Makalah Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Bidang Pariwisata

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Bidang Pariwisata ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Bidang Pariwisata ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Bidang Pariwisata ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Bidang Pariwisata ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, April 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daya tarik lokalitas ini menjadi penting, di tengah kebosanan terhadap budaya massa yang dibawa oleh kapitalisme global. Menurut Anthoy Gidden globalisasi menjadi alasan bagi kebangkitan kembali identitas budaya lokal di berbagai belahan dunia. Semakin homogen gaya hidup masyarakat akibat globalisasi, semakin kokoh ketergantungan masyarakat kepada nilai-nilai yang lebih dalam seperti agama, seni, dan sastra. Demikian juga dari perspektif lokal, ketiga dunia semakin tumbuh homogen maka kita semakin menghargai tradisi yang bersemi dari dalam.

Nilai lokal di samping mampu menginspirasi tumbuhnya kearifan lokal (local indigeneus), di satu sisi tumbuh menjadi nilai-nilai kehidupan yang memberi makna pada kehidupan dan interaksi sesama mereka. Nilai strategis budaya lokal telah menginspirasi berbagai daerah untuk mengembangkan potensi lokalitas dalam pengembangan pariwisata. Dengan berbagai pertimbangan tersebut di atas, maka pengembangan pariwisata tidak boleh meminggirkan budaya dan spirit lokal. Oleh karena itu perlu digagas pengembangan pariwisata yang sejalan dengan pengembangan budaya dan semangat manusia beserta cipta, rasa, dan karsanya. Gagasan tersebut dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa pembangunan daya tarik wisata didasarkan pada pembangunan masyarakat dan budayanya.

B. Rumusan Masalah

  1. Apa yang dimaksud dengan sumber daya alam pariwisata?
  2. Apa yang dimaksud dengan pariwisata berkelanjutan?
  3. Apa saja unsur budaya dan kearifan lokal sebagai daya tarik wisata?
  4. Bagaimana melakukan pencitraan dalam pariwisata?
  5. Bagaimana revitalisasi pariwisata berbasis kearifan lokal?
  6. Bagaimana tantangan kapitalisasi pariwisata?

BAB II 
PEMBAHASAN

 

A. Sumber Daya Alam Pariwisata

Pariwisata adalah salah satu sektor pembangunan yang dapat dilihat secara terpisah. Pembangunan di dalamnya juga terkait dengan sektor lain. Misalnya, pendidikan di bidang ini. Permasalahan dan kendala yang dihadapi sektor pendidikan antara lain mutu masukan, sumber daya termasuk di dalamnya adalah masalah guru, proses belajar-mengajar, pengelolaan yang kurang efektif dan efisien, hasil belajar yang kurang diharapkan serta tingkat income yang kurang memadai dan masih banyak lagi. Berdasarkan hasil penelitian Ibrahim Musa dkk. Indonesia telah meletakkan pariwisata sebagai salah satu sektor penting untuk mempercepat proses pembangunan nasional yang berkelanjutan. Namun kenyataannya, konsep pariwisata, pariwisata berkelanjutan di Indonesia masih mengalami banyak kendala baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Kendala tersebut terutama terletak pada masalah-masalah substansial seperti esensi pariwisata berkelanjutan itu sendiri, pengembangan produk, pasar dan pemasaran, serta dampaknya bagi berbagai lapisan masyarakat. Akar permasalahan dari kondisi tersebut sudah jelas, yaitu belum adanya kebijakan pariwisata yang jelas dan terpadu.

Pengembangan pariwisata alam memiliki prospek yang sangat baik apabila digarap dengan sungguh-sungguh. Hutan dengan segala potensi yang dimilikinya, baik keanekaragaman flora dan fauna maupun keunikan serta keindahan alamnya, sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata yang sangat menarik. Hal ini dapat kita buktikan, antara lain salah satu potensi satwa yang kita miliki yakni Komodo yang berada di Taman Nasional Komodo, telah menjadi perhatian dunia internasional. Demikian pula dengan kekayaan taman laut yang tersebar hampir di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. Salah satu contohnya adalah Taman Nasional Laut Bunaken Manado Tua. Taman Nasional ini sudah tidak asing lagi bagi wisatawan mancanegara yang memiliki hobi menyelam (snorkling dan diving).

Di samping itu, masih banyak obyek wisata alam lainnya yang memiliki keunikan dan kekhasan yang tidak dimiliki oleh negara lain, seperti di kawasan Taman Nasional (TN); Badak Jawa di TN. Ujung Kulon, Jalak Bali di TN. Bali Barat, salju abadi di TN. Lorentz dan berbagai potensi flora. Apabila Dari 39 Taman Nasional dengan luas ±15 juta hektar, yang tersebar hampir di seluruh pelosok Indonesia tersebut dapat dikembangkan secara optimal, maka akan dapat mendatangkan devisa negara yang tidak sedikit dari sektor pariwisata alam. Pariwisata alam memiliki 4 (empat) ciri-ciri utama yang perlu mendapatkan perhatian, yakni:

  1. Obyek-obyek yang akan dikembangkan adalah obyek-obyek yang ada di alam (hutan, kebun, pantai/laut,) dan budaya yang tidak mengalami perubahan baik bentang alam maupun sumber dayanya.
  2. Dalam pemanfaatannya dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan sangat kecil namun sebaliknya dampak positif yang diperoleh dapat menunjang upaya-upaya pelestarian kawasan atau obyeknya itu sendiri, sesuai dengan aspek konservasi.
  3. Masyarakat di sekitar kawasan atau obyek dapat memperoleh keuntungan langsung dari kegiatan pariwisata alam tersebut karena mereka ikut terlibat di dalamnya dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
  4. Adanya unsur pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga pemahaman dan kesadaran masyarakat semakin meningkat untuk ikut serta melestarikan obyek. Memperhatikan hal-hal tersebut, maka pembangunan pariwisata alam harus diarahkan kepada pembangunan pariwisata alam yang berbasiskan kepada masyarakat (community basedtourism), agar masyarakat di sekitar kawasan dapat merasakan manfaat secara langsung dari kawasan tersebut.

Berbagai kebijaksanaan telah keluarkan untuk memacu perkembangan kegiatan pariwisata alam, yakni dengan adanya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dengan PP No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, dan PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru. Dalam ketentuan tersebut, Pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada pihak swasta, BUMN, BUMD, koperasi, dan perorangan untuk mengembangkan usaha pariwisata alam di kawasan pelestarian alam seperti di zona pemanfaatan taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya dengan mengikutsertakan masyarakat di sekitarnya.

Namun demikian, ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan dimaksud masih mengandung beberapa kelemahan yang perlu disempurnakan lagi. Salah satu di antaranya adalah prosedur untuk memperoleh Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) khususnya bagi investor menengah ke bawah dan perorangan masih dirasakan sangat panjang dan berbelit-belit. Demikian pula keterlibatan masyarakat setempat perlu lebih diperjelas lagi agar mereka bisa memiliki kesempatan yang sebesar-besarnya untuk menjadi pelaku yang sebenarnya dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam. Selain itu, ijin pengusahaan pariwisata alam yang ada juga perlu dikelompokkan lagi menurut jenis kegiatan usaha, jangka waktu pengusahaan, dan kriteria pengusaha yang akan menanamkan modalnya, sehingga akan mempermudah dalam pelaksanaannya.

Aspek lain yang perlu mendapat perhatian adalah dengan telah diterbitkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah serta Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonomi. Kedua peraturan ini menekankan pelaksanaan otonomi daerah, sehingga pengelolaan pariwisata alam harus pula memberikan peran nyata pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kotamadya. Untuk menjadikan suatu kawasan menjadi objek wisata yang berhasil haruslah memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

  1. Faktor kelangkaan (scarcity) yakni: sifat objek/atraksi wisata yang tidak dapat dijumpai di tempat lain, termasuk kelangkaan alami maupun kelangkaan ciptaan.
  2. Faktor kealamiahan (naturalism) yakni: sifat dari objek/atraksi wisata yang belum tersentuh oleh perubahan akibat perilaku manusia. Atraksi wisata bisa berwujud suatu warisan budaya, atraksi alam yang belum mengalami banyak perubahan oleh perilaku manusia.
  3. Faktor keunikan (uniqueness) yakni sifat objek/atraksi wisata yang memiliki keunggulan komparatif dibanding dengan objek lain yang ada di sekitarnya.
  4. Faktor pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Faktor ini menghimbau agar masyarakat lokal benar-benar dapat diberdayakan dengan keberadaan suatu objek wisata di daerahnya, sehingga masyarakat akan memiliki rasa memiliki agar menimbulkan keramahtamahan bagi wisatawan yang berkunjung.
  5. Faktor optimalisasi lahan (area optimalsation) maksudnya adalah lahan yang dipakai sebagai kawasan wisata alam digunakan berdasarkan pertimbangan optimalisasi sesuai dengan mekanisme pasar. Tanpa melupakan pertimbangan konservasi, preservasi, dan proteksi.
  6. Faktor pemerataan harus diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan manfaat terbesar untuk kelompok masyarakat yang paling tidak beruntung serta memberikan kesempatan yang sama kepada individu sehingga tercipta ketertiban masyarakat tuan rumah menjadi utuh dan padu dengan pengelola kawasan wisata.

Salah satu contoh dari wisata sosial dapat berupa perjalanan yang dilakukan seseorang ke tempat lain atau ke luar negeri, untuk mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan adat istiadat mereka, cara hidup mereka, budaya dan seni mereka. Seiring perjalanan serupa ini disatukan dengan kesempatan-kesempatan mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan budaya, seperti eksposisi seni (seni tari, seni drama, seni musik, dan seni suara), atau kegiatan yang bermotif kesejarahan dan sebagainya. Contoh lain dari wisata sosial ini juga dapat berupa berkunjung ke tempat ziarah. Namun wisata ke tempat ziarah ini sering dikaitkan dengan aspek lain yaitu agama, sejarah, adat istiadat dan kepercayaan umat atau kelompok dalam masyarakat. Wisata ziarah banyak dilakukan oleh perorangan atau rombongan ke tempat-tempat suci, ke makam-makam orang besar atau pemimpin yang diagungkan, ke bukit atau gunung yang dianggap keramat, tempat pemakaman tokoh atau pemimpin sebagai manusia ajaib penuh legenda.

Wisata ziarah ini banyak dihubungkan dengan niat atau hasrat sang wisatawan untuk memperoleh restu, kekuatan batin, keteguhan iman dan tidak jarang pula untuk tujuan memperoleh berkah dan kekayaan melimpah. Dalam hubungan ini, orang-orang Katolik misalnya melakukan wisata ziarah ini ke Istana Vatikan di Roma, orang-orang Islam ke tanah suci, orang-orang Budha ke tempat-tempat suci agama Budha di India, Nepal, Tibet dan sebagainya. Di Indonesia banyak tempat-tempat suci atau keramat yang dikunjungi oleh umat-umat beragama tertentu, misalnya seperti Candi Borobudur, Prambanan, Pura Basakih di Bali, Sendangsono di Jawa Tengah, makam Wali Songo, Gunung Kawi, makam Bung Karno di Blitar dan sebagainya. Untuk memfasilitasinya saat ini sudah mulai banyak agen-agen pariwisata yang menawarkan jasa berwisata ke tempat-tempat ziarah seperti disebutkan di atas tadi. Para wisatawan melakukan wisata sosial ini dapat dikarenakan mereka tertarik dengan budaya yang unik atau dengan kata lain berbeda dari apa yang ada di negara calon wisata berasal maka, peningkatan permintaan terhadap wisata akan tinggi hal ini akan membuat sebuah keingintahuan dan penggalian pengetahuan sebagai khazanah kekayaan pola pikir budaya mereka.

Salah satu tempat tujuan wisata sosial ini adalah Denpasar, Bali. Di Denpasar, Bali ada suatu kegiatan sosial masyarakat yang sangat menarik minat bagi para calon wisata yaitu sistem pengairan atau irigasi berbasis masyarakat yang dikenal dengan istilah subak. Sampai sat ini sistem pengairan subak masih tetap dipertahankan sebagai salah satu prinsip pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan. Dirjen SDA Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) Roestam Sjarief kepada Pembaruan di Denpasar mengatakan, “Apa yang diperlihatkan petani di Bali dalam pemanfaatan air sungguh efisien”.

Karena itulah subak sangat menonjol dan populer hingga ke tingkat internasional. Subak bisa menjadi inspirasi bagi daerah lain. Menurut beliau juga, pengelolaan air yang diterapkan para petani di Bali itu bisa tetap bertahan, terutama karena didukung sistem sosial budaya masyarakat yang sangat kuat. Jika memperhatikan lebih jauh, ada sesuatu yang mengagumkan dalam subak, yakni terciptanya keharmonisan antar anggota sehingga keberadaan air betul-betul dirasakan dan dihargai. Kenyataan sosial itu yang menjadikan subak bertahan lama. Itulah bentuk kearifan lokal masyarakat Bali. Dalam hal pengelolaan SDA Bali telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 1972 tentang Irigasi di Bali. Dalam Perda tersebut pengelolaan irigasi atau SDA lebih banyak melihat aspek sosial budaya masyarakat Bali. Pengelolaan SDA ini setidaknya dapat menjadi aset wisata sosial.

Jika mempertimbangkan pariwisata sosial dari sudut pandang pembangunan yang berkesinambungan, Prof. Dr. James J. Spillane, S.J. dari Pusat Pengembangan dan Pelatihan Pariwisata (P3-Par) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta menyebut tiga unsur kunci yang harus diperhatikan:

  1. Pertama, kualitas pengalaman yang diperoleh wisatawan.
  2. Kedua, kualitas sumber daya yang dapat dipasarkan dan kualitas kehidupan masyarakat di sekitar yang mempunyai sumber daya.
  3. Ketiga, unsur kunci dan hubungan timbal balik yang dikonstruktif antara ketiga unsur kunci mencerminkan filsafat pariwisata budaya yang berkesinambungan.

Kualitas pengalaman tidak mungkin ada tanpa adanya pemeliharaan dan peningkatan kualitas sumber daya dan kualitas kehidupan. Apabila kualitas kehidupan dan kualitas sumber daya terganggu oleh suatu bentuk pembangunan yang tidak sesuai, kualitas pengalaman juga akan ikut terganggu. Warisan budaya yang ada haruslah selalu terjaga karena dengan terjaganya warisan budaya tersebut mampu mendatangkan nilai ekonomis bagi masyarakat sekitarnya dengan menjadikannya sebagai aset wisata. Sasaran pariwisata sosial-budaya adalah kesinambungan antara masa lampau dan masa depan. Dalam usaha ini, perlu dihasilkan suatu perlindungan dan pengalaman yang lebih baik bagi para wisatawan, juga peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Pengalaman menunjukkan bahwa semakin baik pengalaman yang diperoleh wisatawan dan semakin baik kondisi kehidupan masyarakat setempat di sekitar objek wisata atau monumen, semakin kecil kemungkinan kerusakan warisan budaya.

B. Pariwisata Berkelanjutan

Pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan wisatawan saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang. Mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, dan estetika dapat terpenuhi sambil memelihara integritas kultural, proses ekologi esensial, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan. Produk pariwisata berkelanjutan dioperasikan secara harmonis dengan lingkungan lokal, masyarakat dan budaya, sehingga mereka menjadi penerima keuntungan yang permanen dan bukan korban pembangunan pariwisata (Anonim, 2000: XVI). Dalam hal ini kebijakan pembangunan pariwisata berkelanjutan terarah pada penggunaan sumber daya alam dan penggunaan sumber daya manusia untuk jangka waktu panjang.

Berkaitan dengan upaya menemukan keterkaitan antara aktivitas pariwisata dan konsep pembangunan berkelanjutan, Cronin mengonsepkan pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai pembangunan yang terfokus pada dua hal, keberlanjutan pariwisata sebagai aktivitas ekonomi di satu sisi dan lainnya mempertimbangkan pariwisata sebagai elemen kebijakan pembangunan berkelanjutan yang lebih luas. Stabler dan Goodall, menyatakan pembangunan pariwisata berkelanjutan harus konsisten dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip dasar pembangunan pariwisata berkelanjutan menurut Sharpley yang mengacu pada prinsip dasar pembangunan berkelanjutan. Pendekatan yang holistik sangat penting. Untuk diterapkan secara umum, pada sistem pariwisata itu sendiri dan khusus pada individu di daerah tujuan wisata atau sektor industri.

Selama ini meskipun pariwisata diterima dan terintegrasi dalam strategi pembangunan nasional dan lokal, namun fokus utama pembangunan pariwisata berkelanjutan masih ke arah produk center. Tidak heran jika pada tingkat operasional sulit mengatur penerimaan yang kompleks, fragmentasi, pembagian multi-sektor dari keuntungan pariwisata secara alamiah. Oleh karenanya menurut Forsyth pariwisata berkelanjutan dalam praktiknya cenderung terfokus eksklusif setempat, proyek pembangunan relatif berskala kecil, jangkauannya jarang melebihi wilayah/lingkungan lokal atau regional, atau sebagai sektor industri yang spesifik/khusus. Pada saat yang bersamaan, sektor yang berbeda dari industri pariwisata mengalami perkembangan dalam berbagai tingkat, mengadopsi kebijakan lingkungan dan meski kecil telah menunjukkan filosofi bisnis dan pembangunan yang mengarah pada prinsip-prinsip keberlanjutan antar industri. Menurut Sharpley peningkatan kebijakan pembangunan pariwisata berkelanjutan sangat tergantung pada variasi faktor politik ekonomi yang dapat menghalangi diterapkannya pembangunan pariwisata berkelanjutan.

Pembangunan kepariwisataan berkelanjutan menjadi hal penting untuk pengembangan pariwisata di Indonesia. Salah satu pembangunan kepariwisataan berkelanjutan tersebut adalah green jobs atau pekerjaan berkelanjutan di sektor pariwisata. Pembangunan pariwisata berkelanjutan bisa melestarikan dan memelihara keindahan, kehidupan, dan budaya Indonesia yang diwariskan untuk generasi yang akan datang. Saat ini dibutuhkan di sektor pariwisata, keahlian yang hijau. Profil kehijauan pengusaha dan perusahaan di sektor pariwisata dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan. Perubahan-perubahan, lanjutnya, akan berdampak pada kebijakan lapangan kerja yang lebih ramah di sektor pariwisata. Sehingga diperlukan peningkatan keahlian di sektor pariwisata yang hijau, baik di tingkat pariwisata maupun nasional. Sudah adanya proses fondasi pembangunan pariwisata berkelanjutan oleh industri-industri di berbagai daerah di Indonesia. Pembangunan kepariwisataan berkelanjutan bukan pilihan tetapi keharusan. Bukan saja urusan pemerintah, tetapi juga di sektor pemangku kepentingan dan masyarakat.

Oleh karena itu, rencana strategis pembangunan kepariwisataan berkelanjutan berkaitan erat dengan pekerjaan yang berbasis lingkungan. Sehingga menghasilkan pariwisata yang mampu memberikan lapangan pekerjaan namun tetap berdasarkan pada pelestarian lingkungan. Gejolak pariwisata Indonesia sejak lima tahun terakhir semakin memperlihatkan perlunya mewujudkan konsep pariwisata berkelanjutan. Oleh karena pariwisata merupakan kegiatan yang multi-sektor, adanya kesamaan prinsip-prinsip diharapkan dapat memberi orientasi pengembangan yang sama pula. Prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Berbasis masyarakat

Prinsip ini menekankan keterlibatan masyarakat secara langsung atas seluruh kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pariwisata yang dilakukan di daerahnya. Pengembangan pariwisata berkelanjutan menempatkan masyarakat sebagai faktor utama. Sebagai salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) masyarakat berpartisipasi secara langsung dalam pengambilan keputusan. Dengan konsep pariwisata berbasis masyarakat, penyelenggaraan kepariwisataan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui upaya konservasi serta pemanfaatan sumber daya alam. Bentuk-bentuk kegiatan berbasis masyarakat pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pemilikan sendiri sarana dan prasarana pariwisata oleh masyarakat setempat, kemitraan dengan pihak swasta dan sewa lahan atau sumber daya lainnya baik oleh masyarakat maupun kerja sama dengan swasta.

2. Perlindungan atas hak intelektual dan budaya lokal

Prinsip ini menekankan perlunya usaha melindungi pengetahuan serta hak atas pemikiran dan karya intelektual masyarakat lokal dari aktivitas pariwisata global. Pertumbuhan pariwisata secara global merupakan ancaman terhadap pengetahuan serta hak intelektual masyarakat lokal, seperti teknologi, agama, tempat-tempat suci, sistem sosial dan kekerabatan, kehidupan tradisional, ekosistem, ekonomi, serta hak atas informasi sehingga dapat membawa masyarakat lokal ke arah konsumerisme yang akan menghantam kehidupan mereka.

3. Daya dukung

Untuk mengantisipasi dampak negatif pariwisata maka perlu pendekatan daya dukung, suatu pendekatan pengelolaan pariwisata di mana tingkat kunjungan dan kegiatan wisatawan pada sebuah daerah tujuan dikelola sesuai dengan batas-batas yang dapat diterima. Pengelolaan pariwisata tanpa memperhatikan prinsip daya dukung hanya akan menjadi mesin perusak dari pada menjadi alat yang dapat meningkatkan kesejahteraan manusia.

4. Pendidikan dan pelatihan

Dari perspektif pengelolaan pariwisata, pendidikan dan pelatihan dibutuhkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, alih teknologi, dan adanya persaingan pasar, dan lain-lain. Sementara dari perspektif dampak sistem pendidikan, pendidikan dan pelatihan diperlukan karena kurikulum sekolah ‘belum bisa menyesuaikan dengan paradigma keberlanjutan, baik dalam konsep maupun praktis.

5. Promosi

Promosi merupakan satuan kegiatan yang meliputi: memperkenalkan, mensosialisasikan, dan mengampanyekan nilai-nilai keberlanjutan dari kegiatan pariwisata. Sekurang-kurangnya ada tiga tujuan promosi dalam pariwisata berkelanjutan. Pertama, untuk meningkatkan kesadaran stakeholder akan prinsip-prinsip berkelanjutan, termasuk di dalamnya mempromosikan sikap dan perilaku yang sesuai kepada seluruh lapisan masyarakat. Kedua, untuk memperkaya informasi tentang pariwisata berkelanjutan. Informasi diperlukan untuk mencegah perilaku yang bisa mengakibatkan kerugian-kerugian material dan non material terhadap kehidupan generasi masa depan. Jadi, positif atau negatifnya kegiatan pariwisata turut ditentukan akses informasi yang dapat disampaikan. Ketiga, untuk meminimalkan benturan kepentingan antar stakeholder dalam penggunaan sumber daya dan pembangunan sarana/prasarana pariwisata. Semua stakeholder memerlukan pengetahuan dan informasi tentang pariwisata berkelanjutan, dalam rangkaian kegiatan pariwisata. Dengan tersosialisasikannya informasi regulasi diharapkan dapat mengatur perilaku stakeholder dalam semua kegiatannya.

6. Akuntabilitas

Akuntabilitas publik merupakan kewajiban seluruh stakeholder. Penyelenggaraan yang bertanggungjawab akan meningkatkan efisiensi, efektivitas dan responsibilitas terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya. Paradigma sistem perencanaan dan pelaksanaan yang bersifat top-down dan hierarkis pada masa lalu harus diganti dengan paradigma baru. Hubungkan antara lembaga pelayanan pemerintah dan swasta serta masyarakat ke dalam suatu jaringan hubungan yang dinamis dua arah. Pendekatan pelayanan yang bermutu memberikan alat-alat yang bisa digunakan dalam proses ini dan dapat memberikan banyak manfaat.

7. Pemantauan dan evaluasi

Pemantauan mencakup dua fase, yaitu pemantauan tahap perencanaan mencakup pemantauan tujuan-tujuan dan jadwal-jadwal dan pemantauan tahap pelaksanaan. Dalam kedua fase tersebut, pemantauan diarahkan untuk mengawasi prinsip-prinsip berkelanjutan yang dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Agar upaya itu menjadi efektif, maka evaluasi menjadi keharusan yang dilakukan oleh setiap stakeholder. Baik pemantauan maupun evaluasi merupakan salah satu alat manajemen yang dapat membantu meningkatkan efektivitas proses pembangunan.

C. Unsur Budaya dan Kearifan Lokal Sebagai Daya Tarik Wisata

Diakui atau tidak, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (information communication and technologist) telah meningkatkan aliran modal, investasi, barang dan jasa dari suatu negara ke negara lain, terutama dari negara maju ke negara-negara berkembang pada umumnya. Era dunia tanpa batas ini kemudian disebut era globalisasi. Pendapat bahwa ideologi globalisasi adalah bentuk imperialisme dalam bentuk baru tidak sepenuhnya salah. Ada yang berpendapat bahwa globalisasi tidak bisa dihindari sehingga mau tidak mau harus diterima oleh negara-negara berkembang, namun tulisan ini berasumsi bahwa globalisasi paling tidak bisa disiasati agar dampaknya bisa dimininalisir, sehingga negara-negara yang secara ekonomi dan politik lemah dan dapat bertahan hidup dalam pusaran globalisasi. Budaya dan kearifan lokal menjadi salah satu pilihan strategi budaya untuk meminimalisir dampak globalisasi dan bahkan menjadi counter culture dominasi budaya massa yang dikuasai oleh negara-negara maju dan berpengaruh besar terhadap pola pikir dan “budaya” masyarakat negara-negara berkembang.

Daya tarik unsur-unsur budaya dan kearifan lokal sebagai dasar pengembangan budaya dalam era global ini dapat lebih rinci berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Perspektif strategi kebudayaan

Dari perspektif strategi kebudayaan, meningkatnya pengaruh globalisasi telah mereduksi nilai-nilai budaya nasional. Budaya lokal memiliki potensi dan peran sebagai budaya tandingan (counter culture) bagi dominasi budaya global yang dimitoskan sebagai sesuatu tidak bisa dielakkan. Kasanah budaya lokal dapat menjadi sumber kearifan lokal, sebagai salah satu sumber sikap kritis terhadap globalisasi. Hal ini terjadi bahwa di dalam masyarakat yang semakin homogen gaya hidup suatu masyarakat akibat globalisasi dan modernitas, semakin kokoh ketergantungan masyarakat terhadap kepada nilai-nilai yang lebih mendalam seperti agama, seni dan sastra. Sementara dunia luar tumbuh semakin sama (homogen) akibat globalisasi, masyarakat semakin menghargai tradisi yang bersemi dari dalam. Munculnya kecenderungan baru gaya hidup yang berakar pada seni tradisi merupakan indikasi positif bangkitnya nilai-nilai lokal dalam kehidupan masyarakat. Seni tradisi yang masih bertahan sampai sekarang dan masih dipertahankan oleh masyarakat di Jawa memiliki nilai filsafat yang tinggi.

Wayang kulit misalnya, dapat bertahan hidup sampai sekarang bahkan diakui sebagai kekayaan budaya dunia karena paling tidak memiliki nilai epidemi (estetis) adiluhung (etis) yang melahirkan kearifan masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Bahkan cerita wayang merupakan pencerminan kehidupan masyarakat Jawa sehingga tidak aneh bila wayang disebut sebagai agamanya orang Jawa. Dengan wayang, orang Jawa mencari jawab atas permasalahan kehidupan mereka. Dalam pertunjukan wayang bergabung keindahan seni sastra, seni musik, seni suara, seni sungging dan ajaran mistik Jawa yang bersumber dari agama-agama besar yang ada dan hidup dalam masyarakat Jawa. Kerinduan masyarakat Barat terhadap nilai substansial dalam budaya Jawa bisa dilihat dari semakin banyaknya orang barat yang belajar kebudayaan Jawa yang epidemi dan adiluhung ini.

2. Perspektif desentralisasi atau otonomi daerah

Dari perspektif desentralisasi atau otonomi daerah, maka daerah dapat menggali dan mengembangkan budaya lokal sebagai modal sosial dan budaya pembangunan masyarakat setempat. Daerah seperti Surakarta dan Yogyakarta misalnya, memiliki keragaman yang bersumber dari adat, budaya dan agama yang berjalan seiring secara harmonis membentuk identitas masyarakat sebagai bentuk identitas lokal yang menginspirasi kehidupan dan interaksi sesama masyarakat yang berada di dalamnya. Namun demikian, kebangkitan budaya lokal bukan berarti kembali sepenuhnya kepada tradisi lalu dan menolak realitas kekinian yang terus berubah. Menurut Gidden kebanyakan apa yang dianggap tradisi di masa kini, telah melewati batas waktu dengan mengalami penyesuaian dengan perkembangan-perkembangan baru.

Artinya, bahwa budaya masa lalu dapat direvitalisasi untuk memperkuat identitas suatu komunitas atau kelompok sosial, sekalipun budaya itu tidak lagi asli sebagaimana budaya itu hidup dan dimaknai di masa lalu. Artinya, perkembangan pengetahuan dan pengalaman manusia pendukung budaya akan mampu mendukung eksistensi budaya yang epidemi dan adiluhung dan mereduksi nilai-nilai artifisial atau tidak mendalam sehingga ada kebudayaan yang bersifat mendalam dan ada yang hanya bersifat nampak di permukaan (artificial) dan akan bertahan sesaat. Setiap destinasi wisata alami sekalipun sering kali tidak dapat mempertahankan “keaslian” tempat tersebut karena mengalami perubahan dan penambahan produk baru sesuai dengan usaha para pengusaha yang melakukan komersialisasi wisata sehingga merusak nilai luhur (adiluhung) bahkan keindahan (epidemi). Oleh karena itu perlu dipikirkan agar perkembangan pariwisata tidak mengubah keaslian obyek wisata dan perilaku manusia di dalamnya.

D. Pencitraan dalam Pariwisata

Dewasa ini semakin banyak daerah yang memiliki potensi pariwisata berusaha melakukan pencitraan dengan memberi penguatan pada simbol atau penanda tertentu. Demikian juga simbol atau penanda yang digunakan oleh pemerintah di daerah-daerah dalam mengembangkan pariwisata yang berbasis budaya dan kearifan lokal. Pemerintah Kota Surakarta misalnya, menggunakan branding “Solo the Spirit of Jawa” sebagai upaya merevitalisasi di dataran nilai-nilai, filosofi atau pandangan hidup; sistem kehidupan masyarakat dalam berinteraksi dan menjalani kehidupannya, maupun hasil karya atau produk yang dihasilkan dengan semangat budaya tersebut. Dalam banyak kesempatan Walikota Jokowi sering menggambarkan cita-cita membangun Surakarta dengan menyatakan bahwa Solo masa depan adalah Solo masa lalu. Kekayaan budaya berupa batik Laweyan dan Kauman, kawasan bangunan cagar budaya beserta kehidupan masyarakatnya menjadi daya tarik wisata yang ditawarkan kepada wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara. Simbol dan penanda (sign) disadari sangat penting dalam menentukan sebuah tempat sebagai destinasi wisata. Simbol ini terkait dengan citra sebuah tempat di benak para pelancong seperti misalnya slogan-slogan pariwisata the Exotic Bali, the Romantic Paris, dan the Virgin Pasific.

Budaya massa (mass culture) sering dianggap hanya mewakili selera massa yang bersifat artifisial dan sesaat, dan sering kali dianggap memiliki selera rendah dan sangat duniawi. Berbeda dengan produk budaya yang mendalam dan substansial, dalam hal ini diwakili oleh budaya lokal yang memiliki nilai-nilai yang tinggi, baik nilai-nilai yang bersifat filosofis, sosiologis dan produk budaya yang dihasilkan dari semangat budaya yang khas tersebut. Dengan bahasa lain, budaya lokal adalah sesuatu yang eksotis. Menurut Spillane eksotis diartikan sebagai yang asing, atau belum diketahui orang banyak sehingga merangsang rasa ingin tahu. Keindahan alam, kehidupan manusia di dalamnya, kekayaan spiritual yang dimiliki masyarakat tentu akan mengundang rasa ingin tahu itu. Dalam hal ini, eksotisme sebuah DTW sering kali ditampilkan dalam sebagai sesuatu yang masih asli berhadapan dengan pembangunan dan perkembangan industri yang merusak “keaslian” suatu obyek dan destinasi wisata. Tawaran “keaslian” sangat kaya dimiliki oleh daerah-daerah di provinsi Jawa Tengah dan DIY, namun banyak potensi tersebut belum digarap dan dikelola dengan baik.

Gejala pariwisata sesungguhnya tidak terlepas dari kebudayaan sebuah masyarakat. Dengan demikian dalam kunjungan wisata, paling tidak terjadi kontak dan interaksi kebudayaan-kebudayaan wisatawan dengan kebudayaan penduduk setempat. Ketika seorang berkunjung ke suatu daerah yang lebih baik dari kebudayaannya, maka ia memiliki kesempatan mengalami perjalanan yang dapat meningkatkan kebudayaan miliknya sendiri. Kalaupun ia berkunjung ke tempat yang lebih jelek, maka ia mendapatkan kesempatan melihat dan mengalami hal yang jelek tersebut. Oleh karena itu, citra suatu DTW dalam benak wisatawan akan memiliki pengaruh yang besar terhadap kunjungan wisatawan di masa yang akan datang.

Setiap daerah wisata mempunyai citra (image) tertentu, yaitu mental maps seseorang terhadap suatu destinasi yang di dalamnya mengandung keyakinan, kesan dan persepsi. Citra yang terbentuk di pasar merupakan kombinasi antara berbagai faktor yang ada pada destinasi yang bersangkutan, seperti iklim, pemandangan alam, keamanan, kesehatan, fasilitas akomodasi, keramahtamahan penduduk, ketersediaan alat-alat transportasi di satu pihak, dengan informasi yang diterima oleh calon wisatawan dari berbagai pihak atau dari fantasinya sendiri terhadap pengalamannya selama mengadakan perjalanan wisatanya.

Menurut Buck dan Law dalam Pitana dan Gayatri memandang bahwa pariwisata adalah industri yang berbasiskan citra, karena citra mampu membawa calon wisatawan ke dunia simbol dan makna. Bahkan beberapa ahli pariwisata mengatakan bahwa citra ini memegang peranan yang penting daripada sumber daya pariwisata yang kasat mata. Dari pengertian ini, maka pembangunan brand image menjadi penting bagi sebuah daerah yang hendak mengembangkan diri sebagai tujuan wisata.

Menciptakan citra bukan persoalan sederhana dan dapat dilakukan dengan cepat. Citra Bali, menurut Margaret Mead dalam Michel Picard telah digarap sejak tahun 1930-an, yang dicitrakan berbeda dengan citra pulau-pulau Laut Selatan yang merupakan tujuan wisata tahun 1920-an. Pulau-pulau di Laut Selatan menggambarkan hedonisme dan erotisme dunia Barat yang kusam akibat perang, sedangkan daya tarik Bali sebaliknya terletak pada kepuasan hati yang dialami penduduknya yang setiap harinya digunakan untuk memuja dewa-dewa, melakukan upacara ritual dan kesenian yang tiada henti-hentinya. Citra Bali sebagai pulau para dewa masih tetap teguh sampai saat ini, walaupun disadari ada perubahan sebagai akibat dari perkembangan industri pariwisata namun perubahan tersebut bukan nilai substansinya.

Kedekatan budaya Jawa dan Bali misalnya, bisa ditelusuri dari peninggalan kebudayaan kedua masyarakat. Di masa sekarang, budaya Jawa sendiri mempertemukan berbagai keyakinan dari budaya masa animisme dan dinamisme, Hindu, Budha, dan Islam yang berkembang hampir bersamaan dengan berkembangnya agama Nasrani yang dibawa oleh orang-orang Eropa ke Indonesia. Sebagai pembanding, budaya Bali berkembang berdasarkan agama Hindu dan beberapa kepercayaan ”asli” seperti animisme dan dinamisme. Kebudayaan Bali adalah kebudayaan Jawa di masa lalu, sehingga Picard mengatakan Bali sebagai “museum hidup” budaya Hindu Jawa yang dahulu pernah hidup dan berjaya di kerajaan Jawa.

Nilai-nilai spiritual ini semakin dicari dalam masyarakat yang semakin homogen akibat globalisasi, karena semakin kokoh dan kuat kerinduan dan ketergantungan masyarakat kepada nilai-nilai yang lebih dalam seperti agama, seni dan sastra. Dengan kata lain kecenderungan wisata alam dan budaya masih menjadi atraksi dan tujuan wisata semakin kuat, terutama oleh turis mancanegara yang sibuk dengan hiruk-pikuknya kehidupan modern.

E. Revitalisasi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal

Dewasa ini pariwisata bukan sekedar ladang bisnis semata tetapi menjadi ajang memperkenalkan diri bagi setiap negara di kancah Internasional. Seyogianya setiap wisatawan yang berkunjung ke suatu negara akan mengingat atau menangkap setiap hal yang ditemuinya di negara tersebut bahkan turut serta mempelajarinya. Terlebih lagi jika hal yang ditemui wisatawan sesuatu yang baru dan sangat berkesan. Jika hal itu merupakan sesuatu yang sangat berkesan, maka akan sulit dilupakan. Dengan demikian setiap wisatawan yang berkunjung ke suatu negara akan memaknai hal yang dianggap paling berkesan itu sebagai ciri khas atau identitas dari suatu negara tersebut. Seperti kita lihat, Thailand terkenal dengan gajah putih, di Jepang ada Geisha, Italia mempunyai Venesia kota di atas air, dan lain sebagainya. Ciri khas atau identitas itu bisa dilihat atau didapatkan dari berbagai hal, baik alam maupun budaya. Sebab berbicara soal pariwisata, cakupannya luas sekali.

Ada beberapa jenis pariwisata. Secara garis besar dibagi empat: wisata alam, wisata belanja, wisata keagamaan, dan wisata budaya. Indonesia sebagai negara yang kaya raya mencakup keempat jenis wisata tersebut. Sebagai negara yang dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah ruah dan keanekaragaman suku bangsa dan budaya, Indonesia turut andil dalam menyemarakkan wisata dunia. Bukan sekedar penyemarak belaka tapi Indonesia harus bisa memanfaatkan peluang, salah satunya dengan memperkenalkan identitas negara. Dengan keberagaman budaya yang dimiliki, Indonesia bisa mengembangkan pariwisata yang mendunia berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal (local wisdom) dalam disiplin antropologi dikenal juga dengan istilah local genius. Ada beberapa pendapat antropolog tentang pengertian local genius ini. Berikut pengertian local genius menurut Haryati Soebadio
“Local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.”

Ciri-ciri kearifan lokal menurut Y.P. Saragih adalah mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Dalam bidang pariwisata, kearifan lokal diharapkan mampu mengembangkan pariwisata yang mengangkat budaya lokal untuk diperkenalkan ke seluruh dunia sebagai identitas negara. Akses terbesar untuk mengenal Indonesia adalah melalui pariwisatanya. Berdasarkan data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, statistik kunjungan wisatawan mancanegara dati tahun ke tahun terus meningkat.

1. Kondisi pariwisata Indonesia saat ini

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa, Indonesia memiliki semua sektor wisata yaitu, wisata alam, wisata belanja, wisata keagamaan, dan wisata budaya. Wisata alam seperti gunung, sungai, pantai, danau, dan lain sebagainya. Wisata belanja seperti pusat perbelanjaan atau mall. Wisata keagamaan mencakup upacara-upacara keagamaan yang memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Dan yang terakhir wisata budaya, yang meliputi adat dan tradisi yang menjadi kekhasan setiap daerah. Sejauh ini, wisata budaya Indonesia menjadi wisata favorit bagi wisatawan mancanegara di samping wisata alam Indonesia. Kita tahu bahwa, Indonesia adalah negara dengan beribu-ribu pulau. Dari Sabang sampai Merauke mempunyai adat dan kebudayaan yang berbeda. Tigapuluh tiga provinsi di Indonesia, seakan berlomba-lomba memperkenalkan adat dan kebudayaan masing-masing. Namun, di kalangan wisatawan lokal, wisata budaya kurang diminati atau kurang menarik hati. Wisatawan lokal cenderung atau lebih condong kepada wisata belanja. Secara faktual dapat dilihat dari statistik pengunjung mall yang lebih banyak daripada pengunjung museum.

2. Memaknai nasionalisme melalui pariwisata berbasis kearifan lokal

Memaknai nasionalisme, bukan berarti menghalangi kebudayaan luar untuk masuk dan memisahkan diri dari kebudayaan luar, tetapi memaknai nasionalisme dengan memperkuat jati diri bangsa sesuai ciri-ciri kearifan lokal. Kearifan lokal yang diimplementasikan dalam pariwisata. Kenapa harus pariwisata berbasis kearifan lokal? Karena kearifan lokal mengajarkan etika dan nilai moral seperti gotong royong, toleransi, menjaga dan melestarikan alam, serta menghargai kebudayaan sendiri dengan menjaga, mentransmisi dan mentransformasikan kebudayaan tersebut. Mentransmisikan kebudayaan berarti meneruskan kebudayaan dari generasi nenek moyang ke generasi berikutnya tanpa sedikit pun merubah nilai dari kebudayaan itu. Sementara mentransformasikan berarti mewariskan kebudayaan dengan menata kembali kebudayaan tersebut sesuai perkembangan zaman mempertahankan yang baiknya, dan mengubah hal yang tidak sesuai dengan keadaan zaman sekarang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kebudayaan tersebut. Di mana hal itu dimaknai sebagai wujud nasionalisme yang sejatinya harus dijiwai setiap rakyat Indonesia.

Etika dan nilai moral dalam kearifan lokal tidak berarti berlaku secara lokal pada budaya atau etnik tertentu saja, tapi bersifat lintas budaya atau lintas etnik sehingga membentuk budaya nasional. Seperti yang kita lihat, hampir seluruh wilayah di Indonesia dikenal budaya gotong royong, begitu juga dengan seluruh rakyat Indonesia yang dikenal ramah-tamah. Beberapa tempat wisata di Indonesia yang mengandung kearifan lokal adalah Badui yang terkenal dengan masyarakatnya yang sangat menjaga kelestarian alam, suku Toraja yang terkenal akan ritual pemakaman, termasuk Bali yang menjadi provinsi yang paling banyak dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara juga mempunyai wisata budaya selain wisata pantainya yang menawan. Sesungguhnya banyak daerah di Indonesia yang mengandung kearifan lokal yang tidak dapat disebutkan satu persatu, bahkan hampir seluruh wilayah di Indonesia memegang teguh adat dan kebiasaan daerahnya. Di mana hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Daya tarik seperti inilah yang terus kita suguhkan kepada wisatawan. Daya tarik yang tidak hanya pada bidang adat istiadat, tetapi bisa di semua bidang, contohnya bidang kuliner.

Di bidang kuliner Indonesia mempunyai masakan Padang yang terkenal sampai ke Malaysia tidak kalah bersaing dengan masakan Thailand. Kita tahu bahwa, rendang dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN International, pada tahun 2011. Pariwisata berbasis kearifan lokal hendaknya terus digali, dipelajari, dan dipertahankan. Tentunya dimulai dari rakyat Indonesia sendiri. Sebagai rakyat Indonesia, kita harus bangga memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia luar.

Rakyat Indonesia harus lebih banyak tahu mengenai kebudayaannya daripada orang luar (mancanegara). Rakyat Indonesia, mulai dari generasi muda harus paham dengan adat dan kebudayaan terutama di daerah tempat tinggalnya. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan menggunakan bahasa daerah, kemampuan bermain alat-alat musik tradisional, dan wawasan yang luas akan dunia luar. Dengan wawasan luas ini kita akan terhindar dari sikap antipati terhadap budaya luar, dan kita dapat memfilter setiap kebudayaan yang masuk, dengan mengambil nilai-nilai yang baik dari kebudayaan luar tersebut, dan membuang hal yang buruknya. Diharapkan sikap ini dapat mengristalisasi menjadi jiwa nasionalisme yang kuat dan berakar kokoh dalam diri setiap rakyat Indonesia. Apabila hal ini dapat dilakukan, maka dengan sendirinya Indonesia akan dikenal di kancah Internasional sebagai negara yang memiliki identitas diri, dari segi masyarakat yang bersosial budaya.

Rakyat India tidak mengkiblat kepada negara lain dan tidak ikut-ikutan terbawa arus modernisasi yang dapat merubah citra dirinya. Tetapi arus modernisasi tersebut dijadikan untuk mentransformasi kebudayaannya, sehingga India terus dikenal dengan identitas tariannya, dan membiarkan bangsa asing untuk mempelajarinya, dengan kata lain bersikap terbuka terhadap kebudayaan luar. Kita sebagai bangsa Indonesia hendaknya juga berperilaku seperti itu. Pemerintah sesungguhnya telah berusaha mengimplantasikan kearifan lokal ke dalam pariwisata Indonesia. Kita sebagai rakyat Indonesia hanya perlu merevitalisasi usaha pemerintah tersebut. Dimulai dari hal yang terkecil dengan cara, menjadi pelaku dan penikmat wisata berbasis kearifan lokal sebagai wujud nasionalisme. Hal ini harus dapat kita maknai sebagai spirit untuk menjiwai Hari Kebangkitan Nasional yang setiap tahun jatuh pada tanggal 20 Mei.

F. Tantangan Kapitalisasi Pariwisata

Harmoni kehidupan di pedesaan Jawa Tengah misalnya, dapat diangkat menjadi obyek wisata yang menarik. Persoalannya kemudian adalah perlu ketersediaan akses menuju lokasi, transport dan juga tempat menginap. Kemudian persoalan baru muncul ketika terjadi kapitalisasi pariwisata dalam bentuk pembangunan hotel dan infrastruktur pariwisata terjadi gangguan terhadap harmoni kehidupan masyarakat setempat, kehidupan masyarakat yang religius, menjaga harmoni dengan alam dan bergulat dengan pekerjaan agrarisnya yang harusnya menjadi daya tarik wisata menjadi terganggu.

Bila aspek ekonomi menonjol maka aspek kapitalisasi dan komodifikasi alam dan lingkungan hidup tidak bisa dihindarkan. Bahkan Karim menilai bahwa harapan pemerintah untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber kemakmuran, meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperluas lapangan kerja perlu dipertanyakan. Beberapa kasus di daerah, menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata pada akhirnya tidak memberikan sumbangan kesejahteraan masyarakat di daerah bahkan menunjukkan gejala bentuk baru kolonialisme (neo-colonialism) dan imperialisme (neo-imperialisme) yang mengakibatkan masyarakat lokal tidak berdaya menghadapi kekuatan kapital besar yang masuk. Dengan demikian pariwisata dapat menjadi senjata kapital yang tidak membangun, namun justru menghancurkan negara berkembang yang sangat membutuhkan kapital untuk membangun. Mungkin perlu dikritisi paradigma pembangunan liberal yang dalam perspektif barat yang selama ini dianggap merupakan kunci keberhasilan “pembangunan” Indonesia.

Penjelasan tersebut di atas dapat dilihat dari kecenderungan pemerintah, termasuk pemerintah daerah untuk ramah kepada investor luar sehingga investor asing menguasai jaringan bisnis wisata dari hulu bahkan sampai hilir. Hal dapat kita temui misalnya, kepemilikan jaringan perhotelan, penerbangan internasional, operator wisata, operasi kapal wisata. Jaringan pariwisata tersebut tidak memberi nilai tambah bagi tenaga kerja lokal. Persoalannya sering bukan karena ketidakmampuan penduduk lokal dalam mengerjakan pekerjaan jasa pariwisata, namun juga diakibatkan pandangan diskriminatif para manajer atau pemilik modal terhadap penduduk lokal.

Hotel-hotel internasional misalnya, tidak menyerap tenaga kerja di level manajemen puncak dan menengah, bahkan untuk profesi yang membutuhkan keahlian yang tinggi, termasuk seperti Chef (juru masak) didatangkan dari asing. Penyerapan tenaga kerja hanya ada di level bawah, misalnya penerima tamu, penata kamar, atau kebersihan. Di sisi lain, makanan, minuman dan buah yang disajikan di hotel-hotel tersebut juga diimpor sedangkan makanan lokal sering dianggap belum terstandar. Demikian juga dengan penguasaan lahan, terjadi marginalisasi (peminggiran) masyarakat lokal dan semakin jauh dari pusat-pusat ekonomi, maka semakin kecil pula kemampuan mereka mengambil manfaat ekonomis dari industri pariwisata.

Menurut Suhartono bentuk-bentuk marginalisasi penduduk lokal dapat berupa: Pertama, pada bidang ekonomi, terjadinya dominasi ekonomi berupa perluasan faktor-faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, komoditas ekspor pengenaan pajak baru sehingga semakin berat beban masyarakat. Hal ini mengakibatkan masyarakat marginal sangat tergantung pada pemilik modal atau penguasa. Kedua, dalam bidang politik, terjadi hubungan yang tidak wajar sehingga terjadi ketegangan dan ketidakserasian. Penempatan penguasa pada posisi yang kuat dapat mendesak lembaga-lembaga lokal untuk mengikutinya. Selain itu masyarakat lokal lebih banyak dikontrol karena tidak memiliki organisasi yang mapan, baik secara politik dan ekonomi yang mampu membela kepentingan-kepentingannya. Ketiga, dibidang budaya, terjadi desakan terhadap norma-norma yang ada sehingga masyarakat kehilangan orientasi. Persinggungan orientasi kebudayaan pendatang dengan kebudayaan setempat dapat menimbulkan konflik budaya sehingga menimbulkan gegar budaya yang dapat merusak kebudayaan masyarakat setempat. Oleh karena itu, pemeliharaan orientasi budaya setempat harus dibarengi dengan upaya terus menerus dan kemampuan menerima perbedaan budaya bangsa-bangsa lain.

Potensi konflik horizontal dan vertikal pasca reformasi menambah jumlah persoalan pengembangan pariwisata lokal di Indonesia. Meningkatnya jumlah konflik di daerah-daerah yang memiliki potensi pariwisata di Indonesia mengakibatkan keamanan sebagai salah satu faktor penting dalam pemasaran pariwisata menjadi terganggu. Konflik itu tidak selalu dipicu oleh masalah yang serius dan kadang-kadang masalah sepele. Masalah yang serius misalnya persoalan sengketa lahan, agama, suku dan ras ataupun kadang-kadang ditimbulkan oleh kesalahpahaman antar kelompok masyarakat. Jika hal ini berlarut-larut tentu akan merusak daya tarik wisata yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Padahal daya tarik wisata ini seharusnya menjadi unggulan yang dapat ditawarkan kepada turis domestik maupun turis mancanegara.

BAB III 
PENUTUP

A. Kesimpulan

Potensi budaya dan kearifan lokal dalam bidang pariwisata masih tinggi bahkan menjadi kecenderungan potensi wisata di masa depan. Oleh karena itu perlu digagas pola pengembangan wisata yang berbasis budaya dan kearifan lokal sebagai daya tarik wisata yang lebih estetis (epidemi) dan etis (adiluhung). Oleh karena penyediaan sarana transportasi, penginapan dan infrastruktur yang lain jangan sampai merusak eksotisme alam dan manusia yang hidup di dalamnya.

Demikian juga pengembangan pariwisata di suatu daerah harus memberi jaminan rasa aman bagi pendatang karena penduduk beserta cipta, rasa dan karsanya merupakan obyek wisata yang menarik dan eksotis. Keramahtamahan penduduk merupakan daya tarik wisata yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, demikian juga kehidupan masyarakat ketika berinteraksi dengan alam dan tuhannya merupakan atraksi pariwisata yang memikat dan menawan hati.

B. Saran

Kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya. Berkembangnya kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Giddens, Anthony. 2001. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia.

Karim, Abd. 2008. Kapitalisasi Pariwisata dan Marginalisasi Masyarakat Lokal dan Lombok. Yogyakarta: Genta Press.

Picard, Michel. 2006. BALI: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: KPG, Forum Jakarta Paris, dan Ecole francaise d’Extreme-Orient.

Pitana, I Gde, dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset.

Spillane, James J. 1994. Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Lembaga Studi Realino.

Sutarso, Joko. 2007. Model Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Budaya Lokal: Kasus Wayang Purwo. Hasil Penelitian. Surakarta: LPPM UMS.

Thoyibbi, Muhammad. 2003. Sinergi Agama dan Budaya Lokal: Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal. Surakarta: MUP- UMS, PSB-PS UMS dan Majelis Tarjih dan PPI PP Muhammadiyah.

Download Contoh Makalah Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Bidang Pariwisata.docx