Makalah Dampak Sosial Perang Dunia I

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Dampak Sosial Perang Dunia I ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Dampak Sosial Perang Dunia I ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Dampak Sosial Perang Dunia I ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Dampak Sosial Perang Dunia I ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, Oktober 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perang Dunia I (PDI) adalah sebuah perang global terpusat di Eropa yang dimulai pada tanggal 28 Juli 1914 sampai 11 November 1918. Perang ini sering disebut Perang Dunia atau Perang Besar sejak terjadi sampai dimulainya Perang Dunia II pada tahun 1939, dan Perang Dunia Pertama atau Perang Dunia I setelah itu. Perang ini melibatkan semua kekuatan besar dunia, yang terbagi menjadi dua aliansi bertentangan, yaitu Sekutu (berdasarkan Entente Tiga yang terdiri dari Britania Raya, Perancis, dan Rusia) dan Blok Sentral (terpusat pada Aliansi Tiga yang terdiri dari Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia; namun saat Austria-Hongaria melakukan serangan sementara persekutuan ini bersifat defensif, Italia tidak ikut berperang).

Kedua aliansi ini melakukan reorganisasi (Italia berada di pihak Sekutu) dan memperluas diri saat banyak negara ikut serta dalam perang. Lebih dari 70 juta tentara militer, termasuk 60 juta orang Eropa, dimobilisasi dalam salah satu perang terbesar dalam sejarah. Lebih dari 9 juta prajurit gugur, terutama akibat kemajuan teknologi yang meningkatkan tingkat mematikannya suatu senjata tanpa mempertimbangkan perbaikan perlindungan atau mobilitas. Perang Dunia I adalah konflik paling mematikan keenam dalam sejarah dunia, sehingga membuka jalan untuk berbagai perubahan politik seperti revolusi di beberapa negara yang terlibat.

Penyebab jangka panjang perang ini mencakup kebijakan luar negeri imperialis kekuatan besar Eropa, termasuk Kekaisaran Jerman, Kekaisaran Austria-Hongaria, Kesultanan Utsmaniyah, Kekaisaran Rusia, Imperium Britania, Republik Perancis, dan Italia. Pembunuhan tanggal 28 Juni 1914 terhadap Adipati Agung Franz Ferdinand dari Austria, pewaris tahta Austria-Hongaria, oleh seorang nasionalis Yugoslavia di Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina adalah pencetus perang ini. Pembunuhan tersebut berujung pada ultimatum Habsburg terhadap Kerajaan Serbia. Sejumlah aliansi yang dibentuk selama beberapa dasawarsa sebelumnya terguncang, sehingga dalam hitungan minggu semua kekuatan besar terlibat dalam perang; melalui koloni mereka, konflik ini segera menyebar ke seluruh dunia.

Pada tanggal 28 Juli, konflik ini dibuka dengan invasi ke Serbia oleh Austria-Hongaria, diikuti invasi Jerman ke Belgia, Luksemburg, dan Perancis; dan serangan Rusia ke Jerman. Setelah pawai Jerman di Paris tersendat, Front Barat melakukan pertempuran atrisi statis dengan jalur parit yang mengubah sedikit suasana sampai tahun 1917. Di Timur, angkatan darat Rusia berhasil mengalahkan pasukan Kesultanan Utsmaniyah, namun dipaksa mundur dari Prusia Timur dan Polandia oleh angkatan darat Jerman. Front lainnya dibuka setelah Kesultanan Utsmaniyah ikut serta dalam perang tahun 1914, Italia dan Bulgaria tahun 1915, dan Rumania tahun 1916. Kekaisaran Rusia runtuh bulan Maret 1917, dan Rusia menarik diri dari perang setelah Revolusi Oktober pada akhir tahun itu.

Setelah serangan Jerman di sepanjang front barat tahun 1918, Sekutu memaksa pasukan Jerman mundur dalam serangkaian serangan yang sukses dan pasukan Amerika Serikat mulai memasuki parit. Jerman, yang bermasalah dengan revolusi pada saat itu, setuju melakukan gencatan senjata pada tanggal 11 November 1918 yang kelak dikenal sebagai Hari Gencatan Senjata. Perang ini berakhir dengan kemenangan di pihak Sekutu. Peristiwa di front Britania sama rusuhnya seperti front depan, karena para pihak terlibat berusaha memobilisasi tenaga manusia dan sumber daya ekonomi mereka untuk melakukan perang total. Pada akhir perang, empat kekuatan imperial besar Kekaisaran Jerman, Rusia, Austria-Hongaria, dan Utsmaniyah bubar.

Negara pengganti dua kekaisaran yang disebutkan pertama tadi kehilangan banyak sekali wilayah, sementara dua terakhir bubar sepenuhnya. Eropa Tengah terpecah menjadi beberapa negara kecil. Liga Bangsa-Bangsa dibentuk dengan harapan mencegah konflik seperti ini selanjutnya. Nasionalisme Eropa yang muncul akibat perang dan pembubaran kekaisaran, dampak kekalahan Jerman dan masalah dengan Traktat Versailles diyakini menjadi faktor penyebab pecahnya Perang Dunia II.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan dalam makalah ini adalah:

  1. Apa saja dampak Perang Dunia I di bidang sosial?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Ingatan Budaya

Perang Dunia Pertama memberi pengaruh besar terhadap ingatan sosial. Perang ini dipandang oleh banyak orang di Britania sebagai tanda akhir zaman stabilitas yang sudah ada sejak zaman Victoria, dan di seluruh Eropa banyak orang menganggapnya sebagai ambang batas. Sejarawan Samuel Hynes menjelaskan:

Generasi pemuda tak bersalah, kepala mereka dipenuhi abstraksi tinggi seperti Kehormatan, Kejayaan dan Inggris, pergi berperang untuk menjadikan dunia ini aman bagi demokrasi. Mereka dibunuh dalam pertempuran bodoh yang dirancang oleh jenderal yang bodoh pula. Mereka yang selamat terkejut, mengalami disilusi dan terpahitkan oleh pengalaman perang mereka, dan melihat bahwa musuh asli mereka bukanlah Jerman, tetapi orang-orang tua di kampung halaman yang telah membohongi mereka. Mereka menolak nilai-nilai masyarakat yang mengirimkan mereka ke perang, dan dalam melakukannya mereka memisahkan generasinya sendiri dari masa lalu dan warisan budayanya.

Ini telah menjadi persepsi paling umum mengenai Perang Dunia Pertama, dimunculkan oleh seni, sinema, puisi, dan cerita-cerita yang diterbitkan sesudahnya. Film seperti All Quiet on the Western Front, Paths of Glory, dan King & Country telah menciptakan pemikiran ini, sementara film masa perang seperti Camrades, Flanders Poppies, dan Shoulder Arms menunjukkan bahwa pandangan perang paling kontemporer secara keseluruhan jauh lebih positif. Sama pula, karya seni Paul Nash, John Nash, Christopher Nevison, dan Henry Tonks di Britania melukiskan pandangan negatif mengenai konflik bersamaan dengan persepsi yang tumbuh, sementara seniman masa perang yang terkenal seperti Muirhead Bone melukiskan interpretasi yang lebih damai dan menenangkan yang kemudian ditolak karena tidak akurat. Sejumlah sejarawan seperti John Terriane, Niall Ferguson, dan Gary Sheffield telah menantang segala interpretasi ini sebagai pandangan parsial dan polemik.

Keyakinan-keyakinan ini tidak dibagi sepenuhnya karena mereka hanya memberikan interpretasi akurat mengenai peristiwa pada zaman perang. Dengan segala hormat, perang justru lebih rumit daripada perkataan mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, sejarawan telah berpendapat persuasif terhadap hampir setiap klise populer mengenai Perang Dunia Pertama. Sudah ditunjukkan bahwa, meski kerugiannya luar biasa, dampak terbesar mereka terbatas secara sosial dan geografis.

Keragaman emosi selain horor yang dialami para tentara di dalam dan luar garis depan, termasuk persaudaraan, kebosanan, dan bahkan kenikmatan, telah diakui. Perang sekarang tidak dipandang sebagai “pertempuran omong kosong’, namun sebagai perang pemikiran, sebuah perjuangan antara militerisme agresif dan kurang lebih demokrasi liberal. Sudah diketahui bahwa jenderal-jenderal Britania adalah para pria yang mampu menghadapi tantangan sulit, dan bahwa di bawah komando merekalah Angkatan Darat Britania memainkan peran penting dalam kekalahan Jerman tahun 1918: sebuah kemenangan besar yang terlupakan.

Meski para sejarawan menganggap segala persepsi perang sebagai “mitos”, itu hal yang biasa. Persepsi tersebut secara dinamis berubah sesuai pengaruh kontemporer, berefleksi pada persepsi perang tahun 1950-an sebagai ‘tidak bertujuan’ setelah Perang Dunia Kedua yang kontras dan konflik besar pada masa-masa konflik kelas tahun 1960-an. Sebagian besar tambahan terhadap kebalikannya sering ditolak.

B. Trauma Sosial

Trauma sosial yang diakibatkan oleh jumlah korban tidak terduga terbentuk dalam berbagai cara, yang selalu menjadi subjek perdebatan sejarah selanjutnya. Sejumlah orang terbakar oleh nasionalisme dan segala akibatnya, dan mulai mengupayakan terciptanya dunia internasionalis, mendukung organisasi-organisasi seperti Liga Bangsa-Bangsa. Pasifisme semakin populer. Pihak lain memberi reaksi bertentangan, merasa bahwa hanya kekuatan dan militer yang mampu menangani dunia yang kacau dan tidak manusiawi ini. Pandangan anti-modernis merupakan hasil dari berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Pengalaman perang mengakibatkan trauma kolektif yang dirasakan oleh sebagian besar negara terlibat. Optimisme la belle époque hancur, dan mereka yang berperang disebut sebagai Generasi Hilang. Selama bertahun-tahun pascaperang, orang-orang meratapi korban tewas, hilang, dan cacat. Banyak tentara pulang dengan trauma luar biasa, mengalami guncangan pertempuran (juga disebut neurastenia, sebuah keadaan yang terkait dengan gangguan tekanan pascatrauma). Tentara lain pulang dengan sedikit dampak pascaperang; akan tetapi, diamnya mereka mengenai perang berkontribusi pada status mitologi yang terus berkembang mengenai konflik ini.

Di Britania Raya, mobilisasi massal, jumlah korban tinggi, dan runtuhnya zaman Edward membuat masyarakat sangat puas. Meski banyak pihak terlibat tidak berbagi pengalaman dalam pertempuran atau menghabiskan banyak waktu di garis depan, atau memiliki ingatan positif mengenai jasa mereka, gambaran penderitaan dan trauma menjadi persepsi yang terus-menerus dikembangkan. Sejarawan seperti Dan Todman, Paul Fussell, dan Samuel Heyns menerbitkan banyak karya tulis sejak 1990-an yang berpendapat bahwa persepsi perang yang umum faktanya salah.

C. Ketidakpuasan di Jerman

Munculnya Nazisme dan fasisme meliputi kebangkitan spirit nasionalis dan penolakan berbagai perubahan pascaperang. Sama pula, popularitas legenda pengkhianatan (Jerman: Dolchstoßlegende) adalah wasiat terhadap keadaan psikologis Jerman yang kalah dan penolakan tanggung jawab atas konflik ini. Teori konspirasi pengkhianatan ini menjadi umum dan penduduk Jerman melihat diri mereka sebagai korban. Penerimaan rakyat Jerman terhadap Dolchstoßlegende’ memainkan peran penting dalam kemunculan Nazisme. Rasa disilusi dan sinisisme dibesar-besarkan disertai pertumbuhan nihilisme. Banyak pihak percaya perang ini mengawali akhir dunia karena korban yang tinggi dari kalangan pria, pembubaran pemerintahan dan kekaisaran, dan jatuhnya kapitalisme dan imperialisme.

Gerakan komunis dan sosialis di seluruh dunia mengumpulkan kekuatan dari teroi ini dan menikmati popularitas baru. Perasaan-perasaan ini lebih lantang diteriakkan di daerah-daerah yang langsung terkena dampak perang. Dari ketidakpuasan Jerman terhadap Perjanjian Versailles yang masih kontroversial, Adolf Hitler berhasil memperoleh popularitas dan kekuasaan. Perang Dunia II juga merupakan kelanjutan perebutan kekuasaan yang tidak pernah selesai sepenuhnya oleh Perang Dunia Pertama; faktanya, sudah biasa bagi Jerman pada tahun 1930-an dan 1940-an untuk menjustifikasi tindakan agresi internasional karena persepsi ketidakadilan yang diberlakukan oleh para pemenang Perang Dunia Pertama. Sejarawan Amerika Serikat William Rubinstein menulis bahwa:

“‘Zaman Totalitarianisme’ mencakup hampir semua contoh genosida terkenal dalam sejarah modern, dipimpin oleh Holocaust Yahudi, tetapi juga terdiri dari pembunuhan dan pemusnahan massal di dunia Komunis, pembunuhan massal lain oleh Jerman Nazi dan sekutunya, serta genosida Armenia tahun 1915. Semua pembantaian ini memiliki asal usul yang sama, kejatuhan struktur elit dan mode pemerintahan normal di sebagian besar Eropa tengah, timur, dan selatan akibat Perang Dunia Pertama, yang tanpanya tentu saja Komunisme atau Fasisme tidak akan muncul kecuali dalam pikiran para penghasut dan orang sinting”.

Pendirian negara modern Israel dan akar dari Konflik Israel-Palestina yang terus berlanjut dapat ditemukan pada dinamika kekuatan yang tidak stabil di Timur Tengah akibat Perang Dunia I. Sebelum perang berakhir, Kesultanan Utsmaniyah berhasil mempertahankan pertahanan dan stabilitas di seluruh Timur Tengah. Dengan jatuhnya pemerintahan Utsmaniyah, kekosongan kekuasaan terjadi dan klaim wilayah dan kebangsaan saling bermunculan. Perbatasan politik yang ditetapkan oleh para pemenang Perang Dunia Pertama segera diberlakukan, kadang baru setelah konsultasi dengan penduduk setempat.

Dalam beberapa kasus, hal ini menjadi masalah dalam perjuangan identitas nasional abad ke-21. Sementara bubarnya Kesultanan Utsmaniyah pada akhir Perang Dunia I menentukan dalam kontribusi terhadap situasi politik modern di Timur Tengah, termasuk konflik Arab-Israel, berakhirnya kekuasaan Utsmaniyah juga menciptakan sengketa yang belum diketahui terhadap perairan dan sumber daya alam lain.

D. Pandangan di Amerika Serikat

Intervensi A.S. dalam perang ini, termasuk pemerintahan Wilson sendiri, semakin sangat tidak populer. Ini tampak dari penolakan Senat A.S. terhadap Perjanjian Versailles dan keanggotaan di Liga Bangsa-Bangsa. Pada masa antarperang, sebuah konsensus disepakati bahwa intervensi A.S. adalah suatu kesalahan, dan Kongres mengesahkan beberapa hukum dalam upaya melindungi netralitas A.S. pada konflik-konflik selanjutnya. Pemungutan suara tahun 1937 dan bulan-bulan pertama Perang Dunia II menunjukkan bahwa hampir 60% responden menyatakan intervensi pada PDI adalah kesalahan, dan hanya 28% yang menentang pandangan tersebut.

Tetapi pada periode antara kejatuhan Perancis dan serangan Pearl Harbor, opini publik berubah total dan untuk pertama kalinya mayoritas responden menolak pandangan bahwa Perang Dunia I adalah suatu kesalahan. Rasa disilusi dan sinisisme dibesar-besarkan disertai pertumbuhan nihilisme. Banyak pihak percaya perang ini mengawali akhir dunia karena korban yang tinggi dari kalangan pria, pembubaran pemerintahan dan kekaisaran, dan jatuhnya kapitalisme dan imperialisme.

E. Identitas Nasional Baru

Polandia lahir kembali sebagai sebuah negara merdeka setelah lebih dari satu abad. Sebagai “bangsa Entente kecil” dan negara dengan korban terbanyak per kapita, Kerajaan Serbia dan dinastinya menjadi tulang belakang negara multinasional baru, Kerajaan Serbia, Kroasia, dan Slovenia (kelak bernama Yugoslavia). Cekoslovakia, menggabungkan Kerajaan Bohemia dengan sebagian Kerajaan Hongaria, dan menjadi satu bangsa baru. Rusia menjadi Uni Soviet dan kehilangan Finlandia, Estonia, Lituania, dan Latvia, yang menjadi negara-negara merdeka. Kesultanan Utsmaniyah langsung digantikan oleh Turki dan beberapa negara lain di Timur Tengah.

Di Imperium Britania, perang ini melepaskan bentuk baru nasionalisme. Di Australia dan Selandia Baru, Pertempuran Gallipoli semakin terkenal sebagai “Baptisme Perjuangan” negara-negara tersebut. Inilah perang besar pertama yang melibatkan negara-negara yang baru berdiri, serta untuk pertama kalinya tentara Australia berperang sebagai penduduk Australia, bukan subjek dari Kerajaan Britania Raya. Hari Anzac memperingati Korps Angkatan Darat Australia dan Selandia Baru dan merayakan momen-momen menentukan tersebut.

Setelah Pertempuran Vimy Ridge, tempat divisi Kanada berperang bersama untuk pertama kalinya sebagai satu korps tunggal, warga Kanada mulai menyebut diri mereka sebagai bangsa yang “ditempa dari api”.[269] Berhasil di medan tempur yang sama tempat “negara induk” gagal sebelumnya, Kanada untuk pertama kalinya dihormati secara internasional atas keberhasilan mereka sendiri. Kanada memasuki perang dengan status Dominion Imperium Britania dan tetap seperti itu, meski kelak bangkit dengan rasa kemerdekaan yang lebih besar. Ketika Britania menyatakan perang pada tahun 1914, jajahan-jajahannya otomatis juga ikut perang; pada akhirnya, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Afrika Selatan menjadi penandatanganan Perjanjian Versailles yang terpisah dari Britania.

F. Kemiskinan

Negara-negara berusaha memenuhi kebutuhan perlengkapan, sehingga mendorong produktivitas industri yang semakin besar. Sehingga negara menyadari semakin dibutuhkannya buruh sebagai penyedia bahan makanan dan alat-alat lainnya. Dengan kata lain posisi buruh mulai naik dari semula sangat rendah menjadi dihargai karena perannya yang begitu penting. Selain itu muncul juga gerakan emansipasi wanita, di mana selama perang berlangsung wanita perannya sama dengan laki-laki yang banyak dibutuhkan digaris depan.

Perang telah melahirkan kesengsaraan dan penderitaan, sehingga melahirkan kerohanian tersendiri. Kesengsaraan yang ditimbulkan oleh peperangan menumbuhkan keinginan untuk melenyapkan peperangan dan menciptakan perdamaian yang kekal bagi umat manusia. Puncak dari akibat ini adalah munculnya gerakan perdamaian yang berkembang antara tahun 1920-1931 yang disebut Liga Bangsa-Bangsa.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perang Dunia Pertama memberi pengaruh besar terhadap ingatan sosial. Perang ini dipandang oleh banyak orang di Britania sebagai tanda akhir zaman stabilitas yang sudah ada sejak zaman Victoria, dan di seluruh Eropa banyak orang menganggapnya sebagai ambang batas.

Generasi pemuda tak bersalah, kepala mereka dipenuhi abstraksi tinggi seperti Kehormatan, Kejayaan dan Inggris, pergi berperang untuk menjadikan dunia ini aman bagi demokrasi. Mereka dibunuh dalam pertempuran bodoh yang dirancang oleh jenderal yang bodoh pula.

Mereka yang selamat terkejut, mengalami disilusi dan terpahitkan oleh pengalaman perang mereka, dan melihat bahwa musuh asli mereka bukanlah Jerman, tetapi orang-orang tua di kampung halaman yang telah membohongi mereka. Mereka menolak nilai-nilai masyarakat yang mengirimkan mereka ke perang, dan dalam melakukannya mereka memisahkan generasinya sendiri dari masa lalu dan warisan budayanya.

B. Saran

Perang Dunia I telah menelan jutaan korban jiwa dan telah mengubah dunia, baik pada bidang ekonomi, sosial, maupun politik. Lebih baik jika kita mengambil hikmah dari peristiwa ini dan selalu menjaga kedamaian antar sesama agar peristiwa ini tidak terulang kembali.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dunia_I

http://sumbersejarah1.blogspot.co.id/2017/05/perang-dunia-1.html

https://barisanpinggiran.wordpress.com/2012/09/11/dampak-perang-dunia-pertama/

http://www.gurusejarah.com/2015/01/perang-dunia-i.html

Download Contoh Makalah Dampak Sosial Perang Dunia I.docx