Makalah Terorisme

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Terorisme ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Terorisme ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Terorisme ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Terorisme ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, April 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta sering kali merupakan warga sipil. Istilah teroris oleh para ahli kontra terorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya (“teroris”) layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan “teroris” dan “terorisme”, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terorisme: “makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang”. Padahal terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana sejarah terorisme?
  2. Apa definisi terorisme?
  3. Apa saja penyebab terjadinya terorisme?
  4. Bagaimana metode dan tujuan terorisme?
  5. Bagaimana upaya perang melawan terorisme?
  6. Bagaimana strategi penanggulangan terorisme di Indonesia?

C. Tujuan

  1. Agar mengetahui sejarah terorisme.
  2. Agar mengetahui definisi terorisme.
  3. Agar mengetahui penyebab terjadinya terorisme.
  4. Agar mengetahui metode dan tujuan terorisme.
  5. Agar mengetahui upaya perang melawan terorisme.
  6. Agar mengetahui strategi penanggulangan terorisme di Indonesia.

D. Manfaat

Manfaat dari penulisan ini adalah supaya masyarakat bisa mencegah terjadinya kasi terorisme dan tidak terjerumus ke dalam jaringan terorisme.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Terorisme

Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari terorisme dengan mengacu pada sejarah terorisme modern. Meski istilah teror dan terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.

Kata terorisme berasal dari bahasa Perancis le terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah. Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia, dan Amerika. Mereka percaya bahwa terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I.

Pada dekade tersebut, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi. Bentuk pertama terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme dimulai di Aljazair pada tahun 50-an, dilakukan oleh FLN yang memopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga terorisme muncul pada tahun 60-an dan terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. Bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu:

  1. Kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM.
  2. Pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalisme setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.
  3. Kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.

Namun terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the bomb” yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan.

Pasca Perang Dunia II, dunia tidak pernah mengenal “damai”. Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik timur-barat dan menyeret beberapa negara dunia ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik utara-selatan. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara dunia ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustrasi dari banyak negara berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya terorisme. Fenomena terorisme meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an. Terorisme dan teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya. Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik:

  1. Ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
  2. Keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin.
  3. Tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah dilakukan.
  4. Serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.

B. Definisi Terorisme

Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.” Kegiatan terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya.

Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan di mana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.

Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli hukum pidana internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., terorisme merupakan pandangan yang subjektif, hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu. Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20.

Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), di mana konvensi ini mengartikan terorisme sebagai crimes against state. Melalui European Convention on The Suppression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai crimes against state (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan kepala negara atau anggota keluarganya), menjadi crimes against humanity, di mana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Crimes against humanity masuk kategori gross violation of human rights (pelanggaran HAM berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.

Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind). Menurut Muladi, tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se, tergolong kejahatan terhadap hati nurani (crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh undang-undang.

Dalam rangka mencegah dan memerangi terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme.

C. Penyebab Terjadinya Terorisme

1. Tidak Adanya Keadilan

Keadilan merupakan hal yang teramat sulit kita deskripsikan. Hal ini memang karena bentuknya yang abstrak. Kebanyakan orang-orang yang kehidupannya karena tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya ia dapatkan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya terorisme. Para pelaku teror menganggap banyak keadilan yang ia tidak dapatkan sehingga ketika orang-orang yang tidak bertanggung jawab ingin mencuci otaknya (brain wash) dengan amat mudahnya ia terpengaruhi. Dengan alih-alih akan dijanjikan keadilan yang akan ia dapatkan sehingga para pelaku terorisme tidak berpikir panjang untuk melakukannya. Oleh karena itu, marilah kita menciptakan keadilan tersebut. Setidaknya dimulai dari tempat kita berinteraksi. Keadilan yang sesungguhnya adalah jika sesuai pada tempatnya.

2. Teror Memang Diciptakan

Poin kedua ini adalah fakta yang belakangan memang terbukti. Ternyata di kehidupan kita sehari-hari memang ada teror-teror yang sengaja kita ciptakan. Misalnya saja dengan menakut-nakuti teman kita. “awas ada bom?” hal ini marak ketika bom-bom yang lalu-lalu meledak. Sebenarnya bukan malah menyugesti diri kita untuk takut kepada teror bom yang terjadi namun lebih kepada mewaspadai setiap aktivitas yang kita lakukan dengan penuh kehati-hatian.

3. Kekeliruan dalam Memahami Makna Perang dan Damai

Belakangan ini memang banyak orang-orang yang salah menafsirkan makna peperangan dan kedamaian. Peperangan zaman nabi dan rasul dahulu memang diperbolehkan. Namun saat ini tidak terdapat lagi perang seperti itu. Kedamaian yang saat ini ada belumlah optimal karena suatu saat pasti teror-teror tersebut akan muncul. Oleh sebab itu janganlah cepat mengambil keputusan sehingga dapat dibedakan mana perang dan mana damai.

D. Metode dan Tujuan Terorisme

Terorisme sesungguhnya bukanlah fenomena baru karena terorisme telah ada sejak abad ke-19 dalam percaturan politik internasional. Terorisme pada awalnya bersifat kecil dan lokal dengan sasaran terpilih dan berada dalam kerangka konflik berintensitas rendah yang pada umumnya berkaitan erat dengan stabilitas politik suatu negara. Namun dewasa ini terorisme telah berdimensi luas yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan kejahatan yang bersifat lintas negara (transnasional crime) dan tidak lagi dikategorikan sebagai konflik berintensitas rendah akan tetapi sudah termasuk kejahatan global dan menimbulkan dampak yang sangat luas. Bentuk perkembangan dari terorisme itu sendiri kini terorisme tidak hanya menjadikan kehidupan politik sebagai sasarannya seperti pada awal kemunculannya, tetapi kini mulai merambah, merusak dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia yaitu menurunnya kegiatan ekonomi dan terusiknya rasa kemanusiaan serta budaya masyarakat yang dinilai berbeda dan bertentangan dengan ideologi, kepercayaan, dan haluan dari kelompok teroris.

Terorisme apalagi yang menggunakan bahan peledak merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman serius bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama di seluruh belahan dunia ini. Terorisme dalam perkembangannya membangun organisasi dan mempunyai jaringan global di mana kelompok-kelompok terorisme yang beroperasi di berbagai negara telah terorganisir oleh suatu jaringan terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama satu dengan yang lain. Tujuan teroris adalah guncangan terhadap pemerintah dan pemerintahan yang dianggap lawan karena berseberangan dengan cita-cita dan haluan kelompok troris melalui bentuk-bentuk kegiatan yang mengancam keamanan dan ketertiban yang akan berpengaruh terhadap stabilitas nasional suatu bangsa di mana stabilitas nasional merupakan salah satu faktor utama/kunci stabilitas ekonomi guna meningkatkan kualitas hidup suatu bangsa dan negara, sehingga bagi pelaku terorisme adalah lumrah untuk selalu menggunakan segala upaya dalam mewujudkan “perjuangan” yang diyakini oleh kelompoknya bahwa apa yang diperjuangkan adalah benar.

Sebagai contoh aktivitas teroris yang berkembang dan menggunakan Indonesia sebagai basis gerakkan adalah pada peristiwa serangan bom di Bali, timbul pertanyaan mengapa Bali selalu menjadi sasaran serangan teroris? Dari beberapa dokumen yang berhasil ditemukan atas penyelidikan pihak kepolisian diperoleh gambaran bahwa mereka memilih Bali karena serangan mereka di Bali adalah serangan yang berdampak global. Bali terkenal di seluruh dunia malah lebih dikenal dari Indonesia sehingga serangan di Bali akan mendapat liputan media internasional, dengan demikian dunia akan mendapat pesan bahwa serangan tersebut ditujukan kepada Amerika dan sekutu-sekutunya sehingga dampak psikologis bagi dunia internasional lebih mudah tercapai. Bahwa serangan yang dilakukan teroris di Bali lebih memungkinkan dilakukan untuk menimbulkan korban yang bersifat masal dari tempat lain di Indonesia, karena mereka menganggap para wisatawan asing yang berkunjung ke Bali adalah musuh mereka dan sering berkumpul di restoran-restoran, tempat-tempat diskotek.

Secara garis besar dapat dijelaskan tempat-tempat yang berpotensi menjadi serangan teroris khususnya di Indonesia sebagai contoh, adalah sasaran yang terdapat banyak aktivitas warga negara asing dan mudah untuk dimasuki/diterobos serta pengamanannya tidak terlalu ketat/longgar, seperti: tempat-tempat wisata, tempat-tempat makan/minum (Mc Donald, Pizza Hut, KFC, restoran yang biasa dipenuhi orang asing, kafe makanan ringan dan minuman karena orang lokal jarang ke sana dan mudah diterobos), tempat-tempat hiburan/olahraga (tempat pementasan tarian, lapangan golf, diskotek, kebun binatang), tempat-tempat perbelanjaan, tempat-tempat turun/naik kendaraan wisatawan, bandara, pelabuhan. Globalisasi yang dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang transportasi, komunikasi, dan informasi merupakan suatu proses interaksi dan interelasi yang intensif antar negara-negara dan masyarakatnya dalam berbagai kegiatan kehidupan, sehingga dunia seolah-olah menjadi tanpa batas (transborder crimes) dan terasa lebih kecil serta lebih transparan, mengakibatkan kejadian di suatu negara dengan cepat dapat diketahui oleh negara-negara lain.

Perkembangan lingkungan strategis di era globalisasi tersebut telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat dan membentuk nilai-nilai universal yang kemudian menjadi tolok ukur penting peradaban bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia, yaitu demokratisasi, hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, dan pasar global. Demikian pula halnya pembangunan nasional dalam berbagai bidang yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia selama ini telah menunjukkan kemajuan yang cukup pesat dengan berbagai hasil pembangunan yang telah dirasakan oleh bangsa Indonesia, yang mana semuanya tidak lepas dari dampak positif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketika peradaban umat manusia semakin meningkat selanjutnya adalah ditemukan bahwa kejahatan sebagai bayang-bayang dari sebuah peradaban “crime is the shadow of civilaization” oleh Chairuddin Ismail ditegaskan sebagai suatu fenomena yang menjelaskan perkembangan dari suatu kejahatan yang senantiasa berkembang baik dari kualitas dan kuantitas, bentuk perkembangan kejahatan selanjutnya yang memanfaatkan kecanggihan teknologi, kemudahan dan berkomunikasi menyebabkan seolah olah batas fisik suatu negara menjadi pupus/borderless crime.

Kejahatan yang dilakukan antar lintas negara memiliki keunikan tersendiri, di mana adanya perbedaan sistem hukum dan pemerintahan, termasuk sikap dan persepsi negara dalam menanggapi suatu fenomena kejahatan memberikan peluang semakin berkembang dan kuatnya kejahatan lintas negara terjadi. Beberapa pendapat yang menyebutkan tentang kejahatan lintas negara sebagai suatu kejahatan transnasional/transnational crime, adalah merupakan jawaban logis atas tumpang tindih pemahaman terhadap suatu kejahatan sebagai kejahatan internasional ataukah merupakan bentuk kejahatan transnasional.

Dalam ASEAN Declaration On Transnational Crime, tanggal 20 Desember 1997 dalam Meeting ASEAN Minister of Interior In Manila, terorisme dimasukkan sebagai bentuk kejahatan transnasional bersama dengan kegiatan perdagangan narkoba secara ilegal, pencucian uang hasil kejahatan, perdagangan manusia, penyelundupan senjata api, dan perompakan di laut. Rumusan kejahatan dalam deklarasi ASEAN dimaksudkan untuk memberikan panduan kepada negara-negara ASEAN untuk menyelaraskan pandangan dan tindakan dari pemikiran bahwa terdapat perbedaan sumber dan struktur hukum termasuk budaya hukum di masing-masing negara, bahwa kejahatan transnasional yang mengandung pengertian utama sebagai suatu kejahatan yang dilakukan oleh orang per orang maupun terorganisasi dengan melalui lintas batas teritorial suatu bangsa dalam kawasan regional maupun global. Hal mendasar yang perlu diingat tentang terorisme sebagai bagian dari kejahatan yang dikategorikan sebagai transnational crime dengan kejahatan lainnya adalah bahwa tujuan dan metode yang digunakan dalam kejahatan terorisme sangat spesifik dibandingkan dengan kejahatan lain dalam rumusan kejahatan transnasional.

E. Perang Melawan Terorisme

Perang melawan terorisme adalah istilah yang digunakan oleh media barat untuk mereferensikan berbagai tindakan militer dan politik yang dilakukan oleh pemerintahan Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya (baik anggota NATO maupun partner non-NATO seperti Swedia) dalam kaitannya dengan Serangan 11 September di kota New York. Pemerintah Amerika mengklaim bahwa tujuan perang melawan terorisme adalah untuk melawan ancaman terorisme, mencegah terorisme dan mengurangi pengaruh organisasi seperti al-Qaeda. Walaupun belum ada definisi yang jelas mengenai apa itu terorisme dan sejauh apa sebuah tindakan dapat dikatakan terorisme. Istilah ini menjadi bias dan metanaratif karena definisi terorisme yang ambigu dan tak punya garis tepi yang pasti. Banyak kalangan yang menilai istilah perang melawan terorisme dapat digunakan oleh Amerika Serikat untuk masuk ke dalam ranah yang berada di luar kapasitasnya dengan alasan peperangan melawan “terorisme”.

Jika didefinisikan luas, perang melawan terorisme juga melibatkan negara-negara yang tidak terlibat langsung dalam misi ekspedisi Amerika Serikat dan atau negara sekutu-sekutunya seperti di Irak (baik saat Perang Irak 2003 maupun perang melawan ISIS), Afghanistan, Afrika Sub-Sahara, yang memilih fokus terhadap tindakan pemberantasan tindak terorisme dan radikalisme di dalam negerinya, yang kebanyakan di antaranya didukung sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan barat, terutama AS, Inggris, Perancis, serta Australia. Salah satunya Rusia dan negara-negara anggota CIS (kecuali Ukraina dan Georgia yang mengirim kontingen ke Irak dan Afghanistan), Indonesia, Malaysia, Kolombia, Nigeria (melawan Boko Haram), dan sebagainya.

F. Strategi Penanggulangan Terorisme Di Indonesia

Terorisme merupakan tindakan yang sangat mematikan dan tertutup, membawa banyak korban jiwa, termasuk orang yang tidak bersalah. Terorisme adalah sebuah madhab atau aliran kepercayaan melalui pemaksaan kehendak, guna menyuarakan pesannya. Melakukan tindakan ilegal yang menjurus ke arah kekerasan, kebrutalan bahkan pembunuhan. Aksi tersebut dimulai dengan sistem konvensional hingga modern. Adjie S., dalam bukunya Terorisme menyebutkan di berbagai kasus, beberapa kelompok melakukan “undeclared warfare” kepada suatu negara secara tersembunyi. Di mana kawasan yang memiliki pengalaman konflik secara luas seperti Lebanon, Afghanistan, dan El Savador terbukti secara efektif menggunakan taktik teror, bahkan dilakukan oleh dua kelompok yang saling berhadapan. Saat ini, teroris memiliki kemampuan yang luar biasa, yaitu mampu membentuk kader yang dalam sekejap mempersiapkan diri atau kelompoknya menjadi mesin pembunuh yang potensial, menghancurkan gedung, sekaligus membunuh, menimbulkan rasa takut, dan tidak aman.

Di Indonesia aksi terorisme ini sangat berbahaya dan telah menyebar hingga pelosok tanah air. Aksi terorisme terbaru terjadi pada 31 Desember 2013 yang lalu. Di hari tersebut, Densus 88 menggerebek sebuah rumah kontrakan di Gang H. Hasan, Jalan K.H. Dewantoto, RT/RW 04/07 di Kelurahan Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan. Rumah tersebut disewa oleh kelompok teroris Nurul Haq alias Dirman. Hasil pengembangan atas penggerebekan tersebut, pada 1 Januari 2014, Densus 88 kembali melakukan penggerebekan di Rempoa, Jalan Delima Setu RT 8 RW 2 Rempoa, Ciputat. Pada penggerebekan tersebut, 6 terduga terorisme tewas dalam baku tembak. Para teroris tersebut merupakan kelompok Abu Roban. Di lokasi tersebut, polisi juga menemukan enam bom rakitan, satu di antaranya telah meledak. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Polri, Brigjen Pol. Roy Rafli mengatakan ada kesamaan bentuk bom rakitan yang ditemukan dengan bom pipa rakitan yang di temukan di sebuah warteg di kawasan Tangerang, saat perayaan Natal 2013 lalu. Namun demikian, belum dapat dipastikan apakah kedua bom tersebut berasal dari pelaku yang sama.

Terkait hal tersebut, pengamat terorisme, Noor Huda Ismail mengatakan sejumlah pelaku teror masih akan muncul, baik dari Mujahidin Indonesia Barat (MIB) maupun Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat terorisme Al Chaidar yang menghitung bahwa ada sekitar 200 orang berpotensi menjadi terorisme di tanah air yang masih belum terungkap. Sedangkan menurut Ansyaad Mbai, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bahwa ada sekitar 100 orang yang berpotensi menjadi teroris. Fakta tentang tindak terorisme dan pernyataan dari berbagai narasumber terhadap perkembangan terorisme di Indonesia tersebut menjelaskan bahwa Indonesia masuk kategori rawan aksi terorisme. Kefanatikan yang berlebihan terhadap suatu agama, doktrinisasi yang salah terhadap pesan-pesan yang ada di dalam akidah agama serta rendahnya pendidikan menjadi faktor penting keterlibatan seseorang dalam berbagai aksi terorisme. Untuk itu, pemerintah melalui pihak terkait perlu membuat kebijakan strategis guna menanggulangi tindak terorisme tersebut. Tindakan tersebut dapat di lakukan dengan berbagai cara, antara lain seperti:

1. Penerapan Strategi Militer

Di sektor militer dilakukan operasi bawah tanah, dengan tekanan yang bertujuan menghancurkan kelompok teroris. Setiap orang yang merencanakan dan membantu operasi teroris harus mengerti bahwa dia akan diburu dan dihukum. Operasi mereka akan diganggu, keuangan akan dikeringkan, tempat persembunyian akan terus diserbu. Jika ini berhasil, tidak ada lagi yang jadi masalah di sektor militer. Operasi akan lebih efektif apabila tim merupakan gabungan antara Densus 88/Anti Teror dari kepolisian dan satuan-satuan Anti Teror TNI. Hambatan ketentuan UU dan SOP sebaiknya diatasi dengan pemikiran jangka panjang, karena ancaman teror jelas mengganggu pembangunan dan kredibilitas kondisi keamanan Indonesia dimata negara lain. Semua yang ditata oleh pemerintah akan bisa runtuh dalam sekejap mata dengan sebuah serangan teror. Inilah nilai terpenting yang harus kita sadari bersama.

2. Strategi Politik

Sistem politik harus ditata ulang dalam kaitannya dengan bahaya teror. Pelibatan elite politik agar satu suara dalam penanganan masalah teroris sangat dibutuhkan, tidak seperti masa lalu. Dalam hal Bom Bali-I, masih terjadi perbedaan pendapat di antara elite politik. Tokoh-tokoh parpol Islam sangat penting dilibatkan dalam penanganan kasus, agar tidak terjadi tekanan politis bagi pemberantasan teror, bukan ditujukan kepada umat Islam tetapi kepada kelompok radikal teror. Hal yang dibutuhkan adalah sebuah konsensus nasional yang luas. Aliansi politik menjadi masalah penting bagi keamanan nasional kita. Persaingan sudah berlalu dan selesai, kini waktunya bersatu padu menyelamatkan negara.

3. Strategi Budaya

Pemerintah bersama tokoh-tokoh agama wajib membantu dan menyadarkan generasi muda di tempat-tempat pendidikan agama. Dari beberapa kasus, mereka ini yang dibina dan dijadikan kader. Beberapa anggota kelompok bersedia dan sadar untuk mati lebih disebabkan karena mampu diyakinkan bahwa “surga” akan didapatnya, dan mereka sudah berada di jalan yang benar. Menjadi tugas kita bersama untuk kembali menyadarkan pemuda-pemuda yang demikian bersemangat, agar kembali memahami pengertian baik dan buruk, pengertian haram dan halal, serta pengertian jihad dan mati syahid.

Di sisi inilah pemuda itu banyak digelincirkan. Umumnya serangan teror hanya ramai dibicarakan saat kejadian, dan biasanya setelah beberapa lama akan dilupakan. Perang dengan terorisme adalah perang yang sangat serius. Kalau dahulu hanya alumnus Ngruki yang dibina, kini nampaknya pengaderan sudah merambah ke organisasi lain. Yang lebih berbahaya, beberapa yang dikader adalah mereka yang tidak berafiliasi ke organisasi manapun. Strategi budaya harus terus dilakukan pemerintah, kita tidak rela rasanya apabila para pemuda Islam kita yang bersemangat dimanfaatkan dan dilibatkan dalam perang mereka.

Melalui kebijakan strategis yang tepat guna dan tepat sasaran, kiranya tindak terorisme di tanah air akan dengan mudah ditanggulangi. Masyarakat menaruh harapan penuh kepada pemerintah untuk dapat memberikan rasa tenang, aman, dan nyaman dalam beraktivitas sehari-hari. Tidak pernah merasa khawatir keselamatannya terancam oleh aksi terorisme. Di samping itu, penanggulangan terorisme ini juga berkaitan erat dengan tingginya angka kepercayaan masyarakat dunia terhadap Indonesia yang berimplikasi terhadap iklim investasi secara global. Semoga Indonesia terbebas dari terorisme.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta sering kali merupakan warga sipil.

Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari terorisme dengan mengacu pada sejarah terorisme modern.

Bentuk perkembangan dari terorisme itu sendiri kini terorisme tidak hanya menjadikan kehidupan politik sebagai sasarannya seperti pada awal kemunculannya, tetapi kini mulai merambah, merusak dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia yaitu menurunnya kegiatan ekonomi dan terusiknya rasa kemanusiaan, serta budaya masyarakat yang dinilai berbeda dan bertentangan dengan ideologi, kepercayaan, dan haluan dari kelompok teroris.

B. Saran

Sebaiknya pemerintah dan rakyat Indonesia tetap waspada, jangan mudah terprovokasi oleh pemberitaan yang menyesatkan dan tidak bertanggungjawab. Terorisme harus diusut tuntas sampai ke akarnya, sehingga menimalisir terjadinya hal yang lebih buruk lagi. Jangan langsung mempercayai orang asing yang tiba-tiba berlagak sudah akrab.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Indriyanto Seno. 2001. Terorisme, “Perpu No. 1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia. Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.

Kusumah, Mulyana W. 2002. Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol. 2 No. III. Jakarta: Terbit Terang.

Muryati, Sri. 2003. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU No. 15 Tahun 2003. Jakarta: Konsiderans.

Adji, Indriyanto Seno. 2001. Bali, “Terorisme dan HAM” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia. Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.

Muladi. 2002. Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol. 2 No. III. Jakarta: Terbit Terang.

Download Contoh Makalah Terorisme.docx