Makalah Demokrasi Terpimpin

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Demokrasi Terpimpin ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang berjudul Makalah Demokrasi Terpimpin ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Demokrasi Terpimpin ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Demokrasi Terpimpin ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, November 2024
Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana seluruh keputusan dan pemikiran berpusat pada pemimpin negara. Konsep sistem demokrasi terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956. Masa demokrasi terpimpin (1957-1965) dimulai dengan tumbangnya demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang ditandai pengunduran Ali Sastroamidjojo sebagai perdana menteri.

Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca pemilihan umum 1955 membuat situasi politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal ini diperparah dengan dewan konstituante yang mengalami kegagalan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.

Pelaksanaan sistem demokrasi terpimpin, sebenarnya merupakan wujud dari obsesi Presiden Soekarno yang dituangkan dalam konsepsinya pada tanggal 21 Februari 1957, yang isinya mengenai penggantian sistem demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin, pembentukan kabinet gotong royong, dan pembentukan dewan nasional.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:

  1. Apa definisi demokrasi terpimpin?
  2. Bagaimana sistem demokrasi terpimpin?
  3. Bagaimana sistem ekonomi demokrasi terpimpin?
  4. Apa isi dari Dekret Presiden 5 Juli 1959?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Demokrasi Terpimpin

Demokrasi terpimpin, juga disebut demokrasi terkelola, adalah istilah untuk sebuah pemerintahan demokrasi dengan peningkatan otokrasi. Pemerintahan negara dilegitimasi oleh pemilihan umum yang walaupun bebas dan adil, digunakan oleh pemerintah untuk melanjutkan kebijakan dan tujuan yang sama. Atau, dengan kata lain, pemerintah telah belajar untuk mengendalikan pemilihan umum sehingga pemilih dapat melaksanakan semua hak-hak mereka tanpa benar-benar mengubah kebijakan publik. Walaupun mengikuti prinsip-prinsip dasar demokrasi, dapat timbul penyimpangan kecil terhadap otoritarianisme. Dalam demokrasi terpimpin, pemilih dicegah untuk memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakan yang dijalankan oleh negara melalui mengefektifkan teknik kinerja humas yang berkelanjutan.

Istilah ini digunakan sebagai referensi untuk periode politik tertentu di Indonesia. Akhir-akhir ini istilah ini juga banyak digunakan dalam Rusia, di mana ia diperkenalkan ke dalam praktik umum oleh pemikir dari anggota Kremlin, khususnya Gleb Pavlovsky. Demokrasi Terpimpin berjalan berdasarkan Dekret Presiden Soekarno 5 Juli 1959 dan Tap MPRS No. VIII/MPRS/1959. Paham demokrasi ini berdasarkan paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (sila ke-4 dari Pancasila). Paham ini berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner dengan prinsip Nasakom (Nasionalisme, Aagama, dan Komunisme). Akan tetapi para ulama di Indonesia menolak prinsip Nasakom karena mengikut sertakan Komunis yang bertolak belakang dengan agama.

Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno:

1. Dari Segi Keamanan Nasional

Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.

2. Dari Segi Perekonomian

Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.

3. Dari Segi Politik

Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.

Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota konstituante . Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut. Hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa:

  1. 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945.
  2. 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945.

Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.

Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekret yang disebut Dekret Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959:

  1. Tidak berlaku kembali UUDS 1950.
  2. Berlakunya kembali UUD 1945.
  3. Dibubarkannya konstituante.
  4. Pembentukan MPRS dan DPAS.

B. Sistem Demokrasi Terpimpin

Lima hari setelah dekret presiden, kabinet karya dibubarkan dan pada tanggal 09 Juli 1959 diganti dengan kabinet kerja. Dalam kabinet ini presiden Soekarno bertindak selaku perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda menjadi menteri pertama dengan dua orang wakilnya Dr. Leimena dan Dr. Subandrio. Program kabinet meliputi penyelenggaraan keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat, dan melengkapi sandang pangan rakyat.

Setelah terbentuknya kabinet pada 22 Juli 1959, presiden Soekarno membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketahui oleh presiden dengan Penpres No. 3 Tahun 1959 dengan 45 orang anggota yang terdiri dari 12 wakil golongan politik, 8 orang utusan/ wakil daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan 1 orang wakil ketua. Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah (Pasal 16 Ayat 2 UUD 19450. Para anggota DPA dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959. Pada upacara peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pidato tersebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban presiden atas dekret 5 Juli 1959 serta garis kebijakan Presiden Soekarno dalam mengenalkan sistem demokrasi terpimpin.

Dalam sidangnya pada bulan September 1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden Soekarno tersebut dijadikan garis-garis besar haluan negara. Usul DPA itu diterima baik oleh Presiden Soekarno. Rumusan DPA atas pidato tersebut menjadi garis-garis besar haluan negara berjudul “Manifesto Politik Republik Indonesia” disingkat Manipol. Selanjutnya dengan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggota-anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh presiden dengan beberapa persyaratan, yaitu setuju kembali ke UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju dengan manifesto politik. Berdasarkan UUD 1945, keanggotaan MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan wakil-wakil golongan.

Tindakan Presiden Soekarno selanjutnya dalam menegakkan demokrasi terpimpin adalah mendirikan lembaga-lembaga negara baru, yaitu Front Nasional yang dibentuk melalui Penetapan Presiden No. 13 Tahun 1959. Dalam penetapan itu disebutkan, Front Nasional adalah suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional itu diketuai oleh Presiden Soekarno.

Dalam regrouping pertama kabinet yang berdasarkan Keputusan Presiden No. 94 Tahun 1962, dilakukan pengintegrasian lembaga-lembaga tertinggi negara dengan eksekutif, yaitu MPRS, DPR GR, DPA, MA, dan Dewan Perancang Nasional. Pimpinan lembaga-lembaga negara tersebut diangkat menjadi menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu, yang selanjutnya ikut merumuskan dan mengamankan kebijakan pemerintahan dalam lembaga masing-masing.

Selain lembaga-lembaga tersebut, presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) berdasarkan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1962, MPRS beserta stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR terdiri dari sejumlah menteri yang mewakili MPRS dan DPR GR, departemen, angkatan-angkatan, dan para pemimpin partai politik Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Dalam perkembangan selanjutnya kekuatan politik pada waktu itu terpusat ditangan presiden Soekarno dengan TNI AD dan PKI di sampingnya.

C. Sistem Ekonomi Demokrasi Terpimpin

1. Ekonomi Keuangan

Untuk merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah:

  • Mempersiapkan rancangan undang-undang pembangunan nasional yang berencana (Pasal 2).
  • Menilai penyelenggara pembangunan itu (Pasal 3).

Selanjutnya pada tanggal 15 Agustus 1959 terbentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) di bawah pimpinan Mr. Muh Yamin sebagai Wakil Menteri Pertama yang beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah. Dalam waktu kurang lebih satu tahun, Depernas berhasil menyusun suatu “Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana Tahapan Tahun 1961-1969.” MPRS menyetujui rancangan tersebut.

Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Bappenas mempunyai tugas menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan rencana tahunan baik nasional maupun daerah, serta mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan. Dalam rangka usaha membendung inflasi maka dikeluarkan kebijakan:

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk kepentingan perbaikan keadaan keuangan dan perekonomian negara.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor Tahun 1959 tentang Pembekuan Sebagian dari Simpanan pada Bank, yang dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran, yang terutama dalam tahun 1957 dan 1958 sangat meningkat jumlahnya.

Peraturan moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1959, yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran seribu rupiah dan lima ratus rupiah yang masih berlaku ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960.

Untuk menampung akibat-akibat dari tindakan moneter dari bulan Agustus 1959 dibentuklah Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK). Tugas pokok dari panitia ini ialah menyelenggarakan tindak lanjut dari tindakan moneter itu, tanpa mengurangi tanggung jawab menteri, departemen, dan jawatan yang bersangkutan.

Dengan tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 tersebut, pemerintah bertujuan akan dapat mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan moneter. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu juga, diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya.

Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan devisanya. Presiden Soekarno menganggap perlu untuk mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu organisasi Bank Sentral. Untuk itu dikeluarkan Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka kemudian diadakan peleburan bank-bank negara seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN); Bank Umum Negara; Bank Tabungan Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai, barulah dibentuk Bank Negara Indonesia.

2. Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri

Ekonomi Indonesia bersifat agraris, karena lebih kurang 80% dari penduduk hidup dari berkecimpung dalam bidang pertanian. Sebagian hasil dari pertanian atau perkebunan yang dihasilkan setiap tahunnya dijual dan diekspor ke luar negeri untuk memperoleh devisa atau valuta asing untuk membeli atau mengimpor berbagai bahan baku dan barang konsumsi yang belum dapat dihasilkan di Indonesia. Oleh karena itu, untuk dapat mengimpor kebutuhan- kebutuhan dari luar negeri adalah mutlak, neraca perdagangan kita dengan luar negeri harus menunjukkan terms of trade yang menguntungkan. Apabila itu belum tercapai, terpaksalah dicari bantuan atau disebut juga kredit luar negeri, guna dapat membiayai impor. Perdagangan luar negeri antara Indonesia dengan negara lain misalnya dengan negara Cina.

Dalam rangka usaha untuk membiayai proyek-proyek Presiden/Mandataris MPRS, maka Presiden Soekarno mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 018 Tahun 1964 dan Keputusan Presiden Nomor 360 Tahun 1964, yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan dana-dana revolusi. Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan uang SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferred payment. Deferred payment ialah suatu macam impor yang dibayar dengan kredit (kredit berjangka 1-2 tahun) karena tidak cukup persediaan devisa. Akibat kebijaksanaan kredit luar negeri ini adalah:

  1. Hutang-hutang negara semakin bertimbun-timbun, sedangkan ekspor semakin menurun dan devisa menipis karena ekspor menurun sekali.
  2. Hutang luar negeri dibayar dengan kredit baru atau pembayaran itu ditangguhkan.
  3. RI tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, karena itu, sering terjadi beberapa negara menyetop impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar.
  4. Di dalam negeri berakibat mengganggu proses produksi, distribusi dan perdagangan serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.

Dana revolusi tersebut diberikan dalam bentuk kredit kepada orang lain atau perusahaan dengan rente tertentu agar jumlah dana bertambah terus. Namun, pemberian kredit tersebut menyimpang dari pemberian kredit biasa sampai kira-kira mencapai jumlah Rp338 milyar (uang lama). Hal ini mengakibatkan inflasi meningkat sangat tinggi karena pemerintah sama sekali tidak mengindahkan jumlah uang yang beredar. Bank Indonesia diizinkan untuk mengadakan penyertaan dalam perusahaan, sehingga membawa akibat yang cukup luas bagi masyarakat.

D. Dekret Presiden 5 Juli 1959

Pemilu yang pertama diselenggarakan pada masa kabinet Burhanudin Harahap tahun 1955, di antaranya adalah untuk memilih anggota konstituante yang bertugas merumuskan UUD baru. Namun dalam kenyataannya sampai tahun 1959 konstituante tidak pernah berhasil merumuskan undang-undang dasar baru. Keadaan itu semakin mengguncangkan situasi politik di Indonesia pada saat itu. Bahkan, masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau.

Keadaan yang semakin bertambah kacau ini bisa membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana semakin bertambah panas karena adanya ketegangan yang diikuti dengan keganjilan-keganjilan sikap dari setiap partai politik yang berada di konstituante. Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang konstituante. Namun, konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.

Kegagalan konstituante untuk melaksanakan sidang-sidangnya untuk membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara Indonesia dilanda kekalutan konstitusional. Undang-undang dasar yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedangkan undang-undang dasar sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut dengan konsepsi presiden.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekretkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran konstituante. Pemberlakuan kembali undang-undang dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret yang berisi sebagai berikut:

  1. Pembubaran konstituante.
  2. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950.
  3. Pembentukan MPRS dan DPAS.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah mempersiapkan rancangan undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana dan menilai penyelenggara pembangunan itu. Pada massa demokrasi terpimpin Indonesia melakukan kredit luar negeri dan melakukan kerja sama perdagangan dengan Cina yang memberikan keuntungan materi dan politik.

Setelah terbentuknya kabinet pada 22 Juli 1959, presiden Soekarno membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketahui oleh presiden dengan Penpres No. 3 Tahun 1959 dengan 45 orang anggota yang terdiri dari 12 wakil golongan politik, 8 orang utusan/ wakil daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan 1 orang wakil ketua. Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah (Pasal 16 Ayat 2 UUD 19450. Para anggota DPA dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959. Pada upacara peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1959, presiden Soekarno mengucapkan pidato yang bersejarah yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pidato tersebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban presiden atas dekret 5 Juli 1959 serta garis kebijakan presiden Soekarno dalam mengenalkan sistem demokrasi terpimpin.

B. Saran

Dilihat dari kekacauan yang terjadi pada awal lahirnya bangsa Indonesia, sudah terlihat karakteristik umum yang negatif di bangsa ini yaitu mementingkan diri sendiri. Terlihat dari saat Indonesia memakai sistem Demokrasi Parlementer yang membutuhkan banyak partai, bukannya terjadi kerja sama atau persaingan yang sehat, melainkan kekacauan yang akhirnya menyebabkan sistem demokrasi di Indonesia harus diganti.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Idrus. (1997). Hukum Tata Negara. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Budiardjo, Miriam. (1977). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Fatoni, Uwes. (2006). Sejarah Sistem Politik Indonesia. Surabaya: Unitomo.

Kansil. (1996). Tata Negara. Jakarta: Erlangga.

Kencana, Inu. (2005). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Poesponegoro, Marwati Djoened. (2008). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Sundawa, Dadang (2007). Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.

Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Download Contoh Makalah Demokrasi Terpimpin.docx