasakan keterikatan antara dirinya dengan Allah SWT dalam setiap kondisi yang kemudian menciptakan keyakinan bahwa Allah SWT adalah Maha segalanya. Seseorang yang memiliki SQ tinggi, tidak akan memiliki perasaan putus asa ataupun lelah dalam kegiatan yang dilakukannya. Hal ini karena terintegrasi prinsip kepada Allah dan karena Allah. Selain itu mereka juga senang berbuat baik, suka menolong orang lain, menemukan tujuan hidup, turut merasa memikul sebuah misi mulia serta mempunyai selera humor yang baik.
F. Pengukuran Kecerdasan
Pengukuran kecerdasan telah dilakukan sejak 1905, Alfred Binet dan asistennya, Theodore Simon, mempublikasikan Binet-Simon Scale, suatu tes kecerdasan yang kemudian mengalami beberapa kali revisi. Terakhir dikenal sebagai Stanford-Binet Intelligence Scale. Pada tahun 1939, Wechsler meluncurkan Wechsler-Belleveu Intelligence Scale, setelah beberapa kali revisi menghasilkan sedikitnya tiga jenis alat ukur untuk kelompok usia yang berbeda, yakni WPPSI, WISC-R, dan WAIS-R. Yang berfungsi secara etik di kalangan penggunanya, yakni psikolog.
Baik tes Binet maupun Wechsler, merupakan tes kecerdasan individual yang pelaksanaannya dilakukan secara one-on-one relationship, satu ahli (expertise tester) melakukan pengukuran terhadap satu subjek/seseorang yang dites. Dengan demikian proses administrasi berlangsung secara pribadi, hingga motivasi, kecemasan, ataupun reaksi dari orang yang dites langsung teramati. Keduanya mengembangkan faktor G secara sistematis dalam subtes peranti mereka.
Tes-tes ini masing-masing menghasilkan nilai kecerdasan atau IQ. Satuan yang dipergunakan untuk hasil tersebut adalah quotient, maka itu dinamakan IQ (Intelligence Quotient). IQ merupakan hasil bagi dari MA (mental age/usia mental) dan CA (chronological age/usia sesungguhnya) dikalikan 100, maka sesuatu dapat disebut sebagai kecerdasan dengan satuan quotient apabila hal itu dapat diukur, dihitung, dan merupakan hasil bagi.
Seluruh tahap adalah penting dalam tes inteligensi, yakni proses tes, penyekoran, pengamatan, interpretasi, analisis, penghitungan, dan penyampaian hasil. Oleh sebab itu disarankan apabila hendak memanfaatkan jasa ini, pilihlah seseorang yang memang ahli dan berlisensi (sebagai tanda diakui kompetensi dan kewenangannya), sehingga masyarakat pemanfaat jasa pemeriksaan psikologis dengan tes inteligensi memperoleh hasil yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selain individual, ada pula tes kecerdasan yang bersifat massal. Pada umumnya dipergunakan dalam proses seleksi yang menggunakan norma kelompok (bukan skala universal seperti Binet dan Wechsler) sebagai rujukan. Hal itu dilakukan untuk melihat posisi nilai kecerdasan seseorang di dalam sebuah kelompok dengan kriteria tertentu, misalnya kelompok pencari kerja lulusan perguruan tinggi, dan lain-lain.
Goleman mengatakan IQ menyumbang 20 persen bagi kesuksesan hidup seseorang, selebihnya merupakan kontribusi dari kecerdasan emosi. Goleman memperkenalkan EQ (emotional quotient), dengan lima pilar andalan, yakni mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain (meliputi empati), dan membina hubungan interpersonal. Barangkali ia dan para pengikutnya telah mengembangkan skala pengukuran yang jelas untuk dapat disebut sebagai kecerdasan dalam satuan quotient.
Dengan demikian, tingkat kecerdasan ditentukan berdasarkan hasil tes kemampuan IQ. Berdasarkan hasil tes tersebut dapat diketahui apakah seseorang termasuk kategori: a) Tinggi sekali (140-169), b) Tinggi (120-139), c) Cukup Tinggi (110-119), d) Sedang (90-109), e) Agak Rendah (80-89), f) Rendah (10-79), dan g) Rendah Sekali (30-69).
G. Bakat dan Hasil Belajar
1. Bakat
Bakat adalah bawaan, given from God, dan bakat adalah sesuatu yang dilatih. Sebelum memahami beberapa definisi dan pendekatan bakat yang juga diungkapkan beberapa ahli, ada baiknya kita yakini satu hal: yakin dan percayalah bahwa setiap insan di muka bumi ini telah memiliki bakat berupa anugerah dari Sang Maha Kuasa. Beberapa istilah kerap dipakai ketika berbicara bakat secara spesifik, antara lain aptitude, talent/talenta, intelligence/inteligensi/kecerdasan, gifted/giftedness, dan sebagainya. Pada dasarnya istilah-istilah tersebut membawa makna bakat yang berkembang sesuai kebutuhan dan kepentingan. Namun sama-sama mengandung unsure bakat bawaan dan latihan. Misalnya yang dikemukakan oleh KBBI On line, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Bakat merupakan dasar “kepandaian, sifat dan pembawaan” yang dibawa sejak lahir.
Jadi apabila seseorang terlahir dengan suatu bakat khusus, jika dididik dan dilatih, bakat tersebut dapat berkembang dan dimanfaatkan secara optimal. Sebaliknya jika dibiarkan saja tanpa pengarahan dan penguatan, bakat itu akan mati dan tak berguna. Bakat sangat kecil sekali kemungkinannya untuk berubah. Bakat itu adalah relatif tetap sepanjang waktu tertentu. Karena bakat itu relatif stabil, maka bakat-bakat itu dapat digunakan untuk membantu keberhasilan dalam bidang kependidikan dan karier. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa: bakat mengungkap potensi untuk mempelajari suatu aktivitas tertentu, bakat relatif berbeda, bakat relatif konstan.
2. Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan pencapaian yang diperoleh setelah anak belajar. Sejalan dengan pendapat Susanto (2016:5) bahwa hasil belajar adalah kemampuan anak yang didapat setelah melakukan kegiatan belajar. Pendapat tersebut didukung oleh Sudjana (2017:22) bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah melakukan pembelajaran. Evaluasi pembelajaran dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat ketercapaian hasil belajar siswa.
Brahim (2007) dalam Susanto (2016:5) menjelaskan bahwa hasil belajar merupakan tingkat keberhasilan siswa dalam memelajari materi pelajaran di sekolah dalam bentuk skor yang diperoleh dari tes. Menurut Rifa’i & Anni (2015:67) bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku siswa setelah melakukan kegiatan belajar. Perubahan tingkah laku siswa tergantung apa yang dipelajarinya. Misalnya, siswa yang memelajari pengetahuan tentang konsep, maka perubahan tingkah laku yang diperoleh berupa penguasaan konsep.
Menurut Anitah (2010:2.19) bahwa hasil belajar adalah suatu proses yang telah dilakukan dalam belajar yang ditunjukkan dengan perubahan tingkah laku siswa yang bersifat menetap, fungsional, positif, dan disadari. Sejalan dengan pendapat Hamalik (2015:30) bahwa hasil belajar ditunjukkan dengan adanya perubahan tingkah laku pada seseorang. Tingkah laku manusia terdiri dari beberapa aspek, antara lain pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, budi pekerti, dan sikap. Seseorang yang telah melakukan kegiatan belajar akan ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku dalam berbagai aspek.
Menurut Darmadi (2017:255) bahwa hasil belajar adalah prestasi belajar yang dicapai siswa dalam proses pembelajaran dengan membawa suatu perubahan tingkah laku seseorang. Hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui pembelajaran. Kemampuan yang diukur bukan hanya pengetahuannya saja, melainkan diukur juga sikap dan perilakunya. Melalui hasil belajar, dapat diketahui apakah tujuan pembelajaran tersebut sudah tercapai atau belum.
Syah (2009:216) menjelaskan bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku berupa ranah kognitif, afektif, dan psikomotor akibat pengalaman dan proses hasil belajar. Menurut Susanto (2016:5) bahwa hasil belajar merupakan perubahan-perubahan pada diri siswa yang berupa aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Bloom (1956) dalam Rifa’i & Anni (2015:68) bahwa terdapat tiga taksonomi ranah belajar yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor.
Ranah kognitif berkaitan dengan hasil belajar berupa pengetahuan, kemampuan, dan kemahiran intelektual. Ranah afektif berkaitan dengan perasaan, sikap, minat, dan nilai. Ranah psikomotorik berkaitan dengan kemampuan fisik seperti ketrampilan motorik dan syaraf, manipulasi objek, dan koordinasi syaraf. Gagne (1979) dalam Anitah (2010:2.19) menyebutkan terdapat lima tipe hasil belajar yang dapat dicapai oleh siswa, antara lain motor skillls, verbal informations, intelectual skills, attitudes, dan cognitives strategis.
Penilaian hasil belajar menggambar lebih ditekankan pada ranah afektif dan psikomotor. Hal ini dikarenakan kegiatan menggambar merupakan kegiatan praktek yang lebih ditekankan pada ketrampilan siswa dalam menggambar dan sikap yang diperoleh setelah belajar. Oleh karena itu, dalam hal ini pengetahuan siswa tidak terlalu diutamakan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang diperoleh setelah anak melakukan kegiatan belajar. Perubahan tingkah laku tersebut tidak hanya diukur dari skor atau nilai saja, tetapi meliputi pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, budi pekerti, dan sikap. Perubahan yang diperoleh anak setelah belajar bersifat menetap, fungsional, positif, dan disadari.
H. Kreativitas
Kreativitas belajar seringkali dianggap sebagai sesuatu ketrampilan yang didasarkan pada bakat alam, dimana hanya mereka yang berbakat saja yang bisa menjadi kreatif. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, walaupun dalam kenyataannya terlihat bahwa orang tertentu memiliki kemampuan untuk menciptakan ide baru dengan cepat dan beragam. Sesungguhnya kemampuan berpikir kreatif pada dasarnya dimiliki semua orang.
Menurut Munandar kreativitas sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberi gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan baru antara unsur yang sudah ada sebelumnya. Kreativitas seseorang dapat dilihat dari tingkah laku atau kegiatannya yang kreatif. Menurut Slameto bahwa yang penting dalam kreativitas bukanlah penemuan sesuatu yang belum pernah diketahui orang sebelumnya, melainkan bahwa produk kreativitas merupakan sesuatu yang baru bagi diri sendiri dan tidak harus merupakan sesuatu yang baru bagi orang lain atau dunia pada umumnya.
Supriadi dalam Rachmawati mengutarakan bahwa kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telaah ada. Kreativitas merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang mengimplikasikan terjadinya eskalasi dalam kemampuan berpikir, ditandai oleh suksesi, diskontinuitas, diferensiasi, dan integrasi antara tahap perkembangan.
Menurut Semiawan dalam Rachmawati bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk memberikan gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah. Chaplin dalam Rachmawati mengutarakan bahwa kreativitas adalah kemampuan menghasilkan bentuk baru dalam seni, atau, dalam permesinan, atau dalam pemecahan masalah-masalah dengan metode-metode baru.
Menurut Kuper dan Kuper kreativitas merupakan sebuah konsep yang majemuk dan multi-dimensial, sehingga sulit didefinisikan secara operasional. Definisi sederhana yang sering digunakan secara luas tentang kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Wujudnya adalah tindakan manusia. Melalui proses kreatif yang berlangsung dalam benak orang atau sekelompok orang, produk-produk kreatif tercipta.
Kreativitas adalah kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas dalam berpikir setelah kemampuan untuk mengelaborasi suatu gagasan. Kreativitas sebagai keseluruhan kepribadian merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya. Lingkungan yang merupakan tempat individu berinteraksi itu dapat mendukung berkembangnya kreativitas, tetapi ada juga yang justru menghambat berkembangnya kreativitas individu. Kreativitas yang ada pada individu itu digunakan untuk menghadapi berbagai permasalahan yang ada ketika berinteraksi dengan lingkungannya dan mencari berbagai alternatif pemecahannya sehingga dapat tercapai penyesuaian diri secara adekuat.
Rogers mendefinisikan kreativitas sebagai proses munculnya hasil-hasil baru ke dalam suatu tindakan. Hasil-hasil baru itu muncul dan sifat-sifat individu unik yang berinteraksi dengan individu lain, pengalaman, maupun keadaan hidupnya. Kreativitas ini dapat terwujud dalam suasana kebersamaan dan terjadi bila relasi antar individu ditandai oleh hubungan-hubungan yang bermakna.
Kreativitas sebagai kemampuan untuk memproduksi komposisi dan gagasan-gagasan baru yang dapat berwujud aktivitas imajinatif atau sintesis yang mungkin melibatkan pembentukan pola-pola baru dan kombinasi dan pengalaman masa lalu yang dihubungkan dengan yang sudah ada pada situasi sekarang. Hasil tersebut berguna, bertujuan, terarah, dan tidak hanya sekedar fantasi. Sumber awal dan perkembangan kreativitas itu disebabkan oleh faktor-faktor yang ada dalam lingkungan keluarga. Dalam kegiatan belajar mengajar anak yang memiliki kreativitas lebih mampu menemukan masalah-masalah dan mampu memecahkannya pula. Oleh karena itu, guru perlu memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik sehingga kreativitas, bakat dan minatnya dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Proses belajar kreatif sebagai keterlibatan dengan sesuatu yang berarti, rasa ingin tahu dan mengetahui dalam kekaguman, ketidak lengkapan, kekacauan, kerumitan, ketidakselarasan, ketidakteraturan dan sebagainya. Kesederhanaan dari struktur atau mendiagnosis suatu kesulitan dengan menyintesiskan informasi yang telah diketahui, membentuk kombinasi dengan menciptakan alternatif-alternatif baru, kemungkinan-kemungkinan baru, dan sebagainya. Mempertimbangkan, menilai, memeriksa, dan menguji kemungkinan-kemungkinan baru, menyisihkan, memecahkan yang tidak berhasil, salah dan kurang baik, memilih pemecahan yang paling baik dan membuatnya menarik atau menyenangkan secara estesis, mengkomunikasi hasil-hasilnya kepada orang lain”.
Dengan demikian dalam belajar kreatif harus melibatkan komponen-komponen pengalaman belajar yang paling menyenangkan dan paling tidak menyenangkan lalu menemukan bahwa pengalaman dalam proses belajar kreatif sangat mungkin berada di antara pengalaman-pengalaman belajar yang sangat menenangkan, pengalaman-pengalaman yang sangat memberikan kepuasan kepada kita dan yang sangat bernilai bagi kita. Jadi kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan guru dalam menciptakan hal-hal baru pada pembelajaran baik berupa kemampuan mengembangkan kemampuan formasi proses belajar mengajar yang berupa pengetahuan sehingga dapat membuat kombinasi yang baru dalam belajarnya.
Berdasarkan beberapa definisi yang diuraikan, disimpulkan bahwa kreativitas merupakan suatu proses mental individu yang melahirkan gagasan, proses, metode ataupun produk baru yang efektif yang bersifat imajinatif, fleksibel, suksesi, dan diskontinuitas, yang berdaya guna dalam berbagai bidang untuk pemecahan suatu masalah. Jadi kreativitas merupakan bagian dari usaha seseorang. Kreativitas akan menjadi seni ketika seseorang melakukan kegiatan. Dari pemikiran yang sederhana itu, penulis melakukan semua aktivitas yang bertujuan untuk memacu atau menggali kreativitas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
ِBerdasarkan dari hasil pembahasan dalam maklah ini, maka dapat ditarik disimpulkan sebagai berikut:
- Inti dari kecakapan hidup adalah kecakapan berpikir dan bertindak. Pandangan ini tampaknya memperkuat rumusan kecakapan hidup yang dikemukakan oleh Departemen Pendidikan Nasional, karena aspek kemampuan dan kesanggupan tercakup dalam keterampilan berpikir, sementara aspek keterampilan ada dalam keterampilan bertindak.
- Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dalam hal ini adalah masalah yang menuntut kemampuan pikiran serta dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif.
- Kecerdasan jamak sangat penting dikemukakan untuk membantu para guru/pendidik dalam menyiapkan kegiatan pembelajaran yang dapat menstimulasi berbagai jenis kecerdasan yang dimiliki anak sehingga seluruh kemampuan dapat berkembang secara optimal.
- Kecerdasan emosional dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mengelola perasaan diri sendiri dan orang lain, mampu memotivasi dirinya sehingga membawa kepada keberhasilan.
- Kecerdasan spiritual adalah suatu kecerdasan manusia yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan dengan melibatkan Tuhan, sehingga jalan hidupnya semakin bermakna.
- Tingkat kecerdasan ditentukan berdasarkan hasil tes kemampuan IQ. Berdasarkan hasil tes tersebut dapat diketahui apakah seseorang termasuk kategori: a) Tinggi sekali (140-169), b) Tinggi (120-139), c) Cukup Tinggi (110-119), d) Sedang (90-109), e) Agak Rendah (80-89), f) Rendah (10-79), dan g) Rendah Sekali (30-69).
- Bakat dan hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang diperoleh setelah anak melakukan kegiatan belajar. Perubahan tingkah laku tersebut tidak hanya diukur dari skor atau nilai saja, tetapi meliputi pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, budi pekerti, dan sikap. Perubahan yang diperoleh anak setelah belajar bersifat menetap, fungsional, positif, dan disadari.
- Kreativitas merupakan suatu proses mental individu yang melahirkan gagasan, proses, metode ataupun produk baru yang efektif yang bersifat imajinatif, fleksibel, suksesi, dan diskontinuitas, yang berdaya guna dalam berbagai bidang untuk pemecahan suatu masalah. Jadi kreativitas merupakan bagian dari usaha seseorang. Kreativitas akan menjadi seni ketika seseorang melakukan kegiatan. Dari pemikiran yang sederhana itu, penulis melakukan semua aktivitas yang bertujuan untuk memacu atau menggali kreativitas.
B. Saran
Pendidikan berorientasi kecakapan dan kecerdasan seyogyanya dilaksanakan untuk menangani masalah-masalah spesifik atau khusus, maka dalam penggunaannya untuk pembelajaran di sekolah hendaknya selalu memperhatikan kekhususan yang akan dikembangkan. Hal ini perlu diperhatikan karena akan berkaitan dengan masalah pengelompokan kecakapan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Daryanto. 2006. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo.
Hanafi, Rustam. 2010. Kecerdasan Spiritual, Kecerdasan Emosional, dan Performa Auditor. Semarang : Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Nelson-Jones, R. 1995. Human Relation Skills. Sidney: Harcourt Brace &. Company.
T. Safaria. 2005. Interpersonal Intelligence: Metode Pengembangan Kecerdasan Interpersonal Anak. Yogyakarta: Amara Books.
Utami, Mundandar. 2012. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Wardiana, Uswah. 2004. Psikologi Umum. Jakarta: Pt. Bina Ilmu.